Berkarya Itu Ibadah, Ibadah Itu Memberi, dan Memberi Itu Cinta

Elita Sitorini
http://www.kompasiana.com/lietas209

Sosok Ayu Sutarto tidak hanya dikenal sebagai seorang budayawan dan dosen Fakultas Sastra Universitas Jember. Namun, dia juga memiliki sebuah sanggar bermain dan belajar untuk anak-anak berbagai usia. Bahkan, diusia yang menginjak enam dasawarsa, dia masih terus berkarya. Sebab, baginya berkarya itu ibadah, ibadah itu memberi, dan memberi itu cinta.
Dilahirkan di Pacitan, sebuah kota yang tandus dengan sebagian besar wilayah berupa gunung kapur, yang termasuk rangkaian Pegunungan Kidul, Ayu Sutarto merupakan sulung dari delapan bersaudara. Menjalani masa kanak-kanak yang penuh kenangan di sebuah kota yang terletak di ujung barat daya Provinsi Jawa Timur.

Bermain dan belajar menjadi rutinitas Ayu Sutarto. Pada malam hari, ketika rembulan tampak sempurna, dan musik mengalun lembut mengiringi pertunjukkan wayang, dia melompat dari jendela kamarnya. Larangan sang ayah, Wijoto Bin Haji Umar Sidik untuk tidak keluyuran, tak dihiraukannya. Langgam jawa yang mengalun merdu dari bibir merah menggoda para sinden, seolah menjadi magnet berkekuatan besar yang menariknya.

Kekuatannya cukup besar untuk menggerakkan kedua kakinya, bangkit dari ranjang. Membiarkan tubuhnya disapu angin malam yang kadang bertiup kadang tidak. Hanya satu tujuan, menyaksikan episode-episode dari kisah Mahabarata yang terkenal. Menyaksikan tokoh pujaan hatinya putra pertama Sang Pandu Dewanata, yang menjadi kakak tertua pandawa, Yudhistira.

Symbol seorang manusia yang sabar, jujur dan adil itu menarik perhatian pria kelahiran 21 September 1949 itu. Tokoh-tokoh yang selalu memperjuangkan kebenaran, apapun risikonya memang selalu menarik bagi dia. Selain menginspirasi, tokoh-tokoh pejuang kebenaran membuatnya merasa yakin, bahwa sekalipun pahit, kebenaran tetap harus diperjuangkan. Itu sebabnya, dia menyukai bintang film Alpachino.

“Waktu itu di Indonesia belum ada tokoh yang seheroik Alpachino. Jadi saya suka dia,” katanya. Bahkan, keheroikan seorang Alphachino dalam pentas perfilman membuatnya bercita-cita menjadi seorang bintang film. Alasan yang membuat dia mengikuti teater di Fakultas Sastra dan teater UGM Yogyakarta. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Purwoasri, SMP Negeri 1 dan SMA Negeri 1 Pacitan.

Dari berbagai pentas teater dan kesibukan sebagai seorang mahasiswa sastra inggris, minatnya dalam bidang budaya tak pernah padam. Dia masih menyukai wayang, bahkan terus terasah. Selain karena tinggal di sebuah kota yang menjadi pusat kebudayaan di pulau Jawa, kesukaannya membaca majalah seperti Panjebar Semangat dan Jayabaya serta buku-buku lain, semakin memperluas cakrawala pengetahuannya dalam bidang seni dan budaya.

Tak hanya sekadar teori, Ayu juga mempraktikkannya melalui peran-peran yang dimainkannya dalam setiap lakon teater. Sebuah perjalanan yang kelak menuntunnya mendapatkan gelar guru besar, hingga diundang dalam berbagai seminar dan lokakarya tentang budaya baik nasional maupun internasional.

Tahun 1975, seorang dosen di Jember Lazarus memintanya sebagai asisten dosen. Ketika itu dia baru saja menyelesaikan pendidikan sarjana mudanya di Sastra Inggris, Fakultas Sastra UGM. Penampilan Ayu dengan rambut gondrong ala seniman, sempat membuat shock kolega-koleganya. “Karena saya ingin menjadi PNS, jadi saya potong rambut gondrong saya,” katanya.

Menjalani profesi sebagai dosen, tidak membuat dirinya terjebak dalam rutinitas mengajar dan sharing pengetahuan dengan mahasiswanya. Dia menyibukkan diri dengan membuat karya tulis. Sudah banyak buku yang ditulisnya. Yang terbaru, dia menulis Perjalanan Hati Seorang Lelaki. Sebuah novel yang menceritakan perjalanan seorang lelaki mencari cinta sejati.

Ayu memang tidak mengkhususkan diri dalam karya tulis berbahasa asing. Hanya karena dia lulusan dan guru besar dari bidang sastra inggris. Namun, dia mengembara dalam berbagai ranah. Tulisannya tidak hanya melulu tentang kesusasteraan. Kadang menusuk para politisi yang narsis memamerkan diri, menyoroti partai yang sedang kisruh, atau menyoroti berbagai permasalahan rakyat kecil lainnya.

“Saya pikir tidak perlu ada pembatasan karya. Saya tidak peduli dengan omongan orang bahwa saya harus begini dan begitu. Saya hanya berkarya dan memberi manfaat bagi orang lain. Itu saja,” katanya.

Dalam benak bapak empat anak ini, karya menempati urutan pertama dalam prioritas karirnya. Selain sibuk menghadiri berbagai undangan seminar dan lokakarya, mengajar dan memberi bimbingan bagi mahasiswa, dia selalu meluangkan waktu untuk menulis, atau mengurus sanggar bermain yang tak jauh dari rumahnya.

Usia yang terus merambat bukan halangan. “Ada kawan saya yang bilang, Pak Ayu, jangan terlena oleh usia. Meski sudah tua, kita harus terus berkarya bahkan harus lebih produktif,” katanya. Dan dia terus menuliskan karya-karyanya dari sebuah perpustakaan kecil yang penuh dengan buku, majalah, dan suratkabar di pinggir Kali Bedadung.

Dijumput dari: http://sosok.kompasiana.com/2011/10/26/berkarya-itu-ibadah-ibadah-itu-memberi-dan-memberi-itu-cinta/