Rohmad Hadiwijoyo
http://www.lampungpost.com/
SALAH satu warisan rezim Orde Baru yang saat ini sudah dilupakan, bahkan ditinggalkan adalah nilai–nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang terangkum apik dalam Eka Prasetya Pancakarsa, yaitu satu tekad untuk mengamalkan sila–sila dalam dasar negara Pancasila. Butir–butir Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) tersebut ditetapkan dalam Tap MPR No. II Tahun 1978.
Dalam era reformasi saat ini yang penuh dengan euforia di berbagai bidang, seolah telah menafikan nilai–nilai luhur kehidupan berbangsa dan bernegara. Keadaan itu telah melahirkan berbagai bencana dan problem bangsa. Di antaranya korupsi yang merajalela di berbagai lini kehidupan, kesenjangan antara si miskin dan si kaya semakin lebar, teror bom di berbagai daerah, dan perekrutan mahasiswa oleh organisasi Negara Islam Indonesia (NII).
Itu semua merupakan bukti dampak terabaikannya pendidikan akhlak bangsa dan mulai memudarnya jati diri bangsa. Maka tidak heran dalam survei Indobarometer belum lama ini mengungkapkan jumlah rakyat Indonesia yang rindu untuk kembali ke zaman Orde Baru sebesar 55%.
Fakta terbaru itu tidak boleh dianggap enteng dan sebelah mata. Hasil survei itu harus menjadi perhatian pemerintahan SBY-Boediono untuk memacu dan mengembalikan jati diri bangsa dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
Kondisi saat ini memang berbeda dengan era sebelumnya. Dulu, setiap 1 Juni selalu diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila, kini sudah tidak ada gaungnya. Bahkan tidak jarang anak bangsa ini tidak tahu kapan hari lahir Pancasila. Karena itu, saat inilah momentum paling tepat untuk merevitalisasi nilai–nilai luhur berbangsa dan bernegara dengan ajaran sila–sila dalam Pancasila. Para pemimpin bangsa harus memberikan contoh, teladan, dan menjadi panutan.
Tanpa ‘Paugeran’
Dalam kearifan cerita wayang, peristiwa yang dihadapi bangsa ini hampir mirip saat negara Amarta ditinggalkan piyandel atau dasar negaranya, yakni Jamus Kalimasada.
Ibaratnya kerajaan tanpa dasar atau paugeran, para Pandawa sasar-susur dalam memimpin negeri. Sudah tidak ada lagi garis besar haluan kerajaan untuk membangun Amarta. Ibaratnya kondisi tanpa dasar negara itu seperti snow ball yang siap menggulung siapa saja yang berani menghadangnya. Baik para pejabat eksekutif, anggota Dewan, bahkan para kawula atau rakyat sendiri.
Rentetan bencana dan pagebluk terjadi di Amarta. Negara itu menjadi lemah dan rapuh. Akibat selanjutnya Amarta dikuasai raja dari Kerajaan Sonya Pura, yakni Prabu Bel Geduwel Beh (BGB). Ratu nyentrik itu selain berhasil membedah Amarta, juga berhasil mengindoktrinasi dan memasukkan paham hedonisme dan liberal terhadap kawula muda di kerajaan tersebut.
Setelah menaklukkan Amarta, Bel Geduwel Beh menargetkan Kerajaan Dwarawati sebagai korban berikutnya. Sebenarnya tidaklah mudah untuk dapat menaklukkan Dwarawati yang terkenal dengan kerajaan lelawangane jagat itu. Apalagi rajanya adalah Sri Bathara Kresna, titisan Bethara Wisnu. Tetapi dengan bantuan sahabatnya, yakni Prabu Jangkar Wuri dan Patih Panji Gelung, mereka sukses menyingkirkan Prabu Kresna sekaligus menduduki Kerajaan Dwarawati dengan mudah.
Untungnya Prabu Kresna segera mencari bantuan kepada Semar Badranaya, pamong para satria Pandawa. Rupanya saat itu Semar juga sedang dilanda kesedihan, karena salah satu anaknya, yakni Petruk, hilang seperti ditelan Bumi.
Semar mengatakan kepada Kresna bahwa takluknya Kerajaan Amarta dan Dwarawati di tangan Bel Geduwel Beh itu disebabkan para petinggi dan kawula di kedua kerajaan itu sudah tidak peduli lagi kepada nilai–nilai luhur kerajaan.
Sebagai pamongnya Pandawa, Semar bersedia mencari hilangnya Jamus Kalimasada dan mencari jago untuk dapat mengusir Bel Geduwel Beh. Namun, Semar meminta syarat para Pandawa harus kembali ke perilaku yang tidak melanggar angger-angger (aturan) berbangsa dan bernegara.
Kembali ke Jati Diri
Semar dan Kresna mendengar kabar bahwa target keganasan Bel Geduwel Beh berikutnya adalah Kerajaan Astina. Kalau sampai Astina dapat ditaklukkan, maka jangkaning dewata (skenario Dewa), yakni adanya perang Baratayudha akan batal.
Untuk itu, Semar dan Kresna bergerak cepat. Semar menuju kerajaan jin, tempat Raja Gandarwa bersemayam. Raja Gandarwa adalah orang tua angkat Petruk sebelum anak jin tersebut dititipkan kepada Semar.
Semar mengira Petruk sedang pergi mengunjungi orang tua angkatnya itu. Namun, setelah mengetahui Petruk ternyata tidak berada di alam kajiman, Semar minta tolong Raja Gandarwa untuk membantu kembalinya Petruk dan menghentikan murkanya Raja Bel Geduwel Beh.
Raja Gandarwa bersedia membantu Semar dan segera pergi mencari Petruk dan Bel Geduwel Beh. Singkat cerita, ia bertemu dengan Bel Geduwel Beh, Prabu Jangkar Wuri, dan Patih Panji Gelung di tengah jalan sebelum mereka sampai Astina.
Terjadilah perang tidak seimbang satu lawan tiga. Dalam perang tersebut akhirnya Raja Gandarwa mampu mengalahkan Bel Geduwel Beh yang kemudian berubah wujud menjadi Petruk. Sedangkan Prabu Jangkar Wuri yang juga dikalahkan, berubah wujud menjadi Bethara Guru. Kemudian Patih Panji Gelung menyerah dan babar menjadi Bethara Narada.
Benang merah dari cerita di atas adalah bagaimana seorang Petruk yang notabenenya adalah abdi dan kawula tetapi mampu menyadarkan para pejabat masyhur dari Kerajaan Amarta dan Dwarawati. Hal itu karena kedua kerajaan itu telah kehilangan jati diri. Mereka telah kehilangan Jamus Kalimasada, yaitu pusaka negara.
Dari kearifan lokal dalam dunia wayang itu dapat dijadikan contoh bagaimana sebuah kerajaan atau negara akan hancur jika para pemimpin dan bangsanya telah meninggalkan dasar negaranya.
Karena itu, dengan mengambil momentum 1 Juni sebagai Hari Kelahiran Pancasila, bangsa Indonesia harus kembali ke jati diri. Yakni benar-benar mengamalkan nilai-nilai dasar negara Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
*) Dalang dan Direktur Eksekutif Cides Indonesia
http://www.lampungpost.com/
SALAH satu warisan rezim Orde Baru yang saat ini sudah dilupakan, bahkan ditinggalkan adalah nilai–nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang terangkum apik dalam Eka Prasetya Pancakarsa, yaitu satu tekad untuk mengamalkan sila–sila dalam dasar negara Pancasila. Butir–butir Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) tersebut ditetapkan dalam Tap MPR No. II Tahun 1978.
Dalam era reformasi saat ini yang penuh dengan euforia di berbagai bidang, seolah telah menafikan nilai–nilai luhur kehidupan berbangsa dan bernegara. Keadaan itu telah melahirkan berbagai bencana dan problem bangsa. Di antaranya korupsi yang merajalela di berbagai lini kehidupan, kesenjangan antara si miskin dan si kaya semakin lebar, teror bom di berbagai daerah, dan perekrutan mahasiswa oleh organisasi Negara Islam Indonesia (NII).
Itu semua merupakan bukti dampak terabaikannya pendidikan akhlak bangsa dan mulai memudarnya jati diri bangsa. Maka tidak heran dalam survei Indobarometer belum lama ini mengungkapkan jumlah rakyat Indonesia yang rindu untuk kembali ke zaman Orde Baru sebesar 55%.
Fakta terbaru itu tidak boleh dianggap enteng dan sebelah mata. Hasil survei itu harus menjadi perhatian pemerintahan SBY-Boediono untuk memacu dan mengembalikan jati diri bangsa dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
Kondisi saat ini memang berbeda dengan era sebelumnya. Dulu, setiap 1 Juni selalu diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila, kini sudah tidak ada gaungnya. Bahkan tidak jarang anak bangsa ini tidak tahu kapan hari lahir Pancasila. Karena itu, saat inilah momentum paling tepat untuk merevitalisasi nilai–nilai luhur berbangsa dan bernegara dengan ajaran sila–sila dalam Pancasila. Para pemimpin bangsa harus memberikan contoh, teladan, dan menjadi panutan.
Tanpa ‘Paugeran’
Dalam kearifan cerita wayang, peristiwa yang dihadapi bangsa ini hampir mirip saat negara Amarta ditinggalkan piyandel atau dasar negaranya, yakni Jamus Kalimasada.
Ibaratnya kerajaan tanpa dasar atau paugeran, para Pandawa sasar-susur dalam memimpin negeri. Sudah tidak ada lagi garis besar haluan kerajaan untuk membangun Amarta. Ibaratnya kondisi tanpa dasar negara itu seperti snow ball yang siap menggulung siapa saja yang berani menghadangnya. Baik para pejabat eksekutif, anggota Dewan, bahkan para kawula atau rakyat sendiri.
Rentetan bencana dan pagebluk terjadi di Amarta. Negara itu menjadi lemah dan rapuh. Akibat selanjutnya Amarta dikuasai raja dari Kerajaan Sonya Pura, yakni Prabu Bel Geduwel Beh (BGB). Ratu nyentrik itu selain berhasil membedah Amarta, juga berhasil mengindoktrinasi dan memasukkan paham hedonisme dan liberal terhadap kawula muda di kerajaan tersebut.
Setelah menaklukkan Amarta, Bel Geduwel Beh menargetkan Kerajaan Dwarawati sebagai korban berikutnya. Sebenarnya tidaklah mudah untuk dapat menaklukkan Dwarawati yang terkenal dengan kerajaan lelawangane jagat itu. Apalagi rajanya adalah Sri Bathara Kresna, titisan Bethara Wisnu. Tetapi dengan bantuan sahabatnya, yakni Prabu Jangkar Wuri dan Patih Panji Gelung, mereka sukses menyingkirkan Prabu Kresna sekaligus menduduki Kerajaan Dwarawati dengan mudah.
Untungnya Prabu Kresna segera mencari bantuan kepada Semar Badranaya, pamong para satria Pandawa. Rupanya saat itu Semar juga sedang dilanda kesedihan, karena salah satu anaknya, yakni Petruk, hilang seperti ditelan Bumi.
Semar mengatakan kepada Kresna bahwa takluknya Kerajaan Amarta dan Dwarawati di tangan Bel Geduwel Beh itu disebabkan para petinggi dan kawula di kedua kerajaan itu sudah tidak peduli lagi kepada nilai–nilai luhur kerajaan.
Sebagai pamongnya Pandawa, Semar bersedia mencari hilangnya Jamus Kalimasada dan mencari jago untuk dapat mengusir Bel Geduwel Beh. Namun, Semar meminta syarat para Pandawa harus kembali ke perilaku yang tidak melanggar angger-angger (aturan) berbangsa dan bernegara.
Kembali ke Jati Diri
Semar dan Kresna mendengar kabar bahwa target keganasan Bel Geduwel Beh berikutnya adalah Kerajaan Astina. Kalau sampai Astina dapat ditaklukkan, maka jangkaning dewata (skenario Dewa), yakni adanya perang Baratayudha akan batal.
Untuk itu, Semar dan Kresna bergerak cepat. Semar menuju kerajaan jin, tempat Raja Gandarwa bersemayam. Raja Gandarwa adalah orang tua angkat Petruk sebelum anak jin tersebut dititipkan kepada Semar.
Semar mengira Petruk sedang pergi mengunjungi orang tua angkatnya itu. Namun, setelah mengetahui Petruk ternyata tidak berada di alam kajiman, Semar minta tolong Raja Gandarwa untuk membantu kembalinya Petruk dan menghentikan murkanya Raja Bel Geduwel Beh.
Raja Gandarwa bersedia membantu Semar dan segera pergi mencari Petruk dan Bel Geduwel Beh. Singkat cerita, ia bertemu dengan Bel Geduwel Beh, Prabu Jangkar Wuri, dan Patih Panji Gelung di tengah jalan sebelum mereka sampai Astina.
Terjadilah perang tidak seimbang satu lawan tiga. Dalam perang tersebut akhirnya Raja Gandarwa mampu mengalahkan Bel Geduwel Beh yang kemudian berubah wujud menjadi Petruk. Sedangkan Prabu Jangkar Wuri yang juga dikalahkan, berubah wujud menjadi Bethara Guru. Kemudian Patih Panji Gelung menyerah dan babar menjadi Bethara Narada.
Benang merah dari cerita di atas adalah bagaimana seorang Petruk yang notabenenya adalah abdi dan kawula tetapi mampu menyadarkan para pejabat masyhur dari Kerajaan Amarta dan Dwarawati. Hal itu karena kedua kerajaan itu telah kehilangan jati diri. Mereka telah kehilangan Jamus Kalimasada, yaitu pusaka negara.
Dari kearifan lokal dalam dunia wayang itu dapat dijadikan contoh bagaimana sebuah kerajaan atau negara akan hancur jika para pemimpin dan bangsanya telah meninggalkan dasar negaranya.
Karena itu, dengan mengambil momentum 1 Juni sebagai Hari Kelahiran Pancasila, bangsa Indonesia harus kembali ke jati diri. Yakni benar-benar mengamalkan nilai-nilai dasar negara Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
*) Dalang dan Direktur Eksekutif Cides Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar