Cerita Sederhana dari NTB

Judul : 8 Cerita Pendek
Penulis : Putu Sugih Arta
Penerbit : Sastragrha, NTB. 2004
Tebal : I + 41 halaman
Peresensi : Sindu Putra
http://www.balipost.co.id/
TIDAK hadirnya sastrawan Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam pertemuan sastrawan Mitra Praja Utama (MPU) di Propinsi Banten beberapa waktu yang lalu dapat dijadikan catatan keprihatinan. Maraknya kegiatan sastra di tanah air, tidak saja dalam bentuk apresiasi dan pertemuan semacam yang dilakukan di Banten tempo hari, namun juga semarak dan ramainya penerbitan karya-karya sastra berupa cerpen, puisi, novel, bahkan drama. Absennya para sastrawan NTB untuk berpartisiapsi dalam silaturahmi semacam itu dapat mengundang pertanyaan, bagaimana kegiatan dan proses kreatif para penulis di NTB.

Dekade terakhir ini, tampaknya penyair dan cerpenis NTB tidak cukup “vokal” untuk mengkomunikasikan dan mempublikasikan karya-karyanya dalam media berskala nasional. Kalaupun ada yang satu dua muncul di pentas nasional, tidak cukup kuat buat menjadi jalinan komunikasi pembuka akses untuk menempatkan NTB dalam kancah kehidupan sastra sekarang ini.

Hubungan daerah-daerah dengan Jakarta sebagai tempat publikasi, lantaran banyak media, jurnal dan majalah yang terbit di Jakarta dengan jaringan pemasaran dan distribusi yang mencakup seluruh tanah air, tidak lagi searogan dulu, sepuluh atau duapuluh tahun ke belakang. Dalam dekade terakhir ini, sekat antara penulis daerah dengan penulis pusat sudah mencair, apalagi kemajuan teknologi dan komunikasi kini, antara daerah dan Jakarta sebagai ibukota sudah tidak ada perbedaan berarti. Yang bicara di dalam komunikasi dan interaksi antara penulis dengan pembacanya, dengan peminat dan penikmat karya sastra adalah semata-mata “mutu” atau “kualitas”. Sebuah pemaknaan yang juga masih mengundang perdebatan dan pendefinisiannya.

Publikasi lewat penerbitan berupa buku merupakan salah satu upaya untuk menjalin komunikasi. Faktanya, penerbitan buku-buku karya penulis NTB tidak segempita penulis di Jawa atau di Bali. Maka, di tengah kesedikitan karya yang beredar, terbitnya cerita-cerita pendek karya Putu Sugih Arta ini dapat dijadikan momentum untuk menjawab mengapa karya penulis NTB kurang terpublikasikan untuk konsumsi pembaca yang lebih luas.

Pentingnya publikasi dan komunikasi bagi peta sastra Indonesia, bahwa karya yang terbit di daerah pun adalah kekayaan sastra Indonesia, tidak hanya karya yang terbit di Jakarta. Untuk membuka mata dan perhatian itu, masing-amsing daerah semestinya punya penerbitan sendiri, baik majalah jurnal atau dalam bentuk buku, tidak mengandalkan semata yang dari luar. Media massa yang terbit di daerah juga diminta berperan dan berpartisiapsi, dengan menyediakan halamannya, sedikitnya pada terbitan hari Minggu untuk publikasi karya sastra.

Ada delapan cerpen dalam kumpulan yang terbilang sederhana ini. Tampilan buku memang belum menyamai terbitan buku penerbit dari Jawa. Perwajahan dan cover buku tampil dengan sederhana, namun jika diperhatikan dengan lebih seksama menyiratkan sebuah pandangan imajinatif dan filosofis. Cerpen-cerpen Sugih Arta yang terhimpun ini memaparkan cerita dengan kisah dan tema yang sederhana. Pemaparannya cenderung linier, tidak menjelimet yang menyeret pembacanya dalam labirin imajinasi. Semua cerita mengalir dengan lancar. Dari pembukaan, isi, sampai dengan klimaks dan kemudian ditutup dengan kuncian yang juga tidak menyentak.

Baca misalnya, cerpen “Nelayan Tua” yang jadi pembuka kumpulan ini. Dilukiskan dialog sang tokoh, Aku, dengan seorang nelayan tua. Sang Aku tengah bernostalgia di pantai yang menyimpan kisah cintanya yang tragis. Kekasihnya meninggal di laut, tenggelam, sementara ia selamat berkat pertolongan nelayan tua. Dalam dialog disinggung banyak persoalan, baik keadaan pantai akibat pembangunan, juga nasib nelayan dan keluarganya. Di akhir cerita, happy ending, sang Aku mengajak cucu nelayan tua yang sarjana perikanan untuk bekerja dalam perusahaan yang dipimpinnya. Kisah cinta nostalgia juga ditulis Sugih Arta dalam cerpen yang lain seperti “Patung Buaya”. Dalam “Perhitungan Terakhir” diceritakan seputar masa penjajahan. Lain dengan “Hari Ke Tujuh Belas” yang berkisah tentang cinta yang dinodai perselingkuhan. Sementara tiga cerpen yang lain bercerita tentang suatu yang absurd, cerita tentang benda yang diyakini memiliki kekuatan gaib atau menyembuhkan. Dalam “Topeng Teleq”, kisahnya dibumbui dengan cerita ketamakan seseorang dengan harta benda. Tergiur uang, sang tokoh yang dipercaya menjadi pemimpin dalam suatu komunitas, rela menjual benda yang dikeramatkan oleh warganya.

Sementara cerpen “Lentera Wayang” dan “Burung” menuturkan tentang penyembuhan yang didapat dari hal yang tidak terpikirkan oleh ilmu kedokteran modern. Kisah yang mungkin saja terjadi, dan hanya dapat dipercayai oleh yang mengalami. Dan cerpen terakhir “Leak” memaparkan prasangka yang keliru, karena terbatasnya pengetahuan dan informasi, yang akhirnya memakan korban yang tidak bersalah.

Cerpen-cerpen Sugih Arta memang tidak menawarkan lompatan literer ataupun kejutan tematik dari cerpen-cerpen yang telah ditulis oleh cerpenis sebelumnya. Gaya bercerita yang juga sederhana, kalaupun ada flash back atau lekukan-lekukan cerita, masih dalam struktur dan alur yang tersusun dengan cukup rapi. Namun yang menjadi catatan adalah kehadiran buku ini dapat menjadi inspirasi bagi penulis NTB lainnya untuk mengumpulkan karyanya. Paling tidak untuk jadi juru bicara NTB di kancah pentas dan pergaulan nasional. Hadirnya buku ini dapat jadi pintu penbuka bagi komunikasi, publikasi dan informasi yang lebih luas perihal sastra NTB.
*