Judul : Akankah Indonesia Tenggelam Akibat Pemanasan Global?
Penulis : Gatut Susanta & Hari Sutjahtjo
Penerbit : Penebar Swadaya
Cetakan I : 2007
Tebal : 83 halaman
Peresensi : Liza Wahyuninto
Perjuangan melawan pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) telah lama digulirkan jauh sebelum konferensi PBB untuk Perubahan Iklim 2007 yang diadakan pada di Bali pada tanggal 3-14 Desember 2007 dilaksanakan. Hanya saja di Indonesia, isu tersebut tidak menjadi fokus utama. Hal ini dibuktikan dengan kurangnya pengamat atau tokoh ahli yang memberikan kritik, saran atau sekedar pemahaman mengenai pemanasan global. Padahal, Gatut Susanta dan Hari Sutjahtjo dalam buku ini menegaskan bahwa peran sekecil apapun dalam menanggulangi pemanasan global, akan bermanfaat bagi generasi mendatang.
Tahun 2007 dijadikan sebagai tahun perlindungan iklim pada agenda politik internasional. Dunia internasional menilai bahwa bumi hari ini harus diselamatkan dari pemanasan global dan perubahan iklim. Terjadinya bencana di berbagai penjuru dunia telah menjadi isyarat bahwa bumi tidak lagi aman untuk dijadikan tempat hunian. Di Indonesia, lumpur panas di Sidoarjo, banjir, gunung yang sudah mulai batuk-batuk, seharusnya menjadi fokus perhatian bagi masyarakat Indonesia bahwa ada yang sedang tidak beres dengan bumi yang selama ini menjadi tempat berpijak.
Hal yang paling disoroti saat konferensi PBB untuk perubahan iklim 2007 adalah masalah gas emisi. Negara dunia diharapkan dapat mengurangi pemakian gas emisi di setiap negaranya masing-masing. Dalam hal ini, Menteri Lingkungan Hidup Jerman, Sigmar Gabriel berpendapat bahwa “perlindungan iklim sangat penting karena laporan IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change) tahun ini jelas menerangkan bahwa perubahan iklim memang terjadi dan pengaruhnya bisa dirasakan. Hanya dengan mengurangi emisi, kita dapat membatasi perubahan iklim sampai pada tingkat bisa diatasi”.
Ungkapan Sigmar Gabriel tersebut merupakan perwakilan suara dunia akan kekhawatiran terhadap terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Ungkapan-ungkapan serupa juga datang dari Negara-negara industri. Ini wajar, karena Negara-negara industrilah yang paling banyak mengeluarkan gas emisi yang menyebabkan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Akan tetapi, meskipun Indonesia adalah Negara agraris yang masih banyak ditemukan hutan, bukan berararti Indonesia tidak perlu khawatir akan terjadinya pemanasan global. Pemanasan global akan dirasakan oleh seluruh penjuru dunia. Bencana yang belakangan menimpa Indonesia merupakan salah satu penyebabnya.
Gatut Susanta dan Hari Sutjahtjo dalam buku ini juga menjelaskan bahwa pengaruh langsung dari pemanasan di Indonesia yaitu diperkirakan sekitar 2.000 pulau akan tenggelam pada tahun 2030-2050 (hal. 37). Setidaknya selain diramalkan akan ada ribuan pulau yang tenggelam, dampak dari pemanasan global yang dapat dirasakan saat ini adalah pencemaran udara, kekeringan yang terjadi di beberapa daerah, pergeseran musim, dan tanah longsor. Itu semua telah dirasakan dampaknya di Indonesia. Jika tidak ada usaha pembenahan, perlindungan dan antisipasi dari maka masyarakat Indonesia, maka pemanasan global akan semakin dirasakan dan seperti yang dikhawatirkan oleh Sigmar Gabriel, yaitu hingga pada tahap tidak bisa diatasi lagi.
Pemahaman akan pemanasan global dan dampak yang dapat dirasakan secara langsung kiranya dapat menyadarkan masyarakat Indonesia akan bahaya yang ditimbulkan oleh pemanasan global. Yang saat ini harus dilakukan adalah upaya pencegahan yang nantinya sangat berarti bagi kehidupan generasi selanjutnya. Pencemaran udara misalnya. Tercatat sebanyak 15% kematian bayi di Indonesia disebabkan karena pencemaran udara. Padahal, pencemaran udara dapat dengan diatasi dengan melakukan penghijauan dan mengurangi polusi yang diakibatkan oleh gas kendaraan bermotor.
Pemanasan global tidak dapat dicegah per individu, melainkan butuh kerja sama semua pihak (hal. 53). Setidaknya itulah yang diamanatkan dalam buku ini. Kerja sama dari semua masyarakat tentunya akan dapat lebih mudah melakukan pencegahan terhadap pemanasan global. Kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Balik Papan dan sebagainya hendaknya menjadi kota panutan dalam melakukan perlindungan terhadap bahaya pemanasan global ini. Karena selama ini di kota-kota besarlah pencemaran udara, minimnya air bersih ditemukan. Sangat disayangkan jika kota-kota besar tidak malah bercermin kepada kota-kota kecil. Namun, yang paling penting adalah bagaimana setiap kota di Indonesia bekerja sama melakukan pencegahan terhadap bahaya pemanasan global.
Ada empat hal yang dapat dilakukan per-individu dalam langkah antisipasi, yaitu menghemat penggunaan air, hemat listrik, penanaman pohon, dan penggunaan mobil dikurangi. Sedangkan secara kolektif dapat dilakukan langkah-langkah; mencari energi alternative, melestarikan hutan, menghapus penggunaan chloro fluoro carbon (CFC), penamanam pohon, dan memperbaiki kualitas kendaraan dengan uji emisi. Langkah-langkah ini pulalah yang saat ini tengah diserukan kepada masyarakat Indonesia, pun kepada masyarakat dunia untuk melakukan pencegahan terhadap pemanasan global dan perubahan iklim.
Hadirnya buku “Akankah Indonesia Tenggelam Akibat Pemanasan Global?” ini merupakan pemahaman, peringatan dan seruan kepada kita agar kita sadar akan bahaya yang saat ini mulai merayap menggerogoti bumi yang sedang kita pijak. Sudah sepatutnyalah sebagai wujud terima kasih kepada bumi ada upaya untuk menyelematkan bumi dari bahaya pemanasan global. Kerja sama antar individu merupakan kunci utama bahwa bumi ini adalah milik kita semua, dan upaya penyelamatanpun harus dilakukan secara bersama pula.
Akhirnya, semua bentuk partisipasi dalam mengurangi emisi CO2 akan sangat berarti bagi generasi mendatang. Dan yang perlu disadari bahwa generasi mendatang tidak lain adalah anak cucu kita yang akan berperan melanjutkan sejarah bangsa Indonesia. Ramalan bahwa 2030-2050 akan terjadi tenggelamnya pulau dan kota dapat diantisipasi jika semua bekerja sama.
Penulis : Gatut Susanta & Hari Sutjahtjo
Penerbit : Penebar Swadaya
Cetakan I : 2007
Tebal : 83 halaman
Peresensi : Liza Wahyuninto
Perjuangan melawan pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) telah lama digulirkan jauh sebelum konferensi PBB untuk Perubahan Iklim 2007 yang diadakan pada di Bali pada tanggal 3-14 Desember 2007 dilaksanakan. Hanya saja di Indonesia, isu tersebut tidak menjadi fokus utama. Hal ini dibuktikan dengan kurangnya pengamat atau tokoh ahli yang memberikan kritik, saran atau sekedar pemahaman mengenai pemanasan global. Padahal, Gatut Susanta dan Hari Sutjahtjo dalam buku ini menegaskan bahwa peran sekecil apapun dalam menanggulangi pemanasan global, akan bermanfaat bagi generasi mendatang.
Tahun 2007 dijadikan sebagai tahun perlindungan iklim pada agenda politik internasional. Dunia internasional menilai bahwa bumi hari ini harus diselamatkan dari pemanasan global dan perubahan iklim. Terjadinya bencana di berbagai penjuru dunia telah menjadi isyarat bahwa bumi tidak lagi aman untuk dijadikan tempat hunian. Di Indonesia, lumpur panas di Sidoarjo, banjir, gunung yang sudah mulai batuk-batuk, seharusnya menjadi fokus perhatian bagi masyarakat Indonesia bahwa ada yang sedang tidak beres dengan bumi yang selama ini menjadi tempat berpijak.
Hal yang paling disoroti saat konferensi PBB untuk perubahan iklim 2007 adalah masalah gas emisi. Negara dunia diharapkan dapat mengurangi pemakian gas emisi di setiap negaranya masing-masing. Dalam hal ini, Menteri Lingkungan Hidup Jerman, Sigmar Gabriel berpendapat bahwa “perlindungan iklim sangat penting karena laporan IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change) tahun ini jelas menerangkan bahwa perubahan iklim memang terjadi dan pengaruhnya bisa dirasakan. Hanya dengan mengurangi emisi, kita dapat membatasi perubahan iklim sampai pada tingkat bisa diatasi”.
Ungkapan Sigmar Gabriel tersebut merupakan perwakilan suara dunia akan kekhawatiran terhadap terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Ungkapan-ungkapan serupa juga datang dari Negara-negara industri. Ini wajar, karena Negara-negara industrilah yang paling banyak mengeluarkan gas emisi yang menyebabkan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Akan tetapi, meskipun Indonesia adalah Negara agraris yang masih banyak ditemukan hutan, bukan berararti Indonesia tidak perlu khawatir akan terjadinya pemanasan global. Pemanasan global akan dirasakan oleh seluruh penjuru dunia. Bencana yang belakangan menimpa Indonesia merupakan salah satu penyebabnya.
Gatut Susanta dan Hari Sutjahtjo dalam buku ini juga menjelaskan bahwa pengaruh langsung dari pemanasan di Indonesia yaitu diperkirakan sekitar 2.000 pulau akan tenggelam pada tahun 2030-2050 (hal. 37). Setidaknya selain diramalkan akan ada ribuan pulau yang tenggelam, dampak dari pemanasan global yang dapat dirasakan saat ini adalah pencemaran udara, kekeringan yang terjadi di beberapa daerah, pergeseran musim, dan tanah longsor. Itu semua telah dirasakan dampaknya di Indonesia. Jika tidak ada usaha pembenahan, perlindungan dan antisipasi dari maka masyarakat Indonesia, maka pemanasan global akan semakin dirasakan dan seperti yang dikhawatirkan oleh Sigmar Gabriel, yaitu hingga pada tahap tidak bisa diatasi lagi.
Pemahaman akan pemanasan global dan dampak yang dapat dirasakan secara langsung kiranya dapat menyadarkan masyarakat Indonesia akan bahaya yang ditimbulkan oleh pemanasan global. Yang saat ini harus dilakukan adalah upaya pencegahan yang nantinya sangat berarti bagi kehidupan generasi selanjutnya. Pencemaran udara misalnya. Tercatat sebanyak 15% kematian bayi di Indonesia disebabkan karena pencemaran udara. Padahal, pencemaran udara dapat dengan diatasi dengan melakukan penghijauan dan mengurangi polusi yang diakibatkan oleh gas kendaraan bermotor.
Pemanasan global tidak dapat dicegah per individu, melainkan butuh kerja sama semua pihak (hal. 53). Setidaknya itulah yang diamanatkan dalam buku ini. Kerja sama dari semua masyarakat tentunya akan dapat lebih mudah melakukan pencegahan terhadap pemanasan global. Kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Balik Papan dan sebagainya hendaknya menjadi kota panutan dalam melakukan perlindungan terhadap bahaya pemanasan global ini. Karena selama ini di kota-kota besarlah pencemaran udara, minimnya air bersih ditemukan. Sangat disayangkan jika kota-kota besar tidak malah bercermin kepada kota-kota kecil. Namun, yang paling penting adalah bagaimana setiap kota di Indonesia bekerja sama melakukan pencegahan terhadap bahaya pemanasan global.
Ada empat hal yang dapat dilakukan per-individu dalam langkah antisipasi, yaitu menghemat penggunaan air, hemat listrik, penanaman pohon, dan penggunaan mobil dikurangi. Sedangkan secara kolektif dapat dilakukan langkah-langkah; mencari energi alternative, melestarikan hutan, menghapus penggunaan chloro fluoro carbon (CFC), penamanam pohon, dan memperbaiki kualitas kendaraan dengan uji emisi. Langkah-langkah ini pulalah yang saat ini tengah diserukan kepada masyarakat Indonesia, pun kepada masyarakat dunia untuk melakukan pencegahan terhadap pemanasan global dan perubahan iklim.
Hadirnya buku “Akankah Indonesia Tenggelam Akibat Pemanasan Global?” ini merupakan pemahaman, peringatan dan seruan kepada kita agar kita sadar akan bahaya yang saat ini mulai merayap menggerogoti bumi yang sedang kita pijak. Sudah sepatutnyalah sebagai wujud terima kasih kepada bumi ada upaya untuk menyelematkan bumi dari bahaya pemanasan global. Kerja sama antar individu merupakan kunci utama bahwa bumi ini adalah milik kita semua, dan upaya penyelamatanpun harus dilakukan secara bersama pula.
Akhirnya, semua bentuk partisipasi dalam mengurangi emisi CO2 akan sangat berarti bagi generasi mendatang. Dan yang perlu disadari bahwa generasi mendatang tidak lain adalah anak cucu kita yang akan berperan melanjutkan sejarah bangsa Indonesia. Ramalan bahwa 2030-2050 akan terjadi tenggelamnya pulau dan kota dapat diantisipasi jika semua bekerja sama.
1 komentar:
Stop Global Warming adalah tanggung jawab setiap individu termasuk kita sebagai blogger. Intinya Jadilah Sahabat Bumi maka bumi pun akan bersahabat dengan kita.
Sekedar informasi kalau Kompas MuDA lagi ngadain kontes "Kompetisi Website Kompas MuDA - IM3" yang bertemakan lingkungan "Jadilah Sahabat Bumi". Peserta yang boleh ikut berumur antara 15 sampai 22 tahun.
Posting Komentar