“Pernyataan Sikap Lingkar Studi Filsafat Nahdliyin (LSFN) dan Solidaritas
Pemerhati Filsafat”
Rocky Gerung, seorang yang pernah tercatat menjadi Dosen Filsafat di
Universitas Indonesia, muncul di tengah publik dan dielu-elukan sebagai sosok
pembawa nama “Filsafat”, seolah wacananya menampilkan suatu sikap kritis dan
kedalaman, pencerahan dan kebijaksanaan, bagi situasi perpolitikan (praktis) di
tanah air. Dengan jargon “akal sehat” atau “berpolitik dengan akal sehat”, ia
tampil seolah-olah mewakili kebenaran akal sehat di tengah politik praktis yang
dikuasai oleh fanatisme, kultus tokoh, “hoax”, dan politisasi kebencian,
seolah-olah ia tampil sebagai juru bicara “akal sehat” yang imparsial, tidak
memihak, dan objektif.
Tapi benarkah demikian kenyataannya? Benarkah “akal sehat” butuh juru
bicara yang bernama Rocky Gerung? Benarkah Rocky Gerung adalah representasi
“akal sehat”? Sebagai pemerhati dan pegiat Filsafat, kami, nama-nama yang
tertera di bawah ini, menyatakan keprihatinan politis atas manipulasi retorika
dan konsep-konsep filosofis oleh subjek bernama Rocky Gerung, atas
argumen-argumen sebagai berikut:
1/ Berbagai pernyataan publik Rocky Gerung (RG) mengenai akal sehat,
“fiksi kitab suci”, agama, dan politik, yang tertulis maupun tersampaikan
secara lisan di media atau ruang-ruang publik lainnya, meletak di dalam suatu
konteks politis, yaitu gelombang naiknya populisme Islam konservatif, khususnya
pasca-kasus Ahok, di mana sentimen-sentimen agama dibakar dengan berbagai cara.
“Kebaruan” RG adalah menawarkan retorika yang kedengaran konseptual, “canggih”,
dan argumentatif, di tengah polemik kasus tersebut, demi mendekati
kelompok-kelompok Islam yang berkepentingan di dalam kasus itu. Kini semakin
jelas, menjelang Pilpres 2019, RG mendekat ke kubu Paslon Nomor 02. Wacana
“akal sehat” yang dibawanya adalah kendaraan politik yang disetirnya ke sana
kemari untuk mendulang air keruh di tengah kubu-kubu Pilpres yang sedang
bertarung.
2/ RG mempolitisasi latar belakang dan reputasinya sebagai dosen Filsafat
di sebuah kampus negeri ternama di Indonesia, dengan memberi kesan kepada
publik bahwa omongannya adalah akademis, cendekia, dan filosofis, netral
kepentingan politis (namun, adakah yang tidak politis di bawah kolong langit?),
padahal tidak demikian adanya. Omongannya merupakan lontaran-lontaran gagasan
yang tidak sistematis dan kabur – jauh dari karakter pemikiran seorang filsuf.
Hingga rilis ini dibuat, RG tidak pernah menuliskan gagasannya secara ketat dan
sistematik, untuk mengklarifikasi kepada publik apa yang dimaksudnya dengan
“akal sehat”, dan memperdebatkannya di tengah komunitas pembaca filsafat,
akademisi filsafat, dan komunitas ilmiah secara umum. Artinya,
lontaran-lontaran gagasannya di bawah judul “akal sehat” belum teruji secara
filosofis, namun gagasan mentahan ini sudah telanjur menjadi konsumsi publik
dan masyarakat luas yang belum terbiasa dengan gaya dan alur berpikir Filsafat,
sehingga cenderung menghipnotis dan punya efek manipulatif.
3/ Permasalahan kebangsaan yang kita hadapi saat ini, yang kompleks dan
berdimensi luas, direduksi secara fatal dan brutal oleh RG seakan-akan hanya
menjadi persoalan “akal sehat”. Padahal, negeri ini tak kekurangan orang yang
mampu berpikir kritis, hanya saja ruang ekspresi mereka makin sempit karena
diberangus dan dijerat oleh ancaman kriminalisasi, intimidasi, serta represi
lainnya. Di balik problem “akal sehat”, ada problem ruang-ruang demokrasi yang
secara struktural semakin sempit dari percakapan yang setara, cerdas, dan
demokratis; dan secara politis, semakin sempit karena pengekangan Negara dan
kelas berkuasa (Ruling Class) di bawah orkestrasi pemerintahan Jokowi-Jusuf
Kalla lantaran kepentingan ekonomi-politiknya yang terusik oleh berbagai aksi,
kritik, dan protes dari rakyat. Alih-alih mengkritik Negara dan aparatur
represifnya, RG mengkritik Jokowi dan kubu Jokowi. Alih-alih membongkar
dominasi ketakutan dan berjalannya mesin kekerasan terhadap ruang demokrasi, RG
memainkan sentimen antar-golongan dengan membenturkan dua kelompok “pro-akal
sehat” dan “anti-akal sehat”, seolah-olah “akal sehat” bersemayam pada satu
kalangan tertentu saja. Pendekatan esensialis ini berbahaya. Ketika “akal
sehat” diklaimnya dimiliki oleh satu kubu saja, yang sedang kita lihat bukan
akal sehat, namun “fanatisme akan retorika akal sehat”, suatu tipe nalar yang
sakit. RG adalah tipe intelektual yang sedang mengidap “akal sakit”, alih-alih
“akal sehat”. Ia menjadikan “akal sehat” murni retorika tanpa bobot dan
kedalaman, senjata pseudo-kritis untuk melakukan “blaming” atas pihak lain,
mirip seperti rezim pemerintah otoriter yang kerap mem-“blaming” apa yang tidak
disukainya sebagai “subversif”, “pembangkang”, dan lain-lain. Kami menilai,
yang dilakukan RG saat ini adalah melakukan “politik pengambinghitaman” dengan
memainkan istilah “akal sehat”, suatu tipe nalar yang sakit karena menghadapi
lawan politiknya dengan “ressentiment”. Suatu tipe mentalitas budak, kata
Nietzsche, karena melakukan pembelaan diri dengan menyerang membabi-buta siapapun
yang dianggapnya lawan, tanpa secara kesatria menunjukkan kelemahan dirinya.
Ini tak ubahnya retorika “Partai Allah” versus “Partai Setan” yang diucapkan
para politisi. Kita tunggu apakah RG akan membuat “Partai Akal Sehat” versus
“Partai Akal Sakit” menurut preferensi politiknya.
4/ Pernyataan RG “kitab suci adalah fiksi” tidak bisa dilepaskan dari
kontestasi di atas. Konteks frase itu adalah perdebatan soal “menista” kitab
suci, menyusul statemen Ahok beberapa waktu silam. Pertama, ia memberi
pseudo-argumen seolah-olah masalah Ahok sekadar masalah interpretasi atas kitab
suci, sementara di lapangan lebih kompleks daripada sekadar interpretasi.
Kedua, menyatakan “kitab suci adalah fiksi” berarti masuk ke dalam perdebatan
yang melibatkan filsafat, teologi, dan sastra, dan RG tidak pernah serius
memasuki gelanggang perdebatan itu untuk mengujinya bersama para filsuf, ahli
teologi, dan kaum sastrawan di Indonesia. Ada dua kemungkinan: kita gowes
menganggap frase itu sekadar omongan kosong; atau kita mengejar sistematika
pemikiran di baliknya, dengan membuka kembali perdebatan dalam filsafat,
teologi, dan sastra mengenai hakikat Kitab Suci. Kami memiliki pemikiran bahwa
Kitab Suci bukanlah fiksi, karena di dalamnya banyak mengandung kisah-kisah
faktual di masa lampau; ia memang ditulis dan dibaca secara sastrawi, namun
bukan berarti ia adalah hasil imajinasi belaka, jika hal itu maksud RG dengan
kata “fiksi”. Segala yang belum terjadi di dalam Kitab Suci bukan pula suatu
fiksi, melainkan berita dan cakrawala harapan bagi kaum beriman. “Fiksi” dan
“fiktif” hanya relevan bagi Kitab Suci dari sisi bentuk ekspresi sastrawinya,
itu pun masih diperdebatkan, dan pesan Kitab Suci tentang masa depan. Lebih
tepat, menyebut Kitab Suci sebagai “hermeneutis” daripada “fiksi”. Kitab Suci
membuka ruang tafsir yang lebih kaya daripada karya fiksi atau non-fiksi oleh
karya tangan manusia. Kami menolak RG dikriminalisasi atas lontarannya itu,
karena kesalahan RG bukan pada sisi penistaan agamanya, tapi pada pemahamannya
yang sepotong-potong tentang Kitab Suci, dan bias retorikanya yang
membingungkan. Hal itu hanya bisa dibongkar melalui perdebatan filsafat yang
otentik, alih-alih pemenjaraan.
5/ Fenomena RG membuktikan keperluan menggalakkan kajian-kajian filsafat
yang serius, tidak berlumur retorika dan popularitas, karena dengan cara itu
akal sehat dapat dipupuk di negeri ini. Kami mengecam segala tindakan represif
pemberangusan diskusi-diskusi filsafat yang kerap terjadi di negeri ini, karena
hal itu akan menyumbang lahirnya Rocky Gerung-Rocky Gerung yang baru, para
badut filsafat yang, atas nama filsafat, bernarsis-ria untuk akumulasi modal
simbolik para elite politik (oligarkh).
Rilis ini, dibuat tanpa pretensi mendukung kubu siapapun dalam pertarungan
Pilpres 2019, bertujuan membuka kembali percakapan kritis mengenai situasi
intelektualisme kita hari ini dan kepentingan yang mengitarinya.
“The free man, who lives among the ignorant, strives, as far as he can, to
avoid receiving favours of them” (Spinoza, “The Ethics”, Part IV, Prop. LXX).
“Seorang manusia yang berjiwa bebas, yang hidup di antara orang-orang
bodoh yang tidak menghargai pemikiran, sejauh ia bisa, akan menghindar untuk
memperoleh dukungan mereka” (Spinoza, “Etika”, Bagian IV, Proposisi LXX)
*
Tertanda:
1. Muhammad Al-Fayyadl (LSFN, Alumnus Filsafat Université de Paris-VIII)
2. Ajeng Syilva (Mahasiswa Pasca-Sarjana UIN Bandung, LSFN)
3. Dedi Sahara (LSFN)
4. Abdul Hannan (LSFN)
5. Mohammad Hakim MB (LSFN & Redaktur Laboratorium Filsafat Hikmah UIN Sunan Kalijaga)
6. Muhamad Maksugi (LSFN)
7. R.H. Authonul Muther (LSF Discourse)
8. Faisal Ahmad (LSFN)
9. Firmansyah Sundana (LSF Discourse)
10. Ahmad Thariq (LSFN, mahasiswa S1 UPI Bandung)
11. Reza Fauzi Nazar (LSFN)
12. Raja Cahaya
(Komunitas Sophia, Lapar Institute, dan LSFN)
13. Dika Sri Pandanari (LSF Discourse)
14. Fahmy Farid Purnama (LSFN)
15. Siti Mariam Ulfah (LSFN)
16. Firdausya Lana (LSF Discourse)
17. Lukman Hakim Rohim
(LSFN)
18. Kiki Fijay (Filsafat UIN Bandung, Komunitas Sophia)
19.....
20.... (Bubuhkan nama di kolom komentar)
2. Ajeng Syilva (Mahasiswa Pasca-Sarjana UIN Bandung, LSFN)
3. Dedi Sahara (LSFN)
4. Abdul Hannan (LSFN)
5. Mohammad Hakim MB (LSFN & Redaktur Laboratorium Filsafat Hikmah UIN Sunan Kalijaga)
6. Muhamad Maksugi (LSFN)
7. R.H. Authonul Muther (LSF Discourse)
8. Faisal Ahmad (LSFN)
9. Firmansyah Sundana (LSF Discourse)
10. Ahmad Thariq (LSFN, mahasiswa S1 UPI Bandung)
11. Reza Fauzi Nazar (LSFN)
12. Raja Cahaya
(Komunitas Sophia, Lapar Institute, dan LSFN)
13. Dika Sri Pandanari (LSF Discourse)
14. Fahmy Farid Purnama (LSFN)
15. Siti Mariam Ulfah (LSFN)
16. Firdausya Lana (LSF Discourse)
17. Lukman Hakim Rohim
(LSFN)
18. Kiki Fijay (Filsafat UIN Bandung, Komunitas Sophia)
19.....
20.... (Bubuhkan nama di kolom komentar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar