Mukafi Niam /Sumber: Antara
NU Online 06/02/2013
Seorang peneliti sastra Drs Sutejo MHum mengungkapkan bahwa Syaikh Siti Jenar, salah satu tokoh dalam kisah Wali Songo dalam menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa, selalu mengedepankan sikap dan ajaran toleransi terhadap semua pemeluk agama lain.
“Ajaran Syaikh Siti Jenar adalah ketauhidan toleransi. Bahkan lebih ekstrem lagi tidak boleh menyalahkan paham yang lain,” kata Sutejo kepada wartawan di Surabaya, Selasa.
Dosen sastra pada STKIP PGRI Ponorogo ini mengemukakan hasil penelitiannya untuk disertasi doktor yang akan dipertahankan dalam ujian terbuka di kampus Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Rabu (6/2).
Disertasi penulis buku yang sangat produktif ini berjudul “Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar Karya Agus Sunyoto (Kajian Etnosufistik)”. Promotor ujian disertasi ini adalah Prof Dr Setya Yuwana dan kopromotor Prof Dr Haris Supratno.
Sutejo juga mengungkapkan bahwa dalam novel Agus Sunyoto itu menunjukkan bahwa Syaikh Siti Jenar sangat toleran, antara lain dengan berguru pada seorang pemuka agama di luar Islam.
Menurut pria kelahiran Ponorogo, Jatim, 10 Februari 1967 ini, hasil penelitian terhadap novel tersebut menunjukkan bahwa bagi Syaikh Siti Jenar, semua paham ketauhidan tidak ada paham keagamaan yang salah karena semua hanya berbeda dalam hal nama.
“Ruh perjalanan spiritual bagi Syaikh Siti Jenar adalah jalan menuju Tuhan. Ketika Syaikh membuka pedukuhan-pedukuhan di daerah Lemahbang, Lemahkuning, Lemahjenar, beliau tidak melawan paham yang dianut masyarakat ketika itu. Beliau masuk dulu. Dan beliau menemukan spiritualitas yang kemudian ditarik ke ranah Islam.
Karena itu Syaikh Siti Jenar tidak membolehkan muridnya untuk mengkafir-kafirkan orang lain yang berbeda dalam ketauhidan,” kata lulusan IKIP Negeri Malang ini.
Menurut Sutejo, dalam memahami ajaran Islam, Syaikh Siti Jenar mengajarkan agar rukun Islam untuk dilaksanakan setiap saat. Karena itu setiap rukun dalam Islam kemudian bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya tentang shalat, puasa maupun haji.
“Puasa selain yang disyariatkan juga mengandung makna untuk menahan diri. Misalnya ada kesempatan korupsi, tapi kita menahan diri untuk tidak korupsi. Itu dalam konteks keinian. Demikian juga dengan shalat yang mengajarkan sikap egaliter, kesucian, penghargaan yang sama terhadap orang dan lainnya,” katanya.
Dalam haji, katanya, Syaikh Siti Jenar juga memaknai ajaran agar umat Islam bekerja keras sebagaimana ditunjukkan oleh ibu Nabi Ismail yang berusaha keras mencari air untuk anaknya, meskipun secara logika dan kasat mata sudah tidak mungkin ada air.
“Jadi dalam konteks agama, kita tidak bicara dosa dan pahala, tapi ikhlas mengabdi kepada Allah. Urusan pahala adalah wewenang Allah,” kata dosen yang belasan kali memenangi lomba menulis buku dan karya ilmiah tingkat nasional ini.
Dijumput dari: http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/dunia-kampus/13/02/06/mhs7vo-unesa-luluskan-dua-doktor-sastra
NU Online 06/02/2013
Seorang peneliti sastra Drs Sutejo MHum mengungkapkan bahwa Syaikh Siti Jenar, salah satu tokoh dalam kisah Wali Songo dalam menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa, selalu mengedepankan sikap dan ajaran toleransi terhadap semua pemeluk agama lain.
“Ajaran Syaikh Siti Jenar adalah ketauhidan toleransi. Bahkan lebih ekstrem lagi tidak boleh menyalahkan paham yang lain,” kata Sutejo kepada wartawan di Surabaya, Selasa.
Dosen sastra pada STKIP PGRI Ponorogo ini mengemukakan hasil penelitiannya untuk disertasi doktor yang akan dipertahankan dalam ujian terbuka di kampus Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Rabu (6/2).
Disertasi penulis buku yang sangat produktif ini berjudul “Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar Karya Agus Sunyoto (Kajian Etnosufistik)”. Promotor ujian disertasi ini adalah Prof Dr Setya Yuwana dan kopromotor Prof Dr Haris Supratno.
Sutejo juga mengungkapkan bahwa dalam novel Agus Sunyoto itu menunjukkan bahwa Syaikh Siti Jenar sangat toleran, antara lain dengan berguru pada seorang pemuka agama di luar Islam.
Menurut pria kelahiran Ponorogo, Jatim, 10 Februari 1967 ini, hasil penelitian terhadap novel tersebut menunjukkan bahwa bagi Syaikh Siti Jenar, semua paham ketauhidan tidak ada paham keagamaan yang salah karena semua hanya berbeda dalam hal nama.
“Ruh perjalanan spiritual bagi Syaikh Siti Jenar adalah jalan menuju Tuhan. Ketika Syaikh membuka pedukuhan-pedukuhan di daerah Lemahbang, Lemahkuning, Lemahjenar, beliau tidak melawan paham yang dianut masyarakat ketika itu. Beliau masuk dulu. Dan beliau menemukan spiritualitas yang kemudian ditarik ke ranah Islam.
Karena itu Syaikh Siti Jenar tidak membolehkan muridnya untuk mengkafir-kafirkan orang lain yang berbeda dalam ketauhidan,” kata lulusan IKIP Negeri Malang ini.
Menurut Sutejo, dalam memahami ajaran Islam, Syaikh Siti Jenar mengajarkan agar rukun Islam untuk dilaksanakan setiap saat. Karena itu setiap rukun dalam Islam kemudian bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya tentang shalat, puasa maupun haji.
“Puasa selain yang disyariatkan juga mengandung makna untuk menahan diri. Misalnya ada kesempatan korupsi, tapi kita menahan diri untuk tidak korupsi. Itu dalam konteks keinian. Demikian juga dengan shalat yang mengajarkan sikap egaliter, kesucian, penghargaan yang sama terhadap orang dan lainnya,” katanya.
Dalam haji, katanya, Syaikh Siti Jenar juga memaknai ajaran agar umat Islam bekerja keras sebagaimana ditunjukkan oleh ibu Nabi Ismail yang berusaha keras mencari air untuk anaknya, meskipun secara logika dan kasat mata sudah tidak mungkin ada air.
“Jadi dalam konteks agama, kita tidak bicara dosa dan pahala, tapi ikhlas mengabdi kepada Allah. Urusan pahala adalah wewenang Allah,” kata dosen yang belasan kali memenangi lomba menulis buku dan karya ilmiah tingkat nasional ini.
Dijumput dari: http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/dunia-kampus/13/02/06/mhs7vo-unesa-luluskan-dua-doktor-sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar