Selasa, 04 November 2008

Bau Kematian

Jenny Ang
http://www.jawapos.com/

APA yang bisa kukenang dari seorang pria yang meninggal tadi pagi, yang jatuh telungkup dengan kedua tangan tertekuk di samping badannya yang basah karena siraman gerimis? Pemandangan itulah yang kulihat ketika aku membuka jendela flat-ku untuk merasakan gerimis yang jatuh dengan telapak tanganku. Aku berteriak dan berlari turun untuk menolong pria ini. Para penghuni flat bermunculan untuk mengetahui apa yang telah terjadi dan ternyata dia sudah meninggal. Ia meninggal begitu saja, dengan sekantong belanjaan yang berisi bahan makanan yang masih berserakan di sekitar tubuhnya.
Kacamatanya pecah remuk tertimpa wajahnya sendiri. Kepalanya sedikit berdarah karena terbentur aspal yang keras. Tubuhnya masih terasa hangat ketika aku memeluknya. Aku tak kuat membopongnya meskipun aku ingin. Beberapa lelaki dewasa kemudian memindahkan tubuh pria ini ke sebuah bangku panjang di dalam bangunan flat dan aku mengantungi kacamatanya yang pecah.

Serangan jantung, kata seorang dokter yang tinggal di lantai bawah. Aku mengangguk maklum. Tidak heran, bagi pria-pria seusia kami, alasan apa saja bisa digunakan sebagai penyebab kematian. Segera aku menghubungi petugas sosial dan dalam beberapa menit mereka telah datang dengan membawa sebuah peti mati yang tak bisa disebut indah. Salah seorang petugas memegang pergelangan pria itu dan berseru keras: waktu kematian sembilan dua puluh! Sementara seorang petugas lainnya sibuk mencatat-catat di atas selembar kertas. Aku memaksa para petugas itu untuk mengganti baju pria ini dengan pakaian yang lebih layak dan aku sendiri yang membersihkan darah di kepalanya dengan hati-hati. Kusisir rambut peraknya dengan rapi dan terakhir kupakaikan kacamatanya yang pecah (Aku kuatir dia tidak bisa melihat dengan jelas di 'sana' tanpa kacamatanya ini). Dengan cekatan dan tanpa banyak bertanya, para petugas segera menaikkan peti yang berisi jasad pria ini ke dalam mobil. Aku segera naik dan ikut di dalamnya. Mobil mulai bergerak dan aku menatap pria yang terbaring rapi dalam rumah abadinya.

Tak ada bau kematian yang menyelimutinya. Aku menajamkan inderaku sekali lagi. Tak ada bau kematian di sini. Yang ada hanya aroma yang menyenangkan, sesuatu yang menguakkan kenangan masa kecil, di mana musim panas yang datang terasa sangat menyenangkan. Wangi yang mengingatkan aku di mana langit berwarna biru dan hujan tidak turun selama berminggu-minggu. Harum manis segar yang mengingatkanku akan sederetan selai di dapur ibu, yang diam-diam selalu kucelupkan jariku ke dalamnya karena tak tahan ingin mencicipinya. Bukan aroma dingin kelabu yang biasa menyelubungi kematian orang-orang seperti kami.

Mobil berhenti. Para petugas bergegas turun dan orang yang bertugas mencatat-catat terlihat masih sibuk menulis. Tak lama kemudian, dia menyuruhku membubuhkan tanda tangan di bawah tulisannya. Peti ditutup. Seseorang yang berpakaian seperti pendeta dengan sebuah kitab di tangannya datang menghampiri. Dia dan para petugas lainnya kemudian membopong peti mati tersebut menuju tanah lapang, di mana sebuah lubang menganga menunggu untuk diisi. Aku sempat tergoda untuk berpesan kepada mereka, alangkah baiknya jika aku mati nanti aku bisa dikubur di sebelah pria ini, tapi tak jadi karena kupikir ini bukan saat yang tepat. Gerimis masih setia mengikuti kami sampai akhirnya peti itu mulai diturunkan ke dalam liang kubur.

Doa yang paling umum mulai dilantunkan:

''Der HERR ist mein Hirte, mir wird nichts mangeln.'' Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.

''Er weidet mich auf einer...''

Dan bait-bait selanjutnya terdengar seperti gumaman yang ditujukan pada diri sendiri. Tak ada tangisan, tak ada penghiburan atau semacamnya. Ringkas dan cepat.

''Amen.''

Gundukan tanah basah di samping liang kubur mulai dikembalikan ke asalnya. Tentu saja, pada akhirnya tanah itu menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. Selesai sudah. Kami membubarkan diri. Surat pernyataan kematiannya telah berada di saku mantelku. Apalagi yang bisa kulakukan? Pertama, mungkin aku akan berusaha menghubungi adik perempuannya yang tinggal di daerah bekas Timur untuk mengabari kemalangan ini. Kedua, aku akan mengunjungi kamarnya dan melihat apa saja yang ditinggalkan pria ini. Ketiga, mungkin aku akan mencari cara untuk mengenang pria ini. Pria yang hingga diturunkan ke dalam liang kuburnya belum dapat kurasakan bau kematiannya.

Aku tiba kembali di kamar flatku. Keadaanya masih seperti tadi sebelum kutinggalkan. Jendela yang terbuka kubiarkan tetap terbuka karena aku menyukai angin sisa gerimis yang dialirkannya. Aku menuangkan minuman kesayanganku ke dalam sebuah gelas lalu duduk terdiam menatap langit basah yang hanya sebingkai jendela. Aku mulai mengambil waktuku sejenak untuk mengenang pria itu.

***

TIGA hari yang lalu, aku masih bertemu dengan pria itu. Kala itu, kami sedang duduk-duduk di bar langganan sekadar untuk menghangatkan badan dengan segelas bir murahan. Tak ada aroma kematian yang dapat kucium darinya waktu itu. Ya. Tak banyak lagi kawan-kawanku yang tersisa. Aku sudah hidup selama 79 tahun dan teman-temanku banyak yang sudah mati. Dan, bagi aku yang masih diberi umur panjang ini, aku dapat merasakan apakah teman-temanku masih akan hidup lebih lama atau sebentar lagi akan mati. Orang lanjut usia seperti aku punya indera seperti itu. Ya. Tak ada bau kematian yang dapat kuendus ketika kami bercakap-cakap.

Kami sempat bertukar cerita. Ia berbagi kabar bahwa adik perempuannya akan mengunjunginya di akhir pekan ini. Telah lama ia tak bersua dengan adik satu-satunya itu, karena semasa muda, hidup mereka dipisahkan oleh sebaris tembok dingin. Dan, setelah keruntuhan tembok pun mereka hanya sempat bertemu sekali dua kali. Ia bercerita sambil mengangguk-angguk kecil tanda senang dan antusias sambil membetulkan kacamatanya yang selalu melorot.

Aku juga membalasnya dengan sebuah berita, bahwa sebentar lagi aku akan berangkat menuju pantai di Brazil, di mana matahari bersinar sepanjang waktu, dan gadis-gadis berwarna tembaga berseliweran di hadapanku. Apakah kamu akan bercinta dengan salah satu dari mereka, tanyanya. Aku menjawab, tentu saja. Aku akan bercinta dengan salah satu dari gadis-gadis berwarna tembaga itu. Dan kami akan bercinta sepanjang hari di bawah sinar matahari emas dan di atas hangatnya hamparan pasir yang kemilau.

Kami tertawa. Betapa menyenangkan bahwa kami masih berani merajut mimpi. Bagi pria-pria lanjut usia seperti kami, terkadang berita yang sederhana atau sekadar impian yang sudah pasti tak mungkin, sudah sangat menyenangkan kami. Ketika ia mengeluh tentang badannya yang sakit karena dinginnya cuaca, aku akan berkata; sabarlah. Musim panas akan datang sebentar lagi dan sakit-sakitmu akan hilang dengan sendirinya. Dan ia mengangguk-angguk tanda setuju seolah-olah yakin masih akan hidup hingga musim panas datang. Atau ketika aku mengeluh tentang harga tiket kereta bawah tanah yang semakin mahal, dengan mimik yakin dan serius ia berkata; tenanglah. Kelak aku kaya raya, akan kubelikan sebuah mobil khusus untukmu. Ya. Kami masih mengharapkan masa depan. Tetapi apalah yang pasti ada di masa depan selain kematian?

Minuman di gelasku tinggal separo. Apa lagi yang dapat kukenang dari seorang sahabat pria, yang telah dikubur dalam gerimis pagi tadi?

***

SEPULUH tahun yang lalu, kami bertemu di sebuah bangku taman. Kala itu, malam terasa lebih terang dari biasanya dan aku sedang berjalan-jalan menikmati angin musim panas. Ia datang begitu saja dan duduk mematung di sebelahku. Rambutnya berwarna keperakan dan semuanya mengarah ke belakang seolah-olah baru diterpa angin kencang. Kacamatanya melorot hingga ke puncak hidung. Tiba-tiba ia sudah bercerita tentang dirinya yang tak sempat meneteskan air mata ketika istrinya meninggal dua hari karena ia terlalu sibuk mengurusi pemakamannya. Dan aku bercerita bahwa aku baru saja berjalan-jalan dan tak punya istri yang meninggal untuk diurusi pemakamannya. Ia tertawa dan katanya itu adalah tawanya yang pertama dalam sebulan itu. Sejak itu kami sering bertemu dan saling berbicara. Setelah agak lama dan mulai saling mempercayai, kami berani membuka diri dan sering membicarakan dunia yang telah kami lewati. Tentang sebuah kekuatan mahabesar yang pernah dihimpun oleh seorang pria pendek berkumis persegi. Tentang semua perang yang telah kami lalui. Tentang kami yang sanggup segera berdiri dan bekerja menyingkirkan puing-puing kekalahan perang, hanya dengan tangan kosong dan alunan musik Beethoven. Kami juga berbicara tentang sebuah tembok dingin yang membelah sebuah kota menjadi dua negara. Tentang impian dan kenangan yang terputus di belahan sini dan sana. Tentang kehilangan kami dan apa yang telah kami hilangkan. Kami terus berbicara hingga mendapati mata kami mengalirkan air mata. Bukan, bukan, katanya sambil terisak-isak. Bukan aku yang terlalu sibuk mengurusi pemakaman istriku, tapi karena hatiku yang sudah lama kering dan membatu. Wajahnya memerah karena memendam emosi yang sangat.

Aku juga menangis. Aku tak tahu apa yang aku tangisi, tapi kupikir aku ingin menangis. Aku kemudian berdiri dan menunjukkan sebuah tato SS dengan sederatan angka di lengan kiriku. Aku pikir, baiklah kalau ternyata ia adalah musuhku dan harus membunuhku saat ini juga, tak masalah karena aku sebenarnya sudah sangat lelah dan ingin tidur saja. Sahabatku terperangah, dan dia berdiri seraya melepaskan mantel dan melemparkannya jauh, sebelum akhirnya menggulung lengan baju kirinya dan menunjukkan tanda yang sama kepadaku. Sejak itulah masa lalu kami mengalir deras bagaikan pintu air yang dibuka untuk mengalirkan kenangan pahit.

***

KAMI adalah tikus. Tikus-tikus yang diselundupkan dari Timur ke Barat. Bertahun-tahun kami menyelinap, mengorek, menggali, mengerat, dan menggigit. Bahkan kalau perlu kami tak segan untuk membunuh. Tak ada kata gagal dalam kamus kami. Kami sudah terbiasa bergerak dalam senyap dan gelap. Kami bergerak tanpa suara. Sepatu kami tak berjejak dan jari-jari kami tak bersidik. Tak seorang pun yang menyadari kehadiran kami dan kami seolah menguap begitu saja beserta sejumlah informasi rahasia. Kami adalah tikus. Tikus dengan sederetan angka. Kami tersebar di mana-mana. Di perkampungan yang paling kumuh hingga gedung yang paling mewah. Dari ceruk karang di tengah laut hingga celah dalam tebing yang paling tinggi. Di rumah sahaja seorang petani di pinggir desa hingga apartemen mewah seorang foto model di tengah kota. Kami licin dan pintar berkelit. Kami dapat meloloskan diri lebih cepat dari musang yang berlari. Kami sanggup mengingat sederetan kode asing dalam benak kami tanpa boleh menuliskannya selama berhari-hari. Kami sanggup tidur dengan mata terbuka lebar. Kami terus bekerja dan bekerja.

Segala yang ada di Timur telah digunakan untuk memeras kami. Aku telah meninggalkan kekasih yang kucintai, dengan janji kembali yang tak pernah kutepati. Bahkan aku tak pernah bisa mengingat wajahnya dengan jelas. Kenapa aku mampu mengingat itu semua sedangkan wajah orang yang kucintai tampak begitu samar-samar? Aku bahkan tak mampu mengingat siapa diriku sebenarnya. Pantulan wajahku pada cermin di pagi hari tampak begitu asing.

Sahabatku separo rela meninggalkan rumahnya di Timur, dengan harapan tidak ada yang mengganggu adik perempuannya selama ia mau berkerja sama. Ia, aku, dan ribuan tikus lainnya, bergiliran menyeberangi tembok dingin, dengan impian dapat memberi kehidupan yang lebih baik. Dengan secuil harapan untuk dapat menikmati udara yang lebih baik dan tidur yang lebih lelap di malam hari.

Tapi tembok itu kemudian runtuh. Semuanya berubah. Kami bukan tikus lagi. Tak ada alasan lagi untuk terikat pada Timur. Semua bersuka cita. Kami bebas. Seharusnya kami bergembira. Tapi kami terkejut. Kami berlarian kocar-kacir di bawah matahari. Kami diburu. Isi kepala kami menjadi sangat berharga. Mereka menjatuhkan kami dari ketinggian dengan harapan kepala kami akan pecah terburai. Mereka menabrak kami di tengah kegelapan malam dan melindas tubuh kami begitu saja. Bagi kami yang tertangkap hidup-hidup, mereka lantas mencoba membuka batok kepala kami dan mengorek-ngorek isinya. Mereka menjepit lidah kami dan berharap kami menyebutkan nama. Mereka menyetrum kemaluan kami dan memaksa kami menuliskan angka. Sisa-sisa dari kami yang ada di luar mencoba bertahan. Perlahan, kami akan dibiarkan mati sia-sia. Kami tak mampu lagi menggigit dan mengerat. Kami hanya mampu bertahan hidup dengan mengais dalam terang. Mengais dan terus mengais.

Kami begitu ingin menghilangkan masa lalu kami. Kami ingin melenyapkan sederetan angka di lengan dan membuang sebagian isi otak kami. Aku ingat, suatu ketika di musim dingin, sahabatku membujukku untuk menempelkan batang besi yang telah dipanaskan di perapian hingga merah membara ke lengan kirinya. Aku melakukannya dengan satu gerakan cepat dan erangan suaranya terdengar begitu miris memilukan. Ia kemudian melakukan hal yang sama terhadapku dan itu membuatku sadar, betapa kami ternyata sudah begitu tua. Sederetan angka menghilang dan digantikan bekas luka yang melepuh. Namun kami tetap tak menemukan cara untuk membuang sebagian isi kepala kami.

Aku menenggak habis minumanku dalam sekali teguk. Badanku sudah terasa lebih hangat. Jika tembok itu tidak hancur, pria itu masih hidup sampai sekarang. Dan aku tidak kehilangan seorang sahabat hari ini.

***

GERIMIS mulai turun lagi dan aku bangkit untuk menutup jendela. Senja mulai turun dan bersembunyi di balik gedung-gedung tinggi. Aku harus ke flat temanku, mencari sesuatu yang dapat menghubungkan aku dengan adik perempuannya. Aku turun dan melangkah keluar ke jalanan. Sepasang kekasih yang lewat berhenti sebentar untuk berciuman di bawah temaramnya sisa-sisa senja. Aku terus berjalan melintasi perkampungan yang padat, dengan gang-gang yang sempit dan air bekas cucian yang merembes ke jalanan. Hari sudah gelap dan gerimis seolah-olah hanya terjadi di bawah sorotan lampu jalanan ketika aku sampai di depan gedung flat sahabatku. Aku hendak melangkah masuk ketika seorang pria bergegas keluar dari gedung tersebut. Ia berhenti dan menatapku lama. Di tangannya ada sebuah buku kecil hitam yang selama ini kukenal sebagai buku catatan pribadi sahabatku. Kami saling berpandangan dan tiba-tiba aku merasa tubuhku gemetaran. Tanpa sadar tangan kananku merayapi lengan kiriku. Mata pria itu terlihat murung, tapi ia terus menatapku. Ia mengacungkan payung yang ada di tangan satunya ke hadapanku dan...

SSssshhh...

Sesuatu menyembur dari ujung payung dan mengenai wajahku. Dan sebelum tubuhku ambruk menyentuh tanah, hidungku mencium bau buah persik. Bau yang menyelimuti kematian sahabatku dan kematianku sendiri. (*)

Surabaya, 14 Oktober 2008

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Alexander A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Dahana A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.C. Andre Tanama A.J. Susmana A.S. Laksana A’an Jindan AS Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Rauf Singkil Abdul Walid Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adek Alwi Adhi Pandoyo Adhitia Armitrianto Adhy Rical Adi Faridh Adian Husaini Adin Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrizas Adu Pesona Sang Wakil Presiden RI AF. Tuasikal Afri Meldam Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agit Yogi Subandi Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Rakasiwi Agus Sulton Agus Wibowo Agus Wirawan Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ah. Atok Illah Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Anshori Ahmad Damanik Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Hasan MS Ahmad Jauhari Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad S. Zahari Ahmad Syafii Maarif Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fiah Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Siddiq Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al-Fairish Al-Ma'ruf I Al-Ma'ruf II Alang Khoiruddin Albert Camus Ali Mahmudi Ch Alia Swastika Alvi Puspita Alvin Amien Wangsitalaja Aminah Aming Aminoedhin Ana Mustamin Anam Rahus Anas AG Andhi Setyo Wibowo Andi Gunawan Andry Deblenk Angela Anggie Melianna Anindita S. Thayf Anis Ceha Anitya Wahdini Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anugerah Ronggowarsito Anwar Nuris Aprillia Ika Arida Fadrus Aridus Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Ariel Heryanto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Arwan Aryo Wisanggeni Aryo Wisanggeni Gentong AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Ashadi Ik Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asro Kamal Rokan Astrid Reza Asvi Warman Adam Atafras Atok Witono Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azwar Nazir Baca Puisi Badrus Siroj Bahrul Ulum A. Malik Balada Bambang kempling Bambang Riyanto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berita Utama Bernando J. Sujibto Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Bre Redana Brunel University Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Jay Utomo Budi P. Hatees Budi Palopo Budi Setyarso Budi Sp. Indrajati Budiman S. Hartoyo Budiman Sudjatmiko Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Choirul Rikzqa Christian Heru Cahyo Saputro Cover Buku D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dadang Widjanarko Damiri Mahmud Dani Fuadhillah Daniel Paranamesa Darju Prasetya Dati Wahyuni Dawet Jabung Ponorogo Dedykalee Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Deshinta Arofah Dewi Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan Dewi Anggraeni Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Didik Kusbiantoro Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dorothea Rosa Herliany Dr Andi Irawan Dr Siti Muti’ah Setiawati Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Drs. Solihin Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddi Koben Edeng Syamsul Ma’arif Edy Apriyanto Sudiyono Edy Firmansyah Edy Susanto Efri Ritonga EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hartono Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elita Sitorini Elly Trisnawati Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Em. Syuhada' Emha Ainun Nadjib Encep Abdullah Eni Sulistiyawati Eny Rose Esai Ester Lince Napitupulu Etik Widya Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathan Mubarak Fathul Qodir Fathul Qorib Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Seni Surabaya 2011 Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fikri. MS Fiqih Arfani Firman Daeva Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Forum Santri Nasional (FSN) Free Hearty Galuh Tulus Utama Gandis Uka Ganug Nugroho Adi Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gendut Riyanto Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Pratama Glenn Fredly Goenawan Mohamad Golput Gombloh Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Hadi Napster Hafis Azhari Halim HD Halimi Zuhdy Hamid Dabashi Han Gagas Hardi Hamzah Hari Prasetyo Haris Del Hakim Haris Saputra Hary B Kori’un Hasan Basri Marwah Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Hendro Situmorang Henri Nurcahyo Henry H Loupias Hera Khaerani Heri CS Heri Kris Heri Latief Heri Listianto Herman RN Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Kuntoyo Heru Kurniawan Hikmat Darmawan Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humaidi Humam S Chudori I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I. B. Putera Manuaba IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ichwan Prasetyo Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Munadjat Imam Nawawi Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Herdiana Imron Arlado Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indigo Art Space Madiun Indra Tjahyadi Indrian Koto Ingki Rinaldi Iqmal Tahir Is Faridatul Arifah Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Isra’ Mi’raj Iswadi Pratama Iswara N Raditya Iva Titin Shovia Iwan Awaluddin Yusuf Iwan Gunadi J. Sumardianta Jamrin Abubakar Jansen Sinamo Janu Jolang Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jemie Simatupang Jenny Ang Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jl Simo Jo Batara Surya Jodhi Yudono Joko Budhiarto Joko Sadewo Joko Sandur Joko Widodo Jones Gultom Joni Ariadinata Joresan Mlarak Ponorogo Joseph E. Stiglitz Jual Buku Paket Hemat Junus Satrio Jurnalisme Sastra K. Hirzuddin Hasbullah K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.H. Masrikhan Asy'ari K.H. Mudzakir Ma'ruf Kadjie MM Kajian Kitab Nashoihul 'Ibad Kang Daniel Karanggeneng Kartika Foundation Kasanwikrama Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kekal Hamdani Kemah Budaya Panturan (KBP) Kesenian KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Anwar Khoirul Inayah Khoirul Naim Khoirul Rosyadi Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Koko Sudarsono Komaruddin Hidayat Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopuisi Korban Gempa di Lombok Kospela KPRI IKMAL Lamongan Kris Razianto Mada Kritik Sastra Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kusni Kasdut Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto Lagu Laili Rahmawati Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Latif Fianto Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Listiyono Santoso Liya Izzatul Iffah Liza Wahyuninto Lucky Aditya Ramadhan Ludruk Jawa Timur Lukisan Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lustantini Septiningsih Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Ismail M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Iqbal Dawami M. Irfan Hidayatullah M. Latief M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Mushthafa M. Riza Fahlevi M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Maghfur Munif Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahwi Air Tawar Majelis Ulama Indonesia Makalah Tinjauan Ilmiah Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mantan Pastur Hafidz Al-Qur'an Maqhia Nisima Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Marsel Robot Martin Aleida Martin Hatch Marwan Ja'far Marwita Oktaviana Marzuki Mustamar Mashuri Masjid Tegalsari di Pesantren Gerbang Tinatar Masuki M. Astro Matroni el-Moezany Matroni Muserang Max Arifin Maya Handhini Mbah Kalbakal Medco Media Jawa Timur Medri Osno Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Misbahul Huda Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh Samsul Arifin Moh. Ghufron Cholid Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ghannoe Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Rain Muhammad Taufik Muhammad Yasir Muhammad Zia Ulhaq Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukhsin Amar Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Mun'im Sirry Muntamah Cendani Museum Bikon Blewut Ledalero Musfarayani Musfi Efrizal Musyayana Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nabi Adam Nanang Fahrudin Nandang Darana Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Ni Luh Made Pertiwi F Nindya Herdianti Ninin Nurzalina Wati Nitis Sahpeni Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noorsam Noval Jubbek Novel Pekik Novianti Setuningsih Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Hamzah Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nuswantoro Nyimas Nyoman Tingkat Obrolan Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Opini Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Pameran Seni Rupa Panda MT Siallagan Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit SastraSewu Penerbitan dan Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Pengajian Pengetahuan Perang Peringatan Hari Pahlawan 10 November Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pesantren Kampung Inggris Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Petrik Matanasi Pilang Tejoasri Laren Lamongan Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pilkada Piramid Giza Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pradana Boy ZTF Pradaningrum Mijarto Pramoedya Ananta Toer Prih Prawesti Febriani Pringadi AS Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Hartanto Puji Santosa Puput Amiranti N Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Satria Kusuma Putu Setia Putu Wijaya R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.Ng. Ronggowarsito Rabdul Rohim Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sazaly Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Rengga AP Reni Lismawati Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Rieke Diah Pitaloka Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rizka Halida Rizky Putri Pratimi Robin Al Kautsar Rocky Gerung Rodli TL Rofiqi Hasan Rohmad Hadiwijoyo Rohmah Maulidia Rohman Abdullah Rojiful Mamduh Rosdiansyah Rosi Rosidi Roso Titi Sarkoro Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rumah Literasi Rx King Motor S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Saifur Rohman Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Sardono W Kusumo Sartika Sari Sarworo Sp Sastra Facebook Satmoko Budi Santoso Satrio Lintang Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Savidapius Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Sejarah Sekolah Literasi Gratis SelaSAstra Boenga Ketjil SelaSAstra Boenga Ketjil #23 SelaSAstra Boenga Ketjil #24 Seni Ambeng Ponorogo Senirupa Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Shofiyatuz Zahroh Shohebul Umam JR Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Silfia Hanani Sindu Putra Sita Planasari Aquadini Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Hadi Purnomo Soediro Satoto Soegiharto Soeprijadi Tomodihardjo Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Igustin Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Sriyanto Danoesiswoyo Stefanus P. Elu Stevani Elisabeth STKIP PGRI Ponorogo Student Center Kampus ISI Yogyakarta Subagio Sastrowardoyo Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Ariyadi Sukitman Sumenep Sumiati Anastasia Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungelebak Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Suyadi San Syafrizal Sahrun Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syamsul Rizal Syi'ir Syifa Amori Syifa Aulia T.A. Sakti Tajuddin Noor Ganie Tamrin Bey dan Robin Al Kautsar TanahmeraH ArtSpace Tarpin A. Nasri Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Roda UNISDA Lamongan Teater Sakalintang Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tawon Teater Tewol Teguh LR Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Teori Darwin Teori Fisika Hawking Tgk Abdullah Lam U Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute Theresia Purbandini Thomas Koten Tien Rostini Timur Arif Riyadi Tjahjono Widarmanto Tjut Zakiyah Anshari Toeti Adhitama Tosa Poetra Tri Andhi S Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Tutut Herlina Ucu Agustin Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Uniawati Unieq Awien Universitas Jember Usman Arrumy Ustadz Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vassilisa Agata Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Video Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vita Devi Ajeng Pratiwi W. Haryanto W.S. Rendra Wakos R. Gautama Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Suryandoko William Shakespeare Wisnu Kisawa Wiwik Widiyati Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yayat R. Cipasang Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yulianto Yuliawati Yunanto Sutyastomo Yunus Supriyanto Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf AN Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Yuyuk Sugarman Z. Mustopa Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zarra Martsella Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zen Hae Zii Zuhdi Swt