Jumat, 02 Juli 2010

MEMAHAMI KEBUDAYAAN ETNIS MELALUI KESUSASTRAAN INDONESIA

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Ketika Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, menegaskan pernyataan sikap para pemuda Indonesia yang mengaku: “bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” saat itulah sesungguhnya identitas etnis –diwakili Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia—dan agama –diwakili Jong Islamieten—tiba-tiba seperti melekat masuk ke dalam semangat kebangsaan atas nama Indonesia. Sejak saat itu pula, bahasa Melayu –sebagai bahasa etnis yang mendiami kawasan Semenanjung— diangkat menjadi bahasa persatuan dalam semangat politik keindonesiaan, dan tidak dalam hubungan kultural kesukubangsaan.


Demikianlah, boleh dikatakan, selepas peristiwa itu, berbagai puak dengan keanekaragaman kultur dan bahasanya, mulai dipersatukan melalui klaim para pemuda itu atas kesadaran adanya persamaan tanah air (wilayah), persamaan nasib bangsa terjajah, dan persamaan menggunakan alat komunikasi antar-etnik (bahasa). Tentu saja –seperti telah disebutkan— klaim kesadaran keindonesiaan para pemuda waktu itu dalam konteks kebangsaan yang lebih bersifat politis, dan tidak dalam hubungan kultural. Di sinilah pernyataan “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” mestinya punya makna penting sebagai alat perekat. Pasalnya, jauh sebelum Sumpah Pemuda, bahasa Melayu telah menjadi lingua franca bagi penduduk di wilayah Nusantara ini. Secara sosiologis, de facto, bahasa Melayu sudah menjadi alat komunikasi antar-etnis, sekaligus juga sebagai sarana untuk saling mengenal lebih dekat keberagaman kultur etnisnya. Bukankah fungsi bahasa, di antaranya, untuk melakukan adaptasi dan integrasi sosial? Jadi, sejak Sumpah Pemuda dicetuskan, sejak itulah sesungguhnya terbuka lebar peluang untuk saling memahami berbagai kultur etnik dalam kerangka keindonesiaan.

Meskipun demikian, dalam perjalanannya, peluang untuk memahami berbagai kultur etnik melalui kesamaan bahasa itu, seperti diabaikan begitu saja. Sutan Takdir Alisjahbana, misalnya, tiba-tiba saja menyodorkan konsep kebudayaan Indonesia dengan orientasi ke Barat. Alisjahbana juga sama sekali tidak menyinggung kebudayaan etnik, lantaran ia terperangkap oleh pemikiran dikotomis mengenai kebudayaan tradisional (kebudayaan Indonesia lama) dan modern (kebudayaan Indonesia baru). Dikatakannya, “Tiada sekali-kali termaksud untuk mencela segala yang lama, untuk menyuruh orang melemparkan segala yang tumbuh dalam berabad-abad di lingkungan tanah Indonesia ini. Dalam pusaka turun-temurun itupun pastilah masih banyak tersimpan yang baik-baik yang dapat dipakai untuk perumahan yang baru.” Selanjutnya, dikatakan pula, “… dalam zaman jarak menjadi dekat dan watas menjadi kabur oleh radio, surat kabar, buku, dan mesin terbang ini, Indonesia menjadi sebahagian daripada dunia yang luas… dalam pembangunan kebudayaan Indonesia yang baru, yang akan menjadi sebahagian daripada kebudayaan dunia, Indonesia Muda tiada mungkin menjadi penonton…”

Dalam beberapa artikel Alisjahbana yang lain yang kemudian menjadi Polemik Kebudayaan itu, di satu pihak, ia memberi penyadaran pentingnya orientasi bangsa Indonesia dalam membangun kebudayaan sendiri, dan di lain pihak, memberi penekanan pada pengaruh asing (Barat) yang bagi Alisjahbana, mesti disikapi dengan menyerap pengaruh itu dan menjadikan kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Oleh karena itu, bagi Alisjahbana, kebudayaan tradisional mesti ditempatkan sebagai masa lalu. Secara eksplisit dikatakannya: masa lalu sudah mati semati-matinya!

Jelas, meski pada awalnya Alisjahbana masih menyatakan, bahwa “Dalam pusaka turun-temurun itupun pastilah masih banyak tersimpan yang baik-baik yang dapat dipakai untuk perumahan yang baru,” ia sama sekali tak melihat –bahkan tidak menyinggung— signifikansi kebudayaan daerah (etnik) sebagai bagian dari usaha membangun kebudayaan Indonesia. Dengan begitu, kebudayaan etnik pun, bagi Alisjahbana, sekadar kisah masa lalu. Bahwa pandangan Alisjahbana menafikan keberadaan kultur etnik, tentu saja masalahnya berkaitan dengan tuntutan semangat zamannya. Dalam hal ini, boleh jadi pertimbangannya semata-mata atas dasar pentingnya bangsa Indonesia mengejar ketertinggalannya dari bangsa lain. Atau, sangat mungkin pula Alisjahbana sengaja menutup mata atas kebudayaan etnik. Justru di situlah sesungguhnya sumber masalah yang menimpa kebudayaan Indonesia. Masalah itu kemudian terus mengalir mengikuti perjalanan waktu, dan seolah-olah kebudayaan Indonesia terjelma begitu saja secara serempak, tanpa keterlibatan –atau tanpa perlu melibatkan— ihwal kultur etnik.

Pertanyaan yang dapat kita ajukan adalah: apa yang dimaksud dengan kebudayaan Indonesia? Apakah kebudayaan Indonesia yang baru itu, semua unsurnya diambil dari kebudayaan asing atau kebudayaan daerah yang menyerap pengaruh asing? Perdebatan dalam Polemik Kebudayaan itu juga ternyata sama sekali tidak merumuskan konsep kebudayaan Indonesia. Yang ditekankan, bagaimana bangsa Indonesia menyikapi pengaruh asing dan menempatkan tradisi sebagai bagian dari masa lalu yang harus dibenamkan semati-matinya atau justru dijadikan sebagai sumber inspirasi.

Ketidakjelasan rumusan itu pula yang boleh jadi dihadapi oleh para penyusun Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 32 UUD 1945, dinyatakan: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.” Lalu apa yang dimaksud dengan kebudayaan nasional Indonesia, tak ada pula rumusannya. Hanya, di dalam penjelasan Pasal 32 itu, dinyatakan, bahwa “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.”

Kembali, penjelasan yang semestinya mendudukkan konsep kebudayaan nasional Indonesia, kebudayaan bangsa, dan (puncak-puncak) kebudayaan daerah dalam pengertian yang lebih terang, justru menimbulkan persoalan, karena tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan konsep itu. Bahkan pernyataan puncak-puncak kebudayaan daerah sebagai kebudayaan bangsa, menafikan sebagian keberadaan kebudayaan daerah sebagai bukan kebudayaan bangsa. Mengidentifikasikan kebudayaan daerah sebagai kebudayaan nasional, tentu saja tidak dapat dilakukan begitu saja mengingat keduanya mempunyai peranan yang berbeda. Kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional masing-masing menempati kotaknya sendiri yang tidak secara gampang dapat dipertukarkan tempatnya. Persoalannya makin rumit ketika ada pekerja budaya yang justru tidak berada di wilayah kebudayaan daerah. Tentu saja mereka tidak mungkin dapat mencapai “puncak-puncak” kebudayaan daerah. Rumusan yang berbau hegemonik ini sepatutnya tak muncul jika ada kesadaran bahwa sesungguhnya kebudayaan Indonesia tak dapat melepaskan diri dari hubungannya antara kebudayaan nasional (bangsa) dan kebudayaan daerah (etnik).

Penafikan kebudayaan daerah sebagai kebudayaan yang lahir dari rahim etnik kesukubangsaan, juga muncul dalam semangat yang melandasi para seniman dan budayawan yang tergabung dalam “Gelanggang Seniman Merdeka”. Dalam pernyataan sikap berkebudayaannya yang dirumuskan dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang”, mereka cenderung menempatkan kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia, dan tampaknya sama sekali tidak bermaksud hendak mempertimbangkan kebudayaan etnik atau kebudayaan daerah yang sesungguhnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan keindonesiaan. Perhatikan pernyataan Surat Kepercayaan Gelanggang yang dikutip beberapa penggalan berikut ini.

Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami
teruskan dengan cara kami sendiri. …
Kami tidak akan memberikan suatu kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia.
Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada
melap-lap hasil kebudayaan lama …. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh
kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia
yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri….

Lihatlah elan yang dikumandangkan para seniman yang belakangan dicap sebagai Angkatan 45 itu. Klaim “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” dan “Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia” menegaskan orientasi mereka pada kebudayaan dunia yang di dalam konteks itu tidak lain merupakan kebudayaan Barat.

Sementara itu, pernyataan: “Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama,” mengisyaratkan betapa mereka tak lagi melihat kebudayaan etnik yang sebenarnya sejak mereka lahir sudah nemplok dengan sendirinya. Pertanyaannya kemudian: mungkinkah kebudayaan etnik diabaikan begitu saja –bahkan ditiadakan, jika mereka sendiri lahir dan dibesarkan dalam lingkaran kebudayaan etnik. Dengan demikian, bagaimana mungkin mereka dapat merumuskan dan memahami identitas kebudayaannya, jika mereka sendiri, belum apa-apa, sudah menolak kebudayaan masa lalunya. Jadi, tidak dapat lain, usaha merumuskan kebudayaan Indonesia dan penjelasannya tentang itu, mesti berangkat atau bersumber dari kebudayaan masa lalunya itu; kebudayaan daerah, kebudayaan etnik. Tanpa itu, kita akan tetap terjebak pada perumusan yang mengawang-awang dan tidak membumi.

Pemaparan di atas sesungguhnya sekadar hendak menegaskan kembali, betapa rumusan-rumusan tentang kebudayaan Indonesia yang selama ini kita terima, telah gagal mengakomodasi keberadaan kebudayaan daerah –kebudayaan etnik. Jadi, titik tekan dalam mencermati persoalan kebudayaan Indonesia kini, mestinya tidak lagi terpaku dan berkutat pada konsep-konsep yang abstrak dan mengawang-awang, melainkan pada cara pandang dan pemahaman yang bersifat praksis.

Demikian juga, pemahaman kebudayaan etnik yang sekadar disajikan dalam bentuk pengetahuan hapalan tentang pakaian tertentu, jenis kesenian, dan nama suku bangsa sebagaimana yang banyak disajikan dalam buku-buku pelajaran, tanpa penjelasan lebih lanjut tentang filsafat yang mendiaminya, semangat yang menjiwainya, dan ruh kebudayaan yang melatarbelakanginya, telah mereduksi kekayaan dan kekhasan kebudayaan etnik itu sendiri. Dengan begitu, sangat mungkin kita sekadar hapal nama, istilah, atau konsep tentang kebudayaan etnik tertentu, tetapi sama sekali tidak dapat memahami peristiwa besar kebudayaan yang berada di sebaliknya. Dalam hal itu, barangkali, perlu dipikirkan langkah-langkah praksis yang memungkinkan kita dapat mengenal, memahami, dan memberi apresiasi sewajarnya atas berbagai macam budaya etnik. Dengan kata lain, diperlukan sikap inklusif dan terbuka dalam menerima kebudayaan etnik lain sebagai bagian dari kekayaan kebudayaan kita dalam lingkup keindonesiaan. Sikap apresiatif terhadap kultur etnik mana pun, sedikitnya dapat membawa kita mengenal, memahami dan memberi penghargaan yang proporsional, bahwa kultur etnik yang tersebar di wilayah Indonesia ini sesungguhnya merupakan bagian dari diri kita, dan bagian dari milik kita sebagai warga Indonesia.

Di dalam kerangka itulah, kesusastraan sebagai “potret” budaya sebuah komunitas yang lahir lewat proses pergulatan dan kegelisahan kultural pengarangnya, boleh jadi dapat kita jadikan sebagai salah satu sarana mencapai tujuan itu. Bukankah kesusastraan merupakan hasil evaluasi kritis atas problem sosial budaya yang terjadi dalam kehidupan yang melingkari diri seorang pengarang. Sangat mungkin, karya sastra sebagai sistem gagasan, sistem nilai atau segala sesuatu yang keluar dari pikiran manusia justru merepresentasikan semangat atau kegelisahan yang berkaitan erat dengan kebudayaan yang telah melahirkan, membesarkan, dan sekaligus juga mempengaruhi diri pengarang.
***

Kesusastraan Indonesia, secara kultural pada awalnya adalah kesusastraan ‘etnik’ yang ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia, bahasa nasional yang diangkat dari bahasa etnik Melayu. Sebagai sastra yang ruhnya berasal dari kultur etnik, ia tak terlepas dari berbagai hal yang melingkarinya. Paling tidak, sumbernya jatuh pada diri sastrawan yang juga tidak terlepas dari latar belakang etnik yang melahirkan dan membesarkannya.

Sebagai anggota kelompok sosial atau sukubangsa, sosok seorang sastrawan mengusung sesuatu yang berhubungan dengan ruh, semangat dan nilai budaya kelompok sukubangsa tertentu. Sayangnya, saat karya itu diejawantahkan dalam bahasa Indonesia, masalah etnik yang melingkarinya tadi, tiba-tiba seperti dianggap selesai, atau setidak-tidaknya, diperlakukan seolah-olah tidak ada hubungannya dengan masalah kultur etnik. Problem budaya sukubangsa, latar belakang etnik, mendadak lenyap begitu saja ketika ia menggunakan bahasa Indonesia. Padahal, bahasa Indonesia sekadar sarana yang di dalam kerangka Sumpah Pemuda sebagai pernyataan “menjunjung bahasa persatuan”. Di dalam kemajemukan masyarakat Indonesia, pluralitas etnis adalah kenyataan. Kenyataan itu tentu saja tidak serta-merta lebur dan menjelma dalam keseragaman, hanya lantaran ia menggunakan bahasa yang sama: bahasa Indonesia.

Maka, ketika Mohammad Yamin mengusung soneta dan berbicara tentang “Tanah Air” (1922) dan “Indonesia Tumpah Darahku” (1928), semangat pantun diperlakukan sekadar sebagai bentuk, dan bukan jiwa atau ruh yang mengilhaminya. Demikian juga, ketika novel-novel awal Balai Pustaka terbit, masalah kawin paksa seolah-olah muncul sebagai tema sentral. Lalu, kemanakah semangat pengelanaan yang menjadi salah satu ciri (kultur) orang Minang? Periksalah, dalam hampir semua novel terbitan Balai Pustaka masa itu, sebagian besar tokoh utamanya tidak pernah lepas dari semangat pengelanaan (merantau). “Konsep merantau menurut alam pikiran Minangkabau ialah untuk menimba segala sesuatu yang tidak mereka dapati di alam tradisional. Perantauan adalah sumber dari sesuatu yang baru .…” Bukankah itu merupakan representasi kultur Minangkabau?

Ketika Sutan Takdir Alisjahbana menyatakan, bahwa kebudayaan tradisional (: kultur etnik) –sebagai masa lalu—yang harus mati semati-matinya, dalam kenyataannya, pernyataan itu sekadar slogan belaka. Majalah Poedjangga Baroe yang dikelolanya, justru banyak pula memuat berbagai tulisan yang mengangkat kebudayaan tradisional (kultur etnik) atau kesusastraan yang berorientasi pada unsur kedaerahan. Jadi, meskipun Alisjahbana menganjurkan agar bangsa Indonesia berorientasi ke Barat, ia sendiri tidak menolak dan membiarkan orang berbicara tentang berbagai pemikiran yang berkaitan dengan kebudayaan tradisional (: kebudayaan daerah). Oleh karena itu, suara Alisjahbana sesungguhnya tak cukup representatif mewakili suara angkatan Pujangga Baru mengingat tidak sedikit di antaranya –termasuk Armijn Pane dan Amir Hamzah— yang tidak mau meninggalkan kebudayaan etnik yang telah melahirkan dan membesarkannya itu.

Masalah yang sama, juga terjadi pada seniman dan budayawan Gelanggang yang memproklamasikan sikap berkeseniannya lewat Surat Kepercayaan Gelanggang. Dari sejumlah besar sastrawan Gelanggang, hanya Chairil Anwar yang melanjutkan kekaguman Alisjahbana terhadap kebudayaan Barat. Tetapi Chairil Anwar tidak secara bulat-mentah memamahnya. Ia justru menerjemahkan semangat Barat untuk kepentingan kreativitasnya. Maka, seperti dikatakan Sutardji Calzoum Bachri, “Ambillah Barat dan kebudayaan Indonesia baru akan menjadi kreatif sesuai dengan tuntutan zaman.”

Chairil Anwar memang wakil generasi itu. Tetapi di sana masih ada Asrul Sani, Sitor Situmorang, Pramoedya Ananta Toer, Achdiat Karta Mihardja, Rivai Apin, dan sederetan nama lain yang juga tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Maka, kita dapat melihat, pernyataan “melap-lap kebudayaan lama” justru telah diterjemahkan dalam sejumlah karya mereka sebagai penggalian pada sumber tradisi (: etnik). Asrul Sani ternyata masih mencintai Sang Mamak (“Surat dari Ibu”) dan melakukan pengelanaannya dalam semangat Minangkabau. Pramoedya Ananta Toer (Bukan Pasar Malam) menguak secara kritis feodalisme Jawa, Sitor Situmorang mengusung eksistensialisme dalam kegamangan berhadapan dengan kultur leluhurnya, dan Achdiat Karta Mihardja membongkar tarekat dalam sebagian masyarakat Sunda berhadapan dengan rasionalitas agama. Dengan demikian, pernyataan “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia …” dapatlah kita tafsirkan dalam kaitannya atau dalam berhadapan dengan kultur etnik.

Sejak tahun 1950-an, semangat mengangkat kebudayaan etnik, tidak lagi terpusat pada Minangkabau (: Sumatra), tetapi makin menyebar ke dalam diri para sastrawan yang berlatar etnis lain di luar Minangkabau, seperti Jawa, Bali, Dayak, Melayu, dan Cirebon. Keadaan tersebut terus berkembang ketika ada usaha untuk melakukan semacam revitalisasi tradisi dalam kemasan modern. Itulah yang terjadi dalam perjalanan kesusastraan Indonesia tahun 1970-an, dan terus berlanjut –meski tidak lebih semarak dibandingkan dasawarsa itu—sampai kini. Timbul pertanyaan: mengapa masalah kultur etnik jarang disinggung oleh para pengamat sastra yang membincangkan novel-novel awal Balai Pustaka?

Ada dua kemungkinan yang melatarbelakangi hal tersebut. Pertama, terjebak oleh cara pandang kolonial, sebagaimana yang diterapkan pada Balai Pustaka. Cara pandang kolonial itu pula yang menempatkan sastra sebagai produk elitis, dan menciptakan dikotomi roman Balai Pustaka dan roman picisan (: bacaan liar). Kedua, terkungkung oleh cara pandang strukturalis. Dalam dua dasawarsa lebih, pendekatan struktural ini mendominasi pengajaran sastra di berbagai peringkat pendidikan. Akibatnya, karya sastra yang sesungguhnya menyimpan kekayaan kultur etnik, tidak dapat lebih jauh dimaknai, ditafsirkan, dan dikaitkan dengan kebudayaan yang melingkari diri pengarangnya.

Masalah lainnya adalah kenyataan bahwa Indonesia terdiri dari berbagai-bagai sukubangsa dan budaya, agama, kepercayaan, dan ideologi. Bahwa suku bangsa yang satu tak memahami suku bangsa lain; budaya yang satu diperlakukan seolah-olah tak bersentuhan dengan budaya yang lain; juga merupakan kenyataan yang sangat mungkin sewaktu-waktu dapat menjadi masalah serius, sebagaimana terjadi di Sambas, dan beberapa daerah lain. Bahkan, jika ihwal etnisitas ini diangkat secara berlebihan dan disuarakan sebagai sebuah gerakan, ia boleh jadi malah menjadi ancaman bagi keutuhan integrasi bangsa, seperti diperlihatkan Aceh dan Papua. Oleh karena itu, pemahaman dan usaha mempelajari kebudayaan sukubangsa lain, di luar etnisnya sendiri, niscaya menjadi sangat signifikan jika mengingat kemungkinan terjadinya desintegrasi bangsa tadi.
***

Kesusastraan, meski bermain dalam tataran imajinasi, sesungguhnya merefleksikan ruh kultural sebuah komunitas. Ia merupakan refleksi evaluatif atas kehidupan yang melingkari diri seorang sastrawan. Ia hadir dan dilahirkan dari sebuah proses panjang berbagai macam kegelisahan yang terus-menerus menggerayangi sikap, pemikiran, ideologi, kepercayaan, dan kepedulian sastrawan atas nasib orang per orang dalam konteks hubungan sosial yang terikat pada kebudayaan masyarakat bersangkutan.

Mengingat kesusastraan Indonesia secara kultural merupakan kesusastraan ‘etnik’ maka usaha mempelajarinya, langsung atau tidak langsung, diharapkan sampai ke sebuah muara yang bernama Indonesia yang pluralis, yang multietnik, yang multikultural. Oleh karena itu, mempelajari sastra Indonesia yang berdarah-daging etnis, dapat pula kiranya dianggap sebagai usaha memahami identitas budaya etnis lain, kebudayaan lain, dan dapat pula dimaknai sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadapnya.

Persoalan lain yang terjadi dalam hubungan kesukubangsaan dan kebangsaan atau antara etnisitas dan nasionalisme adalah adanya tuntutan pengakuan dan keinginan yang berlebihan untuk mempertahankan identitas etnis dan agama. Sejatinya keberadaan masing-masing etnis itu berbeda dan perbedaan yang beranekaragam itu sebagai pluralitas faktual, maka perlu ada kesadaran kesetaraan hubungan antar-etnis itu. Lewat kesadaran kesetaraan itu, usaha untuk mengapresiasi etnis dan budaya lain relatif menjadi lebih gampang dan fleksibel. Usaha memelihara toleransi menjadi lebih terbuka.

Menempatkan kesusastraan Indonesia sebagai pintu masuk menuju pemahaman pluralitas budaya dan keberagaman etnik masyarakat di wilayah Nusantara ini, tentu saja bukan tanpa alasan. Selain persoalan konflik etnik dan agama yang perlu segera mendapat penanganan serius, juga hasrat beberapa daerah yang berlebihan hendak mewujudkan identitas etnik dalam kerangka negara merdeka (ethnonationalism) dapat menjadi ancaman. Oleh karena itu, kinilah saatnya memanfaatkan khazanah kesusastraan Indonesia yang sarat bernafaskan kultur etnik untuk dijadikan salah satu alat atau kendaraan yang akan membawa bangsa ini menuju pemahaman keberagaman etnik dengan pluralitas budayanya. Dengan mempertimbangkan beberapa faktor berikut ini, tidaklah berlebihan jika gagasan ini dicobakan.

Pertama, sejak zaman Balai Pustaka hingga kini –seperti telah disinggung—sastrawan Indonesia dalam kenyataannya tidak dapat meninggalkan kebudayaan etniknya sendiri. Suara Sutan Takdir Alisjahbana yang menekankan orientasi ke Barat, ternyata tidak sepenuhnya diikuti oleh sastrawan lainnya pada masa itu. Demikian juga pernyataan Surat Kepercayaan Gelanggang yang mengaku sebagai ahli waris kebudayaan dunia, tidak juga tercermin dalam karya-karya yang dihasilkan para perumus pernyataan itu.

Kedua, pluralitas kultural yang dimiliki suku-suku bangsa di wilayah Nusantara ini merupakan lahan yang tak bakal habis digali dan dimanfaatkan bagi pemerkayaan khazanah sastra Indonesia. Periksa saja karya-karya yang dihasilkan sastrawan kita yang mengalami kegelisahan kultural atas budaya etniknya sendiri. Dari kultur Minangkabau, misalnya, kita dapat menyebutkan nama-nama Chairul Harun, Warisan (1979), Darman Munir, Bako (1983) dan Dendang (1990), Wisran Hadi, Orang-Orang Blanti (2000), dan Gus tf Sakai, Tambo: Sebuah Pertemuan (Grasindo, 2000). Dari kultur Jawa, dapat disebutkan di antaranya, karya Arswendo Atmowiloto, Canting (1986), Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Umar Kayam, Para Priyayi (1992), Kuntowijoyo, Pasar (1994), dan Danarto, Asmaraloka (1999) dan antologi cerpennya, Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001). Dari kultur Melayu dapat disebutkan karya Ediruslan Pe Amanriza, Dikalahkan Sang Sapurba (2000), Taufik Ikram Jamil, Hempasan Gelombang (1999) dan Gelombang Sunyi (2001). Dari kultur Madura dapat kita cermati dari sejumlah antologi puisi D. Zawawi Imron, Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996; II, 2000), dari kultur Dayak, pilihan jatuh pada novel Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan, dan dari kultur Papua (Asmat), Namaku Teweraut (2001), Aning Sekarningsih. Dari kultur Bali, Bila Malam Bertambah Malam (1971: II, 2003) karya Putu Wijaya dan Tarian Bumi (2000) karya Oka Rusmini.

Tentu saja masih banyak nama dan karya lain yang belum disebut yang memperlihatkan kuatnya kegelisahan kultural yang dihadapi pengarangnya. Niscaya, karya-karya mereka sangat pantas menjadi bahan awal untuk memperkenalkan serba sedikit mengenai berbagai kultur etnik yang tersebar di Nusantara ini. Di luar karya-karya itu, tentu saja perlu diperhitungkan pula karya-karya yang tidak mengangkat kultur etnik. Dengan cara demikian, pemahaman kita mengenai kesusastraan Indonesia, tidak hanya yang bersangkut paut dengan persoalan etnik, tetapi juga persoalan lain di luar itu.

Ketiga, hadirnya begitu banyak penerbit di luar Jakarta, seperti Riau, Padang, Yogyakarta, Surabaya, Magelang, Bandung, Lampung, telah memungkinkan munculnya kesemarakan bagi khazanah kesusastraan Indonesia. Dalam hal ini, karya-karya yang diterbitkan penerbit dari berbagai kota itu memperlihatkan kuatnya kultur etnik. Dengan demikian, pemahaman terhadap kesusastraan Indonesia tidaklah dapat direduksi sebatas pada karya-karya yang diterbitkan di Jakarta. Dalam hal ini, sudah saatnya pula pemikiran mengenai hubungan pusat—daerah yang menempatkan Jakarta sebagai pusatnya, tidak dihembuskan lagi mengingat kenyataannya memang tidak demikian.

Keempat, munculnya sastrawan-sastrawan wanita dengan latar belakang budaya yang berbeda, ikut pula meramaikan peta kesusastraan Indonesia. Yang menarik adalah beragamnya bentuk representasi yang jika dilihat dari perspektif kultural, justru memperlihatkan pengagungan pada keanekaragaman dan pluralitas.

Kelima, diberlakukannya otonomi daerah makin melebarkan peluang bagi sastrawan daerah untuk melakukan eksplorasi kekayaan budaya suku bangsanya sendiri. Dengan demikian, bakal meramaikan konstelasi kesusastraan Indonesia melalui eksplorasi dan penggalian berbagai budaya etnik. Pada gilirannya, kondisi ini makin mempertegas adanya keanekaragaman budaya dan pluralitas yang melekat dalam diri sastrawan Indonesia.
***

Mungkinkah melalui khazanah kesusastraan Indonesia kita dapat memahami kebudayaan Indonesia? Meskipun kesusastraan –mestinya—lahir tanpa komitmen yang khas terhadap kebudayaan etnik, kebudayaan nasional, atau kebudayaan dunia, melainkan semata-mata terhadap manusia dan kemanusiaan, kesadaraan –atau ketidaksadarannya—terhadap kebudayaan yang telah membentuknya, tetap akan muncul begitu saja lantaran ia telah menjadi bagian dari dirinya. Maka, melalui karya sastra yang mengangkat kultur etnik, kita akan beroleh semacam potret sosial tentang pemaknaan dan penerjemahan sebuah kebudayaan etnik yang bersangkutan. Di sana kita akan berjumpa dengan pola hubungan kekerabatan, tingkah laku, kepercayaan, dan segala sesuatu yang hidup dan menjadi tradisi kebudayaan masyarakat tersebut.

Karya sastra sebagai produk budaya, tentu saja dapat dijadikan semacam jembatan untuk sampai pada pemahaman –atau setidak-tidaknya—sikap terbuka melakukan apresiasi terhadap berbagai kultur etnik yang ada di Nusantara. Keterbukaan menerima dan mencoba melakukan apresiasi terhadap kultur mana pun, kiranya dapat dijadikan semacam modal dasar untuk secara perlahan-lahan mengikis sikap pengagungan terhadap kebudayaan etnis sendiri yang dipegang secara berlebihan dan meninggalkan sikap menganggap rendah kebudayaan lain. Dengan demikian, kesadaran terhadap kebudayaan sendiri tidak dalam kerangka menutup diri, menolak, dan menafikan kebudayaan lain, tetapi justru dalam hubungannya membuka ruang yang seluas-luasnya untuk saling menerima, melengkapi, sekaligus memperkaya lewat unsur lain yang dianggap penting.

Dengan dasar pemikiran itu, kiranya perlu dipertimbangkan semacam pendidikan atau pelajaran mengenai berbagai kebudayaan etnis dengan memanfaatkan khazanah kesusastraan Indonesia sebagai jembatannya. Dengan cara itu pula, suku-sukubangsa di Nusantara ini dibawa pada suatu kondisi yang memungkinkan mereka relatif memahami identitas kebudayaan etniknya ketika mereka dihadapkan pada kebudayaan etnis lain, meskipun mungkin hanya menyangkut salah satu aspek saja. Hanya dengan sikap inklusif dan memberi tekanan pada kesetaraan dalam memandang kebudayaan lain, niscaya sikap snobis terhadap kebudayaan sendiri, lambat atau cepat akan tergusur dengan sendirinya. Semoga!

Mkl/prakongres/msm/21/4/2003

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Alexander A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Dahana A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.C. Andre Tanama A.J. Susmana A.S. Laksana A’an Jindan AS Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Rauf Singkil Abdul Walid Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adek Alwi Adhi Pandoyo Adhitia Armitrianto Adhy Rical Adi Faridh Adian Husaini Adin Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrizas Adu Pesona Sang Wakil Presiden RI AF. Tuasikal Afri Meldam Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agit Yogi Subandi Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Rakasiwi Agus Sulton Agus Wibowo Agus Wirawan Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ah. Atok Illah Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Anshori Ahmad Damanik Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Hasan MS Ahmad Jauhari Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad S. Zahari Ahmad Syafii Maarif Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fiah Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Siddiq Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al-Fairish Al-Ma'ruf I Al-Ma'ruf II Alang Khoiruddin Albert Camus Ali Mahmudi Ch Alia Swastika Alvi Puspita Alvin Amien Wangsitalaja Aminah Aming Aminoedhin Ana Mustamin Anam Rahus Anas AG Andhi Setyo Wibowo Andi Gunawan Andry Deblenk Angela Anggie Melianna Anindita S. Thayf Anis Ceha Anitya Wahdini Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anugerah Ronggowarsito Anwar Nuris Aprillia Ika Arida Fadrus Aridus Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Ariel Heryanto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Arwan Aryo Wisanggeni Aryo Wisanggeni Gentong AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Ashadi Ik Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asro Kamal Rokan Astrid Reza Asvi Warman Adam Atafras Atok Witono Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azwar Nazir Baca Puisi Badrus Siroj Bahrul Ulum A. Malik Balada Bambang kempling Bambang Riyanto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berita Utama Bernando J. Sujibto Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Bre Redana Brunel University Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Jay Utomo Budi P. Hatees Budi Palopo Budi Setyarso Budi Sp. Indrajati Budiman S. Hartoyo Budiman Sudjatmiko Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Choirul Rikzqa Christian Heru Cahyo Saputro Cover Buku D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dadang Widjanarko Damiri Mahmud Dani Fuadhillah Daniel Paranamesa Darju Prasetya Dati Wahyuni Dawet Jabung Ponorogo Dedykalee Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Deshinta Arofah Dewi Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan Dewi Anggraeni Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Didik Kusbiantoro Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dorothea Rosa Herliany Dr Andi Irawan Dr Siti Muti’ah Setiawati Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Drs. Solihin Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddi Koben Edeng Syamsul Ma’arif Edy Apriyanto Sudiyono Edy Firmansyah Edy Susanto Efri Ritonga EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hartono Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elita Sitorini Elly Trisnawati Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Em. Syuhada' Emha Ainun Nadjib Encep Abdullah Eni Sulistiyawati Eny Rose Esai Ester Lince Napitupulu Etik Widya Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathan Mubarak Fathul Qodir Fathul Qorib Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Seni Surabaya 2011 Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fikri. MS Fiqih Arfani Firman Daeva Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Forum Santri Nasional (FSN) Free Hearty Galuh Tulus Utama Gandis Uka Ganug Nugroho Adi Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gendut Riyanto Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Pratama Glenn Fredly Goenawan Mohamad Golput Gombloh Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Hadi Napster Hafis Azhari Halim HD Halimi Zuhdy Hamid Dabashi Han Gagas Hardi Hamzah Hari Prasetyo Haris Del Hakim Haris Saputra Hary B Kori’un Hasan Basri Marwah Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Hendro Situmorang Henri Nurcahyo Henry H Loupias Hera Khaerani Heri CS Heri Kris Heri Latief Heri Listianto Herman RN Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Kuntoyo Heru Kurniawan Hikmat Darmawan Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humaidi Humam S Chudori I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I. B. Putera Manuaba IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ichwan Prasetyo Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Munadjat Imam Nawawi Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Herdiana Imron Arlado Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indigo Art Space Madiun Indra Tjahyadi Indrian Koto Ingki Rinaldi Iqmal Tahir Is Faridatul Arifah Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Isra’ Mi’raj Iswadi Pratama Iswara N Raditya Iva Titin Shovia Iwan Awaluddin Yusuf Iwan Gunadi J. Sumardianta Jamrin Abubakar Jansen Sinamo Janu Jolang Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jemie Simatupang Jenny Ang Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jl Simo Jo Batara Surya Jodhi Yudono Joko Budhiarto Joko Sadewo Joko Sandur Joko Widodo Jones Gultom Joni Ariadinata Joresan Mlarak Ponorogo Joseph E. Stiglitz Jual Buku Paket Hemat Junus Satrio Jurnalisme Sastra K. Hirzuddin Hasbullah K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.H. Masrikhan Asy'ari K.H. Mudzakir Ma'ruf Kadjie MM Kajian Kitab Nashoihul 'Ibad Kang Daniel Karanggeneng Kartika Foundation Kasanwikrama Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kekal Hamdani Kemah Budaya Panturan (KBP) Kesenian KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Anwar Khoirul Inayah Khoirul Naim Khoirul Rosyadi Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Koko Sudarsono Komaruddin Hidayat Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopuisi Korban Gempa di Lombok Kospela KPRI IKMAL Lamongan Kris Razianto Mada Kritik Sastra Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kusni Kasdut Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto Lagu Laili Rahmawati Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Latif Fianto Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Listiyono Santoso Liya Izzatul Iffah Liza Wahyuninto Lucky Aditya Ramadhan Ludruk Jawa Timur Lukisan Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lustantini Septiningsih Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Ismail M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Iqbal Dawami M. Irfan Hidayatullah M. Latief M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Mushthafa M. Riza Fahlevi M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Maghfur Munif Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahwi Air Tawar Majelis Ulama Indonesia Makalah Tinjauan Ilmiah Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mantan Pastur Hafidz Al-Qur'an Maqhia Nisima Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Marsel Robot Martin Aleida Martin Hatch Marwan Ja'far Marwita Oktaviana Marzuki Mustamar Mashuri Masjid Tegalsari di Pesantren Gerbang Tinatar Masuki M. Astro Matroni el-Moezany Matroni Muserang Max Arifin Maya Handhini Mbah Kalbakal Medco Media Jawa Timur Medri Osno Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Misbahul Huda Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh Samsul Arifin Moh. Ghufron Cholid Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ghannoe Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Rain Muhammad Taufik Muhammad Yasir Muhammad Zia Ulhaq Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukhsin Amar Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Mun'im Sirry Muntamah Cendani Museum Bikon Blewut Ledalero Musfarayani Musfi Efrizal Musyayana Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nabi Adam Nanang Fahrudin Nandang Darana Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Ni Luh Made Pertiwi F Nindya Herdianti Ninin Nurzalina Wati Nitis Sahpeni Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noorsam Noval Jubbek Novel Pekik Novianti Setuningsih Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Hamzah Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nuswantoro Nyimas Nyoman Tingkat Obrolan Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Opini Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Pameran Seni Rupa Panda MT Siallagan Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit SastraSewu Penerbitan dan Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Pengajian Pengetahuan Perang Peringatan Hari Pahlawan 10 November Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pesantren Kampung Inggris Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Petrik Matanasi Pilang Tejoasri Laren Lamongan Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pilkada Piramid Giza Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pradana Boy ZTF Pradaningrum Mijarto Pramoedya Ananta Toer Prih Prawesti Febriani Pringadi AS Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Hartanto Puji Santosa Puput Amiranti N Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Satria Kusuma Putu Setia Putu Wijaya R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.Ng. Ronggowarsito Rabdul Rohim Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sazaly Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Rengga AP Reni Lismawati Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Rieke Diah Pitaloka Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rizka Halida Rizky Putri Pratimi Robin Al Kautsar Rocky Gerung Rodli TL Rofiqi Hasan Rohmad Hadiwijoyo Rohmah Maulidia Rohman Abdullah Rojiful Mamduh Rosdiansyah Rosi Rosidi Roso Titi Sarkoro Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rumah Literasi Rx King Motor S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Saifur Rohman Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Sardono W Kusumo Sartika Sari Sarworo Sp Sastra Facebook Satmoko Budi Santoso Satrio Lintang Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Savidapius Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Sejarah Sekolah Literasi Gratis SelaSAstra Boenga Ketjil SelaSAstra Boenga Ketjil #23 SelaSAstra Boenga Ketjil #24 Seni Ambeng Ponorogo Senirupa Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Shofiyatuz Zahroh Shohebul Umam JR Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Silfia Hanani Sindu Putra Sita Planasari Aquadini Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Hadi Purnomo Soediro Satoto Soegiharto Soeprijadi Tomodihardjo Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Igustin Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Sriyanto Danoesiswoyo Stefanus P. Elu Stevani Elisabeth STKIP PGRI Ponorogo Student Center Kampus ISI Yogyakarta Subagio Sastrowardoyo Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Ariyadi Sukitman Sumenep Sumiati Anastasia Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungelebak Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Suyadi San Syafrizal Sahrun Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syamsul Rizal Syi'ir Syifa Amori Syifa Aulia T.A. Sakti Tajuddin Noor Ganie Tamrin Bey dan Robin Al Kautsar TanahmeraH ArtSpace Tarpin A. Nasri Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Roda UNISDA Lamongan Teater Sakalintang Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tawon Teater Tewol Teguh LR Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Teori Darwin Teori Fisika Hawking Tgk Abdullah Lam U Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute Theresia Purbandini Thomas Koten Tien Rostini Timur Arif Riyadi Tjahjono Widarmanto Tjut Zakiyah Anshari Toeti Adhitama Tosa Poetra Tri Andhi S Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Tutut Herlina Ucu Agustin Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Uniawati Unieq Awien Universitas Jember Usman Arrumy Ustadz Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vassilisa Agata Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Video Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vita Devi Ajeng Pratiwi W. Haryanto W.S. Rendra Wakos R. Gautama Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Suryandoko William Shakespeare Wisnu Kisawa Wiwik Widiyati Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yayat R. Cipasang Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yulianto Yuliawati Yunanto Sutyastomo Yunus Supriyanto Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf AN Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Yuyuk Sugarman Z. Mustopa Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zarra Martsella Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zen Hae Zii Zuhdi Swt