Dalam sebuah pengertian mengenai bentuk dijelaskan bahwa
ia (bentuk) adalah satu titik temu antara ruang dan massa. Ia juga merupakan
penjabaran geometris dari bagian semesta bidang yang ditempati oleh objek --
yaitu ditentukan oleh batas-batas terluarnya namun tidak tergantung pada
koordinat bidang semesta yang ditempati. Bentuk adalah sebuah pola yang
dirangkai berdasarkan tujuan diwujudkannya. Sedangkan sempurna adalah utuh,
adalah lengkap, kamil, tanpa cela dan tidak tercela. Manusia; -seluruhnya- dalam
kodrat fitrah penciptaannya, diciptakan oleh Tuhan dalam bentuk yang sempurna.
Sebuah kinerja organisasi akan berhasil menjemput visinya
bilamana terjadi kerjasama sepaham antar organ yang arif dengan maqam dan
jobdisnya masing-masing. Organisasi tidak butuh anggota yang bodoh; sembrono,
yang tidak paham kapasitas keberadaannya -- apalagi tidak tahu menahu tentang
tujuan mengapa ia harus berada di lingkaran organisasi tersebut. Termasuk
keorganisasian tubuh manusia dengan unsur organ-organ bentuk yang telah menjadi
paket satuan penciptaannya. Manusia (secara bentukan) nyata memang sengaja
diunggulkan, dibaguskan, diistimewakan, diadilkan, -disempurnakan- oleh Tuhan
Yang Maha Luar Biasa, dibanding ciptaan-ciptaan lainnya.
Mukadimah di atas dapat dijadikan stimulus pijakan untuk
kita memahami maksud dari Tuhan menciptakan mereka (manusia) sebagai yang
ditugasi beribadah kepada-Nya dengan bekal tata cara yang jelas lagi mudah.
Shalat misalnya, atau zakat, haji dan atau ibadah-ibadah lain yang sifatnya
adalah melaksanakan (syathrul iktisab). Karena memang sejatinya hanya bentukan
manusialah yang bisa melaksanakannya. Hanya mereka yang diberi potensi
melaksanakan secara maksimal. Ditambah poin bonus anugerah akal dan perasaan
sebagai pelengkapnya tentunya.
Tidak bisa dibayangkan jika setiap ular diberi tuntunan
syariat yang sama pukul rata dengan manusia dalam tanggungjawab melakukan
ibadahnya. Bagaimana seekor ular bisa talfidh syahadat tanpa kemampuan belajar
huruf hijaiyyah? Bagaimana pula mampu berzakat tanpa bekerja dan menghasilkan
sisa harta? Bagaimana mampu mengurus paspor untuk naik pesawat menuju tanah
suci? Dan seterusnya. Akan banyak pertanyaan yang tak mungkin sanggup dijawab
dengan tastis. Begitupun dengan binatang-binatang lainnya, bahkan pula tumbuh-tumbuhan,
yang kesemuanya pada dasarnya adalah mahluk hidup. Yang sama-sama ciptaan Tuhan
Yang Maha Segala-galanya.
Manusia dengan bentukan siku yang fleksibel tentu tiada
memberatkan jika harus digunakan untuk ber-takbiratul ihrom. Dengan perut yang
bisa dilengkuk membungkuk pun tiada sulit untuk melakukan gerakan rukuk dan
sujud. Dua tangan yang khas juga tidak memiliki potensi sukar dalam melakukan
aktifitas memberi. Kepala yang ada di bagian atas sebagai sarana dikumpulkannya
organ-organ penting (mata, hidung, mulut, telinga, rambut, dlsb) pun kesemuanya
sudah tertata dengan fungsi yang tiada terbalik.
Tidak ada manusia yang hidungnya berfungsi sebagai alat
memandang. Tidak ada yang mengunyah makanan menggunakan telinga dan tidak ada
hidung yang butuh disisir. Tidak ada satu pun gerakan shalat (atau perintah
ibadah-ibadah lainnya) yang manusia tidak bisa melakukannya secara mudah.
Gerakan sujud tidak membentuk posisi kayang kan? Rukuk juga tidak menekuk perut
ke arah belakang. Duduk di antara dua sujud apakah posisi kaki harus lurus ke
samping kanan kiri? Tidak kan? Semuanya mudah dilakukan, bisa diupayakan. Sudah
sempurna dan luar biasa.
Ini baru sekilas bagian-bagian yang tampak. Belum lagi
perihal jantung, usus, hati, urat, lambung, dll yang jika terus digali akan
semakin menegaskan bahwa Tuhan benar-benar Maha Ahli dalam meramu bentuk
sekaligus keberfungsiannya.
Dari semua anugerah kedirian manusia tersebut tentu ada
yang diutus Tuhan menjadi wakil -- yang dengan diutusnya, ia mampu minimal menjadi
simbol aktifasi keberfungsian secara kesuluruhan. Qiyasnya, setiap organisasi
memiliki ketua. Ia-lah yang berfungsi mewakili keseluruhan anggota dalam
implementasi perjalanan menuju visi besarnya. Ketua bisa dikatakan ketua jika
ia mampu mewakili aspirasi dan perasaan seluruh anggotanya. Ia tidak bisa
semena-mena egois berlaku semaunya sendiri tanpa mempedulikan kinerja anggota
yang lain. Organ tubuh manusia jumlahnya teramat banyak. Sangat banyak. Tak
terhitung. Di sini, wajah lah yang mendapat mandat menjadi wakil dari
keseluruhan organ tersebut untuk tujuan inti diciptakannya sebagai manusia;
ialah beribadah.
Ibadah pun banyak. Dan tentu ada yang diutus sebagai
wakil pula dari ibadah secara keseluruhan. Yang mewakilinya tak lain adalah
shalat, dengan tata cara dan teknis yang telah diatur dalam tuntunan syariat
pastinya.
Manusia akan menemukan kunci keberhasilannya jika mampu
menghubungkan benang merah antara kedua wakil tersebut. Antara shalat dan wajah
terdapat simbol siratan ruh yang begitu kuat. Keduanya bertemu dalam elegi
makna sujud. Shalat (dengan berbagai gerakan yang telah diatur) memiliki pokok
gerakan inti, dimana wajah manusia yang pada mula bentukannya diletakkan di
bagian paling atas harus sudi disematkan pada bawah yang paling dasar. Bahkan
ia harus lebih bawah dari pantat manusia sendiri.
Jika wajah manusia telah ditundukkan yang demikian,
artinya posisi asalnya yang di atas pun sejatinya harus diluluhkan
seluluh-luluhnya. Ditanggalkan setanggal-tanggalnya. Dibenamkan sebenam-benamnya.
Tidak ada lagi yang harus ditinggikan dalam kedirian manusia. Tidak ada organ
lain yang harus diunggulkan lagi ketika utusan perwakilannya sudah menunjukkan
simbolis kerendahannya. Seluruhnya dikomando oleh wajah, bahwa sujud adalah
dimensi pengakuan kesejatian seluruh manusia dalam rangka meninggikan Dzat Yang
Maha Membentuknya. Ialah Tuhan Yang Maha Sempurna dengan kesempurnaan yang
tiada bandingannya.
Lantas, apakah berarti di luar shalat manusia berhak
merasa tinggi lantaran wajahnya kembali berada di posisi atas?
4 Juli 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar