Judul: Jalan Panjang Menjadi WNI, Catatan Pengalaman dan Tinjau Kritis
Penulis: Chris Verdiansyah
Kata Pengantar: Frans H Winarata
Penerbit: Buku Kompas
Cetakan: Pertama, 2007
Tebal: vii+236 halaman
Peresensi: Bernando J. Sujibto,
http://suaramerdeka.com/
ETNIS Tionghoa selama rezim Orde Baru mengalami tindak diskriminasi di bawah kendali pemerintah. Semua urusan yang berkaitan dengan kepentingan mereka ditutup akasesnya secara terselubung.
Rezim Orde Baru mempertanyakan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang menyangkut dengan “WNI keturunan” (sebuah istilah ganjil dari zaman Orde Baru) atau “Asli Pribumi dan Nonpribumi” ketika berurusan dengan mereka.
Tindakan dan perlakuan diskriminatif terhadap warga negara Indonesia keturunan Tionghoa merupakan pelanggaran hak asasi manusia oleh negara terhadap warganya sendiri. Diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh Rezim Orde Baru itu marupakan tindakan yang mengarah kepada keriskanan rasial yang berpotensi konflik SARA di tengah multikulturalisme bangsa Indonesia. Seperti disinyalir Frans H Winarta, anggota Komisi Hukum Nasional (KHN), “sejumlah kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru adalah bentuk nyata genosida kultural (cultural genocide).” (halaman 14).
Perlakuan diskriminatif itu tidak hanya dalam urusan pemerintahan. Tapi ironisnya rakyat juga ikut-ikutan membabi buta membabat dan memusuhi mereka baik secara terang-terangan atau secara “kultural”. Kenyataan pahit yang menjadi catatan paling hitam etnis Tionghoa adalah ketika pada 1998 terjadi perusakan besar-besaran dan tindak amoral terhadap etnis Tionghoa terjadi.
Buku yang merupakan kumpulan dari catatan pengalaman getir ini membahas secara kritis hal-hal yang telah menjadi akar dehumanisasi bangsa Indonesia. Perjalanan menjadi WNI yang sangat ruwet dan sulit, karena undang-undang yang mengatur tidak transparan dan cenderung kacau pada masa Soeharto, dihadirkan dalam buku ini dengan bukti autentik dari pengalaman orang yang bersangkutan. Buku ini membeberkan fakta etnis Tionghoa yang harus memeras darah dan terbirit-birit untuk (hanya) diakui menjadi WNI dengan selembar bukti KTP dan SBKRI. Istilah “pribumi” dan “nonpribumi” menjadi sangat rigid pembahasannya dalam buku ini. Konsep ini pada Orde Baru menjadi sangat penting posisinya.
Tersendat
Buku ini juga membeberkan fakta yang dituturkan langsung salah satu etnis Tionghoa yang tersendat ketika mengurus dokumen, yaitu atlet Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma, sebagai kontingen Indonesia cabang bulutangkis dalam olimpiade Yunani, yang harus berurusan dengan pihak pemerintah. Meskipun Susi-Alan bisa membawa obor olimpiade dan akhirnya menang dengan meraih medali emas yang dipersembahklan untuk negara Indonesia, sebuah negara yang telah mempersulit dirinya, tapi memori hitam tentang pengurusan visa dan dokumen lain yang dipersulit itu menjadi ironi pada masa Orde Baru.
Di Surabaya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa pun masih cukup kentara. Seperti dituturkan Liauw Djai Ming (59). Dia tidak pernah pergi jauh dari rumahnya di Jalan Tambaksegeran, Surabaya. Meskipun lahir dan tumbuh besar di Surabaya, Djai Ming tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) atapun kartu keluarga (KK). Setelah 57 tahun tinggal di Indonesia, Djai Ming masih dianggap warga negara asing.
Di Surabaya para korban diskriminasi itu akhirnya membentuk sebuah badan organisasi untuk memperkokoh keberadaan dan pengakuan etnis Tionghoa sebagai bagian dari warga Indonesia. Mereka bergabung dalam Solidaritas Anti Diskriminasi (SikaD) dan Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) (halaman 25).
Beberapa catatan getir itu adalah sebagian perlakuan diskriminatif rezim Orde Baru yang terekspos. Buku ini cukup banyak membeberkan fakta semacam itu dengan kritis dan transparan.
Angin Segar
Namun pada masa reformasi, etnis Tionghoa mendapatkan angin segar setelah pemerintah mencabut kebijakan-kebijakan deskriminatif terhadap etnis Tionghoa, yaitu antara lain (i) Keppres No 56/1996 tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI); (ii) Keppres No 6/2000 tentang Pencabutan Inpres No 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina; (iii) Inpres 26/1998 tentang Penghapusan Penggunakan Istilah Pri dan Non Pri; (iv) Kepres No 19/2002 tentang Ditetapkannya Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Nasional (halaman ix).
Akhirnya etnis Tionghoa perlahan mulai berani muncul di tengah masyarakat luas karena mereka sudah sedikit merasa aman dengan undang-undang yang melindungi. Persentase pemeluk Kong Hu Cu pun bertambah setelah pemerintah mencabut pelarangan atas kepercayaan tersebut pada tahun 2000, seperti, hak untuk memperingati Tahun Baru Cina (Imlek) secara terbuka. Majelis Tinggi Agama Kong Hu Cu Indonesia (Matakin) memperkirakan bahwa 95 persen penganut Kong Hu Cu adalah warga keturunan Tionghoa yang setengahnya adalah suku Jawa. Banyak penganut Kong Hu Cu juga mempraktikkan ajaran agama Buddha dan Kristen. Matakin mendesak pemerintah untuk sekali lagi memasukkan penganut Kong Hu Cu dalam kategori sensus.
Angin segar itu pun terus bersambut tangan ketika kesadaran masyarakat tentang multikulturalisme suku dan bangsa tumbuh. Bukan hanya pengakuan sebagai WNI yang telah dengan transparan ditunjukkan pemerintah tetapi agama mayoritas Etnis Tionghoa, Kung Hu Cu, juga mendapatkan tempat yang setara dengan jajaran agama-agama yang telah sah di Indonesia. Pada Januari 2006 Menteri Agama mendeklerasikan Kung Hu Cu menjadi agama resmi ke enam di Indonesia.
Buku ini sangat penting dibaca oleh semua kalangan melihat sejarah getir etnis Tionghoa yang kurang banyak diekspos. Dengan buku ini kita akan menambah koleksi inventaris tentang “tragedi” bangsa khususnya etnis Tionghoa yang pernah menoreh sejarah getir di Indonesia.
Penulis: Chris Verdiansyah
Kata Pengantar: Frans H Winarata
Penerbit: Buku Kompas
Cetakan: Pertama, 2007
Tebal: vii+236 halaman
Peresensi: Bernando J. Sujibto,
http://suaramerdeka.com/
ETNIS Tionghoa selama rezim Orde Baru mengalami tindak diskriminasi di bawah kendali pemerintah. Semua urusan yang berkaitan dengan kepentingan mereka ditutup akasesnya secara terselubung.
Rezim Orde Baru mempertanyakan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang menyangkut dengan “WNI keturunan” (sebuah istilah ganjil dari zaman Orde Baru) atau “Asli Pribumi dan Nonpribumi” ketika berurusan dengan mereka.
Tindakan dan perlakuan diskriminatif terhadap warga negara Indonesia keturunan Tionghoa merupakan pelanggaran hak asasi manusia oleh negara terhadap warganya sendiri. Diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh Rezim Orde Baru itu marupakan tindakan yang mengarah kepada keriskanan rasial yang berpotensi konflik SARA di tengah multikulturalisme bangsa Indonesia. Seperti disinyalir Frans H Winarta, anggota Komisi Hukum Nasional (KHN), “sejumlah kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru adalah bentuk nyata genosida kultural (cultural genocide).” (halaman 14).
Perlakuan diskriminatif itu tidak hanya dalam urusan pemerintahan. Tapi ironisnya rakyat juga ikut-ikutan membabi buta membabat dan memusuhi mereka baik secara terang-terangan atau secara “kultural”. Kenyataan pahit yang menjadi catatan paling hitam etnis Tionghoa adalah ketika pada 1998 terjadi perusakan besar-besaran dan tindak amoral terhadap etnis Tionghoa terjadi.
Buku yang merupakan kumpulan dari catatan pengalaman getir ini membahas secara kritis hal-hal yang telah menjadi akar dehumanisasi bangsa Indonesia. Perjalanan menjadi WNI yang sangat ruwet dan sulit, karena undang-undang yang mengatur tidak transparan dan cenderung kacau pada masa Soeharto, dihadirkan dalam buku ini dengan bukti autentik dari pengalaman orang yang bersangkutan. Buku ini membeberkan fakta etnis Tionghoa yang harus memeras darah dan terbirit-birit untuk (hanya) diakui menjadi WNI dengan selembar bukti KTP dan SBKRI. Istilah “pribumi” dan “nonpribumi” menjadi sangat rigid pembahasannya dalam buku ini. Konsep ini pada Orde Baru menjadi sangat penting posisinya.
Tersendat
Buku ini juga membeberkan fakta yang dituturkan langsung salah satu etnis Tionghoa yang tersendat ketika mengurus dokumen, yaitu atlet Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma, sebagai kontingen Indonesia cabang bulutangkis dalam olimpiade Yunani, yang harus berurusan dengan pihak pemerintah. Meskipun Susi-Alan bisa membawa obor olimpiade dan akhirnya menang dengan meraih medali emas yang dipersembahklan untuk negara Indonesia, sebuah negara yang telah mempersulit dirinya, tapi memori hitam tentang pengurusan visa dan dokumen lain yang dipersulit itu menjadi ironi pada masa Orde Baru.
Di Surabaya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa pun masih cukup kentara. Seperti dituturkan Liauw Djai Ming (59). Dia tidak pernah pergi jauh dari rumahnya di Jalan Tambaksegeran, Surabaya. Meskipun lahir dan tumbuh besar di Surabaya, Djai Ming tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) atapun kartu keluarga (KK). Setelah 57 tahun tinggal di Indonesia, Djai Ming masih dianggap warga negara asing.
Di Surabaya para korban diskriminasi itu akhirnya membentuk sebuah badan organisasi untuk memperkokoh keberadaan dan pengakuan etnis Tionghoa sebagai bagian dari warga Indonesia. Mereka bergabung dalam Solidaritas Anti Diskriminasi (SikaD) dan Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) (halaman 25).
Beberapa catatan getir itu adalah sebagian perlakuan diskriminatif rezim Orde Baru yang terekspos. Buku ini cukup banyak membeberkan fakta semacam itu dengan kritis dan transparan.
Angin Segar
Namun pada masa reformasi, etnis Tionghoa mendapatkan angin segar setelah pemerintah mencabut kebijakan-kebijakan deskriminatif terhadap etnis Tionghoa, yaitu antara lain (i) Keppres No 56/1996 tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI); (ii) Keppres No 6/2000 tentang Pencabutan Inpres No 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina; (iii) Inpres 26/1998 tentang Penghapusan Penggunakan Istilah Pri dan Non Pri; (iv) Kepres No 19/2002 tentang Ditetapkannya Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Nasional (halaman ix).
Akhirnya etnis Tionghoa perlahan mulai berani muncul di tengah masyarakat luas karena mereka sudah sedikit merasa aman dengan undang-undang yang melindungi. Persentase pemeluk Kong Hu Cu pun bertambah setelah pemerintah mencabut pelarangan atas kepercayaan tersebut pada tahun 2000, seperti, hak untuk memperingati Tahun Baru Cina (Imlek) secara terbuka. Majelis Tinggi Agama Kong Hu Cu Indonesia (Matakin) memperkirakan bahwa 95 persen penganut Kong Hu Cu adalah warga keturunan Tionghoa yang setengahnya adalah suku Jawa. Banyak penganut Kong Hu Cu juga mempraktikkan ajaran agama Buddha dan Kristen. Matakin mendesak pemerintah untuk sekali lagi memasukkan penganut Kong Hu Cu dalam kategori sensus.
Angin segar itu pun terus bersambut tangan ketika kesadaran masyarakat tentang multikulturalisme suku dan bangsa tumbuh. Bukan hanya pengakuan sebagai WNI yang telah dengan transparan ditunjukkan pemerintah tetapi agama mayoritas Etnis Tionghoa, Kung Hu Cu, juga mendapatkan tempat yang setara dengan jajaran agama-agama yang telah sah di Indonesia. Pada Januari 2006 Menteri Agama mendeklerasikan Kung Hu Cu menjadi agama resmi ke enam di Indonesia.
Buku ini sangat penting dibaca oleh semua kalangan melihat sejarah getir etnis Tionghoa yang kurang banyak diekspos. Dengan buku ini kita akan menambah koleksi inventaris tentang “tragedi” bangsa khususnya etnis Tionghoa yang pernah menoreh sejarah getir di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar