Dwi Fitria
http://www.jurnalnasional.com/
Gesture adalah juga kata-kata. Kelompok Payung Hitam memaksimalkannya dalam lakon-lakon mereka.
Pada tahun 2000 lalu, Kelompok Teater Payung Hitam menampilkan sebuah lakon berjudul Dan Orang Mati (And People Die) di festival internasional di Jakarta Art House. Lakon tersebut berkisah tentang kekerasan dan korban yang jatuh semasa rezim Orde Baru menjadikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
Untuk mengelaborasikan tema kekerasan yang coba disampaikannya, sutradara Rahman Sabur menggunakan tulang belulang sebagai bagian dari seting panggung. Dalam salah satu adegan, latar panggung ditutup dengan secarik kain lebar berwarna merah, di atasnya tergambar sketsa sosok tanpa wajah. Sosok itu mengenakan sebuah topi pet. Sementara di atas panggung empat orang aktor berseragam militer duduk di atas meja. Mereka semua mengenakan topeng wajah yang sedang tersenyum. Digambarkan kemudian sosok itu memberikan perintah yang berujung jatuhnya korban.Tak sulit untuk menerka wajah siapa sebenarnya yang coba mereka tampilkan.
Khas Payung Hitam, lakon itu dibuat minus dialog. Kedua belas aktor yang
tampil malam itu di antaranya Deden Sutris, Tatang Pahat, Rudiaman, Cep
Kobar, Tony Broer, menyampaikan isi lakon dengan menggunakan ekspresi dan olah tubuh mereka. Sesekali mereka terbatuk, tertawa, terbahak, berbisik, dan terisak.
Teater Payung Hitam didirikan di Bandung pada 1982. Rachman Sabur
sutradara sekaligus pendirinya hingga sekarang masih berprofesi sebagai
pengajar di Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung.
Banyak anggotanya adalah para alumnus maupun mahasiswa STSI. Oleh karena itulah sebagian besar anggota kelompok ini memiliki latar belakang
akademik yang kuat.
“Saya menganggap Payung Hitam sebagai salah satu tonggak perteateran
Indonesia. Di antara tonggak-tonggak teater lainnya semisal Teater Mandiri, Teater Sae. Payung Hitam adalah sebuah kelompok teater yang punya kecenderungan mendekati naskah-naskah dengan bentuk yang sangat fisikal,” kata Harris Priadie Bah, sutradara Teater Kami.
Sama seperti kelompok Teater Kami yang dipimpinnya, menurut Harris, Payung Hitam adalah sebuah kelompok teater tubuh. “Kelompok itu memberikan harga yang sama besarnya antara eksplorasi tubuh dan pendekatan teks bahasanya."
Dalam pendekatan seperti ini, tubuh memiliki otonomi yang sama besar
dengan dialog-dialog yang ada dalam sebuah lakon. Kalaupun ada dialog,
masih didekati dengan menggunakan konsep ketubuhan. Dalam adegan-adegannya tiap aktor menstilir tubuh sedemikian rupa untuk memrepresentasikan emosi-emosi yang ingin disampaikannya.
“Contohnya jika yang ingin dieksplorasi adalah tentang kesakitan, maka
aktor akan memaksimalkan gerak tubuh yang memperlihatkan bahwa ia sedang kesakitan,” kata Harris.
Menurut Dindon WS, sutradara Teater Kubur yang juga kerap mengeksplorasi tubuh: kecendrungan ini terjadi begitu saja. “Sebenarnya lebih kepada penekanan bahwa ekspresi tubuh adalah sesuatu yang sama pentingnya dengan ekspresi lewat kata-kata. Tidak ada pretensi untuk menspesialisasikan hanya tubuh saja atau kata saja. Sebab keduanya sama-sama menantang dan menarik. Baik Payung Hitam maupun Teater Kubur sama-sama mengeksplorasi keduanya.”
Dalam dunia teater Indonesia, salah satu pelopor teater tubuh adalah
Teater Sae yang didirikan oleh Boedi S Otong. Kelompok ini mulai
mendapatkan nama di pentas teater nasional saat mementaskan Dilarang Untuk Melarang pada 1978. Menurut Harris Priadie Bah, pendekatan bentuk pertunjukan Payung Hitam memiliki kesamaan dengan Teater Sae. “Meskipun tentu saja perkembangannya kemudian, adalah gaya yang orisinal dan unik milik Teater Payung Hitam,” kata Harris lagi.
Sementara Dindon lewat Teater Kubur mengeksplorasi tubuh untuk memperkaya alat ucap pementasannya. “Tubuh hanya alat ucap begitu juga dengan kata-kata. Dalam teater keduanya sama penting. Dimensi teater akan sangat sempit jika hanya menguasai alat ucap lewat kata,” kata Dindo.
Oleh karena itulah dalam pertunjukan-pertunjukan yang ditampilkan Teater Kubur tubuh para aktornya kerap ditantang sedemikian rupa untuk melakukan gerakan-gerakan yang rumit dan amat menantang kemampuan fisik. Semisal melipat diri mengikuti bentuk sebuah kursi lipat dalam Trilogi Besi.
Dalam pertunjukan-pertunjukannya Payung Hitam kerap mengeksplorasi
tema-tema sosial dan keresahan masyarakat contohnya dalam Merah Bolong Putih Doblong Hitam, Relief Air Mata, Dan Orang Mati, atau Tiang ½ Tiang.
Teater Kubur juga berangkat dari keresahan yang hampir sama dalam berbagai pementasannya. “Letak perbedaannya mungkin pada ekspresinya. Payung Hitam adalah sebuah teater yang lahir dari sutradara dan para pemain berlatar akademis. Sementara ekspresi saya lebih banyak saya temukan di lingkungan masyarakat sekitar dengan persoalan sosial rakyat jelata, dengan sampah atau kuburan, misalnya,” kata Dindon.
Pengaruh Butoh
Pada tahun 1960-an, 70-an, misi kebudayaan Jepang sempat cukup kerap menyapa khalayak Indonesia. Salah satu jenis kebudayaan Jepang yang sering ditampilkan adalah Butoh, jenis tarian tradisional Jepang yang menekankan pada penghayatan gerak dan sakralisasi tubuh.
Butoh yang sejatinya adalah tarian turut menginspirasi pengayaan ekspresi
dari segi eksplorasi tubuh dalam teater di Indonesia. Jejak Butoh bisa
dilihat dalam pertunjukan tonggak perteateran semisal Teater Mandiri,
Teater Sae, atau Teater Garasi.
Sementara, Tony Broer salah satu aktor utama Payung Hitam pernah mengikuti sebuah workshop Butoh. Meskipun, eksplorasi terhadap Butoh tidak pernah terlalu digamblangkan oleh Rahman Sabur dalam pertunjukan-pertunjukan teaternya.
Dindon tidak menampik adanya pengaruh Butoh dalam teater tubuh yang
berkembang di Indonesia, namun ia juga mengingatkan bahwa jauh sebelum Butoh masuk ke Indonesia tahun 60-an, berbagai daerah di Indonesia memiliki kosa gerak yang orisinal.
“Teater Indonesia sebelumnya telah amat kaya dengan kosa gerak dari Bali, Kalimantan, Papua, atau Jawa dengan konsep meditatifnya. Sementara Butoh memiliki filsafatnya sendiri. Dasar pikiran sebuah gerak dalam Butoh amat berbeda dengan dasar pikiran dalam kosa gerak Indonesia,“ kata Dindon.
Payung Hitam dan STB Bandung
Adalah Studiklub Teater Bandung (STB) sebuah nama besar yang tak bisa
disepelekan dalam sejarah dunia teater di Indonesia. Berdiri lima puluh
tahun, STB adalah kelompok teater tertua yang dimiliki Indonesia. “STB
memiliki pengaruh yang meluas hingga ke tingkat nasional dan turut
membentuk banyak aspek dalam dunia teater Indonesia,” kata Dindon.
Meskipun sama-sama berasal dari Bandung, STB yang realis dan Payung Hitam memiliki perbedaan mendasar dalam hal warna pertunjukan. “Pengaruh STB terhadap Payung Hitam, menurut saya lebih ke masalah semangat. Meskipun tidak langsung, sumbangsihnya yang mendasar itu tidak dapat disepelekan,“ kata Harris Priadie Bah.
http://www.jurnalnasional.com/
Gesture adalah juga kata-kata. Kelompok Payung Hitam memaksimalkannya dalam lakon-lakon mereka.
Pada tahun 2000 lalu, Kelompok Teater Payung Hitam menampilkan sebuah lakon berjudul Dan Orang Mati (And People Die) di festival internasional di Jakarta Art House. Lakon tersebut berkisah tentang kekerasan dan korban yang jatuh semasa rezim Orde Baru menjadikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
Untuk mengelaborasikan tema kekerasan yang coba disampaikannya, sutradara Rahman Sabur menggunakan tulang belulang sebagai bagian dari seting panggung. Dalam salah satu adegan, latar panggung ditutup dengan secarik kain lebar berwarna merah, di atasnya tergambar sketsa sosok tanpa wajah. Sosok itu mengenakan sebuah topi pet. Sementara di atas panggung empat orang aktor berseragam militer duduk di atas meja. Mereka semua mengenakan topeng wajah yang sedang tersenyum. Digambarkan kemudian sosok itu memberikan perintah yang berujung jatuhnya korban.Tak sulit untuk menerka wajah siapa sebenarnya yang coba mereka tampilkan.
Khas Payung Hitam, lakon itu dibuat minus dialog. Kedua belas aktor yang
tampil malam itu di antaranya Deden Sutris, Tatang Pahat, Rudiaman, Cep
Kobar, Tony Broer, menyampaikan isi lakon dengan menggunakan ekspresi dan olah tubuh mereka. Sesekali mereka terbatuk, tertawa, terbahak, berbisik, dan terisak.
Teater Payung Hitam didirikan di Bandung pada 1982. Rachman Sabur
sutradara sekaligus pendirinya hingga sekarang masih berprofesi sebagai
pengajar di Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung.
Banyak anggotanya adalah para alumnus maupun mahasiswa STSI. Oleh karena itulah sebagian besar anggota kelompok ini memiliki latar belakang
akademik yang kuat.
“Saya menganggap Payung Hitam sebagai salah satu tonggak perteateran
Indonesia. Di antara tonggak-tonggak teater lainnya semisal Teater Mandiri, Teater Sae. Payung Hitam adalah sebuah kelompok teater yang punya kecenderungan mendekati naskah-naskah dengan bentuk yang sangat fisikal,” kata Harris Priadie Bah, sutradara Teater Kami.
Sama seperti kelompok Teater Kami yang dipimpinnya, menurut Harris, Payung Hitam adalah sebuah kelompok teater tubuh. “Kelompok itu memberikan harga yang sama besarnya antara eksplorasi tubuh dan pendekatan teks bahasanya."
Dalam pendekatan seperti ini, tubuh memiliki otonomi yang sama besar
dengan dialog-dialog yang ada dalam sebuah lakon. Kalaupun ada dialog,
masih didekati dengan menggunakan konsep ketubuhan. Dalam adegan-adegannya tiap aktor menstilir tubuh sedemikian rupa untuk memrepresentasikan emosi-emosi yang ingin disampaikannya.
“Contohnya jika yang ingin dieksplorasi adalah tentang kesakitan, maka
aktor akan memaksimalkan gerak tubuh yang memperlihatkan bahwa ia sedang kesakitan,” kata Harris.
Menurut Dindon WS, sutradara Teater Kubur yang juga kerap mengeksplorasi tubuh: kecendrungan ini terjadi begitu saja. “Sebenarnya lebih kepada penekanan bahwa ekspresi tubuh adalah sesuatu yang sama pentingnya dengan ekspresi lewat kata-kata. Tidak ada pretensi untuk menspesialisasikan hanya tubuh saja atau kata saja. Sebab keduanya sama-sama menantang dan menarik. Baik Payung Hitam maupun Teater Kubur sama-sama mengeksplorasi keduanya.”
Dalam dunia teater Indonesia, salah satu pelopor teater tubuh adalah
Teater Sae yang didirikan oleh Boedi S Otong. Kelompok ini mulai
mendapatkan nama di pentas teater nasional saat mementaskan Dilarang Untuk Melarang pada 1978. Menurut Harris Priadie Bah, pendekatan bentuk pertunjukan Payung Hitam memiliki kesamaan dengan Teater Sae. “Meskipun tentu saja perkembangannya kemudian, adalah gaya yang orisinal dan unik milik Teater Payung Hitam,” kata Harris lagi.
Sementara Dindon lewat Teater Kubur mengeksplorasi tubuh untuk memperkaya alat ucap pementasannya. “Tubuh hanya alat ucap begitu juga dengan kata-kata. Dalam teater keduanya sama penting. Dimensi teater akan sangat sempit jika hanya menguasai alat ucap lewat kata,” kata Dindo.
Oleh karena itulah dalam pertunjukan-pertunjukan yang ditampilkan Teater Kubur tubuh para aktornya kerap ditantang sedemikian rupa untuk melakukan gerakan-gerakan yang rumit dan amat menantang kemampuan fisik. Semisal melipat diri mengikuti bentuk sebuah kursi lipat dalam Trilogi Besi.
Dalam pertunjukan-pertunjukannya Payung Hitam kerap mengeksplorasi
tema-tema sosial dan keresahan masyarakat contohnya dalam Merah Bolong Putih Doblong Hitam, Relief Air Mata, Dan Orang Mati, atau Tiang ½ Tiang.
Teater Kubur juga berangkat dari keresahan yang hampir sama dalam berbagai pementasannya. “Letak perbedaannya mungkin pada ekspresinya. Payung Hitam adalah sebuah teater yang lahir dari sutradara dan para pemain berlatar akademis. Sementara ekspresi saya lebih banyak saya temukan di lingkungan masyarakat sekitar dengan persoalan sosial rakyat jelata, dengan sampah atau kuburan, misalnya,” kata Dindon.
Pengaruh Butoh
Pada tahun 1960-an, 70-an, misi kebudayaan Jepang sempat cukup kerap menyapa khalayak Indonesia. Salah satu jenis kebudayaan Jepang yang sering ditampilkan adalah Butoh, jenis tarian tradisional Jepang yang menekankan pada penghayatan gerak dan sakralisasi tubuh.
Butoh yang sejatinya adalah tarian turut menginspirasi pengayaan ekspresi
dari segi eksplorasi tubuh dalam teater di Indonesia. Jejak Butoh bisa
dilihat dalam pertunjukan tonggak perteateran semisal Teater Mandiri,
Teater Sae, atau Teater Garasi.
Sementara, Tony Broer salah satu aktor utama Payung Hitam pernah mengikuti sebuah workshop Butoh. Meskipun, eksplorasi terhadap Butoh tidak pernah terlalu digamblangkan oleh Rahman Sabur dalam pertunjukan-pertunjukan teaternya.
Dindon tidak menampik adanya pengaruh Butoh dalam teater tubuh yang
berkembang di Indonesia, namun ia juga mengingatkan bahwa jauh sebelum Butoh masuk ke Indonesia tahun 60-an, berbagai daerah di Indonesia memiliki kosa gerak yang orisinal.
“Teater Indonesia sebelumnya telah amat kaya dengan kosa gerak dari Bali, Kalimantan, Papua, atau Jawa dengan konsep meditatifnya. Sementara Butoh memiliki filsafatnya sendiri. Dasar pikiran sebuah gerak dalam Butoh amat berbeda dengan dasar pikiran dalam kosa gerak Indonesia,“ kata Dindon.
Payung Hitam dan STB Bandung
Adalah Studiklub Teater Bandung (STB) sebuah nama besar yang tak bisa
disepelekan dalam sejarah dunia teater di Indonesia. Berdiri lima puluh
tahun, STB adalah kelompok teater tertua yang dimiliki Indonesia. “STB
memiliki pengaruh yang meluas hingga ke tingkat nasional dan turut
membentuk banyak aspek dalam dunia teater Indonesia,” kata Dindon.
Meskipun sama-sama berasal dari Bandung, STB yang realis dan Payung Hitam memiliki perbedaan mendasar dalam hal warna pertunjukan. “Pengaruh STB terhadap Payung Hitam, menurut saya lebih ke masalah semangat. Meskipun tidak langsung, sumbangsihnya yang mendasar itu tidak dapat disepelekan,“ kata Harris Priadie Bah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar