Refleksi Pendampingan Komunitas Baca-Tulis di Mojokerto
Sutejo
“Tugas penulis memang menulis yang berkualitas, tetapi
jika tidak mengerti medan pasar, untuk apa kita menulis. Tersebab, menulis
bukan sekadar idealisme tetapi juga bernilai ekonomi.” (Sutejo)
***
***
Sebelumnya, mohon maaf kepada para guru kehidupan yang
sudah lebih dulu menulis. Ini hanya untuk menggairahkan kehidupan kata.
Ingat saya, sudah empat kali (yang bertema komunitas)
diundang Balai Bahasa Jatim untuk mendampingi workshop pengembangan komunitas
di Jatim: (i) Pacitan, (ii) Trenggalek, (iii) Tuban, dan (iv) Mojokerto.
Apa yang menarik? Keempat kota ini memiliki kecenderungan
respon yang berbeda. Mengapa? Saya tidak tahu, tetapi dapat diduga, bahwa
mereka ada yang bukan sesungguhnya komunitas. Artinya, ada beberapa yang
diundang, patut diduga sekadar formalitas mengatasnamakan dirinya sebagai
komunitas. Karakter komunitas sesungguhnya adalah militansi dalam berkumpul dan
berkarya, itulah tesis saya yang ada di kepala.
Kali ini, saya ingin berbagi respon atas salah satu
pertanyaan dari peserta di Mojokerto (19/2) begini: Mengapa, kata Bapak,
penulis harus bisa menjual bukunya? Bukankah tugas penulis adalah menulis.
Sementara, yang menjual sudah ada sendiri. Saya pernah mengikuti pelatihan
motivasi, tambah si penanya, itu bukan urusan kita (penulis). “Bagaimana tanggapan,
Bapak?”
***
***
Jawaban saya kira-kira komplitnya seperti ini. Sebab,
kala di Mojokerto, jujur saya tidak seeksploratif ini, karena keterbatasan
waktu; tersebab ada belasan pertanyaan yang harus diselesaikan dalam “tempo
sesingkat-singkatnya” (1 jam) karena pemateri selanjutnya sudah menunggu sejak
dua jam sebelumnya. Hehe. Sekaligus, sudah menjadi kebiasaan: merenungkan ulang
pertanyaan dan jawaban karena ketakutan atas kesalahan dalam “berkata”, dan
–maaf—banyak tulisan saya yang bermuara dari pengalaman pendampingan macam
begini.
Pertama, tentang tugas penulis. Betul, sangat betul,
bahwa tugas penulis adalah menulis sesuai dengan “namanya”. Jika dilihat dari
diksinya, maka bukan “penjual”. Jika penjual, pasti mereka adalah “pedagang”.
Tetapi jujur: maukah Anda menderita karena karya Anda tidak laku? Siapa pun
kita, dipastikan tidak menginginkannya. Apalagi saya.
Pengalaman saya, awal merintis penerbitan buku mandiri
begitu banyak omongan nyinyir menghampiri saya begini: (i) Opo Tedjo ki, nulis
buku dhewe didol dewe, (ii) buku saya dinilai tidak melalui proses evaluasi
keilmuan, (iii) kalau memang buku saya layak, mestinya dibedah di mana-mana,
dan (iv) mengapa tidak menggunakan penerbit mayor (besar) sehingga kualitas
buku dapat dipertanggungjawabkan. (Saya anggap, orang-orang ini sebagai “buta
literasi”, bahasa ekstrimnya “buta huruf”). Selesai.
Keempat nyinyiran itu puluhan kali mampir di kepala saya.
Saya tak memedulikannya. Sebab, ini sebuah pilihan. Pada tahun 1998 saya punya
pengalaman, buku saya menjadi pemenang di tingkat nasional kemudian dibeli
“proyek nasional”, tetapi royalty saat itu hanya terima dua kali. Ingat saya
sebesar Rp 3,9 juta (1999) dan 1,9 juta (2000). Padahal, buku itu untuk sebuah
provinsi saja, terketahui jumlah eksemplarnya 17.000 (berdasarkan “surat
laporan” penerbit). Saat itu, sungguh saya sangat bodoh. Pertama kali mengenal
dunia buku. Jadi sangat bangga buku dibeli oleh penerbit. Buku yang kedua yang
dibeli penerbit lagi (1999), lebih mengerikan. Tak jelas, sungguh tak jelas
kabar beritanya.
Keduanya adalah buku bacaan untuk anak SMA, kategori buku
fiksi, yang mestinya menjadi “hidangan renyah” –meskipun tidak semenggoda buku
popular lainnya. Judulnya: (i) Monolog Pengakuan Anak Pemburu, dan (ii) Warok
Kucing (Kumpulan Cerpen).
Di situlah, bermula: saya punya pikiran, “Wow, kalau
begitu penulis buku wajib bisa menjual buku.” Ini disebabkan, kala tahun 2007,
mengisi seminar di beberapa kota, mulai ada pertanyaan, “Karya buku-buku Bapak
apa saja, apa yang bisa saya koleksi?” Otak saya seperti tertampar. Pertama,
ketika dibeli penerbit besar kita tidak bebas, terkebiri, dan “terbodohi”.
Kedua, lebih parah lagi, jika tidak punya bukti memiliki karya buku. Inilah
awalnya, mengapa saya harus menulis buku, menerbitkan mandiri, dan mampu
menjualnya sendiri. Semua ada sejarahnya, karena saya adalah orang yang
dibesarkan oleh pengalaman hidup, pemaknaan hidup, dan tentu wajib mampu
mensintesakan problema kehidupannya. Termasuk tentu, berkaitan dengan produk
tulisan (buku utamanya).
Selama tujuh tahun saya benci menerbitkan buku!
(2000-2007). Setelah itu, selama 3 tahun (2008-2011) saya menerbitkan buku
lebih dari 15 buah. Rata-rata ketebalan di atas 200-300 halaman. Yang saya
bidik adalah mahasiswa dan para guru. Di sinilah, buku itu relatif laku.
Rata-rata tercetak di atas 3.000 eksemplar dengan penjualan mandiri melalui
jejaring. Bahkan ada buku yang paling saya tidak suka sudah tercetak 15.000
eksemplar: Bahasa Indonesia: Mahir Berbahasa untuk Profesi (maaf, sudah cetak
ulang 8 kali sejak 2013).
Maka jawaban pertama, adalah betul tugas penulis adalah
menulis! 100 persen itu betul. Tetapi, ingat masih ada tetugas lain yang harus
diselesaikan: (i) menyesuaikan dengan “pesanan”; (ii) bertanggung jawab atas
apa yang ditulisnya (kata-dan-perbuatan profesi kita); dan (iii) mampu
menjualnya. Maka tugas penulis, bagi saya, sungguh tak cukup hanya menulis!
Menyesuaikan dengan pesanan misalnya (tak usah
tersinggung wahai para penulis) adalah filosofi dari kemampuan kita menghargai
orang lain (pembaca). Misalnya, menulis untuk kepentingan penerbit –yang tentu
layak jual—berarti kita mengabdi pada penerbit dan aktualitas, dan pasar
tulisan.
Untuk kepentingan lomba misalnya, wah, ini wajib melewati
tahap rumit. Misalnya, kita penting mengenali siapa juri di balik lomba,
mengenal gaya, dan menyonteknya sesuai dengan “pesanan batin” juri. Itu pun,
belum cukup: wajib menyesuaikan pesanan tema. Wah, merendahkan profesi menulis?
Sungguh, tidak. Kita professional kok!
Untuk kepentingan media massa, maka kita wajib
mencocokkan dengan gaya media yang dituju. Gaya selingkung dan visi-misi media
berikut karakternya, masing-masing berbeda. Saya sempat kecewa diawal memasuki
menulis di dunia media massa karena mengusung idealisme pribadi. Akibatnya, kirim
ke Kompas, harus bernasib sial. Baru tulisan yang ke-24 yang berhasil dimuat.
Judulnya: Sinema Wanita dalam Sastra Indonesia (tahun 1995), edisi lupa.
Secara tidak langsung, fungsi “menjual tulisan”
sesungguhnya sudah ada dalam filosofi pikiran kita. Kita tidak usah sombong
dengan idealisme, buta kejujuran, takut dianggap melacur dalam tulisan. (hehe,
kok kelihatan serius). Lupakan saja. Kita fokus: bagaimana belajar berarti bagi
orang lain dalam tulisan. Maaf, inilah yang saya lakukan selama kurang lebih 30
tahun!
So, tugas penulis itu, bagi saya, tak cukup hanya
menulis. Tak setuju, monggo dipersilakan saja. Tersebab, ini membawa
konsekuensi sangat panjang dalam dunia kepenulisan kita di masa depan.
***
***
Kedua, jika kita hanya menulis, maka berarti kita hanya
sebagai “karyawan kata-kata”; padahal, mestinya kita bisa menjadi “juragan
kata”. Masa, kita terus akan menjadi karyawan, kapan menjadi bosnya? Ini logika
indah, mengapa salah satu filosofi pengembangan komunitas yang saya bawakan
kemarin di Mojokerto adalah pentingnya komunitas berjiwa entrepreneurship.
Simple: agar kita menjadi Bos, minimal, atas karya kita sendiri, jika
memungkinkan menjadi Bos bagi kolega dan teman-teman sejawat dan penggiat
kata-kata. (Yang penting kita tidak memanfaatkan kelemahan orang lain). Jangan
cengeng, karya kita tak laku. Kita saja yang tak kreatif menjualnya. Banyak tip
yang bisa dilakukan. Jika malu, suruh orang lain untuk menjualkannya dengan
berbagai cara. Katakanlah, semacam EO buku Anda, buatkan kegiatan (even) berbasis
buku kita, dengan misalnya kegiatan berbasis “barter buku”. Ini sudah jamak,
dan banyak yang melakukannya. Pelatihan menulis gratis, dijamin bisa! (syarat:
membeli 100 eks buku).
Jika masih malu, jual saja melalui online, bisa sendiri
atau orang lain. Tak ada masalah. Banyak pemilik depot merangkap juru masak,
atau ahli masaknya. Tetapi, untuk pelayannya tidaklah mereka sendiri. Pilih
mana? Monggo direnungkan sebelum dijawab dengan kata-kata. Pikiran kita butuh
jujur dan terbuka. Maka jika ini dipikirkan, bayangkan kepala kita seperti
cangkir yang kosong, masukkan dulu, lihat, baru dinikmati. Jika cangkir kita
penuh, maka tulisan ini akan sia-sia saja adanya.
So, bagi saya: tugas penting penulis adalah mampu menjual
karya-karyanya! Pelukis menjual lukisannya, biasa.
***
***
Ketiga, ini lebih ngawur saya. Semua penulis wajib bisa
melatih menulis secara praktis. Langsung, bisa dipratikkan kemudahannya.
Penulis tidak saja seorang rhapsodist (kata Budi Darma, bergagasan cemerlang
dan bernas kata), tetapi bagaimana dia wajib menjadi pelatih. Seorang perenang,
bisa melatihkan renang secara langsung. Guru lukis bisa melahirkan pelukis.
Guru tari bisa melahirkan anak penari. Tetapi guru bahasa Indonesia, di mana
letaknya? Mari berenung. Mestinya, guru bahasa Indonesia bisa melahirkan banyak
penulis, minimal untuk kebutuhan hidupnya, untuk medan ekspresi, untuk katarsis
jiwa, untuk mengembangkan idealismenya.
***
***
Maka, untuk pengembangan komunitas, sekali lagi monggo
jujur kita bertanya: untuk apakah kita membangun komunitas. Untuk wah-wahan,
untuk hobi, untuk sekadar berkumpul, atau untuk mentasbihkan sendiri kita
sebagai “raja kata”. Wow, akan menjadi lucu, ironis, bahkan paradoks jika kita
gagal menggenggam filosofi komunitas yang benar. Oke, semua orang memiliki
“filosofi hidup matinya komunitas” tetapi jika kita jujur maka “bagaimanakah
menghidupkan dan menumbuhkan komunitas”? Ini penting. Ini bukan pertanyaan
ringan, butuh kreativitas dan inovitas yang joss. Butuh mental, butuh
pengorbanan, dan tentu –dibutuhkan beragam hinaan—yang menguatkan otot
jiwa-pikiran sehingga berdaya tarung tinggi. Berdaya tumbuh dahsyat! Pinjamlah
logika pir, ketika ditekan ia akan melahirkan lompatan yang sepadan dengan
tekan yang diterimanya. Mental-otot penulis mestinya melampui benda mati
bernama pir.
Memangnya, komunitas untuk medan pertarungan? Bukan,
ibaratnya beraktivitas hidup selalu berhimpitan antara bertarung atau
bersahabat, kompetisi atau kooperasi. Jika logika berkomunitas benar, maka
dipastikan akan saling bisa menghidupkan. Mendayakreasikan bagi kehidupan yang
lebih luas! Kita saling berlomba untuk menebarkan kebaikan dalam kata, bukan
simbol-simbol yang dipuja-mitoskan.
***
***
Terakhir ini, barangkali catatan ngawur selanjutnya.
Tugas penulis adalah jujur, konsekuen, dan bertanggung jawab atas apa yang
dituliskannya. Karena tulisan itu akan menuntut kita, menjadi hakim kita, dan
memang, di akherat kita akan dimintai tanggung jawab atas karya-karya kita.
(hehe, seperti khotbah saja ini).
Artinya, penulis itu bukan sekadar bisa menulis. Tetapi
seperangkat mental, wajib lekat dalam apa yang dituliskannya. Jika tidak, maka
tulisan akan menjadi pisau yang sangat berbahaya bagi kehidupan. Sebut
misalnya, hoaks. Ini adalah produks mentalitas yang nihil di balik seorang penulis.
Tulisan, bisa jadi menjadi pisau tajam yang digunakan untuk membunuh seseorang.
Kita bisa mencemarkan nama baik, dan jika di medsos, kita bisa berkepanjangan.
Berurusan dengan hukum dan lain sebagainya.
Di sinilah, saya ingin menyebutnya bahwa penulis itu
–bagaimanapun—menuntut moralitas super. Makanya, dulu para penulis disebut
dengan empu. Pujangga. Mereka melalui proses kejiwaan yang dahsyat sebelum
melahirkan kata. Kita di era digital, bisa mentasbiskan apa saja tentang diri,
orang lain, dan –termasuk komunitas. Sayang, moralitas tulisan sering
dilupakan, diabaikan, atau bahkan dinomorsekiankan.
Pesan menarik sebagai akhir dari refleksi ngawur ini
adalah: menjadi penulis tidak gampang, membangun komunitas bertanggung jawab,
tentu juga tidak gampang. Sendiri saja susah, apalagi berjamaah tentu lebih
susah. Tetapi, sebenarnya jika mau berpijak pada moralitas yang sama: dunia
kata adalah surga yang indah karena kata adalah wasilah diri untuk jariyah yang
indah di akherat.
Salam perubahan, mindset baru untuk perubahan. Tugas
penulis yang paling asasi bagi saya: wajib mampu mengubah mindset, perilaku,
dan kehidupan diri untuk lebih baik dari sebelumnya! Baru, mengubah orang lain.
Bravo penulis, bravo komunitas!
Ponorogo, 20/2/2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar