Judul : KH. M. Hasyim Asy’ari (Figur Ulama & Pejuang Sejati)
Penulis : M. Ishom Hadzik
Penerbit : Pustaka Warisan Islam Tebuireng
Cetakan II : 2007
Tebal : 52 Halaman
Peresensi : Liza Wahyuninto*)
Sumber, www.kabarindonesia.com
KabarIndonesia - Ketika penulis mempunyai tekad untuk meneruskan perjuangan pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari di benak penulis muncul ide untuk menuliskan riwayat hidup beliau. Gagasan ini dilandasi kenyataan kurangnya publikasi mengenai hal tersebut, apalagi yang menyangkut perjuangan beliau. Padahal, perjuangan KH. Hasyim Asy’ari telah terbukti menjadi titik tolak kebangkitan umat Islam Indonesia.
Kata-kata itulah yang ditulis oleh M. Ishoma Hadzik dalam pengantarnya pada karyanya ini. Sebagai cucu dari KH. Hasyim Asy’ari, Gus Ishom merasa terpanggil untuk menuliskan riwayat hidup Hasyim Asy’ari yang nantinya dapat menjadi penyambung mata rantai perjuangan KH. Hasyim Asy’ari. Memang benar apa yang ditulis oleh Gus Ishom pada pengantarnya, bahwa saat ini minim penulis yang menuliskan biografi atau riwayat hidup mengenai tokoh-tokoh muslim Indonesia. Padahal, begitu banyak tokoh yang pemikirannya tidak kalah brilian dibandingkan dengan pemikir-pemikir Barat yang begitu dibangga-banggakan oleh para penulis Indonesia.
Dan yang perlu menjadi catatan lagi bahwa tokoh-tokoh muslim Indonesia tersebut juga ikut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Selayaknyalah kiranya para penulis-penulis Indonesia sebagai rasa penghormatan kepada para pahlawan tanpa tanda jasa tersebut untuk kembali menuliskan pemikiran-pemikiran mereka atau hanya sekedar menuliskan kisah kecil mengenai perjalanan hidup mereka. Boleh jadi, dengan itu akan menjadi spirit baru bagi Indonesia untuk melahirkan tokoh-tokoh sekaliber KH. M. Hasyim Asy’ari.
Kiai Hasyim dilahirkan pada hari Selasa Kliwon, tanggal 24 Dzul-qa’dah 1287 hijriah bertepatan dengan 14 Februari 1871 Masehi. Sedari kecil sudah terlihat beberapa perihal yang menunjukkan bahwa kelak Ia akan menjadi tokoh besar Indonesia bahkan dunia. Itu semua tidak lepas dari peran seorang Ibu (Nyai Halimah) yang sejak mengandung telah berpuasa untuk Kiai Hasyim. (hal. 7) Sedari kecil Kiai Hasyim telah diajarkan untuk mencintai ilmu pengetahuan, dan itu berlanjut sampai ia menjadi ulama besarpun ia masih mau menimba ilmu.
Kehidupan Kiai Hasyim tidaklah seperti yang kita bayangkan, kesederhanaan menjadi pegangan utama bagi Kiai Hasyim. Sejak masih remaja, Kiai Hasyim dikenal sebagai anak muda yang berpandangan relegius dan berorientasi ukhrawi. Beliau terbiasa melakukan olah batin dengan berpuasa guna mencegah hawa nafsu. Kebiasaan ini beliau warisi dari sang Ibu, Nyai Halimah. Sekalipun tak puasa, beliau jarang makan. Paling banyak, beliau makan sehari dua kali, yaitu sarapan pagi dengan secangkir kopi susu serta makan malam usai mengajar. Beliau jarang makan siang, kecuali jika kebetulan ada tamu dan beliau bermaksud menghormatinya dengan menemani makan siang. (hal 23)
Konon, ketika istri beliau yang ketujuh masih hidup, setiap hari sang nyai menyediakan nasi dan lauk-pauk yang cukup untuk menghormati sekurang-kurangnya 50 orang tamu. (hal. 31) Dari segi pemikiran, Kiai Hasyim berbeda pandangan dengan sebagian ulama semasanya yang terkadang bercorak sinkretik, karena Kiai Hasyim dalam soal agama lebih berpikir puritan. (hal. 33) Sebagai pendiri Nahdlatul Ulama, beliau sangat mengedepankan Al-Qur’an dan Al-Hadits dalam mengungkapkan pemikirannya. Menurut beliau puncak keberagamaan dan jenjang kerohanian tertinggi hanya dapat dicapai melalui proses pentahapan yang urut, dan syanat, tarekat hingga hakikat. Karena ketiganya saling berkait, maka ketika seseorang mencapai hakikat bukan berarti syariatnya gugur. Itu sebabnya beliau mengecam anggapan sebagian orang yang menyatakan, bila telah menjadi wali, mereka tidak perlu menjalankan syariat. (hal. 33-34). Pemikiran Kiai Hasyim akan tata cara pengamalan agama yang benar dapat dibaca pada karyanya Tamyiz al Haqq ’an Al Bathil dan Ad Duror Al Muntatsiroh.
Di samping itu, dalam hal pendidikan beliau menyumbangkan pemikirannya yang tertuang dalam kitab adab Al Aim wa Al Muta’allim, kitab ini adalah adaptasi dari karya Ibnu Jamaah al-Kinani yang bertajuk Tadzkirot As Sami’ wa Al Mutakallim. Di zaman yang sangat patriarkhi, Kiai Hasyim begitu menghargai perempuan. Beliau tidak sepakat dengan opini masyarakat awam Jawa yang menyatakan bahwa wanita sekedar konco wingking dan tidak memerlukan pendidikan. Bagi Kiai Hasyim, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa pendidikan itu wajib hukumnya bagi laki-laki dan perempuan muslim. Hal ini dinyatakannya dalam forum pada muktamar NU dan menjadi landasan berdirinya pondok pesantren yang khusus didirikan untuk anak remaja putri. Mengenai alasan beliau membela kaum perempuan dapat dibaca dalam karyanya Ziyadah Ta’liqat.
Pada arena politik, beliau berjuang menggugah masyarakat supaya menyadari hak-hak politik mereka untuk hidup merdeka dan bebas dari penjajahan. Menurut beliau, kolonialisme asing hanya bisa dilawan dengan gerakan kebangkitan nasional. Ini pulalah yang kemudian melandasi beliau dan sejumlah kiai untuk mendirikan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) yang berdiri pada tanggal 31 Januari 1926. Namun, hal yang tak kalah pentingnya untuk dikaji adalah peran Kiai Hasyim dalam merebut kemerdekaan. Hal inilah yang kiranya mulai terlupakan, atau sengaja dilupakan oleh para ahli sejarah Indonesia. Padahal, perjuangan Kiai Hasyim telah dimulainya semenjak ia masih berada di Mekkah untuk menuntut ilmu, dan terus berlanjut hingga ia mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng.
Pada buku ini, Gus Ishom menguraikan beberapa peran penting Kiai Hasyim pada saat Indonesia masih dalam penjajahan Belanda dan Jepang. Saat Belanda menyatakan wilayah Indonesia dalam darurat perang dan merencanakan Ordonansi Milisi Bumiputera pada tahun 1940, Kiai Hasyim memanggil beberapa kiai ke Tebuireng. Melalui musyawarah, akhirnya menghasilkan keputusan menolak rencana tersebut. Bahkan mengharamkan dukungan terhadap Belanda dalam bentuk apapun, termasuk menyumbangkan darah untuk mereka. Dan musyawarah ini menyepakati tuntutan Indonesia Berparlemen yang disuarakan mellaui MIAI dan GAPI (Gerakan Politik Indonesia).
Pun begitu pula pada saat penjajahan Jepang, Kiai Hasyim menolak segala bentuk Niponnisasi, seperti menyanyikan lagu Kimigayo dan mengibarkan bendera Hinomaru. (Hal. 40) Kiai Hasyim juga menyiapkan kader-kader Islam yang militan dengan cara menganjurkan para santri untuk masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1913 yang dipelopori oleh putranya, Abdul Kholiq. Pembentukan PETA kemudian diikuti oleh terbentuknya Hizbullah pada akhir tahun 1944 dan Barisan Sabilillah.
Namun, hal yang terpenting dalam perjuangan Kiai Hasyim adalah perannya dalam hal ”Resolusi Jihad”. Resolusi Jihad terjadi setelah Proklamasi kemerdekaan dikumnadangkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kala itu, NICA mendompleng pasukan sekutu untuk memaksakan kembalinya kekuasaan Belanda dengan dalih melucuti tawanan perang Jepang. Menyikapi hal ini, Kiai Hasyim kemudian mengundang seluruh konsul se Jawa dan Madura untuk bermusyawarah, dan menghasilkan keputusan bahwa kemerdekaan yang sudah diproklamasikan dan Pemerintahan Republik Indonesia yang sah, hukumnya wajib dibela dan dipertahankan.... (hal. 41)
Menurut Gus Ishom, dengan lahirnya Resolusi Jihad semangat umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan semakin terbakar. Peristiwa heroik 10 November 1945 yang diperingati sebagai Hari Pahlawan menurut Gus Ishom tidak terlepas dari semangat Resolusi Jihad yang dicetuskan di markas NU, Bubutan Surabaya. Kiranya kegigihan perjuangan Kiai Hasyim tersebut cukup menjadi alasan utnutk memberi penghargaan kepada Kiai Hasyim sebagai ”Pahlawan Nasional” yang ditetapkan oleh Presiden Soekarno dalam Keppres nomor 249 tahun 1964.
Sebagaimana sambutan Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah, Kiai Hasyim meninggal pada masa yang sungguh kita masih sangat menghajatkan Pimpinan komandonya. Namun semangat beliau untuk selalu mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih, tetap menyala dan takkan hilang begitu saja. Kemunculan buku kecil yang disajikan dengan kupasan yang mendalam ini kiranya dapat menjadi semangat baru untuk kemudian menuliskan biografi dan riwayat hidup para tokoh-tokoh Islam lainnya.
*) Penulis adalah Mahasiswa Fak. Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Alumni Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.
Penulis : M. Ishom Hadzik
Penerbit : Pustaka Warisan Islam Tebuireng
Cetakan II : 2007
Tebal : 52 Halaman
Peresensi : Liza Wahyuninto*)
Sumber, www.kabarindonesia.com
KabarIndonesia - Ketika penulis mempunyai tekad untuk meneruskan perjuangan pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari di benak penulis muncul ide untuk menuliskan riwayat hidup beliau. Gagasan ini dilandasi kenyataan kurangnya publikasi mengenai hal tersebut, apalagi yang menyangkut perjuangan beliau. Padahal, perjuangan KH. Hasyim Asy’ari telah terbukti menjadi titik tolak kebangkitan umat Islam Indonesia.
Kata-kata itulah yang ditulis oleh M. Ishoma Hadzik dalam pengantarnya pada karyanya ini. Sebagai cucu dari KH. Hasyim Asy’ari, Gus Ishom merasa terpanggil untuk menuliskan riwayat hidup Hasyim Asy’ari yang nantinya dapat menjadi penyambung mata rantai perjuangan KH. Hasyim Asy’ari. Memang benar apa yang ditulis oleh Gus Ishom pada pengantarnya, bahwa saat ini minim penulis yang menuliskan biografi atau riwayat hidup mengenai tokoh-tokoh muslim Indonesia. Padahal, begitu banyak tokoh yang pemikirannya tidak kalah brilian dibandingkan dengan pemikir-pemikir Barat yang begitu dibangga-banggakan oleh para penulis Indonesia.
Dan yang perlu menjadi catatan lagi bahwa tokoh-tokoh muslim Indonesia tersebut juga ikut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Selayaknyalah kiranya para penulis-penulis Indonesia sebagai rasa penghormatan kepada para pahlawan tanpa tanda jasa tersebut untuk kembali menuliskan pemikiran-pemikiran mereka atau hanya sekedar menuliskan kisah kecil mengenai perjalanan hidup mereka. Boleh jadi, dengan itu akan menjadi spirit baru bagi Indonesia untuk melahirkan tokoh-tokoh sekaliber KH. M. Hasyim Asy’ari.
Kiai Hasyim dilahirkan pada hari Selasa Kliwon, tanggal 24 Dzul-qa’dah 1287 hijriah bertepatan dengan 14 Februari 1871 Masehi. Sedari kecil sudah terlihat beberapa perihal yang menunjukkan bahwa kelak Ia akan menjadi tokoh besar Indonesia bahkan dunia. Itu semua tidak lepas dari peran seorang Ibu (Nyai Halimah) yang sejak mengandung telah berpuasa untuk Kiai Hasyim. (hal. 7) Sedari kecil Kiai Hasyim telah diajarkan untuk mencintai ilmu pengetahuan, dan itu berlanjut sampai ia menjadi ulama besarpun ia masih mau menimba ilmu.
Kehidupan Kiai Hasyim tidaklah seperti yang kita bayangkan, kesederhanaan menjadi pegangan utama bagi Kiai Hasyim. Sejak masih remaja, Kiai Hasyim dikenal sebagai anak muda yang berpandangan relegius dan berorientasi ukhrawi. Beliau terbiasa melakukan olah batin dengan berpuasa guna mencegah hawa nafsu. Kebiasaan ini beliau warisi dari sang Ibu, Nyai Halimah. Sekalipun tak puasa, beliau jarang makan. Paling banyak, beliau makan sehari dua kali, yaitu sarapan pagi dengan secangkir kopi susu serta makan malam usai mengajar. Beliau jarang makan siang, kecuali jika kebetulan ada tamu dan beliau bermaksud menghormatinya dengan menemani makan siang. (hal 23)
Konon, ketika istri beliau yang ketujuh masih hidup, setiap hari sang nyai menyediakan nasi dan lauk-pauk yang cukup untuk menghormati sekurang-kurangnya 50 orang tamu. (hal. 31) Dari segi pemikiran, Kiai Hasyim berbeda pandangan dengan sebagian ulama semasanya yang terkadang bercorak sinkretik, karena Kiai Hasyim dalam soal agama lebih berpikir puritan. (hal. 33) Sebagai pendiri Nahdlatul Ulama, beliau sangat mengedepankan Al-Qur’an dan Al-Hadits dalam mengungkapkan pemikirannya. Menurut beliau puncak keberagamaan dan jenjang kerohanian tertinggi hanya dapat dicapai melalui proses pentahapan yang urut, dan syanat, tarekat hingga hakikat. Karena ketiganya saling berkait, maka ketika seseorang mencapai hakikat bukan berarti syariatnya gugur. Itu sebabnya beliau mengecam anggapan sebagian orang yang menyatakan, bila telah menjadi wali, mereka tidak perlu menjalankan syariat. (hal. 33-34). Pemikiran Kiai Hasyim akan tata cara pengamalan agama yang benar dapat dibaca pada karyanya Tamyiz al Haqq ’an Al Bathil dan Ad Duror Al Muntatsiroh.
Di samping itu, dalam hal pendidikan beliau menyumbangkan pemikirannya yang tertuang dalam kitab adab Al Aim wa Al Muta’allim, kitab ini adalah adaptasi dari karya Ibnu Jamaah al-Kinani yang bertajuk Tadzkirot As Sami’ wa Al Mutakallim. Di zaman yang sangat patriarkhi, Kiai Hasyim begitu menghargai perempuan. Beliau tidak sepakat dengan opini masyarakat awam Jawa yang menyatakan bahwa wanita sekedar konco wingking dan tidak memerlukan pendidikan. Bagi Kiai Hasyim, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa pendidikan itu wajib hukumnya bagi laki-laki dan perempuan muslim. Hal ini dinyatakannya dalam forum pada muktamar NU dan menjadi landasan berdirinya pondok pesantren yang khusus didirikan untuk anak remaja putri. Mengenai alasan beliau membela kaum perempuan dapat dibaca dalam karyanya Ziyadah Ta’liqat.
Pada arena politik, beliau berjuang menggugah masyarakat supaya menyadari hak-hak politik mereka untuk hidup merdeka dan bebas dari penjajahan. Menurut beliau, kolonialisme asing hanya bisa dilawan dengan gerakan kebangkitan nasional. Ini pulalah yang kemudian melandasi beliau dan sejumlah kiai untuk mendirikan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) yang berdiri pada tanggal 31 Januari 1926. Namun, hal yang tak kalah pentingnya untuk dikaji adalah peran Kiai Hasyim dalam merebut kemerdekaan. Hal inilah yang kiranya mulai terlupakan, atau sengaja dilupakan oleh para ahli sejarah Indonesia. Padahal, perjuangan Kiai Hasyim telah dimulainya semenjak ia masih berada di Mekkah untuk menuntut ilmu, dan terus berlanjut hingga ia mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng.
Pada buku ini, Gus Ishom menguraikan beberapa peran penting Kiai Hasyim pada saat Indonesia masih dalam penjajahan Belanda dan Jepang. Saat Belanda menyatakan wilayah Indonesia dalam darurat perang dan merencanakan Ordonansi Milisi Bumiputera pada tahun 1940, Kiai Hasyim memanggil beberapa kiai ke Tebuireng. Melalui musyawarah, akhirnya menghasilkan keputusan menolak rencana tersebut. Bahkan mengharamkan dukungan terhadap Belanda dalam bentuk apapun, termasuk menyumbangkan darah untuk mereka. Dan musyawarah ini menyepakati tuntutan Indonesia Berparlemen yang disuarakan mellaui MIAI dan GAPI (Gerakan Politik Indonesia).
Pun begitu pula pada saat penjajahan Jepang, Kiai Hasyim menolak segala bentuk Niponnisasi, seperti menyanyikan lagu Kimigayo dan mengibarkan bendera Hinomaru. (Hal. 40) Kiai Hasyim juga menyiapkan kader-kader Islam yang militan dengan cara menganjurkan para santri untuk masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1913 yang dipelopori oleh putranya, Abdul Kholiq. Pembentukan PETA kemudian diikuti oleh terbentuknya Hizbullah pada akhir tahun 1944 dan Barisan Sabilillah.
Namun, hal yang terpenting dalam perjuangan Kiai Hasyim adalah perannya dalam hal ”Resolusi Jihad”. Resolusi Jihad terjadi setelah Proklamasi kemerdekaan dikumnadangkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kala itu, NICA mendompleng pasukan sekutu untuk memaksakan kembalinya kekuasaan Belanda dengan dalih melucuti tawanan perang Jepang. Menyikapi hal ini, Kiai Hasyim kemudian mengundang seluruh konsul se Jawa dan Madura untuk bermusyawarah, dan menghasilkan keputusan bahwa kemerdekaan yang sudah diproklamasikan dan Pemerintahan Republik Indonesia yang sah, hukumnya wajib dibela dan dipertahankan.... (hal. 41)
Menurut Gus Ishom, dengan lahirnya Resolusi Jihad semangat umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan semakin terbakar. Peristiwa heroik 10 November 1945 yang diperingati sebagai Hari Pahlawan menurut Gus Ishom tidak terlepas dari semangat Resolusi Jihad yang dicetuskan di markas NU, Bubutan Surabaya. Kiranya kegigihan perjuangan Kiai Hasyim tersebut cukup menjadi alasan utnutk memberi penghargaan kepada Kiai Hasyim sebagai ”Pahlawan Nasional” yang ditetapkan oleh Presiden Soekarno dalam Keppres nomor 249 tahun 1964.
Sebagaimana sambutan Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah, Kiai Hasyim meninggal pada masa yang sungguh kita masih sangat menghajatkan Pimpinan komandonya. Namun semangat beliau untuk selalu mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih, tetap menyala dan takkan hilang begitu saja. Kemunculan buku kecil yang disajikan dengan kupasan yang mendalam ini kiranya dapat menjadi semangat baru untuk kemudian menuliskan biografi dan riwayat hidup para tokoh-tokoh Islam lainnya.
*) Penulis adalah Mahasiswa Fak. Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Alumni Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar