Kamis, 15 Juli 2010

Membangun Fondasi Seni Tradisi Jombang

(Wawancara dengan Eko Wahyudi, ketua Komite Seni Tradisional Dekajo dan ketua Palambang)
Fahrudin Nasrulloh
http://forumsastrajombang.blogspot.com/

Pembentukan Dewan Kesenian Jombang (Dekajo) pada 25 Februari 2010 di alun-alun Jombang menjadi harapan besar bagi tumbuh-kembangnya kesenian tradisi yang selama ini kurang begitu mendapatkan tempat di batin warganya juga pemerintah daerah. Pentingnya menakar sejauh mana pegiat kesenian menggali sekaligus memaknai sumber daya dan potensi kesenian, agar kesenian menjadi sebuah kesadaran publik. Salah satu pegiat kesenian yang selama ini dikenal adalah Eko Wahyudi. Ia merupakan ketua Palambang (Paguyuban Ludruk Arek Jombang) dan ketua Komite Seni Tradisional dalam Dewa Kesenian Jombang yang baru terbentuk itu.
Di bawah ini adalah wawancara saya selama 1 jam 29 menit, pada 5 Maret 2010, di kantor Desanya di Jabon, dengan Pak Eko Wahyudi terkait pemikirannya soal pengembangan kesenian Jombang.

FN: Dengan terkukuhkannya DKJ pada 25 Februari 2010, anda telah terpilih sebagai ketua Komite Seni Tradisional, apa bayangan anda tentang bagaimana arah ke depan untuk memajukan seni-budaya di Jombang?

EW: Yang pertama saya akan segera mengumpulkan seniman tradisi yang ada di Jombang, maunya bagaimana, dan di situlah kita akan menyusun program, ya menyerap aspirasi dululah, sebelum kita rapat kerja. Yang terpenting adalah pemberdayaan seni tradisional dan pembinaannya. Bila perlu nanti masing-masing seni tradisonal mempunyai kelompok sendiri, seperti wayang, kan ada Pepadi, sebagai perkumpulan seniman wayang. Atau Palambang. Sehingga dengan itu koordinasi lebih mudah. Kita bentuk dulu organisasi perunit dari seni tradisi itu. Dari situ koordinasinya lewat ketua-ketua organisasi tersebut. Nah, data ini penting untuk pemetaan seni tradisi, kalau tidak begitu kita tidak tahu apa saja persoalannya. Juga kaderisasi seniman menjadi hal utama, dengan cara semisal pembentukan sanggar-sanggar kesenian. Contohnya, mana ada kaderisasi seniman ludruk? Nggak ada. Maka kantong-kantong kesenian berupa sanggar ini nanti diharapkan menjadi barometer untuk melihat perkembangan tiap kesenian. Yang membentuk sanggar itu bukan Dekajo, tapi kita mendorong pegiat seni untuk membuat sanggarnya sendiri. Anggaran akan coba didistribusikan lewat sanggar ini sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Para seniman senior akan melatih di sanggar-sanggar itu. Sehingga nanti kaderisasi mulai SD, SMP, SMA, dapat menimba pengalaman berkesenian di sini. Setelah itu tahun berikutnya kita mendorong Dekajo untuk mengadakan lomba-lomba agar ada semangat, apa itu piala bupati, atau yang lainnya yang ini dapat memicu kreativitas dan kecintaan terhadap kesenian Jombang.

FN: Perubahan zaman terus bergerak, dunia teknologi makin maju, dan masyarakat makin banyak pilihan dalam mengapresiasi hiburan dan persepsi mereka terhadap kesenian. Dalam kondisi demikian menurut anda di manakah posisi dan keberadaan seni tradisi?

EW: Pertama kita akan mengajak semua elemen pegiat seni tradisi untuk berkumpul merembukkan bagaimana seni tradisi Jombang dapat digemari warganya. Kita akan berusaha mengemasnya sebaik mungkin. Contohnya Palambang sendiri, pementasan diharapkan hanya 2 sampai 3 jam. Karena ruang-lingkup apresiasi masyarakat perlu dipertimbangkan. Tidak mungkin kita meyajikan pertunjukan ludruk semalam suntuk. Kita buat tontonan yang enak bagi mereka. Kedua, soal armada pemain, harus dibatasi, bukan 50-an lebih, mungkin 25 personil cukup. Kadang hal ini yang menjadi keberatan penanggap karena harus memberi makan semua pekerja ludruk itu. Selanjutnya tontonan ludruk harus menjadi tuntunan. Tidak main seenaknya sendiri. Misi-misi program pembangunan pemerintah disuarakan di sini. Demikian pula jenis kesenian lainnya. Nah, bagaimana menciptakan pertunjukan yang dapat dikangeni masyarakat, inilah tantangannya. Kita sudah merencakan bekerjasama dengan stasiun televisi, kemarin kita coba menjalin kerja bareng dengan Indosiar. Kita tunggu hasilnya.

FN: Bagaimana anda melihat seni tradisi dalam kaitannya dengan industri kreatif dan ekonomi kreatif?

EW: Kenapa sekarang generasi muda makin tidak meminati seni tradisi? Ini yang harus segera dicarikan formula untuk mengemas pertunjukan yang efisian dan baik saat dipentaskan. Yang terpenting lagi, bagaimanakah keterlibatan pegiat seni dengan warganya. Banyak sebenarnya warga yang masih mencintai seni tradisi. Terobosan yang kini saya tempuh, kebetulan saya sebagai pengurus Asosiasi Kepala Desa dan Perangkat Desa (AKPD) se kabupaten Jombang, saya sebagai wakil kepala tiga, bukan kapasitas saya sebagai anggota Dekajo. Nah di luar system ini, nanti bagaimana saya melakukan pemberdayaan kesenian di desa-desa. ada dana sekitar 7 sampai 8 juta dalam setahun. 2,5 juta yang selama ini sudah ada anggarannya untuk karang taruna, dan akan diusulkan ditambah dana 5 juta untuk seni tradisi. Kalau sudah ada anggaran itu, kita akan berupaya memberdayakan seni tradisi yang ada di desa maupun bisa mengusahakan pendanaan dari luar. Ada 306 desa di Jombang, ini akan jadi menarik untuk pengembangan ke depan, jika agenda ini dapat berjalan melalui koordinasi dalam koridor AKPD ini, insyaallah akan memunculkan satu perubahan baru.

FN: Sehubungan dengan dinamika ludruk, dalam 2 sampai 3 tahun terakhir ini seperti apakah anda melihat situasi dan kondisi ludruk di Jombang?

EW: Secara umum ludruk Jombang tidak mengalami perubahan secara siknifikan. Terkait rendahnya penguasaan menejemen ludruk dan kualitasnya yang kurang baik dalam konteks sebagai tontonan untuk masyarakat sekarang. Contohnya, katakanlah standar tanggapan 6 juta, tapi ada grup ludruk yang berani banting setir menerima tanggapan dengan harga 5 juta. Konsekwensinya, penyajian tanggapannya asal-asalan. Ini banyak terjadi di lapangan. Ya, kualitas tidak diperhatikan. Kurang pekanya seniman ludruk terhadap perkembangan jaman juga sangat mempengaruhi mutu sajian.

FN: Ada anggapan sebagian orang yang menilai bahwa ludruk sudah punah, ataukah malah peminat ludruknya yang telah punah?

EW: Masyarakat kita kini memang banyak yang merasa asing dengan seni tradisi. Terutama ludruk, tantangannya kompleks. Sajian pertunjukan ludruk masih banyak yang perlu dibenahi. Tidak semua problem dapat dijelaskan, karena soal ini juga terkait tidak hanya pada diri pribadi saya untuk memecahkannya. Ya berpulang kepada seniman ludruknya, SDM mereka, mau maju atau tidak. Jika mau maju, ya bagaimana ludruk bisa enak ditonton di masa yang serba banyak hiburan ini.

FN: Selama ini kita mengenal apa yang disebut dengan istilah Palambang atau kepanjangan dari Paguyuban Ludruk Arek Jombang. Apa yang melatari munculnya Palambang?

EW: Ceritanya begini: saya pribadi pada saat itu mencalonkan diri sebagai Kepala Desa Jabon di Kecamatan Jombang pada 2005-2006, kemudian saya menjalin semacam perkenalan lalu intens berhubungan dengan pimpinan Ludruk Sari Murni, Pak Tajuk Sutikno. Saya ngomong-ngomong kenapa sih Ludruk Sari Murni tidak aktif. Pak Tajuk menjawab bahwa dirinya sudah males menjalankan ludruknya. Terus pada suatu saat saya berjanji padanya, “Mas, besok kalau saya akan jadi lurah, ayo dilakokno ludruke.” Setelah itu, terus berkembang-berkembang, dan ketika saya jadi Kepala Desa, saya syukuran di desa saya dengan nanggap Ludruk Sari Murni. Pak Bupati Suyanto saya undang. Seorang teman Pak Yanto, yaitu Pak Rus Riyanto, orang TPI, juga datang. Suatu hari saya bersama Pak Rus Riyanto sowan ke Pak Yanto mengobrolkan ludruk dan lain-lain. Dari situ saya kenal akrab dengan Pak Bupati, bahkan sekarang seperti keluarga. Saya minta bantuannya bagaimana Ludruk Sari Murni bisa nobong keliling. Bantuan ini diharapkan bagaimana agar tidak ada pajak untuk izin keliling nobong. Yang utama adalah bagaimana kesenian ludruk tetap eksis. Pak Bupati setuju, terus saya diminta meneruskan dan menghadap Bu Wiwik (istri Pak Yanto yang saat itu menjadi ketua IPSBI: Ikatan Persatuan Seni Budaya Indonesia), ini atas usulan Pak Joko Suwarno, dengan tujuan seperti yang saya disampaikan kepada Pak Yanto. Maksudnya keliling nobong ke seluruh kecamatan di Jombang. “Lha ludruknya siapa?” sambut Bu Wiwik. “Ludruk Sari Murni, Bu.” “Yo ojo! Mosok Sari Murni tok, yo ambek ludruk liyane yang ada di Jombang,” sarannya. Nak ungkapan inilah embrio dari lahirnya Palambang. Kemudian kami berembuk: saya, Pak Joko Suwarno, Pak Tikno, Pak Gempur Humas, dan Mas Hadi Purwanto. Dari diskusi itu akhirnya kita memutuskan untuk membentuk organisasinya dahulu. Sari Murni sudah tidak kita bicarakan dalam pokok pembahasan di sini. Kita buat dil lagi. Lalu ada arisan lurah se Kecamatan Jombang di rumah saya. Saya juga ngundang para pimpinan ludruk. Pak Bupati hadir. Diskusi seputar ludruk intinya. Lha selang satu minggu, saya bekerjasama dengan Humas Pemda Jombang, Mas Pur itu. Di radio Suara Jombang telah ada agenda setiap bulan sekali siaran langsung seni tradisonal. Dananya 1 juta dari Disporabudpar. Lalu saya tantang Pak Tikno, ayo berani ngludruk gak, tak carikan duit, kata saya. Dana yang dibutuhkan saat itu sekitar 5 juta. Jadi saya tombok 4 juta-an untuk itu. Nah dalam acara ludrukan di halaman depan Suara Jombang itu, Bu Wiwik tambah tertarik. Terus akhirnya ada diskusi yang hasilnya dibentuklah Palambang pada awal 2007. Yang membentuk Humas Pemda diwakili oleh Mas Gempur dan Pak Agus. Ditunjuklah saya sebagai pimpinan Palambang. Saat itu semua pimpinan ludruk diundang. Yang diundang 23 grup, tapi yang hadir cuma 16. Dan seterusnya dan seterusnya.

FN: Sejauh manakah Palambang menjadi sebuah paguyuban yang kondusif bagi grup-grup ludruk dan mampu mewadahi aspirasi seniman ludruk di Jombang ataukah justru sebaliknya?

EW: Itu yang dulu, karena pada waktu setelah dibentuknya Palambang kita keliling dengan menggandeng 23 grup ludruk di Jombang. Tapi yang ikut hanya 18 grup. Yang 4 grup dari 18 itu tidak ikut, karena mereka memisahkan diri membentuk kelompok lain yang disebut Forpesbul, tapi mereka ini nggak jalan lama. Saat itu Palambang belum ada kegiatan konkrit. Hanya memberitakan keberadaan grup ludruk di Jombang kepada masyarakat. Dan 18 grup itu dikelilingkan untuk mendukung pencalonan kembali Pak Yanto sebagai Bupati pada 2008. Lha 4 grup ludruk yang di Forpesbul ini yang mendukung pencalonan bupati Pak Nyono hanya tampil sekali di Ngoro. Jadi di sini perlu diluruskan terkait kesenian yang mungkin dianggap dimanfaatkan oleh situasi politik pilkada waktu itu, maka, menurut saya, ini harus kita pandang bahwa keterkaitan grup-grup ludruk itu tatkala dikelilingkan adalah sebagai bentuk kecintaan Pak Yanto terhadap ludruk. Karena itu boleh-boleh saja dan sah-sah saja bila beliau menggandeng mereka untuk ikut mendukung pencalonannya. Jadi tidak perlu kita menyikapi secara negatif. Maka dari situ, Palambang sebagai corong pemerintah berfungsi untuk menyiarkan program-progam pembangunan di Kabupaten Jombang. Setelah kita keliling ke seluruh kecamatan yang berjumlah 23 kecamatan itu, hanya kurang 5 pementasan. Maksudnya 5 pementasan itu dipending. Karena sudah distop anggarannya dari Pemda saat Pak Ali Fikri menjabat sementara sebagai bupati karena Pak Yanto ikut tampil dalam pilkada. Tapi setelah Pak Yanto jadi Bupati lagi, 5 jadwal itu diteruskan dengan biaya dari kocek Pak Yanto sendiri. Semua ludruk yang ikut keliling itu tanggapannya masing-masing 4,5 juta.

FN: Kerja konkrit apa yang sudah anda lakukan bersama Palambang?

EW: Palambang sekarang segera akan mengumpulkan ketua-ketua grup ludruk se Kabupten Jombang untuk diskusi bersama berkaitan dengan kaderisasi. Dan sanggar Palambang harus segera dibangun. Jadi nanti kita diskusikan itu secepatnya.

FN: Berarti ini yang akan dilakukan? Bukan yang sudah dilakukan Palambang?

EW: Ya betul sekali, ini yang akan kita lakukan. Segera. Karena sekarang ada Dekajo juga. Karena selama ini kita masih dalam proses mengajukan proposal. Dan belum tentu disetujui sesuai dengan pengharapan.

FN: Berarti kerja konkrit yang sudah dilakukan Palambang nggak ada?

EW: Belum. Belum ada.

FN: Selain kaderisasi, apa program Palambang?

EW: Kita akan kelilingkan Palambang ke seluruh kabupaten di Jawa Timur. Tujuannya untuk meraih bukti bahwa kesenian ludruk itu berasal dari Jombang.

FN: Ini akan menyerap dana yang sangat besar. Seperti apa sumber anggarannya?

EW: Ya kita akan agendakan lewat Dekajo. Setidaknya 38 kabupaten di Jawa Timur akan kita kunjungi dengan sajian pertunjukan ludruk. Ya sampai 3 tahun ke depanlah rute keliling ludruk itu. Sampai 2013 masa akhir kepengurusan Dekajo yang baru dibentuk kemarin.

FN: Melihat kondisi ludruk yang digambarkan di atas tampak begitu banyak persoalannya, mulai dari senimannya yang kurang kreatif, soal apresiasi penontonnya, dan pengelolaan ludruk. Kira-kira menurut anda apa yang mendesak untuk terlebih dulu diselesaikan?

EW: Sebut saja ketika di tahun 2009, seperti dalam ludruk, dengan cara meminimalisir nomor induk. Harapan kita adalah bagaimana aturan itu bisa berjalan dengan baik. Artinya kenyataan di lapangan banyak seniman ludruk yang saling berseliweran dalam berbagai tanggapan. Disporabudpar harus jelas dengan mengacu pada kenyataan di lapangan. Saya menilai begitu mudahnya Disporabudpar memberikan nomor induk bagi setiap jenis kesenian. Ketika sudah diberi izin lurahnya ya sudah beres, di samping persyaratan lain semisal terkait jumlah anggotanya, dan Disporabudpar langsung membuatkan induknya. Anggota ganda itulah permasalahannya. Nah pertanyaan saya, apakah 26 grup ludruk yang ada di Jombang sekarang itu lengkap anggotanya, dan tidak terjadi silang-ganda antar grup satu dengan yang lainnya? Mustinya Disporabudpar mengecek itu di lapangan, sebagaimana pada tahun 1990-an duhulu. Ini sempat jadi gegeran antar seniman ludruk, antar kita, dan dengan pihak pemerintah.

FN: Persoalan lainnya apa, yang terkait itu?

EW: Begini, perlu segera Disporabudpar menertibkan persoalan induk kesenian. Satu, karawitan itu nggak usah dikasi induk. Masak ada induk karawitan. Sebab karawitan itu bagian dari alat perlengkapan dari seni tradisional. Wayang, ada karawitannya. Ludruk, ada karawitannya. Ia cuma pelengkap sebenarnya. Karawitan kalau ada induknya itu di lapangan kenyataannya malah menjadi “ludruk separuh”. Lihat saja sendiri, karawitan di situ ada remonya, ada lawakan ludruknya. Ya akhirnya ludruk nggak payu kan. Jadi ngrusak akhirnya karawitan itu. Ludruk separuh? Jadi lucu kan? Yang kedua, seni campursari. Ini juga sama kasusnya dengan karawitan. Tanggapan “karawitan plus” dan “campursarian plus” demikian yang tanggapannya biasanya hanya 3 sampai 4 juta tersebut harus segera ditertibkan, kalau tidak hancur ludruk kita. Orang, baik seniman ludruk maupun masyarakat penanggap, jadi pilih praktisnya. Keberadaan ludruk makin terancam, dan tidak lagi mengenal pertunjukan ludruk yang semestinya. Tapi hal ini tidak sekaku yang saya uraikan di atas, artinya kita juga tidak bisa menolak kenyataan lain berupa membatasi kreativitas, namun harus ada batas-batas tertentu yang harus dirembukkan kembali secara bersama-sama.

Harapan kita dari sosok Pak Eko Wahyudi yang memiliki prinsip hidup: “bersikap, berbuat, untuk mengabdi” ini ke depannya dapat bersumbangsih bagi perkembangan seni budaya di Jombang, khususnya ludruk, dengan mematrikan semboyan “mekaring seni lan budoyo agawe sentosaning nuso lan bangsa”.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Alexander A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Dahana A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.C. Andre Tanama A.J. Susmana A.S. Laksana A’an Jindan AS Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Rauf Singkil Abdul Walid Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adek Alwi Adhi Pandoyo Adhitia Armitrianto Adhy Rical Adi Faridh Adian Husaini Adin Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrizas Adu Pesona Sang Wakil Presiden RI AF. Tuasikal Afri Meldam Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agit Yogi Subandi Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Rakasiwi Agus Sulton Agus Wibowo Agus Wirawan Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ah. Atok Illah Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Anshori Ahmad Damanik Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Hasan MS Ahmad Jauhari Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad S. Zahari Ahmad Syafii Maarif Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fiah Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Siddiq Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al-Fairish Al-Ma'ruf I Al-Ma'ruf II Alang Khoiruddin Albert Camus Ali Mahmudi Ch Alia Swastika Alvi Puspita Alvin Amien Wangsitalaja Aminah Aming Aminoedhin Ana Mustamin Anam Rahus Anas AG Andhi Setyo Wibowo Andi Gunawan Andry Deblenk Angela Anggie Melianna Anindita S. Thayf Anis Ceha Anitya Wahdini Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anugerah Ronggowarsito Anwar Nuris Aprillia Ika Arida Fadrus Aridus Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Ariel Heryanto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Arwan Aryo Wisanggeni Aryo Wisanggeni Gentong AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Ashadi Ik Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asro Kamal Rokan Astrid Reza Asvi Warman Adam Atafras Atok Witono Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azwar Nazir Baca Puisi Badrus Siroj Bahrul Ulum A. Malik Balada Bambang kempling Bambang Riyanto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berita Utama Bernando J. Sujibto Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Bre Redana Brunel University Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Jay Utomo Budi P. Hatees Budi Palopo Budi Setyarso Budi Sp. Indrajati Budiman S. Hartoyo Budiman Sudjatmiko Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Choirul Rikzqa Christian Heru Cahyo Saputro Cover Buku D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dadang Widjanarko Damiri Mahmud Dani Fuadhillah Daniel Paranamesa Darju Prasetya Dati Wahyuni Dawet Jabung Ponorogo Dedykalee Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Deshinta Arofah Dewi Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan Dewi Anggraeni Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Didik Kusbiantoro Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dorothea Rosa Herliany Dr Andi Irawan Dr Siti Muti’ah Setiawati Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Drs. Solihin Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddi Koben Edeng Syamsul Ma’arif Edy Apriyanto Sudiyono Edy Firmansyah Edy Susanto Efri Ritonga EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hartono Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elita Sitorini Elly Trisnawati Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Em. Syuhada' Emha Ainun Nadjib Encep Abdullah Eni Sulistiyawati Eny Rose Esai Ester Lince Napitupulu Etik Widya Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathan Mubarak Fathul Qodir Fathul Qorib Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Seni Surabaya 2011 Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fikri. MS Fiqih Arfani Firman Daeva Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Forum Santri Nasional (FSN) Free Hearty Galuh Tulus Utama Gandis Uka Ganug Nugroho Adi Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gendut Riyanto Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Pratama Glenn Fredly Goenawan Mohamad Golput Gombloh Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Hadi Napster Hafis Azhari Halim HD Halimi Zuhdy Hamid Dabashi Han Gagas Hardi Hamzah Hari Prasetyo Haris Del Hakim Haris Saputra Hary B Kori’un Hasan Basri Marwah Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Hendro Situmorang Henri Nurcahyo Henry H Loupias Hera Khaerani Heri CS Heri Kris Heri Latief Heri Listianto Herman RN Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Kuntoyo Heru Kurniawan Hikmat Darmawan Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humaidi Humam S Chudori I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I. B. Putera Manuaba IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ichwan Prasetyo Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Munadjat Imam Nawawi Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Herdiana Imron Arlado Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indigo Art Space Madiun Indra Tjahyadi Indrian Koto Ingki Rinaldi Iqmal Tahir Is Faridatul Arifah Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Isra’ Mi’raj Iswadi Pratama Iswara N Raditya Iva Titin Shovia Iwan Awaluddin Yusuf Iwan Gunadi J. Sumardianta Jamrin Abubakar Jansen Sinamo Janu Jolang Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jemie Simatupang Jenny Ang Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jl Simo Jo Batara Surya Jodhi Yudono Joko Budhiarto Joko Sadewo Joko Sandur Joko Widodo Jones Gultom Joni Ariadinata Joresan Mlarak Ponorogo Joseph E. Stiglitz Jual Buku Paket Hemat Junus Satrio Jurnalisme Sastra K. Hirzuddin Hasbullah K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.H. Masrikhan Asy'ari K.H. Mudzakir Ma'ruf Kadjie MM Kajian Kitab Nashoihul 'Ibad Kang Daniel Karanggeneng Kartika Foundation Kasanwikrama Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kekal Hamdani Kemah Budaya Panturan (KBP) Kesenian KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Anwar Khoirul Inayah Khoirul Naim Khoirul Rosyadi Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Koko Sudarsono Komaruddin Hidayat Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopuisi Korban Gempa di Lombok Kospela KPRI IKMAL Lamongan Kris Razianto Mada Kritik Sastra Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kusni Kasdut Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto Lagu Laili Rahmawati Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Latif Fianto Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Listiyono Santoso Liya Izzatul Iffah Liza Wahyuninto Lucky Aditya Ramadhan Ludruk Jawa Timur Lukisan Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lustantini Septiningsih Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Ismail M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Iqbal Dawami M. Irfan Hidayatullah M. Latief M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Mushthafa M. Riza Fahlevi M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Maghfur Munif Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahwi Air Tawar Majelis Ulama Indonesia Makalah Tinjauan Ilmiah Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mantan Pastur Hafidz Al-Qur'an Maqhia Nisima Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Marsel Robot Martin Aleida Martin Hatch Marwan Ja'far Marwita Oktaviana Marzuki Mustamar Mashuri Masjid Tegalsari di Pesantren Gerbang Tinatar Masuki M. Astro Matroni el-Moezany Matroni Muserang Max Arifin Maya Handhini Mbah Kalbakal Medco Media Jawa Timur Medri Osno Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Misbahul Huda Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh Samsul Arifin Moh. Ghufron Cholid Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ghannoe Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Rain Muhammad Taufik Muhammad Yasir Muhammad Zia Ulhaq Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukhsin Amar Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Mun'im Sirry Muntamah Cendani Museum Bikon Blewut Ledalero Musfarayani Musfi Efrizal Musyayana Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nabi Adam Nanang Fahrudin Nandang Darana Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Ni Luh Made Pertiwi F Nindya Herdianti Ninin Nurzalina Wati Nitis Sahpeni Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noorsam Noval Jubbek Novel Pekik Novianti Setuningsih Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Hamzah Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nuswantoro Nyimas Nyoman Tingkat Obrolan Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Opini Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Pameran Seni Rupa Panda MT Siallagan Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit SastraSewu Penerbitan dan Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Pengajian Pengetahuan Perang Peringatan Hari Pahlawan 10 November Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pesantren Kampung Inggris Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Petrik Matanasi Pilang Tejoasri Laren Lamongan Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pilkada Piramid Giza Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pradana Boy ZTF Pradaningrum Mijarto Pramoedya Ananta Toer Prih Prawesti Febriani Pringadi AS Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Hartanto Puji Santosa Puput Amiranti N Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Satria Kusuma Putu Setia Putu Wijaya R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.Ng. Ronggowarsito Rabdul Rohim Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sazaly Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Rengga AP Reni Lismawati Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Rieke Diah Pitaloka Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rizka Halida Rizky Putri Pratimi Robin Al Kautsar Rocky Gerung Rodli TL Rofiqi Hasan Rohmad Hadiwijoyo Rohmah Maulidia Rohman Abdullah Rojiful Mamduh Rosdiansyah Rosi Rosidi Roso Titi Sarkoro Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rumah Literasi Rx King Motor S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Saifur Rohman Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Sardono W Kusumo Sartika Sari Sarworo Sp Sastra Facebook Satmoko Budi Santoso Satrio Lintang Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Savidapius Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Sejarah Sekolah Literasi Gratis SelaSAstra Boenga Ketjil SelaSAstra Boenga Ketjil #23 SelaSAstra Boenga Ketjil #24 Seni Ambeng Ponorogo Senirupa Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Shofiyatuz Zahroh Shohebul Umam JR Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Silfia Hanani Sindu Putra Sita Planasari Aquadini Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Hadi Purnomo Soediro Satoto Soegiharto Soeprijadi Tomodihardjo Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Igustin Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Sriyanto Danoesiswoyo Stefanus P. Elu Stevani Elisabeth STKIP PGRI Ponorogo Student Center Kampus ISI Yogyakarta Subagio Sastrowardoyo Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Ariyadi Sukitman Sumenep Sumiati Anastasia Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungelebak Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Suyadi San Syafrizal Sahrun Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syamsul Rizal Syi'ir Syifa Amori Syifa Aulia T.A. Sakti Tajuddin Noor Ganie Tamrin Bey dan Robin Al Kautsar TanahmeraH ArtSpace Tarpin A. Nasri Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Roda UNISDA Lamongan Teater Sakalintang Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tawon Teater Tewol Teguh LR Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Teori Darwin Teori Fisika Hawking Tgk Abdullah Lam U Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute Theresia Purbandini Thomas Koten Tien Rostini Timur Arif Riyadi Tjahjono Widarmanto Tjut Zakiyah Anshari Toeti Adhitama Tosa Poetra Tri Andhi S Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Tutut Herlina Ucu Agustin Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Uniawati Unieq Awien Universitas Jember Usman Arrumy Ustadz Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vassilisa Agata Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Video Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vita Devi Ajeng Pratiwi W. Haryanto W.S. Rendra Wakos R. Gautama Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Suryandoko William Shakespeare Wisnu Kisawa Wiwik Widiyati Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yayat R. Cipasang Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yulianto Yuliawati Yunanto Sutyastomo Yunus Supriyanto Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf AN Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Yuyuk Sugarman Z. Mustopa Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zarra Martsella Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zen Hae Zii Zuhdi Swt