Agus Buchori *
Membaca
buku adalah belajar. Sebagaimana proses pembelajaran tentunya ada interaksi
timbale balik dari keduanya. Dalam kasus membaca guru adalah pembelajar sedang
pembacanya adalah pebelajar. Lantas apakah ada korelasi antara buku dan pembaca
ini nantinya pada akhirnya pembaca akan mengikuti serta merta apa yang
dibacanya?
Pembaca adalah orang yang mencari referensi atau
informasi dari sebuah buku. Bisa jadi ia sudah punya asumsi terlebih dahulu
hingga harus mencari buku dengan subyek tertentu. Saat proses membaca inilah
akan terjadi proses memilih dan memilah mana yang harus ia pakai dan tidak.
Bisa
jadi ia memakai keseluruhan isi buku tersebut karena isinya sama dengan yang ia
asumsikan sebelumnya. Tapi bisa juga pembaca malah kan menolak habis habisan
secara membabi buta isi buku yang ia baca karena isinya bertentangan dengan apa
yang ia asumsikan.
Dari
penjelasan di atas tentunya ketakutan pada sebuah bacaan hanyalah sebuah phobia
yang tidak pada tempatnya. Tindakan penyitaan buku buku yang mengulas tentang
paham komunisme dan tokoh tokohnya adalah berlebihan.
Pembaca
mempunyai nalar kritis untuk menilai isi sebuah buku, dan bila ada penyitaan
terhadap buku tertentu penulis menganggap tindakan ini telah menafikan cara
berfikir pembaca. Para pembaca buku yang agresif adalah mereka mereka yang
berfikiran kritis tidak mudah terpengaruh dengan yang ia baca.
Perjalanan
panjang biografi tokoh tokoh bangsa telah menunjukkan bahwa koleksi bacaannya
sangat beragam. Semua genre pengetahuan menjadi koleksinya. Bung Hatta saya
rasa lebih paham komunisme daripada para pengagum Karl Mark, Hegel, dan tokoh
komunis lainnya. Tapi bisa kita lihat Bung Hatta adalah pengkritik paling
jenius teori komunisme.
Ia
melahirkan teori koperasi yang cukup indah itu, tentunya setelah ia memahami
begitu banyak teori ekonomi baik dari komunis dan kapitalis. Beliau bahkan
banyak kenal dengan tokoh tokoh komunis di Indonesia maupun di Belanda saat
perjuangan dulu. Inilah salah satu bukti bahwa pembaca buku yang lahap tak kan
mudah terpengaruh isi dari buku yang ia baca bahkan cenderung menghasilkan ide
baru.
Bahkan
ia mengkritisi teori Bung Karno dengan Nasakomnya. Bung hatta berpendapat tak
mungkin menyatukan komunisme dengan agama karena komunis lebih mengagungkan
materialisme yang tentunya berbeda dengan agama yang mendahulukan rasa percaya
pada nilai nilai ilahiah. Tentunya ini disebabkan bung hatta telah melahap
semua teori itu.
Komunisme
telah mati saat ini di dunia. Terbukti banyak negara yang menganutnya telah
runtuh dan berubah menjadi demokratis. Bahkan Cina pun yang parlemennya masih
dikuasai komunisme mulai membuka diri terhadap dunia luar tak lagi tertutup dan
komunal sebagaimana cita cita komunisme. Tidak ada lagi proletar di era mesin
karena mesinlah yang jadi proletar sekarang ini.
Sejarah
adalah sesuatu yang bisa menjadi kaca benggala. Kebanyakan buku berhaluan “kiri”
adalah produk sejarah yang dicetak ulang. Baik itu biografi tokoh tokohnya
maupun teori teorinya. Kita tentunya harus memberikan pada generasi itu untuk
memahami sejarah yang ada agar mereka paham akan perjalanan bangsanya.
Tentunya tidak ada superhero dalam perjalanan
terbentuknya sebuah bangsa. Banyak tokoh tokoh dengan berbagai latar belakang
ide andil bagian di dalamnya. Dan kita semua tahu komunis tidak laku bahkan
terpinggirkan di negeri ini. Gerakan mahasiswa tahun 1966 adalah wujud para
pembaca kritis dari teori teori komunisme yang akhirnya bersuara ketika melihat
banyak sisi negative teori tersebut.
Penulis
juga yakin bahwa angkatan 66 adalah anak anak mahasiswa yang sudah mengkonsumsi
teori komunisme tapi apakah mereka mendukung komunisme di Indonesia? Semua
sudah tahu jawabnnya.
Apa yang terjadi di Kediri dan mungkin di tempat lain
tentang sweeping buku buku kiri adalah sekali lagi telah mematikan iklim dunia
intelektual. Kenapa hanya di situ? Toh di Perpustakaan Nasional juga ada
koleksi buku buku tersebut. Apakah kita juga mau menyisir buku buku tersebut
dari rak buku di Perpustakaan Nasional?
Sekali
lagi membaca adalah dialog yang tentunya tidak serta merta mempengaruhi pola
fikir pembaca. Sebagaimana buku buku paham radikal yang sita saat ada
penangkapan tersangka terorisme, apakah teroris tersebut bekerja karena membaca
buku yang ia baca? Tentunya tidak.
Semua
ada proses dan sebagaimana yang sudah dijelaskan bahwa terorisme pun terjadi
karena pendidikan dari organisasinya bukan karena ia membaca buku.
Penulis
berharap negara kita tidak lagi melakukan langkah mundur sebagaimana masa orde
lama saat Lembaga Kebudayaan rakyat (Lekra ) membakar buku yang berafiliasi
pada Manifes Kebidayaan (Manikebu). Juga apa yang dilakukan oleh masa awal Orde
Baru dengan membakar buku buku kiri yang terbukti makin membuat kesimpangsiuran
sebuah sejarah.
Stop pelarangan sebuah buku karena pembaca adalah manusia
yang hidup dengan akal yang bisa memilah dan memilih. Toh kitab suci agama pun
tak bisa serta merta mempengaruhi manusia menjadi baik. Terbukti dengan masih
adanya kejahatan yang terus menerus terjadi. Itu semua karena jiwa manusia itu
dinamis dan masih bisa dipengaruhi lingkungan yang mendidiknya.
Lebih
baik menumbuhkan iklim kepada pembaca untuk menjadi pembaca yang kritis
daripada sekedar melarang dan menyita buku. Hidupkan diskusi diskusi yang
terbuka di setiap elemen masyarakat tanpa ada unsur indoktrinasi itu lebih
penting dan membangun. Biar bagaimanapun membungkam hanya akan menimbulkan api
dalam sekam.
*) Arsiparis Lamongan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar