Sardono W Kusumo*
http://kompas-cetak/
Pada 23 April 1880 Raden Saleh meninggal dan dikebumikan dua hari kemudian—surat kabar "Java Bode" menulis tentang kematiannya.
Hari bumi 22 April yang dicetuskan para pendekar lingkungan akhir abad ini hanya beda sehari ketika memperingati kembalinya Raden Saleh ke bumi.
Sungguh satu kebetulan yang cukup bermakna karena Raden Saleh dua abad yang lalu adalah salah satu dari kelompok kecil cikal bakal gerakan kesadaran ekologi dunia yang diawali di kota Dresden, Jerman. Bahkan, jurnal pertama kelompok itu terbit dengan kover lukisan Raden Saleh menggambarkan anak muda yang membantu mencabut duri dari telapak kaki singa.
Sejak muda, dari gurunya, Payen, Raden Saleh diajari menggambar tumbuh-tumbuhan, serangga, dan burung-burung. Atas prestasinya itu dan rekomendasi gurunya, Antoine Payen, dia mendapat beasiswa untuk belajar ke Belanda.
Di Belanda ia mendapatkan guru-guru yang baik serta lingkungan yang dengan cepat mengembangkan bakat lukisnya. Tema alam dalam lukisan awalnya dipengaruhi oleh gaya aliran Belanda saat itu yang melukis alam sebagai simbol-simbol, yang nantinya akan berubah ketika dia tinggal di Dresden dan belajar melukis alam langsung di udara terbuka, melukis alam sebagai alam.
Beberapa tahun kemudian, Raden Saleh terpaksa harus menggambar mereka-mereka tokoh Gubernur Belanda dan para tentara yang membinasakan keluarganya.
Saleh bersahabat dengan pelukis besar Horace Vernet, dikunjungi Baudelair di studionya, kenal dengan novelis Alexader Dumais, mengunjungi konser Franz Listz, Wagner, bertemu dengan Ratu Victoria, dan menjadi tamu di Buckingham Palace.
Bahkan, seorang Lady In Waiting, Lady Carlington menulis dalam memoarnya: Sungguh pesta yang sempurna itu agak terganggu karena ada pelukis dari Timur Raja Ali yang kurang tahu sopan santun menuang kopi tanpa menawari para putri lalu minum sendiri. Maka dia nampak seperti monyet berkeliaran.
Tetapi, selain melukis para bangsawan, tercatat juga dia melukis orang-orang biasa yang jadi sahabatnya (yang ini pasti tak dibayar), Hendrik Hentzepeter, penjaga pintu museum. Dia melukis Pierre Henri Matin (bukan bangsawan), seorang penjinak singa sirkus yang sering kali dia kunjungi karena dia terus melatih dirinya agar bisa melukis singa dengan baik. Kekagumannya pada pelukis besar De la Croix dan Horace Vernet tampak dalam tema-tema drama alam dan pergulatan mati hidup antarpredator dan juga pergulatan antara manusia dan binatang buas.
Mati-hidup
Tahun 1843-1844, menurut Sukondo Bustaman, Raden Saleh menemani Horace Vernet ke Aljazair (meskipun Mariae Odette Scalliet menyangsikan). Di Aljazair (atau mungkin Raden Saleh hanya melihat Aljazair dari lukisan Horace Vernet), Raden Saleh melihat suasana eksotik kultur kerakyatan yang kontras dengan kehidupan kalangan ningrat kerajaan Eropa yang melingkupi dirinya, membikin perubahan pada tema-tema lukisan Raden Saleh sesudahnya. Sebuah kenyataan sosial yang mengungkapkan kembali memorinya sebagai bagian dari pribumi yang menjadi jajahan Eropa. Peperangan dan pergulatan mati hidup ini secara simbolik diungkapkannya dengan pergulatan antara macan dan banteng atau antara manusia bersorban dan singa, yang boleh saja kita tafsirkan sebagai simbol kekuatan kerajaan dan kekuasaan aristokrasi Eropa.
Selama di Eropa, lukisan Raden Saleh antara lain: Antara Hidup dan Mati, Antara Harimau dan Kerbau, Dua Ekor Singa Melawan Seekor Banteng, Harimau dan Mangsanya, dan Para Pemburu Bedoin Berkuda Diterkam Singa.
Banyak ahli yang menafsir adanya hidden message atau pesan terselubung bahwa bila Raden Saleh melukis pergulatan antara singa dan banteng atau macan dan kerbau sesungguhnya dia sedang bicara tentang pergulatan antara pribumi yang diwakili kerbau dan macan mewakili kekuatan kolonial yang buas dan kuat.
Tetapi, bisa juga ditafsirkan bahwa Raden Saleh seperti juga Horace Vernet yang dikaguminya sedang sekadar melukis suasana di Aljazair di mana para penunggang kuda sering mendadak disergap oleh singa gurun.
Di Dresden tinggal selama lima tahun dia bertemu dengan kelompok intelektual yang membuka wawasannya lebih luas dari sekadar masalah estetik, masalah sosial politik, dan juga wacana yang kritis pada praktik-praktik kolonialisme dan feodalisme di Eropa.
Pematangan pemahamannya tentang antikolonialisme dan antifeodalisme ini memuncak dalam peristiwa spektakuler revolusi Februari 1848 di Paris di mana Raden Saleh menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri. Tiga tahun kemudian tepatnya tahun 1851 Raden Saleh pulang ke Jawa.
Di Batavia, segera dia di tengah kerumunan elite Eropa yang mendominasi kehidupan Batavia, kemudian mengawini janda kaya Ny Winkelhagen, maka Raden Saleh mengembangkan gaya hidupnya yang flamboyan. Tanah seluas wilayah Cikini dan Salemba yang sekarang menjadi Taman Ismail Marzuki, tembus menyatu dengan Rumah Sakit Cikini menjadi rumah dan pekarangannya.
Sebuah rumah yang diarsiteki sendiri itu meniru kastil Callenbergh di atas bukit di Jerman berdiri sampai sekarang utuh di rumah sakit Cikini. Sementara Kampus IKJ dan TIM dahulu adalah tempat Raden Saleh mendirikan kebun binatang dan sebuah kebun botani, gaya kehidupan "manusia bebas yang tercerahkan" yang mengembangkan ilmu dan seni serta melindungi alam lingkungan kelihatannya secara konsisten diperjuangkannya
Di Batavia dia segera dapat kepercayaan menjadi ketua biological society dan memperkuat citra dirinya sebagai ilmuwan. Itu sebabnya dia mendapat bantuan dana untuk melaksanakan ekspedisi penggalian paleoantropologi tentang manusia dan binatang serta fosil-fosil prasejarah di kawasan situs Caruban, Sentolo, Plawangan, dan lain-lain.
Penangkapan Diponegoro
Temuan-temuan Raden Saleh yang terdokumentasi dengan rapi menjadi sumbangan tak terkira dalam pengembangan ilmu paleoantropologi. Dengan demikian, Raden Saleh sejajar dengan Junghun dalam daftar mereka yang menyumbang pada pengembangan ilmu secara signifikan di daerah jajahan ini.
Kelihatannya perjalanannya ke Jawa secara alami menjadi perjalanannya pulang kembali pada budaya di mana di masa kecil ia tumbuh. Terbukti dia aktif mempelajari dan mengoleksi naskah-naskah kuno Jawa dan kembali ke Batavia dengan 38 kropyaks (satuan sejumlah kotak penyimpan naskah kuno), antara lain serat Bratayudha dan Baron Sekender dan lain-lain (Harsya Bachtiar). Pastilah narasumbernya para Pujangga Keraton Surakarta.
Kontak ini mungkin saja, yang menyebabkan Raden Saleh ketika membaca kematian Diponegoro di surat kabar Java Bode tahun 1855 segera melukis Penangkapan Diponegoro, sebuah lukisan yang masyhur. Ada kemungkinan Raden Saleh membaca babad Diponegoro versi Keraton Surakarta (Raden Saleh piawai dalam tulisan Jawa). Karena dalam babad Diponegoro para petinggi Belanda dicitrakan sebagai raksasa pewayangan seperti Buto Rambut Geni (raksasa berambut api) atau Buto Terong (raksasa berhidung terung), karena itu dalam lukisannya Raden Saleh juga menggambarkan petinggi Belanda proporsi kepalanya terlalu besar.
Pieter Carey yang memulai pembahasan tentang Raden Saleh dan Diponegoro mengungkapkan, Raden Saleh memotret dirinya dua kali dalam lukisan ini sebagai pengikut Diponegoro dengan sikap mendongak dan berpikir menunjukkan sikap simpati pada Pangeran yang melawan penjajahan ini.
Semangat antikolonial ini juga tebersit dalam pemberontakan petani Krawang yang mengakibatkan Raden Saleh ditangkap karena intel Belanda memberi kesaksian Raden Saleh muncul di sana beberapa bulan sebelumnya. Meski akhirnya Raden Saleh dilepas dari tahanan karena tak ada bukti kuat.
Tahun 1865 Merapi meletus. Pada 9 dan 10 November Raden Saleh malah mendaki gunung yang sedang meletus dan dia membikin sketsa sampai pukul dua dini hari dari lereng gunung, di antara dua jurang pada ketinggian 4.500 kaki. Maka, lahirlah masterpiece letusan Gunung Merapi dalam dua versi malam hari dan siang hari.
Menyatukan diri dengan alam, merasakan langsung dengan tubuhnya pada pertunjukan drama alam ini, sebuah komunikasi yang intens seperti peristiwa komunikasi dalam teater Opera Wagner, yang dia hadiri. Dalam lukisan Merapi meletus tampak manusia yang tergetar menatap pertunjukan alam itu. Jadi, bukan hanya gunung dan alam itu sendiri, tetapi reaksi dan akibat yang terjadi pada manusianya. Kanvas ini identik dengan ruang seni pertunjukan ada obyek dan ada manusia penonton drama alam.
Semasa di Perancis kaitan seni sastra musik dan lukis sangat erat. Luapan rasa romantik dalam lukisan De la Croix dijumpai dalam musik Berlioz dan sastra Victor Hugo dan La Maritein. Teatrikalisasi ini memang selaras dengan periode romantik yang merambah semua disiplin seni.
Seperti juga Diponegoro yang mengungkapkan dalam bahasa tubuhnya justru bersenggama di saat Gunung Merapi meletus. (Babad Diponegoro Pupuh Pangkur). Laku Diponegoro dan Raden Saleh ini juga kita jumpai pada Mbah Marijan, warga desa biasa yang di saat Merapi meletus dia menyatukan dirinya pada gerak dan dinamika energi alam.
Lukisan berjudul The Flood of Java menggambarkan dataran yang tenggelam banjir hanya ada satu atap rumah di mana sekumpulan orang berdesakan histeris memperebutkan tempat pijak bertahan hidup yang sempit. Suasana dan komposisi lukisan bak dataran Porong-Sidoarjo yang tenggelam banjir lumpur hanya tampak atap rumah. Penghuninya entah ke mana?
Sementara, lukisan Hutan Terbakar nyaris semacam reality show masa kini yang memotret ribuan atau puluhan ribu titik api yang terus menjadi api abadi membakar hutan nusantara, Indonesia. Dan dalam lukisan binatang lari keluar dari rimba belantara tapi tak ada lagi harapan hidup karena di depannya jurang terjal menganga. Akhir kehidupan? Ternyata Raden Saleh masih hidup.
*) Budayawan, Rektor Institut Kesenian Jakarta.
http://kompas-cetak/
Pada 23 April 1880 Raden Saleh meninggal dan dikebumikan dua hari kemudian—surat kabar "Java Bode" menulis tentang kematiannya.
Hari bumi 22 April yang dicetuskan para pendekar lingkungan akhir abad ini hanya beda sehari ketika memperingati kembalinya Raden Saleh ke bumi.
Sungguh satu kebetulan yang cukup bermakna karena Raden Saleh dua abad yang lalu adalah salah satu dari kelompok kecil cikal bakal gerakan kesadaran ekologi dunia yang diawali di kota Dresden, Jerman. Bahkan, jurnal pertama kelompok itu terbit dengan kover lukisan Raden Saleh menggambarkan anak muda yang membantu mencabut duri dari telapak kaki singa.
Sejak muda, dari gurunya, Payen, Raden Saleh diajari menggambar tumbuh-tumbuhan, serangga, dan burung-burung. Atas prestasinya itu dan rekomendasi gurunya, Antoine Payen, dia mendapat beasiswa untuk belajar ke Belanda.
Di Belanda ia mendapatkan guru-guru yang baik serta lingkungan yang dengan cepat mengembangkan bakat lukisnya. Tema alam dalam lukisan awalnya dipengaruhi oleh gaya aliran Belanda saat itu yang melukis alam sebagai simbol-simbol, yang nantinya akan berubah ketika dia tinggal di Dresden dan belajar melukis alam langsung di udara terbuka, melukis alam sebagai alam.
Beberapa tahun kemudian, Raden Saleh terpaksa harus menggambar mereka-mereka tokoh Gubernur Belanda dan para tentara yang membinasakan keluarganya.
Saleh bersahabat dengan pelukis besar Horace Vernet, dikunjungi Baudelair di studionya, kenal dengan novelis Alexader Dumais, mengunjungi konser Franz Listz, Wagner, bertemu dengan Ratu Victoria, dan menjadi tamu di Buckingham Palace.
Bahkan, seorang Lady In Waiting, Lady Carlington menulis dalam memoarnya: Sungguh pesta yang sempurna itu agak terganggu karena ada pelukis dari Timur Raja Ali yang kurang tahu sopan santun menuang kopi tanpa menawari para putri lalu minum sendiri. Maka dia nampak seperti monyet berkeliaran.
Tetapi, selain melukis para bangsawan, tercatat juga dia melukis orang-orang biasa yang jadi sahabatnya (yang ini pasti tak dibayar), Hendrik Hentzepeter, penjaga pintu museum. Dia melukis Pierre Henri Matin (bukan bangsawan), seorang penjinak singa sirkus yang sering kali dia kunjungi karena dia terus melatih dirinya agar bisa melukis singa dengan baik. Kekagumannya pada pelukis besar De la Croix dan Horace Vernet tampak dalam tema-tema drama alam dan pergulatan mati hidup antarpredator dan juga pergulatan antara manusia dan binatang buas.
Mati-hidup
Tahun 1843-1844, menurut Sukondo Bustaman, Raden Saleh menemani Horace Vernet ke Aljazair (meskipun Mariae Odette Scalliet menyangsikan). Di Aljazair (atau mungkin Raden Saleh hanya melihat Aljazair dari lukisan Horace Vernet), Raden Saleh melihat suasana eksotik kultur kerakyatan yang kontras dengan kehidupan kalangan ningrat kerajaan Eropa yang melingkupi dirinya, membikin perubahan pada tema-tema lukisan Raden Saleh sesudahnya. Sebuah kenyataan sosial yang mengungkapkan kembali memorinya sebagai bagian dari pribumi yang menjadi jajahan Eropa. Peperangan dan pergulatan mati hidup ini secara simbolik diungkapkannya dengan pergulatan antara macan dan banteng atau antara manusia bersorban dan singa, yang boleh saja kita tafsirkan sebagai simbol kekuatan kerajaan dan kekuasaan aristokrasi Eropa.
Selama di Eropa, lukisan Raden Saleh antara lain: Antara Hidup dan Mati, Antara Harimau dan Kerbau, Dua Ekor Singa Melawan Seekor Banteng, Harimau dan Mangsanya, dan Para Pemburu Bedoin Berkuda Diterkam Singa.
Banyak ahli yang menafsir adanya hidden message atau pesan terselubung bahwa bila Raden Saleh melukis pergulatan antara singa dan banteng atau macan dan kerbau sesungguhnya dia sedang bicara tentang pergulatan antara pribumi yang diwakili kerbau dan macan mewakili kekuatan kolonial yang buas dan kuat.
Tetapi, bisa juga ditafsirkan bahwa Raden Saleh seperti juga Horace Vernet yang dikaguminya sedang sekadar melukis suasana di Aljazair di mana para penunggang kuda sering mendadak disergap oleh singa gurun.
Di Dresden tinggal selama lima tahun dia bertemu dengan kelompok intelektual yang membuka wawasannya lebih luas dari sekadar masalah estetik, masalah sosial politik, dan juga wacana yang kritis pada praktik-praktik kolonialisme dan feodalisme di Eropa.
Pematangan pemahamannya tentang antikolonialisme dan antifeodalisme ini memuncak dalam peristiwa spektakuler revolusi Februari 1848 di Paris di mana Raden Saleh menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri. Tiga tahun kemudian tepatnya tahun 1851 Raden Saleh pulang ke Jawa.
Di Batavia, segera dia di tengah kerumunan elite Eropa yang mendominasi kehidupan Batavia, kemudian mengawini janda kaya Ny Winkelhagen, maka Raden Saleh mengembangkan gaya hidupnya yang flamboyan. Tanah seluas wilayah Cikini dan Salemba yang sekarang menjadi Taman Ismail Marzuki, tembus menyatu dengan Rumah Sakit Cikini menjadi rumah dan pekarangannya.
Sebuah rumah yang diarsiteki sendiri itu meniru kastil Callenbergh di atas bukit di Jerman berdiri sampai sekarang utuh di rumah sakit Cikini. Sementara Kampus IKJ dan TIM dahulu adalah tempat Raden Saleh mendirikan kebun binatang dan sebuah kebun botani, gaya kehidupan "manusia bebas yang tercerahkan" yang mengembangkan ilmu dan seni serta melindungi alam lingkungan kelihatannya secara konsisten diperjuangkannya
Di Batavia dia segera dapat kepercayaan menjadi ketua biological society dan memperkuat citra dirinya sebagai ilmuwan. Itu sebabnya dia mendapat bantuan dana untuk melaksanakan ekspedisi penggalian paleoantropologi tentang manusia dan binatang serta fosil-fosil prasejarah di kawasan situs Caruban, Sentolo, Plawangan, dan lain-lain.
Penangkapan Diponegoro
Temuan-temuan Raden Saleh yang terdokumentasi dengan rapi menjadi sumbangan tak terkira dalam pengembangan ilmu paleoantropologi. Dengan demikian, Raden Saleh sejajar dengan Junghun dalam daftar mereka yang menyumbang pada pengembangan ilmu secara signifikan di daerah jajahan ini.
Kelihatannya perjalanannya ke Jawa secara alami menjadi perjalanannya pulang kembali pada budaya di mana di masa kecil ia tumbuh. Terbukti dia aktif mempelajari dan mengoleksi naskah-naskah kuno Jawa dan kembali ke Batavia dengan 38 kropyaks (satuan sejumlah kotak penyimpan naskah kuno), antara lain serat Bratayudha dan Baron Sekender dan lain-lain (Harsya Bachtiar). Pastilah narasumbernya para Pujangga Keraton Surakarta.
Kontak ini mungkin saja, yang menyebabkan Raden Saleh ketika membaca kematian Diponegoro di surat kabar Java Bode tahun 1855 segera melukis Penangkapan Diponegoro, sebuah lukisan yang masyhur. Ada kemungkinan Raden Saleh membaca babad Diponegoro versi Keraton Surakarta (Raden Saleh piawai dalam tulisan Jawa). Karena dalam babad Diponegoro para petinggi Belanda dicitrakan sebagai raksasa pewayangan seperti Buto Rambut Geni (raksasa berambut api) atau Buto Terong (raksasa berhidung terung), karena itu dalam lukisannya Raden Saleh juga menggambarkan petinggi Belanda proporsi kepalanya terlalu besar.
Pieter Carey yang memulai pembahasan tentang Raden Saleh dan Diponegoro mengungkapkan, Raden Saleh memotret dirinya dua kali dalam lukisan ini sebagai pengikut Diponegoro dengan sikap mendongak dan berpikir menunjukkan sikap simpati pada Pangeran yang melawan penjajahan ini.
Semangat antikolonial ini juga tebersit dalam pemberontakan petani Krawang yang mengakibatkan Raden Saleh ditangkap karena intel Belanda memberi kesaksian Raden Saleh muncul di sana beberapa bulan sebelumnya. Meski akhirnya Raden Saleh dilepas dari tahanan karena tak ada bukti kuat.
Tahun 1865 Merapi meletus. Pada 9 dan 10 November Raden Saleh malah mendaki gunung yang sedang meletus dan dia membikin sketsa sampai pukul dua dini hari dari lereng gunung, di antara dua jurang pada ketinggian 4.500 kaki. Maka, lahirlah masterpiece letusan Gunung Merapi dalam dua versi malam hari dan siang hari.
Menyatukan diri dengan alam, merasakan langsung dengan tubuhnya pada pertunjukan drama alam ini, sebuah komunikasi yang intens seperti peristiwa komunikasi dalam teater Opera Wagner, yang dia hadiri. Dalam lukisan Merapi meletus tampak manusia yang tergetar menatap pertunjukan alam itu. Jadi, bukan hanya gunung dan alam itu sendiri, tetapi reaksi dan akibat yang terjadi pada manusianya. Kanvas ini identik dengan ruang seni pertunjukan ada obyek dan ada manusia penonton drama alam.
Semasa di Perancis kaitan seni sastra musik dan lukis sangat erat. Luapan rasa romantik dalam lukisan De la Croix dijumpai dalam musik Berlioz dan sastra Victor Hugo dan La Maritein. Teatrikalisasi ini memang selaras dengan periode romantik yang merambah semua disiplin seni.
Seperti juga Diponegoro yang mengungkapkan dalam bahasa tubuhnya justru bersenggama di saat Gunung Merapi meletus. (Babad Diponegoro Pupuh Pangkur). Laku Diponegoro dan Raden Saleh ini juga kita jumpai pada Mbah Marijan, warga desa biasa yang di saat Merapi meletus dia menyatukan dirinya pada gerak dan dinamika energi alam.
Lukisan berjudul The Flood of Java menggambarkan dataran yang tenggelam banjir hanya ada satu atap rumah di mana sekumpulan orang berdesakan histeris memperebutkan tempat pijak bertahan hidup yang sempit. Suasana dan komposisi lukisan bak dataran Porong-Sidoarjo yang tenggelam banjir lumpur hanya tampak atap rumah. Penghuninya entah ke mana?
Sementara, lukisan Hutan Terbakar nyaris semacam reality show masa kini yang memotret ribuan atau puluhan ribu titik api yang terus menjadi api abadi membakar hutan nusantara, Indonesia. Dan dalam lukisan binatang lari keluar dari rimba belantara tapi tak ada lagi harapan hidup karena di depannya jurang terjal menganga. Akhir kehidupan? Ternyata Raden Saleh masih hidup.
*) Budayawan, Rektor Institut Kesenian Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar