Minggu, 03 Juli 2011

Membaca Thendra Berkaca pada Chairil

Dwi Pranoto
http://sastra-indonesia.com/

Kutipan dua baris pernyataan Chairil Anwar, Aku suka pada mereka yang berani hidup / Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam yang termuat di lembar halaman setelah halaman penerbit – ini berarti sebelum kita berhadapan langsung dengan puisi-puisi dalam kumpulan puisi Manusia Utama (MU) – seolah memberi tahu puisi-puisi seperti apa yang bakal kita baca setelahnya. Benarlah, walaupun tak sepenuhnya, setidaknya pilihan diksi, irama, dan suasana sejumlah puisi dalam MU mengingatkan kita pada beberapa puisi si binatang jalang itu. Sebagaimana puisi-puisi Chairil yang disusun dari pilihan kata-kata yang lugas dan tandas dengan larik-larik pendek yang tajam, puisi-puisi seperti Solilokui, Bangkinang, Bila Kita Jadi Tua Bersama , Merak – Bakauheni yang terhimpun dalam MUjuga demikian.
Y. Thendra BP juga sering menggunakan istilah sehari-hari, kadang percakapan biasa, yang selanjutnya berubah menjadi alam imaji. Namun, jika Chairil menggabungkan percakapan sehari-hari dengan metafora, Thendra lebih banyak menggabungkan percakapan sehari-hari dengan sinekdoke. Daripada “menyembunyikan” makna lain dalam kalimat metafora, Thendra lebih memilih menyusun kalimat dari kata-kata yang punya bobot pembangun suasana guna membuat keseluruhan dari sebagian. Puisi Kepada N dimulai dengan tujuh baris yang menggunakan kata-kata dalam percakapan biasa namun mampu mengungkapkan suasana kerinduan dengan menggabungkannya bersama pilihan kata-kata yang menyusun kalimat sinekdoke; jam berdentang dan malam jadi bayang menggambarkan waktu berjalan muram disusul dengan matanya yang bulat, bibirnya yang manis – melukiskan seseorang (wanita) dengan menyebutkan sebagian anggota tubuhnya – dengan diantarai oleh sebuah pertanyaan yang menegaskan kerinduan akankah ia kembali datang seperti memperkenalkan kepada siapa ia merindu. Yaitu kepada seseorang yang bisa memberikan penerangan dan ketenangan; sebagaimana mata bulat yang benderang itu menyibak keremangan kabut dan bibir manis yang lembut meredam gemuruh suara pesawat dan kehadiran orang yang memiliki mata dan bibir demikian itu juga diharapkan bisa mencerahkan waktu yang berjalan muram “saat ini”. Jadi fungsi larik kalimat akankah ia kembali datang? itu bukan hanya menegaskan kerinduan, tapi sekaligus menghubungkan waktu kini dan waktu lalu yang tersimpan dalam ingatan. Pada bait kedua waktu yang berjalan muram itu kembali dinyatakan dengan mengulang baris pertama dan kedua pada bait pertama. Sementara fungsi akankah ia kembali datang? digantikan oleh bagaimana aku melupakan. Perasaan rindu semakin pekat mengental di bait kedua ini dengan ditandai oleh permainan pengulangan yang membuat waktu seolah membeku. Untuk bait terakhir yakni bait ketiga yang terdiri dari dua baris merupakan kesimpulan yang mengingatkan kita pada sejumlah puisi Chairil seperti Sia-sia dan Kawanku dan Aku yang diakhiri dengan kesimpulan yang tandas.

Berbeda dengan Chairil Anwar yang menolak diikat cinta, lebih memilih dengan sadar menjauhinya dan menjadi individu merdeka yang bebas menghisap habis nafsu badani meski harus diganjar perih, seperti diungkapkan dalam salah satu puisinya, Sia-sia. Thendra sebaliknya, ia ditinggalkan cinta. Sejumlah sajak bertema cinta dalam MU, seperti Lunto Kloof, Kepada N, Di Jembatan Siti Nurbaya, Lempuyangan, mengungkapkan nganga luka yang membuat sepi karena cinta yang menjauh-menjauh. Bahkan dalam puisi Di Jembatan Siti Nurbaya dan Tanpa Judul menjadi cinta yang platonis. Cinta menjadi nampak lebih agung ketika belaka dibayangkan seperti dituliskan dalam dua baris di bait terakhir dalam Di Jembatan Siti Nurbaya; tak dilahir bersatu /di batin bertaut jua; atau empat baris terakhir dalam Tanpa Judul; dan cukup bahagia/meski hanya bisa/mengakrabi alis matamu/dari jauh. Namun begitu ia juga mendendangkan cinta sederhana dalam Bila Kita Jadi Tua Bersama yang bisa dibandingkan cinta sederhananya Chairil dalam Di Taman. Tapi pada Thendra cinta sederhana itu tumbuh setelah nafsu badani padam.

Masa lalu yang gemilang dan kampung halaman yang menenangkan barangkali menjadi impian para penyair Indonesia yang tak pernah hapus sejak tahun 1920-an ketika kemoderenan masih menjadi pengalaman yang begitu belia. Demikian juga dengan Thendra, modernisme hari ini telah melemparkannya pada kebimbangan panjang untuk menemukan diri sendiri ditengah puing-puing identitas tradisional yang pecah di kota-kota besar Indonesia. Pulang menjadi suatu gagasan yang rawan ketika kampung halaman pun kini telah menghilang. Dalam puisi Bangkinang misalnya, kampung halaman tak lagi dikenali dengan penuh karena ia hanya memandangnya dari dalam bis yang laju. Kampung halaman memang menegurnya, tapi ia telah kehilangan sebagian dirinya di kampung halaman itu dan tak ada waktu lagi untuk mencari; tapi tak tahu aku/di bawah pohon apa ibu/menanam ari-ariku/dan bis terus laju. Pilihan kata “menegur” daripada “memanggil” di sini menjadi penting untuk menandai penyifatan sapaan kampung halaman. Sementara dalam Solilokui kepulangan menjadi sesuatu yang asing karena perubahan; lampu-lampu hotel/lampu-lampu reklame/ bikin asing pada kepulangan – . Bahkan dalam Ngai Oi Ngi dan Manusia Pergi pulang menjadi sesuatu yang mustahil. Dalam Disebabkan Humor kebiasaan lama menghormati leluhur pada akhirnya harus menyesuaikan diri dengan perubahan modernitas yang dilambangkan dengan mall jika ingin masih terus dilakukan. Tentu Disebabkan Humor merupakan puisi sindiran yang pahit, demikian juga dengan ironi sinis yang dimainkan dalam Sepatu dan Tuhan Impor Buat Kaki Dunia Ketiga yang diungkapkan dengan menyajikan kontras antara sepatu impor dan es cendol yang kemudian ditutup dengan buku pascakolonial yang seolah mengisyaratkan suatu kontradiksi yang tak tersembuhkan. Bagaimanapun, hal-hal di atas menggambarkan suatu pendirian yang berada di garis perbatasan yang mana sebelah kaki berada di masa lalu sementara sebelah lagi menjejak masa kini. Persis tak sama dengan Chairil yang meneriakkan kata putus dengan masa lalu dengan segala norma komunalnya dan memutuskan menjadi individu tanpa terikat dengan apapun. Tentu kita sama tahu kalau pendirian Chairil ini telah mendapat cibiran bertubi sebagai individu yang bertanah air Eropa, terutama oleh angkatan sesudah 40-an dengan Ajip Rosidi sebagai juru bicaranya.

Pada hari ini modernisme seolah menemukan dirinya yang “baru” setelah usainya perang dingin dan kapitalisme liberal muncul sebagai kekuatan dominan yang hampir tanpa tertahan lagi merangsek ke seluruh permukaan bumi (sebagian orang lebih menyebutnya sebagai masa pasca modern). Invasi agresif perusahaan-perusahaan multinasional untuk membuka pasar baru bukan hanya menyasar ruang-ruang fisik atau geografis. Lebih dari itu, mereka juga telah masuk jauh ke dalam “imajinasi” dan berupaya menduduki identitas komunal yang dipusakakan oleh masa lalu seperti simbol-simbol ikatan etnik dan sejenisnya. Hal yang membuat globalisme nampak sebagai pecahan-pecahan lokalitas yang bangkit kembali setelah masa tidur panjang dalam selubung uniformitas modernism lama. Namun, orientalisme baru ini menitikberatkan pembangkitan lokalitas pada diri individu daripada kerjasama komunal yang ditandai dengan tumbuh maraknya budaya life style. Artinya, munculnya simbol-simbol etnis bukan menandai suatu praktik budaya yang dilandasi oleh semangat etnisitas. Tapi lebih merupakan pilihan individu untuk menjalani hidup di bawah suatu panji-panji tertentu tanpa harus menerima konsekwensi-konsekwensi tertentu yang merupakan akibat dari pilihannya. Pengosongan biohistoriografi komunal nampaknya berupaya diisi oleh kaum “pemberontak” penentang keserakahan kapitalisme lanjut dengan politik. Maka kita kemudian bisa membaca puisi Manusia Utama sebagai ungkapan hilangnya kearifan lokal bersama pemiskinan material yang disebabkan oleh pengurasan sumber daya alam. Istilah-istilah lokal (saya duga dari Papua) yang banyak bertebaran di sekujur puisi Manusia Utama merupakan ungkapan simpati yang amat dalam pada apa yang terjadi disamping memberikan pengangkuan keberadaan identitas lokal.

Modernism atau pasca modernisme merupakan semacam mesin penghancur masa lalu. Mesin yang mengasingkan individu dari biohistoriografi komunalnya sendiri. Seperti yang terungkap dalam puisi Urban, bahwa hilangnya pohon dan udara yang sering diasosiasikan pada kehidupan tradisi etnis yang alami (damai) yang diganti oleh lambang-lambang modernitas yakni beton dan uang telah mencederai individu atau manusia yang dinyatakan sebagai membakar tangan atau merupakan unsur yang asing bagi tubuh hingga ditanggapi dengan menolak, terbakar.

Modernisme atau pasca modernisme atau masa kapitalisme lanjut bukan hanya telah merampas masa lalu, sekaligus juga menciptakan ketimpangan dalam relasi produksi yang mengakibatkan tak terpenuhinya kesejahteraan. Dalam puisi Manusia 10 Jam Sehari yang bertitimangsa 2011 tergambarkan bagaimana seorang buruh yang hidup dalam penghisapan majikan. Namun, yang agak ganjil adalah ketika kata “proletariat” yang dapat diasosiasikan pada perjuangan radikal (kiri) digabungkan dengan kata “bunga-bunga” yang dapat diasosiasikan pada suatu hal yang berhubungan dengan kelembutan, sebagaimana juga penggabungan “kupu-kupu” dengan “mata merah”. Apakah hal ini menyiratkan suatu jiwa pemberontakan yang tertahan ataukah jiwa pemberontakan yang coba dikendalikan radikalitasnya dengan membasuhkan suatu kelembutan padanya? Hal yang pasti adalah puisi-puisi yang dihimpun dalam Manusia Utama seperti hendak menerakan kebimbangan antara kehidupan individu yang bebas dengan kehidupan sosial yang menghendaki suatu perikatan, antara masa kini dan masa lalu, yang mana kontradiksi itu hidup berpenjelang masa depan yang tak pasti. Aku kira penyusunan 42 puisi dalam Manusia Utama yang tak mengindahkan pengelompokan tema dan urutan titi mangsa penulisannya mengisyaratkan hilangnya pembedaan ruang-ruang pribadi dan sosial. Melelehnya sekat-sekat ruang atau lebih tegas lagi hapusnya sekat-sekat ruang yang hendak menyepadani ruang-ruang maya yang diciptakan oleh pencapian tekhnologi media informasi. Tibanya suatu masa ketika reproduksi artistik makin mengandalkan tekhnik mimikri yang menggarap ulang karya-karya lama tanpa perasaan simpati yang rahasia pada karya-karya yang digarap ulang tersebut. Tak ada rangsang satiris pada puisi Retrospeksi Lagu Kanak-kanak yang menggarap ulang lagu Burung Kakak Tua, tak juga dalam Lagu Lama yang menggarap ulang pribahasa lama Bagai pungguk merindukan bulan, begitu juga dengan April, Haiku, Chairil. Semua penggarapan ulang ini hanya berlandas pada hasrat bermain-main. Setidaknya begitulah yang aku duga.

Chairil tak hadir sebagai simpati rahasia atau rangsang satiris dalam Manusia Utama, kecuali denyar-denyar stilistiknya yang itupun tak pekat benar.

***

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Alexander A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Dahana A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.C. Andre Tanama A.J. Susmana A.S. Laksana A’an Jindan AS Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Rauf Singkil Abdul Walid Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adek Alwi Adhi Pandoyo Adhitia Armitrianto Adhy Rical Adi Faridh Adian Husaini Adin Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrizas Adu Pesona Sang Wakil Presiden RI AF. Tuasikal Afri Meldam Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agit Yogi Subandi Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Rakasiwi Agus Sulton Agus Wibowo Agus Wirawan Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ah. Atok Illah Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Anshori Ahmad Damanik Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Hasan MS Ahmad Jauhari Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad S. Zahari Ahmad Syafii Maarif Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fiah Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Siddiq Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al-Fairish Al-Ma'ruf I Al-Ma'ruf II Alang Khoiruddin Albert Camus Ali Mahmudi Ch Alia Swastika Alvi Puspita Alvin Amien Wangsitalaja Aminah Aming Aminoedhin Ana Mustamin Anam Rahus Anas AG Andhi Setyo Wibowo Andi Gunawan Andry Deblenk Angela Anggie Melianna Anindita S. Thayf Anis Ceha Anitya Wahdini Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anugerah Ronggowarsito Anwar Nuris Aprillia Ika Arida Fadrus Aridus Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Ariel Heryanto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Arwan Aryo Wisanggeni Aryo Wisanggeni Gentong AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Ashadi Ik Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asro Kamal Rokan Astrid Reza Asvi Warman Adam Atafras Atok Witono Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azwar Nazir Baca Puisi Badrus Siroj Bahrul Ulum A. Malik Balada Bambang kempling Bambang Riyanto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berita Utama Bernando J. Sujibto Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Bre Redana Brunel University Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Jay Utomo Budi P. Hatees Budi Palopo Budi Setyarso Budi Sp. Indrajati Budiman S. Hartoyo Budiman Sudjatmiko Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Choirul Rikzqa Christian Heru Cahyo Saputro Cover Buku D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dadang Widjanarko Damiri Mahmud Dani Fuadhillah Daniel Paranamesa Darju Prasetya Dati Wahyuni Dawet Jabung Ponorogo Dedykalee Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Deshinta Arofah Dewi Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan Dewi Anggraeni Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Didik Kusbiantoro Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dorothea Rosa Herliany Dr Andi Irawan Dr Siti Muti’ah Setiawati Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Drs. Solihin Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddi Koben Edeng Syamsul Ma’arif Edy Apriyanto Sudiyono Edy Firmansyah Edy Susanto Efri Ritonga EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hartono Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elita Sitorini Elly Trisnawati Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Em. Syuhada' Emha Ainun Nadjib Encep Abdullah Eni Sulistiyawati Eny Rose Esai Ester Lince Napitupulu Etik Widya Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathan Mubarak Fathul Qodir Fathul Qorib Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Seni Surabaya 2011 Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fikri. MS Fiqih Arfani Firman Daeva Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Forum Santri Nasional (FSN) Free Hearty Galuh Tulus Utama Gandis Uka Ganug Nugroho Adi Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gendut Riyanto Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Pratama Glenn Fredly Goenawan Mohamad Golput Gombloh Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Hadi Napster Hafis Azhari Halim HD Halimi Zuhdy Hamid Dabashi Han Gagas Hardi Hamzah Hari Prasetyo Haris Del Hakim Haris Saputra Hary B Kori’un Hasan Basri Marwah Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Hendro Situmorang Henri Nurcahyo Henry H Loupias Hera Khaerani Heri CS Heri Kris Heri Latief Heri Listianto Herman RN Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Kuntoyo Heru Kurniawan Hikmat Darmawan Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humaidi Humam S Chudori I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I. B. Putera Manuaba IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ichwan Prasetyo Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Munadjat Imam Nawawi Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Herdiana Imron Arlado Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indigo Art Space Madiun Indra Tjahyadi Indrian Koto Ingki Rinaldi Iqmal Tahir Is Faridatul Arifah Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Isra’ Mi’raj Iswadi Pratama Iswara N Raditya Iva Titin Shovia Iwan Awaluddin Yusuf Iwan Gunadi J. Sumardianta Jamrin Abubakar Jansen Sinamo Janu Jolang Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jemie Simatupang Jenny Ang Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jl Simo Jo Batara Surya Jodhi Yudono Joko Budhiarto Joko Sadewo Joko Sandur Joko Widodo Jones Gultom Joni Ariadinata Joresan Mlarak Ponorogo Joseph E. Stiglitz Jual Buku Paket Hemat Junus Satrio Jurnalisme Sastra K. Hirzuddin Hasbullah K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.H. Masrikhan Asy'ari K.H. Mudzakir Ma'ruf Kadjie MM Kajian Kitab Nashoihul 'Ibad Kang Daniel Karanggeneng Kartika Foundation Kasanwikrama Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kekal Hamdani Kemah Budaya Panturan (KBP) Kesenian KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Anwar Khoirul Inayah Khoirul Naim Khoirul Rosyadi Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Koko Sudarsono Komaruddin Hidayat Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopuisi Korban Gempa di Lombok Kospela KPRI IKMAL Lamongan Kris Razianto Mada Kritik Sastra Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kusni Kasdut Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto Lagu Laili Rahmawati Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Latif Fianto Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Listiyono Santoso Liya Izzatul Iffah Liza Wahyuninto Lucky Aditya Ramadhan Ludruk Jawa Timur Lukisan Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lustantini Septiningsih Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Ismail M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Iqbal Dawami M. Irfan Hidayatullah M. Latief M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Mushthafa M. Riza Fahlevi M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Maghfur Munif Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahwi Air Tawar Majelis Ulama Indonesia Makalah Tinjauan Ilmiah Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mantan Pastur Hafidz Al-Qur'an Maqhia Nisima Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Marsel Robot Martin Aleida Martin Hatch Marwan Ja'far Marwita Oktaviana Marzuki Mustamar Mashuri Masjid Tegalsari di Pesantren Gerbang Tinatar Masuki M. Astro Matroni el-Moezany Matroni Muserang Max Arifin Maya Handhini Mbah Kalbakal Medco Media Jawa Timur Medri Osno Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Misbahul Huda Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh Samsul Arifin Moh. Ghufron Cholid Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ghannoe Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Rain Muhammad Taufik Muhammad Yasir Muhammad Zia Ulhaq Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukhsin Amar Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Mun'im Sirry Muntamah Cendani Museum Bikon Blewut Ledalero Musfarayani Musfi Efrizal Musyayana Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nabi Adam Nanang Fahrudin Nandang Darana Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Ni Luh Made Pertiwi F Nindya Herdianti Ninin Nurzalina Wati Nitis Sahpeni Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noorsam Noval Jubbek Novel Pekik Novianti Setuningsih Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Hamzah Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nuswantoro Nyimas Nyoman Tingkat Obrolan Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Opini Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Pameran Seni Rupa Panda MT Siallagan Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit SastraSewu Penerbitan dan Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Pengajian Pengetahuan Perang Peringatan Hari Pahlawan 10 November Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pesantren Kampung Inggris Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Petrik Matanasi Pilang Tejoasri Laren Lamongan Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pilkada Piramid Giza Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pradana Boy ZTF Pradaningrum Mijarto Pramoedya Ananta Toer Prih Prawesti Febriani Pringadi AS Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Hartanto Puji Santosa Puput Amiranti N Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Satria Kusuma Putu Setia Putu Wijaya R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.Ng. Ronggowarsito Rabdul Rohim Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sazaly Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Rengga AP Reni Lismawati Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Rieke Diah Pitaloka Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rizka Halida Rizky Putri Pratimi Robin Al Kautsar Rocky Gerung Rodli TL Rofiqi Hasan Rohmad Hadiwijoyo Rohmah Maulidia Rohman Abdullah Rojiful Mamduh Rosdiansyah Rosi Rosidi Roso Titi Sarkoro Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rumah Literasi Rx King Motor S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Saifur Rohman Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Sardono W Kusumo Sartika Sari Sarworo Sp Sastra Facebook Satmoko Budi Santoso Satrio Lintang Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Savidapius Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Sejarah Sekolah Literasi Gratis SelaSAstra Boenga Ketjil SelaSAstra Boenga Ketjil #23 SelaSAstra Boenga Ketjil #24 Seni Ambeng Ponorogo Senirupa Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Shofiyatuz Zahroh Shohebul Umam JR Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Silfia Hanani Sindu Putra Sita Planasari Aquadini Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Hadi Purnomo Soediro Satoto Soegiharto Soeprijadi Tomodihardjo Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Igustin Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Sriyanto Danoesiswoyo Stefanus P. Elu Stevani Elisabeth STKIP PGRI Ponorogo Student Center Kampus ISI Yogyakarta Subagio Sastrowardoyo Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Ariyadi Sukitman Sumenep Sumiati Anastasia Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungelebak Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Suyadi San Syafrizal Sahrun Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syamsul Rizal Syi'ir Syifa Amori Syifa Aulia T.A. Sakti Tajuddin Noor Ganie Tamrin Bey dan Robin Al Kautsar TanahmeraH ArtSpace Tarpin A. Nasri Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Roda UNISDA Lamongan Teater Sakalintang Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tawon Teater Tewol Teguh LR Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Teori Darwin Teori Fisika Hawking Tgk Abdullah Lam U Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute Theresia Purbandini Thomas Koten Tien Rostini Timur Arif Riyadi Tjahjono Widarmanto Tjut Zakiyah Anshari Toeti Adhitama Tosa Poetra Tri Andhi S Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Tutut Herlina Ucu Agustin Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Uniawati Unieq Awien Universitas Jember Usman Arrumy Ustadz Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vassilisa Agata Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Video Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vita Devi Ajeng Pratiwi W. Haryanto W.S. Rendra Wakos R. Gautama Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Suryandoko William Shakespeare Wisnu Kisawa Wiwik Widiyati Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yayat R. Cipasang Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yulianto Yuliawati Yunanto Sutyastomo Yunus Supriyanto Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf AN Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Yuyuk Sugarman Z. Mustopa Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zarra Martsella Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zen Hae Zii Zuhdi Swt