Djasepudin
Kompas Jawa Barat, 18 Okt 2008
Kritik bukan hal yang mesti ada. Jika karya sastra merupakan ekspresi pengarangnya secara spontan, merdeka, dan tiada yang menghalang-halangi, kritik pun begitu. Suatu reaksi yang wajar, yang kelahirannya tidak bisa dipaksakan. Meski ada yang tertarik dengan kritik, jika tiada yang mau menulis kritik, siapa yang bisa memaksa?
Sebaliknya, meski lantang menyebut tidak perlu, tetapi masih ada yang mau menulis, masih ada redaksi majalah atau surat kabar yang mau memuat, dan masih ada penerbit yang mau menerbitkan, siapa yang bisa menghadang?
Pernyataan tersebut merupakan reaksi Duduh Durahman (26 Mei 1939-1 Oktober 2008) ikhwal hak hidup kritik sastra Sunda. Untuk lebih jelas dapat dibaca dalam buku Sastra Sunda Sausap Saulas (Geger Sunten, 1991).
Dalam kehidupan sastra Sunda, juga sastra Indonesia, dunia kritik memang masih sepi peminat. Malah, keberadaannya kurang mendapatkan tempat. Kritik sastra Sunda bukanlah obyek yang menarik untuk diakrabi.
Di antara kritikus sastra Sunda yang cukup baik dan disegani adalah Duduh Durahman (Abah Duduh). Abah Duduh pun dikenal sebagai kritikus film andal, malah sempat jadi juri Festival Film Indonesia 1981 di Surabaya.
Dalam keterangannya di majalah Mangle tahun 2007, Abah bercerita, waktu itu ia adalah satu-satunya juri dari daerah. Juri lainnya dari Jakarta. Yang mengusulkan ia menjadi salah satu juri adalah Asrul Sani.
Banyak alasan yang mengakibatkan dunia sastra Sunda sepi dari kritik. Satu di antaranya adalah penghargaan kepada para kritikus. Kritikus kerap dipandang sebelah mata, malah dianggap tidak ada jasanya.
Kata Abah Duduh, nasib penulis kritik ibarat penabuh goong. Seperti pekerjaan ti-ada guna, tetapi sekalinya ia teledor, tidak sesuai dengan irama, dalang sering mencak-mencak dan penari mendelik bersikap sinis. Namun, jika fungsinya sesuai dengan irama yang dibutuhkan, penari kerap lupa dengan jasa penabuh goong.
Konsisten
Meski tradisi kritik sastra Sunda kurang mendapatkan tempat, Abah Duduh secara konsisten menulis kritik sastra Sunda. Ia memberikan pengarahan dan motivasi kepada para pengarang. Puluhan tahun ia menggauli karya pengarang Sunda. Baik pangarang moyan maupun pangarang olol leho, semua dihadapi dengan keluasan pengetahuan dan jembar budaya.
Padahal, jika Abah Duduh mau lebih komersial, ia bisa berkonsentrasi penuh menggauli seputar dunia perfilman. Sebuah dunia yang dari segi ekonomi lebih menjanjikan ketimbang mengurus sastra Sunda yang lebih mengandalkan lillahitaala. Abah Duduh pernah membintangi tokoh lurah dalam beberapa seri film Si Kabayan. Ia pun dikenal sebagai penulis tentang film yang andal dan disegani semua pihak.
Patut diingat, khusus Abah Duduh, yang puluhan tahun menjadi redaktur sastra di majalah Mangle, saya pikir kritik sastra Sunda tidak melulu harus dituangkan dalam artikel atau bahasan. Sebab, untuk pengarang yang mau belajar, dimuat atau tidaknya karangan yang dikirimkan pun sejatinya adalah sebuah kritik yang harus dirasakan dan dipikirkan. Apakah karya tersebut memang bagus, jajar pasar alias standar, atau hanya pantas muat?
Sebab, bagi Abah Duduh, pemuatan naskah karangan bukan melulu perkara karya yang baik. Di sana bersemayam misi regenerasi, edukasi, dan promosi kepengarangan.
Karena itu, karya sastra di majalah Mangle dalam beberapa edisi kerap jajar pasar. Hal itu tidak disebabkan lemahnya standar yang diusung sang redaktur, tetapi lebih dikarenakan karya yang diterima majalah Mangle memang seperti itu.
Buah kecintaannya berkarib dengan sastra Sunda salah satunya terus melahirkan pengarang Sunda potensial dan andal. Nama-nama pengarang kebanggaan sastra Sunda, yaitu Cecep Burdansyah, Hadi AKS, Budi Rahayu Tamsyah, Dian Hendrayana, Dadan Sutisna, dan sejumlah pengarang Sunda lainnya, sedikit banyak lahir dan nanjung berkat sentuhan Abah Duduh.
Kejelian Abah Duduh dalam menyeleksi karangan yang dimuat di majalah Mangle hampir 99 persen diakui masarakat sastra Sunda. Karya-karya yang ditolak di majalah lain atau gagal dalam sebuah perlombaan penulisan karya sastra, ketika dikirim dan dimuat di majalah Mangle, disukai pembaca dan kerap pula memperoleh penghargaan dari pelbagai lembaga.
Kembang-kembang Petingan, novel karya Holisoh ME, misalnya, sebelumnya diikutkan dalam lomba Pasanggiri Novel Paguyuban Pasundan. Ketika tidak terpilih oleh dewan juri, karya tersebut lantas dikirimkan ke majalah Mangle. Oleh redaktur Mangle, termasuk Abah Duduh, novel ini dimuat secara bersambung. Apresiasi pembaca atas cerita bersambung itu cukup ramai, baik yang memuji maupun yang mencaci. Malah, Lembaga Basa jeung Sastra Sunda menghargai karya tersebut sebagai karya terbaik untuk kategori prosa. Setelah dipindahkan dalam bangunan buku, novel Kembang-kembang Petingan meraih hadiah sastra Rancag? 2003 untuk kategori karya.
“Malapah gedang”
Salah satu yang membedakan Abah Duduh dengan kritikus Sunda lain adalah strategi yang dijalankannya. Dalam tulisan atau perkataannya, Abah Duduh menerapkan malapah gedang. Dalam menyampaikan pesan, ia tidak langsung pada tujuan. Kesantunan adalah senjatanya. Kumpulan karya Abah Duduh tentang bahasan sastra Sunda terangkum dalam buku Petingan (1983), Catetan Prosa Sunda (1984), dan Sastra Sunda Sausap Saulas (1991). Adapun karya fiksi yang telah dibukukan adalah Ajalna Sang Bentang Film (2004).
Dalam keseharian, pribadi Abah Duduh adalah pribadi hangat dan enak dijadikan sahabat. Malah, orang yang baru dikenalnya pun diajak miconggah. Keakraban kerap ia bangun dengan siapa pun. Mihormat nu sepuh jeung ngajenan nu anom.
Sangat beralasan jika masyarakat sastra Sunda begitu kehilangan ketika mendapatkan kabar bahwa Abad Duduh ninggalkeun alam dunya pikeun salawasna. Namun, tidak baik terlampau bersedih meratapi nasib. Akan lebih mulia mempelajari karya-karya serta mengikuti semangat dan kekreatifannya. Wilujeng angkat, Bah.
DJASEPUDIN Penikmat Sastra Sunda, Tinggal di Bogor dan Jatinangor
Kompas Jawa Barat, 18 Okt 2008
Kritik bukan hal yang mesti ada. Jika karya sastra merupakan ekspresi pengarangnya secara spontan, merdeka, dan tiada yang menghalang-halangi, kritik pun begitu. Suatu reaksi yang wajar, yang kelahirannya tidak bisa dipaksakan. Meski ada yang tertarik dengan kritik, jika tiada yang mau menulis kritik, siapa yang bisa memaksa?
Sebaliknya, meski lantang menyebut tidak perlu, tetapi masih ada yang mau menulis, masih ada redaksi majalah atau surat kabar yang mau memuat, dan masih ada penerbit yang mau menerbitkan, siapa yang bisa menghadang?
Pernyataan tersebut merupakan reaksi Duduh Durahman (26 Mei 1939-1 Oktober 2008) ikhwal hak hidup kritik sastra Sunda. Untuk lebih jelas dapat dibaca dalam buku Sastra Sunda Sausap Saulas (Geger Sunten, 1991).
Dalam kehidupan sastra Sunda, juga sastra Indonesia, dunia kritik memang masih sepi peminat. Malah, keberadaannya kurang mendapatkan tempat. Kritik sastra Sunda bukanlah obyek yang menarik untuk diakrabi.
Di antara kritikus sastra Sunda yang cukup baik dan disegani adalah Duduh Durahman (Abah Duduh). Abah Duduh pun dikenal sebagai kritikus film andal, malah sempat jadi juri Festival Film Indonesia 1981 di Surabaya.
Dalam keterangannya di majalah Mangle tahun 2007, Abah bercerita, waktu itu ia adalah satu-satunya juri dari daerah. Juri lainnya dari Jakarta. Yang mengusulkan ia menjadi salah satu juri adalah Asrul Sani.
Banyak alasan yang mengakibatkan dunia sastra Sunda sepi dari kritik. Satu di antaranya adalah penghargaan kepada para kritikus. Kritikus kerap dipandang sebelah mata, malah dianggap tidak ada jasanya.
Kata Abah Duduh, nasib penulis kritik ibarat penabuh goong. Seperti pekerjaan ti-ada guna, tetapi sekalinya ia teledor, tidak sesuai dengan irama, dalang sering mencak-mencak dan penari mendelik bersikap sinis. Namun, jika fungsinya sesuai dengan irama yang dibutuhkan, penari kerap lupa dengan jasa penabuh goong.
Konsisten
Meski tradisi kritik sastra Sunda kurang mendapatkan tempat, Abah Duduh secara konsisten menulis kritik sastra Sunda. Ia memberikan pengarahan dan motivasi kepada para pengarang. Puluhan tahun ia menggauli karya pengarang Sunda. Baik pangarang moyan maupun pangarang olol leho, semua dihadapi dengan keluasan pengetahuan dan jembar budaya.
Padahal, jika Abah Duduh mau lebih komersial, ia bisa berkonsentrasi penuh menggauli seputar dunia perfilman. Sebuah dunia yang dari segi ekonomi lebih menjanjikan ketimbang mengurus sastra Sunda yang lebih mengandalkan lillahitaala. Abah Duduh pernah membintangi tokoh lurah dalam beberapa seri film Si Kabayan. Ia pun dikenal sebagai penulis tentang film yang andal dan disegani semua pihak.
Patut diingat, khusus Abah Duduh, yang puluhan tahun menjadi redaktur sastra di majalah Mangle, saya pikir kritik sastra Sunda tidak melulu harus dituangkan dalam artikel atau bahasan. Sebab, untuk pengarang yang mau belajar, dimuat atau tidaknya karangan yang dikirimkan pun sejatinya adalah sebuah kritik yang harus dirasakan dan dipikirkan. Apakah karya tersebut memang bagus, jajar pasar alias standar, atau hanya pantas muat?
Sebab, bagi Abah Duduh, pemuatan naskah karangan bukan melulu perkara karya yang baik. Di sana bersemayam misi regenerasi, edukasi, dan promosi kepengarangan.
Karena itu, karya sastra di majalah Mangle dalam beberapa edisi kerap jajar pasar. Hal itu tidak disebabkan lemahnya standar yang diusung sang redaktur, tetapi lebih dikarenakan karya yang diterima majalah Mangle memang seperti itu.
Buah kecintaannya berkarib dengan sastra Sunda salah satunya terus melahirkan pengarang Sunda potensial dan andal. Nama-nama pengarang kebanggaan sastra Sunda, yaitu Cecep Burdansyah, Hadi AKS, Budi Rahayu Tamsyah, Dian Hendrayana, Dadan Sutisna, dan sejumlah pengarang Sunda lainnya, sedikit banyak lahir dan nanjung berkat sentuhan Abah Duduh.
Kejelian Abah Duduh dalam menyeleksi karangan yang dimuat di majalah Mangle hampir 99 persen diakui masarakat sastra Sunda. Karya-karya yang ditolak di majalah lain atau gagal dalam sebuah perlombaan penulisan karya sastra, ketika dikirim dan dimuat di majalah Mangle, disukai pembaca dan kerap pula memperoleh penghargaan dari pelbagai lembaga.
Kembang-kembang Petingan, novel karya Holisoh ME, misalnya, sebelumnya diikutkan dalam lomba Pasanggiri Novel Paguyuban Pasundan. Ketika tidak terpilih oleh dewan juri, karya tersebut lantas dikirimkan ke majalah Mangle. Oleh redaktur Mangle, termasuk Abah Duduh, novel ini dimuat secara bersambung. Apresiasi pembaca atas cerita bersambung itu cukup ramai, baik yang memuji maupun yang mencaci. Malah, Lembaga Basa jeung Sastra Sunda menghargai karya tersebut sebagai karya terbaik untuk kategori prosa. Setelah dipindahkan dalam bangunan buku, novel Kembang-kembang Petingan meraih hadiah sastra Rancag? 2003 untuk kategori karya.
“Malapah gedang”
Salah satu yang membedakan Abah Duduh dengan kritikus Sunda lain adalah strategi yang dijalankannya. Dalam tulisan atau perkataannya, Abah Duduh menerapkan malapah gedang. Dalam menyampaikan pesan, ia tidak langsung pada tujuan. Kesantunan adalah senjatanya. Kumpulan karya Abah Duduh tentang bahasan sastra Sunda terangkum dalam buku Petingan (1983), Catetan Prosa Sunda (1984), dan Sastra Sunda Sausap Saulas (1991). Adapun karya fiksi yang telah dibukukan adalah Ajalna Sang Bentang Film (2004).
Dalam keseharian, pribadi Abah Duduh adalah pribadi hangat dan enak dijadikan sahabat. Malah, orang yang baru dikenalnya pun diajak miconggah. Keakraban kerap ia bangun dengan siapa pun. Mihormat nu sepuh jeung ngajenan nu anom.
Sangat beralasan jika masyarakat sastra Sunda begitu kehilangan ketika mendapatkan kabar bahwa Abad Duduh ninggalkeun alam dunya pikeun salawasna. Namun, tidak baik terlampau bersedih meratapi nasib. Akan lebih mulia mempelajari karya-karya serta mengikuti semangat dan kekreatifannya. Wilujeng angkat, Bah.
DJASEPUDIN Penikmat Sastra Sunda, Tinggal di Bogor dan Jatinangor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar