Ponorogo Pos
Ketika beberapa waktu lalu HU Mardiluhung menjadi pembicara di SMA Immersion Ponorogo, dia lebih banyak bercerita tentang apresiasi puisi dan bagaimana membaca puisi. Dalam perbincangan informal di rumah, di jelang pagi, Mardiluhung mengungkapkan beberapa hal menarik berkaitan dengan proses kreatifnya: (a) bahwa proses kreatif itu sebenarnya tidak bisa diceritakan, (b) bahwa menulis ternyata mengalami fase kritis (krisis), (c) menulis itu harus peka situasi karena itu sering mengamati kejadian sosial, dan (d) menulis itu butuh risearch.
Mardiluhung memang seorang guru, yakni pengajar di SMA NU Tuban. Tetapi, dalam dunia kepenulisan jika seseorang ingin belajar menulis maka dia pun guru menulis. Untuk itulah, kini ia hanya mengajar bahasa Indonesia khusus spesifikasi menulis. Setiap minggu satu jam pelajaran. Unik?
Saya sendiri tidak tahu mengapa Mardiluhung bilang bahwa menulis tidak dapat diceritakan. Mungkin karena proses seseorang menulis memang terjadi di bawah sadar, tetapi ini pun sebenarnya dalam teori relaksasi justru dapat ditelusur karena hal itu terjadi dalam wilayah gelombang alfa dan teta. Artinya, mimpi (teta) sekalipun dapat diceritakan apalagi proses kreatif yang berlangsung (kira-kira dalam wilayah alfa) kok tidak bisa diceritakan. Tapi bagaimanapun karena itu proses kreatif yang bersifat pribadi, personal, maka pengakuan seperti ini pun bukan hal aneh. Bukankah kepenulisan kreatif itu sendiri sebuah keanehan?
Pengalamannya tentang proses kreatif yang “unik” inilah, barangkali yang kemudian mengokohkan puisi-puisinya. Memang, HU lebih banyak menulis puisi daripada ulasan atau esai. Sepengetahuan saya, Mardiluhung baru menulis cerpen sekali. Tetapi untuk kepenyairannya dia boleh dibilang kokoh, jadi ikon angkatan 2000 yang dikukuhkan oleh Korri Layun Rampan. Di situlah, lagi dapat dipahami mengapa proses kreatif menulis puisinya tidak dapat diceritakan karena memang proses ini terjadi pada saat mooding. Istilah orang Jawa, dhong-dhongan. Lek ora pas dhong juga gak bisa.
Sebelum hadir di Ponorogo, saya memang sudah mengenal Mardiluhung tiga lahun lalu ketika di Bogor. Saat itu, memang ia sudah kelihatan “gendheng” di antara guru-guru bahasa Indonesia yang lain. Kegendhengan ini, kemudian dapat pembenaran dari Maman S. Mahayana yang mengatakan begini, “Jadi guru bahasa Indonesia memang harus gendheng”. Ungkapnya disambut riuh para guru yang gendheng pula. Saat itu pula, Taufik Ismail menceritakan pengalamannya diundang di Hongkong oleh para Cerpenis Urban di sana, sampai kemudian Taufik mempertanyakan motivasi menulis para guru.
Kedua, ternyata menulis seperti pula kehidupan pada umumnya. Artinya, mengalami krisis pula. Pengalaman Mardiluhung hampir 2-3 tahun dia mengalami krisis itu, yang anehnya memang tidak dapat dipaksakan (hal ini diceritakannya saat perjalanan Bogor-Ponorogo). Apa yang dilakukan? Ya, mengalir saja. Gak usah dipaksa, katanya. Pengarang dan sastrawan lainnya memang banyak juga yang mengalami hal demikian. Untuk itu, jika Anda nanti sudah mulai menulis, berjalan, tetapi kemudian mengalami krisis, gak usah risau. Memang hal itu terjadi secara “alami”.
Pada saat krisis ini, sepengetahuan saya memang ia sedang terlilit masalah hidup. Persoalan kesandung dalan alus, kecocok lancupan sing tanpa ngelancupi. Dia jatuh cinta lagi, dan aneh memang, seperti rekaman perjalanan dunia lucu yang seringkali membuat orang lain geli. Wajar? Ia, namun sebagaimana umumnya manusia, penulis pun bukan hal haram jatuh cinta meskipun sudah berkeluarga. Bukan penulis pun ternyata jauh lebih banyak, apalagi penulis memang kelebihan imajinasi.
Menulis menyatu dengan kondisi, inilah hal lain yang dapat dipelajari. Sebab memang menulis seringkali terpancing inspirasinya dari kehidupan realitas sosial. Tak heran, jika puisi-puisi Mardiluhung juga berbicara lokalitas Gresik dengan berbagai pernik kehidupannya. Tak heran jika ia berbicara juga tentang laut dan nelayan sebagaimana Abdul Hadi WM, D. Zawawi Imron, Jamal D. Rahhman dan penyair muda M. Faizi.
Terakhir, dan ini merupakan gejala penulisan karya sastra mutakhir adalah perlunya research dalam menulis, termasuk menulis puisi. Mardiluhung kini sedang menyelesaikan kumpulan puisi yang ditulis berdasarkan research lapangan di pulau Bawean. Sebuah reportase estetis? Mungkin. Tetapi juga tidak, karena karya sastra hakikatnya sebuah dunia tersendiri. Dunia imajinasi dengan tokoh imajinasi pula, sebuah dunia puisi dengan aku liris imajinasi pula, sebuah sapa pembaca dengan pembaca imajinasi pula.
Untuk ini, jika kita jujur belajar dari kepenulisan Mardiluhung barangkali kita perlu sesekali research, mengamati situasi lokal, peka krisis, dan gak usah terkejut ketika menulis kemudian ditanya tentang bagaimana proses kreatif kok tidak dapat menceritakannya. Sebagaimana pernah menjadi perdebatan tentang puisi Malam Lebaran Sitor Situmorang, maka proses kreatif tidak penting untuk diceritakan. Menghilangkan dimensi penafsiran, karena sifat situasionalisasi hanyalah bersifat kilasan, karena itu, hanyalah bersifat inspiratif. Bukan potret.
***
http://sastra-indonesia.com/2008/10/belajar-menulis-dari-mardi-luhung/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar