Senin, 20 Oktober 2008

Kontradiksi Diskursus Poskolonial di Indonesia

Mashuri

Kisah-kisah merupakan hal terpenting di antara apa yang dikatakan oleh para penjelajah dan para novelis tentang kawasan-kawasan asing di dunia; kisah-kisah itu juga menjadi metode masyarakat yang terjajah untuk menegaskan identitas diri mereka sendiri serta eksistensi sejarahnya sendiri (Edward Said, Culture and Imperalism, hal xiii)


Penegasan Said yang merupakan cikal bakal studi poskolonial memang mengejawantah dengan tepat pada beberapa novel Hitam, India/bekas jajahan Inggris dan novel-novel Amerika Latin. Sayangnya, jika konsepsi itu dibuat untuk membedah model novel dan idea dalam novel-novel Indonesia, dengan narasi kolonialismenya, sepertinya membentur wilayah kosong. Ada medan yang berbeda, baik dalan pengucapan, latar belakang kultur dan lainnya, terlebih Eropa yang diklaim sebagai satu wilayah budaya ternyata memiliki kebijakan kolonial yang beragam dan agak berbeda. Inilah kenapa gagasan poskolonial menjadi semacam strategi yang harus dibongkar dulu untuk melihat beberapa artefak budaya, terutama seni dan sastra, dalam bangun kebudayaan di Indonesia.

Poskolonial memang sebuah metode yang cukup brilian untuk mempertautkan antara pengetahuan dan kekuasaan. Seperti halnya pikiran-pikiran Foucault yang diruncingkan oleh Said, poskolonial menjadi cara baru kawasan bekas jajahan untuk merepresentasikan diri. Ada sebuah jarak dan pembacaan yang berbeda antara yang dijajah dan penjajah. Dari sana terkuak sebuah konstruksi kekuasaan yang melibatkan pengetahuan. Bahkan, merasuk dalam wilayah ketaksadaran.

Hanya saja, terkait dengan hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan itu, Said mengekstremkannya. Ditegaskan, hegemoni itu bermain dalam wilayah kesadaran. Ada upaya mengkontsruksi wacana ‘penjajah’ dan yang ‘dijajah’. Ada yang menghuni wilayah pusat, ada pula yang menghuni wilayah periferi dan dilemahkan.

Sementara itu, yang digagas Frantz Fanon dan penggerak kebudayaan Karibia, Aime Cesare, memberi petunjuk dengan cukup jelas tentang wacana itu. Rupa-rupa pengetahuan yang berserak yang berpusat di Barat memang diupayakan untuk dibaca dengan muatan politik. Dari sana terdapat semacam negasi dan pengukuhan kehadiran yang cukup berwatak subversif. Ternyata, sebuah kekuasaan politis, mampu memiliki pengaruh demikian kuat mencengkeram wilayah-wilayah pikiran.

Jika membaca One Hundred of Solitude, karya Gabriel Garcia Marquez, akan cepat terkenali adanya narasi-narasi pengukuhan diri itu. Segala yang berserak di Amerika Latin saat ini, di puncak keruntuhan dan ‘hilang diri’ dan ‘ingatan’-nya mendapatkan semacam notasi, untuk mengukuhkan jati diri mereka. Mereka berkisah untuk menunjukkan eksistensinya. Mereka merumuskan sejarahnya sendiri, dengan membuat sejarah lain. Jika selama ini sejarah di sana dikonstruksi Barat –dalam hal ini Spanyol—yang notabene merupakan sejarah linear, mendapatkan penolakannya dengan sebuah gagasan waktu berulir.

Hal itu pun menemukan bentuknya yang paling jelas pada beberapa penyair dan novelis generasi El Boom. Mungkin yang menjadikan proyeksi kebudayaan mereka menjadi demikian terpandang di mata dunia dan diklaim sebagai suara terfokus dari sebuah negara bekas jajahan, ada sebuah kesadaran sejarah, menerima keniscayaan penjajahan, sekaligus merumuskan kekinian dari sudut pandang dan pespektif mereka sendiri.

Seperti yang ditegaskan seorang penyair Latin dari Chili, Pablo Neruda: Orang-orang Spanyol (Barat) telah merampok emas kita, tapi kita mendapatlan emas mereka: bahasa. Kesadaran pada keniscayaan sejarah ini semakin memperkukuh mental beberapa penulis Latin untuk menfokuskan pencarian pada beberapa artefak yang masih tertingal dan belum dihancurkan penjajah, yang merupakan jejak peradaban kuno mereka: Aztec dan Maya, berupa artefak pra-kolombia.

Posisi ini tergambar dengan jelas seperti dalam One Hundred Of Solitude. Ketika penyakit lupa menggejala, mereka lupa pada nama benda-benda. Sehingga untuk memaksudkan pada sebuah benda, mereka harus menunjuknya secara langsung. Sebuah ironi memang dari kawasan yang pernah dijajah Spanyol, sebab politik penjajahan yang dilakukan di Latin adalah dengan mengubah ‘ingatan’, wilayah kesadaran hingga ketaksadaran, yang meliputi agama, bahasa dan segala artefak yang ada. Semua ingatan dihapuskan dari benak dan ketaksadaran kolektif. Kemudian nama benda-benda adalah nama dari Eropa, dan pengetahuan yang berkembang pun pengetahuan Eropa.

Kesadaran sejarah ini mendapat pembacaannya juga oleh seorang penyair Meksiko, Octavio Paz. Sebagai seorang yang mengaku sebagai peziarah modern, ia berusaha mencari sejarahnya, di antara Barat dan Timur, mendedahkan pada relung-relung peradaban, dan berusaha mengkonstruksikan kediriannya dalam kekinian dengan menegaskan bahwa Barat di akhir sejarah, dan berpaling ke timur. Timur sebagai simbol kemurnian dan awal sejarah.

Beberapa bekas jajahan Prancis di Aljazair, seperti dalam karya Camus, dan beberapa penulis Aljazair, serta beberapa penulis India, menunjukkan adalah sebuah gejala menegaskan kembali kediriannya, dengan memberikan notasi tersendiri pada pola-pola yang dikonstruksikan Barat selama penjajahan.

Dari beberapa kasus itu bukan persoalan tentang cara pandang yang dijajah dan penjajah yang penting. Bahkan di antaranya merupakan gagasan anti-imperalisme (seperti Aime Cesaire dan beberapa lainnya). Tetapi yang terpenting adalah upaya pengukuhan diri, kesadaran dan perunutan kembali pada ingatan-ingatan kolektif dalam bangun kultural.

Adapun, dalam telaah poskolonial, kaitan-kain yang selama ini tersembunyi terbalut dalam sebuah perasukan sistematis dari model pengetahuan itu memang mendapatkan porsi tersendiri. Wilayah-wilayah yang selama ini tak terpikirkan, tak terbayangkan menjadi terjangkau. Bahkan, kesadaran itu pun tumbuh. Keberadaan Timur adalah untuk mengukuhkan Barat.

Sayangnya, konsepsi ini tidak sepenuhnya bisa berlaku untuk Indonesia. Ada beberapa pengecualian yang membuat siapapun merenungkan arti kolonialisme di Indonesia. Pertanyaannya kemudian, apakah Indonesia benar-benar dijajah Barat (Belanda) dalam pengertian dalam wilayah yang mencakup penghapusan ‘ingatan-ingatan’ sehingga representasi diri dalam kekinian terpenggal dari alur sejarah?

Kontradiksi Poskolonial Indonesia
Dalam sastra Indonesia, juga diwarnai beberapa karya berupa prosa, juga puisi, yang menyoal tentang penjajahan Belanda di Indonesia. Persoalan itu ditangkap sepenuhnya dalam wacana nasionalisme. Ada upaya mengkonstruksi sebuah pandangan tentang kepahlawanan dalam sebuah bangun bangsa. Dalam hal ini memang sepenuhnya politis.

Tetapi yang perlu direnungkan, persoalan mendasar pada sastra subaltrern adalah bahasa. Ada upaya keras mengganti bahasa Inggris dengan bahasa inggris, dengan i kecil. Hal ini hanya bisa berlaku dalam beberapa negara bekas jajahan Inggris. Adapun, untuk wilayah Hindia Belanda, posisi BAHASA memang tidak segenting di beberapa ranah lain yang pernah dijajah Barat.

Hal itu karena ada perbedaan mendasar dalam kebijakan bahasa. Jika beberapa negara penjajah lain, Spanyol, Portugis, Inggris dan Perancis memandang bahwa dalam sebuah penjajahan, terutama adalah memberdayakan dan mencerahkan. Ada diktum-diktum yang mengajarkan antara ‘kita’ dengan ‘mereka’ dalam batas yang diperjelas antara beradab dan biadab. Sehingga menimbulkan semacam upaya untuk mengajar peradaban pada negara terjajah, dengan menggunakan dan merasuk dalam wilayah bahasa.

Porsi ini berbeda dalam kebijakan kolonial Belanda. Ada dinding pemisah, dengan tetap mempertahankan pribumi sebagai pribumi dan penjajah sebagai penjajah. Sehingga pemisahan ini pun juga terkait dengan bahasa. Meskipun kenyataannya terdapat beberapa kata serapan dalam bahasa Indonesia yang berasal dari Belanda, tetapi secara riil, tidak ada yang berubah dari bangun kesadaran orang Indonesia sendiri yang terkonstruksi dalam bahasa.

Dengan kata lain dapat ditegaskan, ingatan yang melingkupi wilayah ketaksadaran masih terjaga. Artefak masih juga menunjukkan bahwa masa lalu sepenuhnya masih utuh dan tidak tersentuh. Bias penjajahan hanya meliputi wilayah politis, tidak sampai mengakar pada kultur dan ideologis. Sebagai contoh, bahasa Belanda tidak pernah mengakar dan orang Indonesia masih tetap bertahan dengan keindonesiaannya (bisa dibaca dengan Jawa, Sunda, Madura, Minang, Bali dan suku-suku lain di Indonesia). Penjajah yang diandaikan mengguanakan diktum tidak pernah mendapatkan keutuhan penguasaan di Indonesia dalam arti sesungguhnya. Bahkan adanya asumsi, bahwa Belanda di Indonesia hanya sekedar berdagang, bisa jadi ada benarnya. Kondisi ini yang menjadikan wacana poskolonial di Indonesia berbeda dengan poskolonial di beberapa negara lain, semisal India, Afrika dan Amerika Latin.

Kiranya, bukan problem representasi diri terhadap wacana kolonial yang menjadi kegelisahan beberapa novel Indonesia pasca kemerdekaan. tetapi, problem tentang kiblat budaya, seperti yang digelisahkan generasi Pujangga baru, surat kepercayaan gelanggang hingga sampai pada generasi Manikebu, mungkin hingga kini.

Permakluman tentang masih ‘utuhnya’ penjaga ingatan itu dapat didapat, manakala kembali berusaha kembali membaca artefak yang ada. Ada sebuah kesinambungan yang dapat dirunut, ketika jejak-jejak itu ingin dikenang kembali dan digunakan untuk merepresentasikan kedirian bangsa, baik dalam artefak berupa peninggalan tertulis material maupun lisan.

Sayangnya, problem kesastraan kita tidak pernah membuat wujud dari karya itu dalam usaha untuk merepresentasikjan diri dalam sebuah bangun historisitas yang mencakup aspek politik, sosial dan kultur. Dari sini mulai muncul sebuah kontradiksi, antara wacana poskolonial yang terumuskan dan realitas.

Hal itu karena wacana ini memang mempersoalkan wilayah perspektif, pembedaan sudut pandang antara yang dijajah dan yang menjajah, dalam posisi antara yang dipandang dan memandang. Dengan kata lain, jika the other ada dan terekam dalam karya, itu tak lebih untuk mengukuhkan konsepsi dan keberadaan serta dominasi kolonial yang selalu saja Barat. Ini menjadi rancu manakala membaca beberapa karya sastrawan Belanda seperti yang pernah ditulis Subagyo Sastrowardoyo.

Terlepas dari itu, counter culture yang ada, jika dapat dikatakan ada terhadap kolonialisme dalam beberapa karya memberikan sedikit gambaran sejauh mana narasi kolonialisme itu mengendap dalam bangun kesadaran. Beberapa karya, semisal Kejantanan di Sumbing oleh Subagyo Sastrowardoyo, tetralogi Pramudya Ananta Toer, novel-novel Mangunwijaya dan beberapa prosa lain berkutat pada masalah humanis, konsep patriotisme dan segala hal yang sebenarnya lebih merujuk pada wilayah-wilayah politik dan bukan kultural. Seperti yang ditunjukkan pada novel anti-hero Mangunwijaya, Burung-burung Manyar dengan tokoh-tokohnya.

Perspektif Budaya Pasca Penjajahan
Jika berbicara masalah perspektif yang dalam ilmu-ilmu sosial dan metodologi penelitian menempati posisi yang penting, beberapa novel Indonesia memberikan gambaran yuang cukup brilian, terutama tentang strategi kebudayaan poskolonial. Hal ini menjadi signifikan seiring dengan beberapa polemik yang selalu berkutat tentang kiblat kebudayaan, meski kini sudah tak lagi terdengar gaungnya.

Beberapa novelis Indonesia, di antaranya memotret penjajahan Indonesia dari beberapa sudut pandang. Dari sana terdapat semacam gagasan terkait dengan strategi kebudayaan yang ‘cukup’ tepat untuk membangun kembali kebudayaan Indonesia pasca penjajahan. Dalam tetraloginya, Pram menunjukkan ‘keberpihakan’ pada model gagasan budaya yang lebih menitikberatkan pada upaya untuk membongkar feodalisme. Ia memang penganut keniscayaan sejarah, tetapi sikapnya pada wilayah primordial sendiri memang memiliki nilai lebih. Ada upaya untuk memberikan semacam ide, bahwa Barat memang lebih daripada Timur dalam satu hal.

Dalam Bumi Manusia, apa yang dilakukan Minke, pada saat ia diundang pulang sang ayah, sedangkan ia harus berjalan dengan sikap jongkok dan menunduk, menunjukkan sebuah sikap dan arogansi terhadap budaya asali. Adapun beberapa gambaran terhadap sikap Belanda memang menunjukkan adanya sebuah wacana poskolonial, tetapi tidak lurus seperti yang digagas beberapa pemikir poskol. Kehadiran Nyai Ontosoroh, Anales dan lain-lainnya, serta tiadanya penghapusan wilayah primordial –nilai-nilai tradisi– menunjukkan bahwa tak sepenuhnya aspek-aspek yang berbau Belanda memberikan sesuatu yang sepenuhnya merugikan. Strategi yang ditawarkan pun menasbihkan harusnya ada upaya membaca kembali sisi feodalisme, dengan tidak mengesampingkan apa yang dibawa Barat yang dalam tataran materi dan pandangan pada kekinian memang menjanjikan. Ada ruh modernisme yang cukup kuat dalam novel ini.

Mangunwijaya semakin menasbihkan bahwa apa yang dimiliki bangsa Indonesia sebenarnya belum sepenuhnya tergusur. Dalam novelnya ia berupaya menghadirkan wajah-wajah manusia dalam berbagai ragam. Jika dalam beberapa hal Barat selalu diandaikan sebagai penjajah, ia menampilkan juga wajah penjajah dari negeri sendiri. Dalam trilogi Roro Mendut, ia memotret apa yang telah ada bersemayam dalam ingatan bangsa tentang pertentangan yang laten dan tak kunjung surut antara pesisir dan pedalaman, dengan diwarnai pergolakan, drama percintaan serta sebuah sikap terkadap penjajahan yang dilakukan bangsa sendiri atas nama kekuasaan dan dominasi.

Mungkin dalam Burung-burung Manyar terdapat wacana poskolonial yang mencerminkan sikap terhadap Barat. Tetapi, upayanya bukan semata-mata sebagaui budaya tanding terhadap wacana kolonial, tetapi lebih pada sebuah pembacaan dari berbagai aspek tentang penjajahan itu, terutama sisi humanisnya. Dari sini dapat dirumuskan bahwa sebenarnya ada yang berbeda dalam sudut pandang kolonial, yang dalam wilayah-wilayah nasionalisme menempati posisi ideologis dan politis.

Memang cukup sulit untuk menunjukkan bahwa adanya semacam dominasi kolonial dari sudut pandang kultural pada beberapa karya sastra Indonesia. Umumnya, wilayahnya memang sangat politis, dalam artian ada semacam ideologi tersembunyi dan terkesan kabur dalam narasi-narasi kolonialisme yang selama ini didengungkan, baik untuk jargon keutuhan bangsa atau dalam stategi kebudayaan.

Dari sini dapat ditarik semacam pembacaan tentang wacana poskolonial. Toh ia sebenarnya tidak hadir secara utuh sebagaimana adanya, lengkap dengan sederet atribut baik itu bahasa, kultur, politik dan lain-lainnya. Mungkin lebih tepatnya poskolonial di Indonesia hanya merasuki wilayah cara memandang, sebuah strategi teks yang menghadirkan sebuah perspektif, terutama posisi antara yang dipandang dan memandang. Hal itu karena artefak budaya yang ada menunjukkan bahwa bangun kebudayaan Indonesia tak sepenuhnya tercerabut dari akar dan hilang dalam lipatan sejarah. Mungkin dibutuhkan strategi tersendiri untuk menyikapi warisan tradisi dan warisan kolonial, dengan menyadari bahwa kita berada dalam persilangan budaya. (*)

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Alexander A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Dahana A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.C. Andre Tanama A.J. Susmana A.S. Laksana A’an Jindan AS Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Rauf Singkil Abdul Walid Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adek Alwi Adhi Pandoyo Adhitia Armitrianto Adhy Rical Adi Faridh Adian Husaini Adin Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrizas Adu Pesona Sang Wakil Presiden RI AF. Tuasikal Afri Meldam Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agit Yogi Subandi Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Rakasiwi Agus Sulton Agus Wibowo Agus Wirawan Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ah. Atok Illah Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Anshori Ahmad Damanik Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Hasan MS Ahmad Jauhari Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad S. Zahari Ahmad Syafii Maarif Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fiah Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Siddiq Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al-Fairish Al-Ma'ruf I Al-Ma'ruf II Alang Khoiruddin Albert Camus Ali Mahmudi Ch Alia Swastika Alvi Puspita Alvin Amien Wangsitalaja Aminah Aming Aminoedhin Ana Mustamin Anam Rahus Anas AG Andhi Setyo Wibowo Andi Gunawan Andry Deblenk Angela Anggie Melianna Anindita S. Thayf Anis Ceha Anitya Wahdini Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anugerah Ronggowarsito Anwar Nuris Aprillia Ika Arida Fadrus Aridus Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Ariel Heryanto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Arwan Aryo Wisanggeni Aryo Wisanggeni Gentong AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Ashadi Ik Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asro Kamal Rokan Astrid Reza Asvi Warman Adam Atafras Atok Witono Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azwar Nazir Baca Puisi Badrus Siroj Bahrul Ulum A. Malik Balada Bambang kempling Bambang Riyanto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berita Utama Bernando J. Sujibto Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Bre Redana Brunel University Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Jay Utomo Budi P. Hatees Budi Palopo Budi Setyarso Budi Sp. Indrajati Budiman S. Hartoyo Budiman Sudjatmiko Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Choirul Rikzqa Christian Heru Cahyo Saputro Cover Buku D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dadang Widjanarko Damiri Mahmud Dani Fuadhillah Daniel Paranamesa Darju Prasetya Dati Wahyuni Dawet Jabung Ponorogo Dedykalee Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Deshinta Arofah Dewi Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan Dewi Anggraeni Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Didik Kusbiantoro Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dorothea Rosa Herliany Dr Andi Irawan Dr Siti Muti’ah Setiawati Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Drs. Solihin Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddi Koben Edeng Syamsul Ma’arif Edy Apriyanto Sudiyono Edy Firmansyah Edy Susanto Efri Ritonga EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hartono Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elita Sitorini Elly Trisnawati Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Em. Syuhada' Emha Ainun Nadjib Encep Abdullah Eni Sulistiyawati Eny Rose Esai Ester Lince Napitupulu Etik Widya Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathan Mubarak Fathul Qodir Fathul Qorib Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Seni Surabaya 2011 Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fikri. MS Fiqih Arfani Firman Daeva Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Forum Santri Nasional (FSN) Free Hearty Galuh Tulus Utama Gandis Uka Ganug Nugroho Adi Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gendut Riyanto Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Pratama Glenn Fredly Goenawan Mohamad Golput Gombloh Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Hadi Napster Hafis Azhari Halim HD Halimi Zuhdy Hamid Dabashi Han Gagas Hardi Hamzah Hari Prasetyo Haris Del Hakim Haris Saputra Hary B Kori’un Hasan Basri Marwah Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Hendro Situmorang Henri Nurcahyo Henry H Loupias Hera Khaerani Heri CS Heri Kris Heri Latief Heri Listianto Herman RN Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Kuntoyo Heru Kurniawan Hikmat Darmawan Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humaidi Humam S Chudori I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I. B. Putera Manuaba IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ichwan Prasetyo Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Munadjat Imam Nawawi Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Herdiana Imron Arlado Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indigo Art Space Madiun Indra Tjahyadi Indrian Koto Ingki Rinaldi Iqmal Tahir Is Faridatul Arifah Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Isra’ Mi’raj Iswadi Pratama Iswara N Raditya Iva Titin Shovia Iwan Awaluddin Yusuf Iwan Gunadi J. Sumardianta Jamrin Abubakar Jansen Sinamo Janu Jolang Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jemie Simatupang Jenny Ang Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jl Simo Jo Batara Surya Jodhi Yudono Joko Budhiarto Joko Sadewo Joko Sandur Joko Widodo Jones Gultom Joni Ariadinata Joresan Mlarak Ponorogo Joseph E. Stiglitz Jual Buku Paket Hemat Junus Satrio Jurnalisme Sastra K. Hirzuddin Hasbullah K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.H. Masrikhan Asy'ari K.H. Mudzakir Ma'ruf Kadjie MM Kajian Kitab Nashoihul 'Ibad Kang Daniel Karanggeneng Kartika Foundation Kasanwikrama Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kekal Hamdani Kemah Budaya Panturan (KBP) Kesenian KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Anwar Khoirul Inayah Khoirul Naim Khoirul Rosyadi Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Koko Sudarsono Komaruddin Hidayat Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopuisi Korban Gempa di Lombok Kospela KPRI IKMAL Lamongan Kris Razianto Mada Kritik Sastra Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kusni Kasdut Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto Lagu Laili Rahmawati Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Latif Fianto Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Listiyono Santoso Liya Izzatul Iffah Liza Wahyuninto Lucky Aditya Ramadhan Ludruk Jawa Timur Lukisan Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lustantini Septiningsih Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Ismail M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Iqbal Dawami M. Irfan Hidayatullah M. Latief M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Mushthafa M. Riza Fahlevi M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Maghfur Munif Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahwi Air Tawar Majelis Ulama Indonesia Makalah Tinjauan Ilmiah Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mantan Pastur Hafidz Al-Qur'an Maqhia Nisima Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Marsel Robot Martin Aleida Martin Hatch Marwan Ja'far Marwita Oktaviana Marzuki Mustamar Mashuri Masjid Tegalsari di Pesantren Gerbang Tinatar Masuki M. Astro Matroni el-Moezany Matroni Muserang Max Arifin Maya Handhini Mbah Kalbakal Medco Media Jawa Timur Medri Osno Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Misbahul Huda Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh Samsul Arifin Moh. Ghufron Cholid Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ghannoe Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Rain Muhammad Taufik Muhammad Yasir Muhammad Zia Ulhaq Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukhsin Amar Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Mun'im Sirry Muntamah Cendani Museum Bikon Blewut Ledalero Musfarayani Musfi Efrizal Musyayana Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nabi Adam Nanang Fahrudin Nandang Darana Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Ni Luh Made Pertiwi F Nindya Herdianti Ninin Nurzalina Wati Nitis Sahpeni Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noorsam Noval Jubbek Novel Pekik Novianti Setuningsih Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Hamzah Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nuswantoro Nyimas Nyoman Tingkat Obrolan Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Opini Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Pameran Seni Rupa Panda MT Siallagan Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit SastraSewu Penerbitan dan Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Pengajian Pengetahuan Perang Peringatan Hari Pahlawan 10 November Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pesantren Kampung Inggris Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Petrik Matanasi Pilang Tejoasri Laren Lamongan Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pilkada Piramid Giza Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pradana Boy ZTF Pradaningrum Mijarto Pramoedya Ananta Toer Prih Prawesti Febriani Pringadi AS Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Hartanto Puji Santosa Puput Amiranti N Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Satria Kusuma Putu Setia Putu Wijaya R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.Ng. Ronggowarsito Rabdul Rohim Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sazaly Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Rengga AP Reni Lismawati Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Rieke Diah Pitaloka Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rizka Halida Rizky Putri Pratimi Robin Al Kautsar Rocky Gerung Rodli TL Rofiqi Hasan Rohmad Hadiwijoyo Rohmah Maulidia Rohman Abdullah Rojiful Mamduh Rosdiansyah Rosi Rosidi Roso Titi Sarkoro Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rumah Literasi Rx King Motor S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Saifur Rohman Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Sardono W Kusumo Sartika Sari Sarworo Sp Sastra Facebook Satmoko Budi Santoso Satrio Lintang Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Savidapius Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Sejarah Sekolah Literasi Gratis SelaSAstra Boenga Ketjil SelaSAstra Boenga Ketjil #23 SelaSAstra Boenga Ketjil #24 Seni Ambeng Ponorogo Senirupa Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Shofiyatuz Zahroh Shohebul Umam JR Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Silfia Hanani Sindu Putra Sita Planasari Aquadini Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Hadi Purnomo Soediro Satoto Soegiharto Soeprijadi Tomodihardjo Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Igustin Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Sriyanto Danoesiswoyo Stefanus P. Elu Stevani Elisabeth STKIP PGRI Ponorogo Student Center Kampus ISI Yogyakarta Subagio Sastrowardoyo Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Ariyadi Sukitman Sumenep Sumiati Anastasia Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungelebak Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Suyadi San Syafrizal Sahrun Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syamsul Rizal Syi'ir Syifa Amori Syifa Aulia T.A. Sakti Tajuddin Noor Ganie Tamrin Bey dan Robin Al Kautsar TanahmeraH ArtSpace Tarpin A. Nasri Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Roda UNISDA Lamongan Teater Sakalintang Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tawon Teater Tewol Teguh LR Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Teori Darwin Teori Fisika Hawking Tgk Abdullah Lam U Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute Theresia Purbandini Thomas Koten Tien Rostini Timur Arif Riyadi Tjahjono Widarmanto Tjut Zakiyah Anshari Toeti Adhitama Tosa Poetra Tri Andhi S Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Tutut Herlina Ucu Agustin Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Uniawati Unieq Awien Universitas Jember Usman Arrumy Ustadz Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vassilisa Agata Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Video Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vita Devi Ajeng Pratiwi W. Haryanto W.S. Rendra Wakos R. Gautama Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Suryandoko William Shakespeare Wisnu Kisawa Wiwik Widiyati Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yayat R. Cipasang Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yulianto Yuliawati Yunanto Sutyastomo Yunus Supriyanto Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf AN Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Yuyuk Sugarman Z. Mustopa Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zarra Martsella Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zen Hae Zii Zuhdi Swt