Senin, 29 Juli 2013

Ismail Saul Yenu: Raja Papua yang Suka Berdakwah

Ahmad Damanik *
Suara Hidayatullah, Juni 2008

Mulanya ia seorang pendeta. Bermodal ilmu yang ia timba dari pendeta Jostri Ayome selama empat tahun di Jayapura, Papua, ia mulai rajin berceramah di gereja. Ia resmi dilantik menjadi pendeta pada tahun 90-an.
Alasannya menjadi pendeta sederhana saja. Sebagai seorang kepala suku, ia merasa bertanggungjawab menyelamatkan ideologi rakyatnya. “Rakyat harus beragama dan mengenal Tuhan. Jadi, saya harus belajar agama sebagai tanggung jawab tadi,” kata Ismail Saul Yenu, sang pendeta itu.

Banyak yang heran mengapa Yenu menjadi pendeta. Sebab di Papua tak banyak kepala suku bisa merangkap menjadi pendeta.

Yenu tahu, posisinya sebagai kepala suku akan memudahkannya mengambil hati rakyat untuk masuk Kristen. Dugaannya benar. Banyak warga Papua, baik pendatang maupun penduduk asli, termasuk lima keluarga Muslim, masuk Kristen. Kebanyakan mereka adalah transmigran yang hidup di hutan.
“Waktu itu ada yang sakit dan berhasil saya sembuhkan dengan doa. Karena itu mereka masuk Kristen,” cerita Yenu tentang keluarga Muslim ini.

Namun, perjalanan hidup berkata lain. Yenu sang kepala suku mendapat hidayah dan sempat menunaikan ibadah haji. Sepulang dari haji ia disambut oleh rakyatnya dengan teriakan, ”Raja sudah datang … raja sudah datang!” Uniknya, yang menyambut bukan hanya kaum Muslim saja, tapi banyak juga orang Kristen.
Kesempatan ini tak disia-siakan Yenu. Jika dulu ia rajin berceramah di gereja, maka sekarang ia rajin berdakwah untuk Islam. Banyak yang kepincut hatinya untuk mengucap syahadat lewat dakwah Yenu, termasuk keluarga Muslim yang dulu ia murtadkan. Semua ini ia lakukan untuk menebus tanggungjawab yang dulu salah ia terjemahkan.

Bagaimana lika-liku dakwah sang kepala suku di pulau paling timur Indonesia ini? Ahmad Damanik, wartawan majalah Suara Hidayatullah, baru-baru ini berhasil menemui pria asli Irian ini di rumahnya di Fakfak, Papua Barat, saat Kota Pala ini menyelenggarakan Musabaqah Tilawatil Qur`an. Berikut hasil wawancaranya:

Mengapa Anda tertarik dengan Islam?

Meski saya ini dulunya pendeta, tapi diam-diam saya suka mengamati perilaku orang Islam. Saya tertarik melihat orang Islam rajin shalat dan berdoa. Mereka shalat lima kali dalam sehari.

Ini berbeda dengan cara non-Muslim. Mereka hanya berdoa sekali sepekan, atau jika ada acara sembahyang keluarga. Ini menunjukkan kalau orang Islam itu punya Tuhan yang luar biasa. Saya lalu bertanya, mengapa mereka bisa berdoa sedang saya tidak? Dari sinilah saya mulai tertarik dengan Islam.

Apakah Anda punya pengalaman berkesan tentang Islam ketika masih beragama Nasrani?

Ya. Ketika tahun 70-an, di daerah saya ada program ABRI masuk desa yang dipimpin Jenderal M Yusuf. Semua orang berkumpul, mulai dari militer sampai sipil. Sebagian besar tentara adalah orang Islam. Sedang orang Nasrani kebanyakan sipil.

Ketika apel siaga, Pak Yusuf bertanya, mana orang Islam yang siap membantu rakyat? Serempak orang Islam berdiri, sedang kami orang Nasrani cuma duduk saja.

Lalu Jenderal Yusuf bertanya kepada saya tentang agama yang saya anut. Saya jawab Nasrani. Tapi beliau bilang, ”Dari pada kamu nanti hanya di luar, tak dapat jatah surga, lebih baik ikut begabung dengan mereka (orang Muslim).” Akhirnya entah mengapa saya ikut berdiri juga.

Setelah tertarik dengan Islam, siapa yang membimbing Anda memeluk agama ini?

Saya mencari kebenaran itu sendiri. Saya pernah mencarinya ke Manokwari (Papua Barat), malah diusir dan ditolak. Tapi saya tak marah. Saya kembali mencarinya ke Jakarta.

Di Jakarta saya bertemu banyak rekan-rekan sesama Muslim, termasuk Ustadz Fadzlan (M Zaaf Fadzlan Rabbani al-Garamatan, tokoh Papua yang banyak membantu kaum Muslim di daerahnya). Saya banyak dibantu oleh mereka. Ustadz Fadzlan sampai sekarang malah menyuruh saya keliling untuk berdakwah ke mana-mana.

Kapan Anda bersyahadat?

Tahun 2002, di Masjid Agung al-Azhar, Kebayoran, Jakarta. Saya dibimbing oleh seorang imam masjid di sana .
Esok harinya saya langsung minta dikhitan (sunat). Padahal umur saya sudah 68 tahun. Mana ada di dunia ini orang yang sunat umur 68 tahun kecuali Ismail Yenu. Hehe he.

Bagaimana cerita Anda pergi haji?

Esok hari setelah saya dikhitan, saya telepon Amin Rais (tokoh Muhammadiyah) dan minta dihajikan. Saya juga cerita keadaan masyarakat Irian. Saya katakana bahwa saya tak mampu pulang dan berdakwah di tengah masyarakat Irian jika belum naik haji. Sebab, biasanya masyarakat tak langsung percaya kalau langsung mendakwahi.

Alhasil, Amien Rais menelepon Din Syamsuddin (Ketua PP Muhammadiyah), menanyakan apakah ada lowongan ke Baitullah. Alhamdulillah, rupanya ada calon haji yang batal berangkat di kloter Asiyah. Kloter ibu-ibu yang berjumlah 240 calon jamaah haji. Meski terasa risih karena harus bergabung dengan ibu-ibu, akhirnya saya jadi diikutkan di kloter tersebut.

Bagaimana perasaan Anda ketika itu?

Saya merenung, mengapa baru beberapa hari menjadi muallaf langsung mendapatkan panggilan agung dari-Nya untuk naik haji? Ini karena kebesaran dan izin Allah semata.

Tiga hari berikutnya saya berangkat haji. Padahal waktu itu bekas khitan saya belum kering betul. Saya pergi ke dokter praktik dan beli kondom.

Sebelum berangkat, seluruh calon haji diperiksa. Rupanya saya ketahuan membawa kondom. Setelah ditanya, saya jawab kalau bekas khitan saya masih basah. Karena tak percaya, saya diperiksa lagi oleh dokter.

Ada kenangan menarik sewaktu naik haji?

Di Arafah, kami berdoa mulai pagi hingga siang hari. Padahal, udara dan cuaca ketika itu sangat panas. Seakan-akan tubuh ini terpanggang teriknya matahari. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, ada yang menyiram tubuh saya hingga basah kuyup.

Pakaian saya basah semua. Saking basahnya, sampai-sampai saya berdoa sambil menghirup air. Seketika itu juga saya jadi adem, tak merasa panas lagi. Padahal saat itu jumlah manusia berlapis-lapis. Rasanya tak mungkin kalau ada orang yang datang menyiram saya.

Sewaktu di Masjid al-Haram, ada seorang perempuan besar duduk di sebelah saya. Padahal, jamaah pria tak boleh bercampur dengan jamaah wanita. Saking besarnya, tinggi pinggul wanita itu mencapai bahu saya. Saya merasa ngeri sekali.

Usai berdoa, saya terfikir mau menegur dia. Begitu menoleh, eh, si wanita tadi sudah lenyap entah ke mana. Padahal tubuhnya besar sekali.
Di Masjid Nabawi, suasana sangat padat. Tak ada lagi ruang kosong di dalam masjid. Begitu masuk, rupanya ada tempat lowong yang kira-kira muat untuk dua orang. Saya jadi heran mengapa tak ada yang melihat tempat tersebut. Padahal sejak tadi jamaah sudah berebutan tempat.

Sementara saya shalat, tiba-tiba ada orang datang dengan jubah yang sangat bagus. Kainnya sangat lembut. Kualitas baju saya kalah jauh dibanding dia. Padahal baju saya juga masih baru, istilahnya baru buka plastik.
Seperti kejadian pertama, begitu saya mau menegur, orang yang dimaksud sudah lenyap entah ke mana.

Apa makna dari semua kejadian tersebut buat Anda?

Keyakinan saya semakin bertambah. Allah SWT tak akan pernah lalai memantau segala kelakuan hamba-Nya. Keyakinan saya makin mantap jika agama Islam ini benar-benar agama Allah. Kita tak boleh main-main dengan agama ini.

Saya sampaikan kepada orang Nasrani, karena kalian menyalib Nabi Isa –sebagaimana sangkaan kalian– maka ketika ia dibangkitkan nanti, Nabi Isa datang untuk menyampaikan kebenaran Islam, bukan membawa ajaran Nasrani.

Apa yang Anda lakukan setelah pulang dari Tanah Suci?

Saya tak langsung pulang ke Manokwari, tapi mampir dulu ke Kalimantan Timur selama 14 hari. Saya mengunjungi Balikpapan, Bontang, dan beberapa daerah lain bersama Ustadz Kodiran (orang Yogyakarta yang tinggal di Condet, Jakarta Timur). Kami berdakwah di tempat-tempat itu sekaligus menyaksikan kebesaran Islam.

Bagaimana tanggapan keluarga Anda sepulang dari haji?

Tiba di rumah saya langsung disambut bagai raja oleh masyarakat setempat dengan upacara adat. Saya diminta menginjak 120 buah piring yang ditaruh di jalan menuju rumah.

Setelah masuk Islam, Anda pernah masuk gereja untuk berdakwah. Bagaimana ceritanya?

Saya pernah mendatangi gereja saat sang pendeta khutbah. Tanpa tedeng aling-aling, sambil mengenakan gamis dan songkok haji, saya langsung meminta sang pendeta berhenti berkhutbah. Saya ganti menceramahi mereka. Saya ajak mereka semua masuk Islam. Saya berani melakukan itu karena dulu mereka adalah jamaah saya, termasuk lima keluarga murtad yang pernah saya baptis.

Apakah Anda tak merasa takut?

Sama sekali tidak. Saya sadar, saya bakal menjadi orang yang paling mereka musuhi karena suka menghalangi misi mereka. Bahkan sejak awal, masyarakat sudah tahu kalau saya memiliki watak yang keras dan tak takut pada apa pun. Mereka juga tahu sayalah yang merobek bendera Belanda pada masa lalu.

Bagaimana tanggapan keluarga setelah Anda menjadi Muslim?

Saya katakan, “Maaf, saya tak seperti dulu lagi. Kalau mama masih suka pake baju singlet atau celana pendek, berarti tak boleh mendekat. Silakan pergi tukar baju dulu. Kepala juga harus ditutup pakai kerudung. Kalau tidak begitu, maaf saja.”

Sebelumnya saya telah menyiapkan oleh-oleh pakaian dari Tanah Suci sebanyak 40 pasang. Masing-masing isteri saya mendapat 10 pasang (Yenu memiliki empat isteri). Saya juga minta tolong teman untuk memberi pemahaman Islam kepada para istri saya.

Anda pernah mengatakan bahwa jika saat ini masih beragama Kristen, mungkin Anda ikut Gerakan Papua Merdeka. Benarkah?

Iya. Sudah jelas. Sebagian orang Irian, dan juga orang Belanda, menginginkan Irian merdeka. Bahkan, mereka punya kepercayaan jika bisa berkunjung ke Israel maka Irian bisa merdeka. Karena itu, saya akan beri tahu pemerintah RI agar mereka dilarang dan tak diberi izin pergi ke Israel .

Setelah Anda memeluk Islam, apakah orang-orang yang pernah Anda murtadkan ikut kembali memeluk Islam?

Sebagian besar mereka masuk Islam lagi. Memang ada sebagian kecil yang tetap bertahan (dengan agamanya), namun jumlahnya tak banyak. Malah ada yang beranggapan, waktu masih pendeta saja doa saya dikabulkan oleh Tuhan, apalagi sekarang setelah masuk Islam dan pulang dari Tanah Suci.
Tapi saya katakan kepada mereka bahwa segala sesuatu itu hanya Allah yang mengatur. Manusia cuma bisa berkehendak saja.

Berdakwah Kepada Pendeta

Ismail Saul Yenu lahir di Manokwari, 28 Oktober 1934. Masa kanak-kanaknya banyak dilalui di Serui, Kabupaten Yapen Waropen.

Yenu berasal dari keluarga kepala suku Yapen Waropen. Setelah tamat dari sekolah lanjutan, ia diterima menjadi pegawai negeri sipil di Dinas Pekerjaan Umum (PU).

Sebagai kepala suku, Yenu memiliki empat istri. Dari pernikahan dengan empat perempuan itu ia dikaruniai 37 anak. Tujuh di antaranya sudah masuk Islam, yakni anak dari istri ketiga dan keempat. “Saya termasuk pelaku poligami,” kata Yenu.

Setelah masuk Islam dan pensiun dari pegawai negeri sipil, aktivitas Yenu cuma membina muallaf. Jumlah yang dibina sekitar 40 orang. Mereka ini adalah jemaat gerejanya dulu.
Yenu juga kerap berdakwah di gereja. Uniknya, tak ada jemaat yang protes. Sebab, sebagian dari mereka masih ada yang menganggap Yenu beragama Kristen, bahkan masih sebagai pendeta. Mereka menyebutnya ”pendeta haji”.

Ketika dulu masih menjadi pendeta, Yenu dikenal sangat toleran kepada umat Islam. Sebab, Alkitab mengajarkan bahwa Nabi Isa sering membantu orang Islam. Karena itulah ia tak mau memusuhi Islam.
Yenu juga mengaku pernah memiliki Injil yang asli. Isinya hampir sama dengan apa yang diajarkan al-Qur`an. “Saya diberi oleh seorang pendeta tua ketika berada di Jayapura. Pendeta itu terkesan dengan saya dan saya dianggap murid yang paling bersungguh-sungguh belajar Injil,” kenangnya.

Meski kini sudah menjadi mubaligh, Yenu tetap kebanjiran tamu orang-orang Kristen. Bahkan, para pendeta juga banyak yang datang ke tempat tinggalnya.

“Saya siapkan kamar khusus untuk berdialog dengan pendeta,”kata Yenu. Dalam dialog tersebut Yenu membekali dirinya dengan kitab Fadhilah Amal. “Mereka tak berkutik ketika saya bacakan kitab tersebut. Sebab, mereka menganggap saya ini masih seorang pendeta,” kata Yenu.

Sehabis membacakan Fadhilah Amal, Yenu mengatakan bahwa yang dibaca tadi adalah firman Tuhan yang belum mereka ketahui. “Mereka hanya bisa melongo saja. Sebab, semuanya memakai bahasa Arab,” kata Yenu.
Mereka juga tak protes ketika Yenu berkata, ”Doa yang kalian punya cuma kunci surga nomor sekian. Adapun Islam punya al-Fathihah sebagai kunci surga nomor satu. Kunci yang mereka punya bisa cocok, bisa tidak. Sedang kunci orang Islam semuanya cocok.”

Uniknya, mereka malah senang. Meski mereka tidak langsung menyatakan masuk Islam, namun setiap hari para pendeta itu datang ke rumah Yenu, minta diajari Islam. Yenu juga sering memberi para pendeta itu buku tentang Islam. Yenu berharap, hidayah Allah akan turun kepada mereka lewat buku-buku itu.
Yenu memiliki perpustakaan khusus di rumahnya. Di sana ia mengoleksi 1.000 judul. Sehari-hari Yenu banyak menghabiskan waktunya di perpustkaan itu jika tidak sedang kedatangan tamu. *

Gigih Berjuang Untuk Irjateng

Kamis, 6 Desember 2007, sejumlah tokoh Papua ramai-ramai mengunjungi Jakarta. Mereka ingin mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meresmikan berdirinya Propinsi Irian Jaya Tengah (Irjateng).
Maklum, sejak UU No 45/1999 terbit, hanya Propinsi Irjateng yang belum diresmikan berdiri. Padahal UU tersebut nyata-nyata menyebut pembentukan propinsi Irjateng bersama Irian Jaya Barat (kini Papua Barat), serta Kabupaten Paniai, Sorong, dan Timika. Semua daerah tersebut sudah resmi terbentuk kecuali Irjateng.
“Propinsi Irian Jaya Tengah itu simbol NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) di Irian. Jangan samakan kami seperti Propinsi Papua dan Papua Barat,” kata Ismail Saul Yenu yang juga Ketua Umum Gerakan Merah Putih ini.

Provinsi Irian Jaya Tengah ditunda pengoperasiannya oleh Susilo Bambang Yudhoyono ketika menjabat Menko Polkam tahun 1999. Ketika itu, Yudhoyono menetapkan Propinsi Irian Jaya Tengah dalam status quo akibat gejolak dari sekelompok kecil masyarakat Irian.
“Gejolak itu diciptakan dan direkayasa oleh segelintir elit politik yang berkepentingan, terutama para pendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sebab, mereka berpandangan bila Irian dipecah-pecah akan sulit merdeka,” tuturnya.

Semua warga dan tokoh masyarakat Irian Jaya Tengah telah bersepakat untuk mendukung terbentuknya propinsi Irjateng. Kesepakatan itu, kata Yenu, telah tertuang dalam Pertemuan Nabire tanggal 31 Agustus 2006 yang diikuti perwakilan warga dari Kabupaten Yapen Waropen, Biak Numfor, Supiori, Paniai, Mimika, dan Nabire. Kelak, ibukota Provinsi Irjateng berada di Nabire.

Mengapa Anda begitu gigih memperjuangkan terbentuknya propinsi Irian Jaya Tengah?

Ini sesuai dengan amanat UU No 45/1999. Dalam undang-undang itu disebutkan adanya pembentukan propinsi Irian Jaya Tengah bersamaan dengan Irian Jaya Barat dan beberapa kabupaten.

Bukankah sebelumnya rencana pemekaran ini menimbulkan konflik? Bagaimana pendapat Anda?

Konflik itu diciptakan oleh segelintir orang yang punya kepentingan melepaskan Irian dari NKRI (Yenu lebih suka menyebut Irian ketimbang Papua). Dengan terbentuknya propinsi baru itu maka wilayah Irian akan terbagi-bagi sehingga menyulitkan mereka untuk merdeka.

Apakah Anda setuju jika Irian merdeka?

Membebaskan Irian Jaya dari Belanda, kemudian mengembalikan ke pangkuan Indonesia, tidak mudah. Butuh perjuangan luar biasa. Saya menyadari hal itu. Karenanya saya paling tidak setuju jika ada orang munafik yang ingin Irian merdeka.

Apa maksudnya?

Mereka yang sekarang ini teriak-teriak Papua Merdeka sebenarnya tak paham sejarah. Saya ini pelaku sejarah Trikora. Saya sering berkata kepada mereka, “Kamu jangan sembarangan teriak-teriak. Sebab, 40 tahun yang lalu, kamu belum lahir. Saya ini lahir di zaman Belanda, tapi saya tak suka Belanda. Kalian semua lahir di Indonesia, mengapa justru mau keluar dari Indonesia?

Bagaimana reaksi mereka?

Ya, mereka hanya mendengar saja. Tapi saya yakin, dengan sosialisasi terus menerus, mereka akan menyadari kekeliruannya. Sebab, rata-rata mereka itu berpendidikan. Tinggal tunggu waktu saja.
Saya sama sekali tak menganggap gerakan mereka itu sebuah saingan. Mereka masih anak-anak muda yang belum paham fakta sejarah. Kalau sadar, mereka pasti malu sendiri.

Menurut Anda, Gerakan Papua Merdeka itu masih ada?

Mereka masih ada.

Benarkah ada kepentingan asing di balik keinginan memisahkan diri dari NKRI itu?

Kita tak bisa memungkiri hal itu. Bahkan sebagian besar tokoh-tokohnya ada di luar negeri.
Karena itu saya meminta kepada pemerintah agar mengawasi setiap LSM asing yang datang ke sini, terutama LSM-LSM dari Belanda. Mereka harus diperiksa dulu.

Selama ini mereka terkesan baik kepada masyarakat. Padahal, mereka itu pura-pura membantu rakyat. Misi mereka sesungguhnya adalah memprovokasi rakyat agar mendukung Gerakan Papua Merdeka.

Sebagai seorang pejuang Trikora, apa yang Anda harapkan dari perjuangan Anda dahulu?

Saya ini pejuang yang lama bertahan. Saya berjuang sejak umur 18 tahun. Dulu (1957), Bung Karno berkata, ”Kita kibarkan Merah Putih sebelum ayam berkokok.” Tapi ternyata ia tak datang. Saya lalu pergi merobek sendiri bendera Belanda dan memasang Sang Merah Putih di tanah Irian ini. Orang-orang kemudian menjuluki saya Pejuang Merah Putih.

Benarkah ada kepentingan Kristen di balik Gerakan Papua Merdeka?

Benar, memang seperti itu. Saya tahu karena saya mantan pendeta. Saya tahu semua gerakan dan tujuan mereka. Alhamdulillah saya bisa keluar dari lingkaran mereka.

Apakah Anda tak merasa takut?

Sama sekali tidak. Kini tinggal sedikit orang Irian yang pro Indonesia. Kebanyakan mereka cuma berani ngomong di mulut saja, termasuk para pejabat. Semuanya munafik. Tak ada yang berani bicara vokal dan terus terang.

Apakah pernah Anda menerima ancaman atau teror?

Tak sedikit teror datang kepada saya. Namun, saya tak pernah melayani aksi mereka. Saya cuma katakan, ”Kalian itu masih kecil, belum tahu apa-apa. Kalian tak sebanding dengan saya. Jadi, tak usah macam-macam.”

Apa bentuk teror yang Anda terima?

Yang paling banyak berupa fitnah. Mereka menganggap saya ini sudah tua, tak sanggup berbuat apa-apa lagi.

Semua fitnah itu saya anggap angin lalu. Saya biarkan saja mereka berkomentar. Di mata saya, mereka bukan siapa-siapa. Mereka cuma anak muda berusia 20-an tahun, sedang usia saya 70-an tahun.
Jadi, ucapan mereka hanya untuk mereka saja. Mereka mirip layang-layang, kelihatan tinggi tapi tak punya kekuatan sama sekali. Kita putus benangnya, mereka langsung jatuh ke tanah.

Fadzlan Rabbani al-Garamatan (Dai asal Papua)
Dia Menggebu-gebu Saat Berdakwah

Berbicara hidayah, Ismail Saul Yenu sebenarnya bukan masuk Islam. Ia justru kembali kepada Islam. Sebab, semua manusia memiliki fitrah, sedang ayah dan ibunyalah yang menjadikan anak-anak itu beragama lain.
Sosok Ismail Yenu sangat menggebu-gebu dalam berdakwah. Padahal ia kini berusia 72 tahun. Ia berani berdakwah ke mana saja. Membuka dialog di tengah-tengah kaum Nasrani. Ia berani meyakinkan masyarakat Irian bahwa hanya Islam satu-satunya agama yang benar.


Dijumput dari: http://majalah.hidayatullah.com/?p=1360

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Alexander A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Dahana A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.C. Andre Tanama A.J. Susmana A.S. Laksana A’an Jindan AS Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Rauf Singkil Abdul Walid Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adek Alwi Adhi Pandoyo Adhitia Armitrianto Adhy Rical Adi Faridh Adian Husaini Adin Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrizas Adu Pesona Sang Wakil Presiden RI AF. Tuasikal Afri Meldam Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agit Yogi Subandi Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Rakasiwi Agus Sulton Agus Wibowo Agus Wirawan Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ah. Atok Illah Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Anshori Ahmad Damanik Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Hasan MS Ahmad Jauhari Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad S. Zahari Ahmad Syafii Maarif Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fiah Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Siddiq Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al-Fairish Al-Ma'ruf I Al-Ma'ruf II Alang Khoiruddin Albert Camus Ali Mahmudi Ch Alia Swastika Alvi Puspita Alvin Amien Wangsitalaja Aminah Aming Aminoedhin Ana Mustamin Anam Rahus Anas AG Andhi Setyo Wibowo Andi Gunawan Andry Deblenk Angela Anggie Melianna Anindita S. Thayf Anis Ceha Anitya Wahdini Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anugerah Ronggowarsito Anwar Nuris Aprillia Ika Arida Fadrus Aridus Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Ariel Heryanto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Arwan Aryo Wisanggeni Aryo Wisanggeni Gentong AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Ashadi Ik Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asro Kamal Rokan Astrid Reza Asvi Warman Adam Atafras Atok Witono Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azwar Nazir Baca Puisi Badrus Siroj Bahrul Ulum A. Malik Balada Bambang kempling Bambang Riyanto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berita Utama Bernando J. Sujibto Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Bre Redana Brunel University Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Jay Utomo Budi P. Hatees Budi Palopo Budi Setyarso Budi Sp. Indrajati Budiman S. Hartoyo Budiman Sudjatmiko Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Choirul Rikzqa Christian Heru Cahyo Saputro Cover Buku D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dadang Widjanarko Damiri Mahmud Dani Fuadhillah Daniel Paranamesa Darju Prasetya Dati Wahyuni Dawet Jabung Ponorogo Dedykalee Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Deshinta Arofah Dewi Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan Dewi Anggraeni Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Didik Kusbiantoro Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dorothea Rosa Herliany Dr Andi Irawan Dr Siti Muti’ah Setiawati Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Drs. Solihin Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddi Koben Edeng Syamsul Ma’arif Edy Apriyanto Sudiyono Edy Firmansyah Edy Susanto Efri Ritonga EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hartono Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elita Sitorini Elly Trisnawati Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Em. Syuhada' Emha Ainun Nadjib Encep Abdullah Eni Sulistiyawati Eny Rose Esai Ester Lince Napitupulu Etik Widya Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathan Mubarak Fathul Qodir Fathul Qorib Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Seni Surabaya 2011 Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fikri. MS Fiqih Arfani Firman Daeva Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Forum Santri Nasional (FSN) Free Hearty Galuh Tulus Utama Gandis Uka Ganug Nugroho Adi Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gendut Riyanto Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Pratama Glenn Fredly Goenawan Mohamad Golput Gombloh Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Hadi Napster Hafis Azhari Halim HD Halimi Zuhdy Hamid Dabashi Han Gagas Hardi Hamzah Hari Prasetyo Haris Del Hakim Haris Saputra Hary B Kori’un Hasan Basri Marwah Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Hendro Situmorang Henri Nurcahyo Henry H Loupias Hera Khaerani Heri CS Heri Kris Heri Latief Heri Listianto Herman RN Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Kuntoyo Heru Kurniawan Hikmat Darmawan Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humaidi Humam S Chudori I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I. B. Putera Manuaba IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ichwan Prasetyo Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Munadjat Imam Nawawi Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Herdiana Imron Arlado Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indigo Art Space Madiun Indra Tjahyadi Indrian Koto Ingki Rinaldi Iqmal Tahir Is Faridatul Arifah Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Isra’ Mi’raj Iswadi Pratama Iswara N Raditya Iva Titin Shovia Iwan Awaluddin Yusuf Iwan Gunadi J. Sumardianta Jamrin Abubakar Jansen Sinamo Janu Jolang Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jemie Simatupang Jenny Ang Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jl Simo Jo Batara Surya Jodhi Yudono Joko Budhiarto Joko Sadewo Joko Sandur Joko Widodo Jones Gultom Joni Ariadinata Joresan Mlarak Ponorogo Joseph E. Stiglitz Jual Buku Paket Hemat Junus Satrio Jurnalisme Sastra K. Hirzuddin Hasbullah K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.H. Masrikhan Asy'ari K.H. Mudzakir Ma'ruf Kadjie MM Kajian Kitab Nashoihul 'Ibad Kang Daniel Karanggeneng Kartika Foundation Kasanwikrama Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kekal Hamdani Kemah Budaya Panturan (KBP) Kesenian KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Anwar Khoirul Inayah Khoirul Naim Khoirul Rosyadi Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Koko Sudarsono Komaruddin Hidayat Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopuisi Korban Gempa di Lombok Kospela KPRI IKMAL Lamongan Kris Razianto Mada Kritik Sastra Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kusni Kasdut Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto Lagu Laili Rahmawati Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Latif Fianto Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Listiyono Santoso Liya Izzatul Iffah Liza Wahyuninto Lucky Aditya Ramadhan Ludruk Jawa Timur Lukisan Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lustantini Septiningsih Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Ismail M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Iqbal Dawami M. Irfan Hidayatullah M. Latief M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Mushthafa M. Riza Fahlevi M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Maghfur Munif Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahwi Air Tawar Majelis Ulama Indonesia Makalah Tinjauan Ilmiah Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mantan Pastur Hafidz Al-Qur'an Maqhia Nisima Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Marsel Robot Martin Aleida Martin Hatch Marwan Ja'far Marwita Oktaviana Marzuki Mustamar Mashuri Masjid Tegalsari di Pesantren Gerbang Tinatar Masuki M. Astro Matroni el-Moezany Matroni Muserang Max Arifin Maya Handhini Mbah Kalbakal Medco Media Jawa Timur Medri Osno Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Misbahul Huda Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh Samsul Arifin Moh. Ghufron Cholid Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ghannoe Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Rain Muhammad Taufik Muhammad Yasir Muhammad Zia Ulhaq Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukhsin Amar Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Mun'im Sirry Muntamah Cendani Museum Bikon Blewut Ledalero Musfarayani Musfi Efrizal Musyayana Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nabi Adam Nanang Fahrudin Nandang Darana Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Ni Luh Made Pertiwi F Nindya Herdianti Ninin Nurzalina Wati Nitis Sahpeni Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noorsam Noval Jubbek Novel Pekik Novianti Setuningsih Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Hamzah Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nuswantoro Nyimas Nyoman Tingkat Obrolan Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Opini Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Pameran Seni Rupa Panda MT Siallagan Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit SastraSewu Penerbitan dan Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Pengajian Pengetahuan Perang Peringatan Hari Pahlawan 10 November Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pesantren Kampung Inggris Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Petrik Matanasi Pilang Tejoasri Laren Lamongan Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pilkada Piramid Giza Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pradana Boy ZTF Pradaningrum Mijarto Pramoedya Ananta Toer Prih Prawesti Febriani Pringadi AS Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Hartanto Puji Santosa Puput Amiranti N Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Satria Kusuma Putu Setia Putu Wijaya R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.Ng. Ronggowarsito Rabdul Rohim Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sazaly Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Rengga AP Reni Lismawati Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Rieke Diah Pitaloka Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rizka Halida Rizky Putri Pratimi Robin Al Kautsar Rocky Gerung Rodli TL Rofiqi Hasan Rohmad Hadiwijoyo Rohmah Maulidia Rohman Abdullah Rojiful Mamduh Rosdiansyah Rosi Rosidi Roso Titi Sarkoro Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rumah Literasi Rx King Motor S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Saifur Rohman Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Sardono W Kusumo Sartika Sari Sarworo Sp Sastra Facebook Satmoko Budi Santoso Satrio Lintang Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Savidapius Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Sejarah Sekolah Literasi Gratis SelaSAstra Boenga Ketjil SelaSAstra Boenga Ketjil #23 SelaSAstra Boenga Ketjil #24 Seni Ambeng Ponorogo Senirupa Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Shofiyatuz Zahroh Shohebul Umam JR Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Silfia Hanani Sindu Putra Sita Planasari Aquadini Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Hadi Purnomo Soediro Satoto Soegiharto Soeprijadi Tomodihardjo Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Igustin Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Sriyanto Danoesiswoyo Stefanus P. Elu Stevani Elisabeth STKIP PGRI Ponorogo Student Center Kampus ISI Yogyakarta Subagio Sastrowardoyo Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Ariyadi Sukitman Sumenep Sumiati Anastasia Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungelebak Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Suyadi San Syafrizal Sahrun Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syamsul Rizal Syi'ir Syifa Amori Syifa Aulia T.A. Sakti Tajuddin Noor Ganie Tamrin Bey dan Robin Al Kautsar TanahmeraH ArtSpace Tarpin A. Nasri Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Roda UNISDA Lamongan Teater Sakalintang Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tawon Teater Tewol Teguh LR Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Teori Darwin Teori Fisika Hawking Tgk Abdullah Lam U Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute Theresia Purbandini Thomas Koten Tien Rostini Timur Arif Riyadi Tjahjono Widarmanto Tjut Zakiyah Anshari Toeti Adhitama Tosa Poetra Tri Andhi S Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Tutut Herlina Ucu Agustin Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Uniawati Unieq Awien Universitas Jember Usman Arrumy Ustadz Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vassilisa Agata Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Video Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vita Devi Ajeng Pratiwi W. Haryanto W.S. Rendra Wakos R. Gautama Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Suryandoko William Shakespeare Wisnu Kisawa Wiwik Widiyati Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yayat R. Cipasang Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yulianto Yuliawati Yunanto Sutyastomo Yunus Supriyanto Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf AN Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Yuyuk Sugarman Z. Mustopa Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zarra Martsella Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zen Hae Zii Zuhdi Swt