Sastra Bersemi di Sekolah

Sartika Sari *
http://www.analisadaily.com/

Begini, musim panas dan gugur untuk sastra, rasanya bukan jadi fenomena yang luar biasa lagi. Ketika sastra nyaris dipandang sebelah mata dan berdiri di atas gundukan-gundukan waktu yang memproklamirkan sebuah budaya baru. Kalau demikian terus dan tak ada perubahan, tentunya kita sudah bisa meramalkan bagaimana kondisi sastra beberapa waktu ke depan. Atau sebenarnya, justru kita seperti patogen di tubuh sastra?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu agaknya menjadi wujud kegundahan yang pelan-pelan mulai ditumpahi kepasrahan pada keadaan. Termasuk ketika sastra diberi posisi yang ke sekian. Memang, setiap individu mempunyai kebebasan menentukan pilihannya. Hanya saja, untuk beberapa kalangan yang terlanjur menyatukan diri dengan ranah sastra, sangat mengecewakan rasanya kalau tak turut memikirkan dan mengupayakan yang terbaik demi keberlangsungan hidup sastra. Ya, sebagai yang peduli sastra kegelisahan tersebut sangat baik untuk dimiliki. Mengingat, nafas sastra yang setiap harinya kian sesak saja.

Sastra. Sebagian besar beranggapan, muatannya hanya sebatas puisi dan membaca saja. Ditambah lagi keberadaannya yang dinilai tidak menempati posisi penting dalam posisi pemerintahan. Karena memang sastra bukan mesin uang yang siap mencetak beribu-ribu lembar rupiah. Bukan peneliti yang mampu menemukan alat-alat canggih dan bisa terjual mahal.

Mungkin kita sering terlupa, sastra sejak dahulu perkembangannya sudah berandil besar pada kehidupan bangsa. Sastra ibarat jembatan yang bisa menghubungkan jarak antarbudaya dan wilayah di dunia. Bukankah demikian penting?

Bicara tentang sastra memang mengharuskan kita bangkit sejenak dari kekakuan mengikuti paradigma sosial yang turun temurun mewarisi seperangkat peraturan baku. Dalam artian, membungkus kembali perangkat-perangkat yang kini lebih sering dijadikan simbolis itu menjadi sesuatu yang fleksibel sehingga akrab dengan masyarakatnya. Tentu saja ini demi keberkahan di akhirnya nanti.

Kembali pada kerisauan kita atas kelangsungan hidup sastra. Nyatanya kuantitas orang-orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai insan sastra belum sepenuhnya mau dan mampu menaruh cintanya pada sastra. Padahal kalau saja berkenan meluangkan waktu, banyak sekali cara yang bisa dilakukan agar sastra tak sampai terjangkit penyakit dan akhirnya seperti ini kondisinya. Misalnya saja dengan mulai menanamkan cinta sastra di kalangan siswa baik Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Hal ini menjadi penting untuk dilakukan sebagai salah satu upaya membekali siswa agar tak “hampa” sastranya. Lantaran kalau ditilik, salah satu yang menyebabkan gersangnya iklim sastra di lingkungan siswa, ialah keterasingan dari sastra itu sendiri. Bukan dulu bicara tentang pelahiran kader-kader sastra, tetapi yang terpenting adalah bagaimana sastra bisa hidup dan akrab dengan para siswa.

Mengenai kasus ini, dalam sebuah perbincangan Acep Zamzam Noor melangsirkan pendapatnya terkait latar belakang keterancaman keberadaan sastra di sekolah. Beliau menyatakan, sebenarnya faktor terbesarnya ialah kurikulum yang hanya menjadikan sastra sebagai bonus mata pelajaran Bahasa Indonesia saja. Selain itu, kualitas guru juga tidak memenuhi keterampilan bersastra. Amsal tersebutlah yang kemudian membawa para siswa ke ranah selain sastra dan nyaris tidak memahami bagaimana sastra sebenarnya. Tentu, kondisi demikian selanjutnya diwariskan secara turun temurun. Sudahlah, setidaknya berbagai polemik yang menjangkit sastra kita saat ini bisa jadi cambukan mesra untuk kemudian melakukan reboisasi.

Mengenai kasus ini, sebelumnya beberapa sastrawan Indonesia seperti Putu Wijaya, Agus R Sarjono, Joni Ardiadinata dan Jamal D Rahman melalui kegiatan “Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya” yang diadakan di beberapa wilayah di pulau Jawa terjun langsung menularkan semangat sastra ke kalangan siswa. Tujuannya untuk meningkatkan budaya gemar membaca dan menulis serta menyenangi pelajaran sastra di kalangan siswa. Lebih jauh, penularan virus sastra sejak dini pada anak-anak menjadi sangat penting agar kelak pada usia dewasa mereka memiliki pengetahuan sastra yang memadai.

Melalui pendidikan sastra juga diyakini dapat melatih kepekaan dan kehalusan perasaan seorang anak, sehingga dia akan tumbuh menjadi orang yang peduli dan peka terhadap permasalahan di tengah kehidupan bermasyarakat. Di samping itu dengan pengajaran sastra, siswa diharapkan memiliki wawasan yang cukup memadai tentang sastra, bersikap positif terhadap sastra serta mampu mengembangkan wawasan, kemampuan, dan sikap positifnya lebih lanjut. Dengan kata lain, melalui pengajaran sastra diharapkan akan tertanam daya apresiasi yang baik pada siswa yang pada gilirannya akan membawa dampak positif bagi apresiasi di kalangan masyarakat yang lebih luas (Suminto, 2005).

Sastra bersemi di sekolah. Rasanya bukan sesuatu yang musykil kita wujudkan selama kekuatan niat dan komitmen bersama masih tetap dipikul. Medan kita tercatat sebagai tanah kelahiran para seniman, sastrawan dan budayawan tersohor seantero negeri. Sekarang, regenerasinya juga masih menempati posisi yang tak jauh beda. Kemungkinan-kemungkinan untuk perwujudan musim semi sastra di kota kita tinggal menunggu gerakan saja. Tentunya dimulai dari memusim semikan sastra di sekolah pada kalangan anak-anak kecil hingga remaja. Dengan demikian, setidaknya opini tentang “ketidakpentingan” sastra di masyarakat dapat dinetralisir hingga pada suatu saat yang istimewa nanti, sastra benar-benar bugar dan seterusnya terbebas dari kesesakan akibat himpitan badan selainnya.

*) Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, penikmat sastra /01 Jul 2012