Mun'im
Sirry
Hanya mereka yang tidak memahami al-Qur’an dan membaca
sejarah Islam yang akan menyangkal judul di atas. Sebelum membahas dua sumber
tersebut (al-Qur’an dan sejarah Islam), perlu ditegaskan bahwa kegandrungan
sebagian masyarakat Muslim di Indonesia terhadap sistem khilafah sebagai bentuk
pemerintahan Islam merupakan fenomena baru.
Sejak awal, bahkan sebelum kemerdekaan, ide khilafah itu
sama sekali tidak menjadi pertimbangan kaum Muslim. Dua tahun setelah Khilafah
Usmaniyah dibubarkan pada 1924, kongres tentang khilafah digelar di Kairo dan
Jeddah, yang juga dihadari oleh peserta dari Indonesia.
Seperti dituturkan oleh Prof. Hamka, salah seorang
peserta kongres tersebut adalah bapaknya sendiri. “Peserta dari Indonesia sama
sekali tidak antusias dengan sistem khilafah,” tulis Hamka dalam memoar
mengenang orang tuanya, Ajahku: Riwajat Hidup Dr. H. Abd Karim Amrullah dan
Perdjuangan Kaum Agama di Sumatera (1958).
Peserta lain adalah Mohammad Natsir, seorang tokoh utama
partai Islam Masyumi. Dalam bukunya, Islam dan Kristen di Indonesia (1969),
Natsir juga menyinggung keikutsertaannya dalam kongres khilafah, tapi dia tidak
tertarik. Ia lebih memilih ide Negara Islam, ketimbang khilafah.
Konsep
Negara Islam yang ada dalam pikiran Natsir bukan teokrasi ala khilafah. Ia
meyakini betul bahwa Negara Islam itu tidak bertentangan dengan demokrasi.
Makanya, dia mengatakan Negara Islam bukan teokrasi dan juga bukan sekuler,
melainkan “Negara Demokrasi Islam”.
Artinya,
sejak awal kelahiran Republik ini, sistem khilafah memang bukan alternatif.
Baru belakangan kaum Muslim di Indonesia dibodohi dengan propaganda bahwa
khilafah adalah sistem pemerintahan Islam. Selain tidak sesuai al-Qur’an,
propaganda itu bersifat ahistoris.
Khalifah
dalam al-Qur’an dan Tafsir Awal
Kata
“khilafah” berasal dari akar kata yang sama dengan “khalifah”, yakni “kh-l-f”.
Dalam literatur politik Islam klasik, pemerintahan khilafah dipimpin oleh
seorang khalifah. Namun, kalau dirujuk ke al-Qur’an, kata “khalifah” itu tidak
punya konotasi politik.
Dalam
kisah penciptaan Adam yang disebutkan dalam surat al-Baqarah (2), terdapat
dialog antara Tuhan dan malaikat terkait penciptaan seorang khalifah. Ketika
Allah berfirman kepada malaikat, “Saya akan menciptakan seorang khalifah di
atas bumi.” Respons malaikat, “Akankah Engkau menciptakan di atas bumi seorang
yang akan melakukan kerusakan?” (QS 2:30).
Jelas
sekali bahwa al-Qur’an tidak menggunakan istilah “khalifah” dalam pengertian
pemimpin politik. Menarik disimak bagaimana kata “khalifah” dipahami dalam
tradisi tafsir awal.
Prof. Wadad al-Qadi dari Universitas Chicago, AS, melakukan studi mendalam tentang penafsiran khalifah di kalangan mufasir Muslim awal, terutama zaman pra-Tabari (w. 310/922). Kenapa literatur tafsir yang dipilih adalah karya-karya sebelum zaman Tabari? Sebab, Tabari itu hidup cukup belakangan dalam rentang waktu penggunaan kata “khalifah” yang berkonotasi sebagai pemimpin politik. Dalam sumber-sumber yang dapat dipercaya, kata “khalifah” disematkan kepada pemimpin politik itu baru terjadi pada zaman dinasti Umayyah, sebagaimana akan didiskusikan di bagian akhir tulisan ini.
Maka, fokus kajian Prof. Qadi ialah tafsir-tafsir yang ditulis atau diproduksi pada zaman Umayyah, yang berkuasa antara tahun 661-750. Kesimpulan Qadi sangat menarik: betapa penggunaan kata “khalifah” sebagai pemimpin politik juga terdeteksi dalam sebagian tafsir yang diproduksi pada akhir pemerintahan Umayyah dan awal pemerintahan Abbasiyah. Sementara dalam tafsir-tafsir yang lebih awal, khalifah dimaknai tanpa konotasi politik apa pun.
Akar
kata “kh-l-f” bisa bermakna “menggantikan”, “orang yang datang setelah yang
lain”. Para mufasir kebingungan juga bagaimana memahami kata “khalifah Allah”:
menggantikan Allah? Tapi, pertanyaan yang lebih subtil ialah: Kenapa manusia
begitu mulia sehingga dijadikan “khalifah” di atas bumi?
Terkait pertanyaan itu, dua alternatif jawaban diajukan,
yang berkorespondensi dengan kronologi penggunaan istilah “khalifah” secara
politik. Dalam tafsir yang ditulis pada awal masa Umayyah ketika khalifah belum
digunakan sebagai gelar pemimpin politik, alasan yang diajukan adalah karena
manusia punya kemampuan untuk mengelola atau mengembangkan sumber alam. Para
paruh akhir zaman Umayyah, manusia disebut khalifah karena kemampuannya untuk
memimpin.
Khilafah
sebagai Institusi Politik
Dari penelusuran penafsiran “khalifah” dalam literatur
tafsir awal tampak adanya pergeseran dalam pemaknaan kata “khalifah”. Ini juga
bukti nyata bahwa tafsir kontekstual itu tak terhindarkan karena tak ada
pemahaman yang lahir di ruang hampa. Tapi ini persoalan lain yang akan saya
diskusikan dalam tulisan lain. Cukup dikatakan di sini, praktik politik juga
mempengaruhi corak penafsiran al-Qur’an.
Dalam
buku-buku sejarah Islam, kata “khalifah” itu disematkan kepada pemimpin politik
pasca wafatnya Nabi Muhammad. Empat khalifah pertama disebut “khulafa’
rasyidun”, para khalifah yang baik. Tapi sesungguhnya kita tidak punya bukti
dokumenter yang ditulis sezaman dengan khulafa’ rasyidun yang menunjukkan bahwa
mereka memang disebut khalifah pada zamannya. Tampaknya penyebutan mereka
sebagai khulafa’ (bentuk jamak dari “khalifah”) lebih merupakan proyeksi ke
belakang yang dilakukan oleh para penulis Muslim ketika di zaman itu pemimpin
politik sudah disebut khalifah.
Sebagaimana kita tahu, kitab-kitab yang menyebut Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali sebagai khulafa’ itu ditulis pada zaman Abbasiyah. Barangkali Abdulmalik bin Marwan, pemimpin kelima dari dinasti Umayyah, yang pertama mengklaim sebagai khalifah. Ini terbukti dari mata uang koin yang dikeluarkan oleh Abdulmalik. Khalifah Umayyah ini melakukan reformasi mata uang dan mencetak koin dalam beberapa versi, dari yang semula mengadopsi mata uang Persia hingga akhirnya mengeluarkan koin dengan gambar dirinya dengan tulisan di bagian pinggir: khalifah Allah.
Sebelumnya, para pemimpin kaum Muslim itu disebut “amirul mu’minin” (pemimpin kaum beriman). Apa yang dilakukan Abdulmalik itu tidak mengagetkan dan sejalan dengan proyek “Islamisasi” dan “Arabisasi” yang gencar dilakukan di zamannya. Kontribusi khalifah Abdulmalik bagi formasi Islam sebagaimana kita saksikan sekarang sangat besar. Kata “khalifah” dan “khilafah” pun menjadi kosa kata politik yang terwariskan hingga saat ini.
Namun
demikian, khilafah Umayyah justru dianggap tidak cukup Islami oleh dinasti yang
menggulingkannya, khilafah Abbasiyah. Revolusi Abbasiyah melibatkan beragam
intrik politik yang kotor, manipulasi, dan pembodohan massal yang mungkin tak
ada bandingannya dalam sejarah. Dan juga pertumpahan darah.
Tapi alih-alih mengembalikan khilafah ke jalur yang diajarkan oleh empat khalifah pertama, para pemimpin Abbasiyah justru mengadopsi sistem pemerintahan dari Sasanid Persia. Misalnya, dalam struktur pemerintahan diperkenalkan jabatan Wazarah, yang mungkin selevel dengan kantor Perdana Menteri. Para teoritisi politik Muslim sepakat, sistem Wizarah itu baru muncul pada zaman Abbasiyah, dan dipinjam dari Persia. Maka, penulis teori politik Islam seperti al-Mawardi atau Abu Ya’la mencoba merumuskan tugas-tugas “wazir” terkait urusan tata kelola negara supaya tidak berbenturan dengan otoritas khalifah.
Pengadopsian model pemerintahan Persia juga tidak mengagetkan karena banyak penasihat khalifah berasal dari birokrat Persia, seperti Ibnu Muqaffa atau Nizam al-Mulk. Dan pengadopsian itu wajar saja karena khilafah memang institusi politik dan bukan agama.
Bukan saja sistem khilafah tidak termasuk rukun Islam dan rukun iman, juga tidak ditemukan dalam al-Qur’an atau praktik Nabi. Sejarah juga membuktikan bahwa khilafah itu produk politik (dan sudah terbukti gagal). Jadi, tolong jangan identikkan khilafah dengan Islam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar