Muhammadun AS
http://www.suaramerdeka.com/
NAHDLATUL Ulama (NU) genap berusia 83 tahun pada Kamis, 16 Rajab 1427 yang bertepatan dengan 11 Agustus 2006. Dalam perjalanannya selama 83 tahun ini, NU kembali menegaskan dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan yang tidak "terkotori" oleh goyangan politik praktis.
Khotbah iftitah Rais Aam PBNU, KH MA Sahal Mahfudh dalam Munas dan Konbes NU di Surabaya belum lama ini dengan jelas menginginkan para elite NU agar jangan menggunakan atribut NU demi kepentingan politik sesaat.
Seruan agar NU menyapih politik praktis ternyata belum mampu memberikan "sinyal" kepada pengurus dan warganya untuk menekuni kembali pemberdayaan gerakan kultural. Sampai saat ini para elite NU yang terlibat dalam konflik internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) belum menyadari sepenuhnya akan potensi NU yang telah tercabik-cabik .
NU yang pada Juni 2006 di hadapan segenap tokoh Muslim dunia telah mengukuhkan dirinya sebagai kaum moderat, ternyata sampai sekarang masih berada di tengah persimpangan jalan dalam menyikapi problematika krusial agama. NU ternyata belum mampu membuktikan dirinya dalam "mengerem" tindakan anarkis yang berlandaskan aspek teologis. Bahkan tidak sedikit pengurus dan warganya terjebak dalam isu-isu yang dibawa kaum fundamentalis, atau terjebak dalam godaan politik praktis sehingga meninggalkan program prioritasnya dalam membangun masyarakat yang toleran, humanis, dan berkeadilan.
Fatwa NU atas haramnya infotainment sampai saat ini masih menyulut kontroversi yang tak kunjung usai adalah misal konkret. Sebagai organisasi sosial keagamaan yang selalu menebarkan konsep rahmatan lil'alamin, NU harus kembali mengoreksi eksistensi jati dirinya di tengah pergumulan masyarakat. Dengan kata lain, perlu adanya revitalisasi peran yang sampai sekarang masih berada di tengah jalan. Mengapa masih di tengah jalan ? Karena sampai sekarang wacana yang digulirkan belum mampu menyentuh secara riil kondisi sosial kemasyarakatan secara global, apalagi yang bergumul dengan kondisi keberagaman taken for granted. Sikap yang lahir dari taken for granted adalah makin kukuhnya keterjerumusan kita dalam memaknai agama yang sakral, angker, dan keramat yang hanya menawarkan jampi-jampi keselamatan, kebahagiaan, dan keadilan.
Sikap inilah yang kemudian eksistensi kaum moderat "terkungkung" di tengah jalan, dan bagi AN Burhani [2001], hal tersebut akan menimbulkan fenomena lain dalam konsep keberagamaan yang meliputi; Pertama, telah terjadi adanya pendewaan agama.
Manusia sering terjerumus untuk mendewakan agama, istilah-istilah agama dan pemuka agama. Tuhan beserta segala sifat sucinya yang meliputinya berulang kali hilang dari ingatan.
Prinsip agama dan ajaran sucinya mengalami nasib yang sama, mereka nyaris habis terpangkas dan tinggal jargon-jargon yang tidak mempunyai nyali. Di sini agama bukan lagi sebagai amalan, namun berubah fungsi sebagai markas jaringan "mafia", sehingga tidak heran bila kemudian muncul manipulasi agama dan korupsi agama.
Kedua, pengelasan dalam berakhlak. Umat beragama sering terjebak untuk sering dekat dengan saudara seagama [in group feeling] dan menomorduakan persahabatan dengan rekan dari agama lain.
Hal ini mengakibatkan kurang objektif dalam memandang apa yang ada di luar kelompok kita, bahkan kita sering menganggap mereka sebagai "musuh" yang harus dihancurkan. Kalau kita menelaah dengan teologi transformatifnya Moeslim Abdurrahman, maka kendati keadilan sosial merupakan sendi utama beragama, namun jika keadilan tidak menimpa kita atau saudara kita, maka kita kurang menaruh perhatian dan bahkan tidak memperhatikan sedikit pun.
NU harus kembali menekuni berbagai persoalan dan dinamika masyarakat yang selalu berkembang setiap saat, agar kembali ke jati dirinya yang sering terkubur oleh pragmatisme dan romantismenya . Untuk itu, meneguhkan kembali jatidirinya sebagai kaum moderat merupakan keniscayaan yang tak terelakkan. Tantangan NU ke depan tidak ringan, karena di depan telah terpampang banyak problem.
Atau mungkin kita berdoa agar mereka berada dalam "kelas" di bawah kita. Kondisi tersebut banyak membuat warga NU tidak lagi kritis dan terbawa dalam monopoli kebenaran. Persahabatan dalam lingkungan NU banyak terjerumus hanya dalam godaan politik praktis. Sesama warga NU banyak yang menyimpan kebencian religius, apalagi dengan yang lain.
Muktamar yang berlangsung tahun kemarin adalah contohnya. Betapa NU hanya sibuk mengurusi soal Rais Aam dan Ketua Umum saja, sementara agenda-agenda prioritas ke depan dalam meneguhkan keberagamaan warga terabaikan. NU seakan menjadi "ladang bisnis". Sementara umat di bawah menunggu peran pengurusnya dalam melakukan pencerahan, baik secara spiritual maupun kemasyarakatan.
Meneguhkan Jati Diri
Dalam menghadapi fenomena tersebut, NU harus kembali menekuni berbagai persoalan dan dinamika masyarakat yang selalu berkembang setiap saat, agar kembali ke jatidirinya yang sering terkubur oleh pragmatisme dan romantismenya . Untuk itu, meneguhkan kembali jati dirinya sebagai kaum moderat merupakan keniscayaan yang tak terelakkan. Tantangan NU ke depan tidak ringan, karena di depan telah terpampang banyak problem. Peneguhan jati diri dalam konteks kebergamaan dapat dilakukan dengan beberapa hal. Pertama, revitalisasi peran sertanya dalam membangun relegiusitas yang setara dan emansipatoris, dengan selalu melakukanreaktualisasi ajarannya.
Dalam melakukan reaktualisasi, gagasan Islam progresif yang dilakukan oleh aktivis HAM, Shalahuddin al-Jursyi, perlu kita telaah secara kritis.
Al-Jursyi menginginkan agar setiap relasi teks wahyu dengan konteks sosial akan selalu membutuhkan upaya pembaharuan dan re - establiment sesuai dengan penyingkapan penemuan ilmiah baru dalam perubahan-perubahan ekonomi, sosial, dan kultural. Karena wahyu tidak pernah menghentikan gairah untuk bertanya, maka hakikat keimanan selalu menuntut kita untuk meragukan secara nisbi dan berkesinambungan.
Dalam konteks ini, bagi al-Jursyi, tafsir Maqashid interpretasi teks yang disesuaikan dengan tujuan-tujuan syariat sangat penting untuk memantapkan dinamika sosial. Interpretasi seperti ini, kemudian akan membangun sebuah pola relasi yang dialektik antara wahyu sebagai sumber ajaran normatif dengan rasio (atau manusia) sebagai penerimanya.
Di sini, keyakinan Islam yang diusung al-Jursyi menginginkan agar fungsi sosial wahyu yang menjunjung tinggi tujuan-tujuan universal dari bunyi teks tekstual syariat tanpa mengesampingkan unsur-unsur lokal dan temporal akan mampu memantapkan dan meralisasikan kapasitas Islam sebagai sebuah agama yang aktual setiap saat dan waktu dalam merespon fenomena sosial yang sedang menjadi problema masyarakat.
Kedua, memantapkan kembali kesadaran "bumi". Yakni memandang agama sebagai milik manusia (antroposentrisme) tanpa harus meniadakan teosentrisme atau wacana tentang Tuhan. Ber-Tuhan bukanlah sikap taken for granted atas ajaran agama, namun justru berada di pihak segenap manusia, dan manusia bukan hanya sebagai anggota agama saja.
Dalam konteks ini, mengedepankan teologi humanistik-universal adalah keniscayaan dengan lebih concern terhadap berbagai persoalaan lingkungan hidup, harmoni sosial, dan masa depan kemanusiaan. Agama hanya credible apabila dapat menolak segala sikap yang bernafaskan kebencian, balas dendam, dan kepicikan beragama, serta dapat mengembangkan sikap kebaikan hati, kasih-mengasihi, solidaritas kemanusiaan universal, keadilan, keberana, rasionalitas, dan keterbukaan. Sikap-sikap etik agama janganlah hanya menjadi perbincangan saja, namun harus mampu di 'bumi'kan dalam realitas yang empirik. Dengan mampu menghadirkan sikap keberagamaan yang kritis-progresif serta mampu melakukan pembumian atas ajaran etik agama secara transformatif, maka di sinilah kaum moderat akan mampu eksis perannya di tengah pergumulan keberagamaan yang kompleks sekarang ini.
Dengan kata lain, selain mampu membangun komitmennya terhadap realitas sosial yang ada, NU juga harus mampu mentransformasikan ide-ide perubahan yang digagasnya dalam realitas yang empirik. Di sinilah, peran kader muda, yang oleh Laode Ida disebut kaum muda progresif, sangat krusial dan menentukan sekali. Kita tahu, kaum muda NU selama ini telah banyak membuat ontran-ontran, sehingga dengan beragam pengalaman yang mereka miliki mampu mengembalikan kembali wajah NU yang digagas oleh para founding fathers sebagai pelopor perjuangan kebangsaan dan keagamaan dengan semangat harakatul diniyah (gerakan keagamaan), harakatul ijtimaiyyah (gerakan keorganisasian), dan harakatul adabiyah (gerakan moral).
Tujuan utama gerakan ini adalah terwujudnya nilai-nilai etik Islam, kesejahteraan masyarakat lahir dan batin, dan kemajuan bangsa. Dalam hal inilah, NU tidak hanya mampu mengukuhkan dirinya sebagai pelopor kaum moderat, namun juga mampu menstransformasikan nilai-nilai etiknya dalam realitas sosial. (11)
*)Warga muda NU, tinggal di Yogyakarta.
http://www.suaramerdeka.com/
NAHDLATUL Ulama (NU) genap berusia 83 tahun pada Kamis, 16 Rajab 1427 yang bertepatan dengan 11 Agustus 2006. Dalam perjalanannya selama 83 tahun ini, NU kembali menegaskan dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan yang tidak "terkotori" oleh goyangan politik praktis.
Khotbah iftitah Rais Aam PBNU, KH MA Sahal Mahfudh dalam Munas dan Konbes NU di Surabaya belum lama ini dengan jelas menginginkan para elite NU agar jangan menggunakan atribut NU demi kepentingan politik sesaat.
Seruan agar NU menyapih politik praktis ternyata belum mampu memberikan "sinyal" kepada pengurus dan warganya untuk menekuni kembali pemberdayaan gerakan kultural. Sampai saat ini para elite NU yang terlibat dalam konflik internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) belum menyadari sepenuhnya akan potensi NU yang telah tercabik-cabik .
NU yang pada Juni 2006 di hadapan segenap tokoh Muslim dunia telah mengukuhkan dirinya sebagai kaum moderat, ternyata sampai sekarang masih berada di tengah persimpangan jalan dalam menyikapi problematika krusial agama. NU ternyata belum mampu membuktikan dirinya dalam "mengerem" tindakan anarkis yang berlandaskan aspek teologis. Bahkan tidak sedikit pengurus dan warganya terjebak dalam isu-isu yang dibawa kaum fundamentalis, atau terjebak dalam godaan politik praktis sehingga meninggalkan program prioritasnya dalam membangun masyarakat yang toleran, humanis, dan berkeadilan.
Fatwa NU atas haramnya infotainment sampai saat ini masih menyulut kontroversi yang tak kunjung usai adalah misal konkret. Sebagai organisasi sosial keagamaan yang selalu menebarkan konsep rahmatan lil'alamin, NU harus kembali mengoreksi eksistensi jati dirinya di tengah pergumulan masyarakat. Dengan kata lain, perlu adanya revitalisasi peran yang sampai sekarang masih berada di tengah jalan. Mengapa masih di tengah jalan ? Karena sampai sekarang wacana yang digulirkan belum mampu menyentuh secara riil kondisi sosial kemasyarakatan secara global, apalagi yang bergumul dengan kondisi keberagaman taken for granted. Sikap yang lahir dari taken for granted adalah makin kukuhnya keterjerumusan kita dalam memaknai agama yang sakral, angker, dan keramat yang hanya menawarkan jampi-jampi keselamatan, kebahagiaan, dan keadilan.
Sikap inilah yang kemudian eksistensi kaum moderat "terkungkung" di tengah jalan, dan bagi AN Burhani [2001], hal tersebut akan menimbulkan fenomena lain dalam konsep keberagamaan yang meliputi; Pertama, telah terjadi adanya pendewaan agama.
Manusia sering terjerumus untuk mendewakan agama, istilah-istilah agama dan pemuka agama. Tuhan beserta segala sifat sucinya yang meliputinya berulang kali hilang dari ingatan.
Prinsip agama dan ajaran sucinya mengalami nasib yang sama, mereka nyaris habis terpangkas dan tinggal jargon-jargon yang tidak mempunyai nyali. Di sini agama bukan lagi sebagai amalan, namun berubah fungsi sebagai markas jaringan "mafia", sehingga tidak heran bila kemudian muncul manipulasi agama dan korupsi agama.
Kedua, pengelasan dalam berakhlak. Umat beragama sering terjebak untuk sering dekat dengan saudara seagama [in group feeling] dan menomorduakan persahabatan dengan rekan dari agama lain.
Hal ini mengakibatkan kurang objektif dalam memandang apa yang ada di luar kelompok kita, bahkan kita sering menganggap mereka sebagai "musuh" yang harus dihancurkan. Kalau kita menelaah dengan teologi transformatifnya Moeslim Abdurrahman, maka kendati keadilan sosial merupakan sendi utama beragama, namun jika keadilan tidak menimpa kita atau saudara kita, maka kita kurang menaruh perhatian dan bahkan tidak memperhatikan sedikit pun.
NU harus kembali menekuni berbagai persoalan dan dinamika masyarakat yang selalu berkembang setiap saat, agar kembali ke jati dirinya yang sering terkubur oleh pragmatisme dan romantismenya . Untuk itu, meneguhkan kembali jatidirinya sebagai kaum moderat merupakan keniscayaan yang tak terelakkan. Tantangan NU ke depan tidak ringan, karena di depan telah terpampang banyak problem.
Atau mungkin kita berdoa agar mereka berada dalam "kelas" di bawah kita. Kondisi tersebut banyak membuat warga NU tidak lagi kritis dan terbawa dalam monopoli kebenaran. Persahabatan dalam lingkungan NU banyak terjerumus hanya dalam godaan politik praktis. Sesama warga NU banyak yang menyimpan kebencian religius, apalagi dengan yang lain.
Muktamar yang berlangsung tahun kemarin adalah contohnya. Betapa NU hanya sibuk mengurusi soal Rais Aam dan Ketua Umum saja, sementara agenda-agenda prioritas ke depan dalam meneguhkan keberagamaan warga terabaikan. NU seakan menjadi "ladang bisnis". Sementara umat di bawah menunggu peran pengurusnya dalam melakukan pencerahan, baik secara spiritual maupun kemasyarakatan.
Meneguhkan Jati Diri
Dalam menghadapi fenomena tersebut, NU harus kembali menekuni berbagai persoalan dan dinamika masyarakat yang selalu berkembang setiap saat, agar kembali ke jatidirinya yang sering terkubur oleh pragmatisme dan romantismenya . Untuk itu, meneguhkan kembali jati dirinya sebagai kaum moderat merupakan keniscayaan yang tak terelakkan. Tantangan NU ke depan tidak ringan, karena di depan telah terpampang banyak problem. Peneguhan jati diri dalam konteks kebergamaan dapat dilakukan dengan beberapa hal. Pertama, revitalisasi peran sertanya dalam membangun relegiusitas yang setara dan emansipatoris, dengan selalu melakukanreaktualisasi ajarannya.
Dalam melakukan reaktualisasi, gagasan Islam progresif yang dilakukan oleh aktivis HAM, Shalahuddin al-Jursyi, perlu kita telaah secara kritis.
Al-Jursyi menginginkan agar setiap relasi teks wahyu dengan konteks sosial akan selalu membutuhkan upaya pembaharuan dan re - establiment sesuai dengan penyingkapan penemuan ilmiah baru dalam perubahan-perubahan ekonomi, sosial, dan kultural. Karena wahyu tidak pernah menghentikan gairah untuk bertanya, maka hakikat keimanan selalu menuntut kita untuk meragukan secara nisbi dan berkesinambungan.
Dalam konteks ini, bagi al-Jursyi, tafsir Maqashid interpretasi teks yang disesuaikan dengan tujuan-tujuan syariat sangat penting untuk memantapkan dinamika sosial. Interpretasi seperti ini, kemudian akan membangun sebuah pola relasi yang dialektik antara wahyu sebagai sumber ajaran normatif dengan rasio (atau manusia) sebagai penerimanya.
Di sini, keyakinan Islam yang diusung al-Jursyi menginginkan agar fungsi sosial wahyu yang menjunjung tinggi tujuan-tujuan universal dari bunyi teks tekstual syariat tanpa mengesampingkan unsur-unsur lokal dan temporal akan mampu memantapkan dan meralisasikan kapasitas Islam sebagai sebuah agama yang aktual setiap saat dan waktu dalam merespon fenomena sosial yang sedang menjadi problema masyarakat.
Kedua, memantapkan kembali kesadaran "bumi". Yakni memandang agama sebagai milik manusia (antroposentrisme) tanpa harus meniadakan teosentrisme atau wacana tentang Tuhan. Ber-Tuhan bukanlah sikap taken for granted atas ajaran agama, namun justru berada di pihak segenap manusia, dan manusia bukan hanya sebagai anggota agama saja.
Dalam konteks ini, mengedepankan teologi humanistik-universal adalah keniscayaan dengan lebih concern terhadap berbagai persoalaan lingkungan hidup, harmoni sosial, dan masa depan kemanusiaan. Agama hanya credible apabila dapat menolak segala sikap yang bernafaskan kebencian, balas dendam, dan kepicikan beragama, serta dapat mengembangkan sikap kebaikan hati, kasih-mengasihi, solidaritas kemanusiaan universal, keadilan, keberana, rasionalitas, dan keterbukaan. Sikap-sikap etik agama janganlah hanya menjadi perbincangan saja, namun harus mampu di 'bumi'kan dalam realitas yang empirik. Dengan mampu menghadirkan sikap keberagamaan yang kritis-progresif serta mampu melakukan pembumian atas ajaran etik agama secara transformatif, maka di sinilah kaum moderat akan mampu eksis perannya di tengah pergumulan keberagamaan yang kompleks sekarang ini.
Dengan kata lain, selain mampu membangun komitmennya terhadap realitas sosial yang ada, NU juga harus mampu mentransformasikan ide-ide perubahan yang digagasnya dalam realitas yang empirik. Di sinilah, peran kader muda, yang oleh Laode Ida disebut kaum muda progresif, sangat krusial dan menentukan sekali. Kita tahu, kaum muda NU selama ini telah banyak membuat ontran-ontran, sehingga dengan beragam pengalaman yang mereka miliki mampu mengembalikan kembali wajah NU yang digagas oleh para founding fathers sebagai pelopor perjuangan kebangsaan dan keagamaan dengan semangat harakatul diniyah (gerakan keagamaan), harakatul ijtimaiyyah (gerakan keorganisasian), dan harakatul adabiyah (gerakan moral).
Tujuan utama gerakan ini adalah terwujudnya nilai-nilai etik Islam, kesejahteraan masyarakat lahir dan batin, dan kemajuan bangsa. Dalam hal inilah, NU tidak hanya mampu mengukuhkan dirinya sebagai pelopor kaum moderat, namun juga mampu menstransformasikan nilai-nilai etiknya dalam realitas sosial. (11)
*)Warga muda NU, tinggal di Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar