Zehan Zareez
Berbicara tentang informasi-informasi 'kuping' yang dewasa ini marak,
masyarakat (anehnya) berbondong-bondong saling memperebutkan pangkat labilitas.
Mereka memperebutkan apa yang sejatinya mereka tidak tahu dengan melangitkan
perbincangan-perbincangan dari mulutnya perihal yang ramai tadi. Bukan demi
sesuatu yang tinggi, hanya sekedar ingin seolah-olah tak tertinggal informasi,
tidak 'kudet', dan meng-klaim dirinya bagian dari milenialitas.
Sah saja. Setiap masyarakat berhak mengejawentahkan haknya melalui
berbicara; tentang apa saja - dari siapa saja - kepada siapa saja. Namun yang
disayangkan, penggunaan hak tersebut kerap kali disalahberdayakan. Saya
teringat dari apa yang pernah dikatakan Alhabib Ahmad dari seorang guru
tasawwufnya, "Segala sesuatu yang berantonim (yang selama ini kita pahami)
pada hakikinya mempunyai makna keterbalikan. Sebut saja sebagai contoh, kalimat
"jangan melihat siapa yang mengatakan, tapi dengarlah apa yang
dikatakan". Kalimat dengan pola arus menyilang tersebut apabila ditinjau
dari sudut amaliyah yang terjadi justru mengandung makna terapan yang berbalik. Seorang santri lebih patuh terhadap dhawuh kiainya, sekalipun dhawuhnya
tersebut adalah sesuatu yang boleh jadi sudah dipahaminya sejak awal, katakan
"Rajinlah bersedekah le, sejatinya dalam sedekah itu terdapat nilai-nilai
yang nantinya kau akan paham sendiri". Daripada ketika ada seorang
pedagang asongan tak dikenal denang pakaian compang-camping menghampirinya
lantas menyampaikan satu pesan, "Yang mendasar dari proses jual beli
adalah akad, cung. Jika antara penjual dan pembeli sama-sama ridho, maka sah
lah jual beli tersebut. Namun jika ada kecurangan antara salah satu dari
keduanya, batal lah akad itu. Tidak lagi jadi sah jual beli yang
dilakukannya".
Dhawuh pertama memiliki nilai kesan yang biasa saja. Semua orang paham tentang konsep sedekah. Berbeda dengan pesan siratan yang kedua. Perihal konteks kejujuran dan 'an taroodhin' (saling ridho) antara kedua belah pihak yang tidak seluruh masyarakat paham. Namun, seorang santri dengan kedekatan emosionil terhadap kiainya justru memiliki daya magnet yang luar biasa. Kalam-kalam yang sifatnya 'biasa' malah menjadikannya dia seseorang yang terus berpikir perihal menjadikan 'sesuatu yang dianggap biasa' itu menjadi 'yang nikmat untuk diamaliyahkan'. Sedangkan poin yang kedua, setinggi apapun substansi ilmu yang disampaikan seseorang, jika memang sebelumnya tidak memiliki tali intim pada yang menerima pesannya, nilai-nilainya akan melayang dan lebur menjadi hanya sebatas yang 'layak untuk didengarkan'.
Penulis di sini bukan membatasi peristiwa-peristiwa yang terjadi di sebatas lingkup santri dan kiai. Lebih dari itu, hakikinya kata-kata bukanlah sesuatu yang penting jika peracik kata-kata tersebut belum tuntas berdominasi dengan dirinya sendiri. Kata-kata akan mubadzir jika terlebih dulu ia tak membangun pribadinya menjadi seseorang yang benar-benar ruhnya terdidik. Kata-kata akan sebatas menjadi kata-kata tanpa memberikan 'atsar'/keterpengaruhan pada pendengarnya, jika penyampai mendapati apa yang disampaikan hanya sekedar apa yang pernah didengar.
Deskripsi singkat ini dimaksudkan penulis agar kita semua senantiasa berhati-hati dalam menjaga lisan dan perbuatan. Bukanlah manusia merdeka yang gemar berbicara dan berperilaku asal apa kata dirinya, tanpa skenario ujung resiko dan keterimbasan setelahnya. Banyak yang hancur dari akibat lalainya sendiri sebagai yang harusnya berhati-hati. Dari itu, perihal politik dan sebagainya - birokrasi dan kawan-kawannya - strategi syiar dan segenap taktiknya - memang harus dingajikan terlebih dahulu sengaji-ngajinya. Barulah berbicara. Daripada kata-kata nanti menjelma bambu runcing yang menombak leher sendiri, dan akhirnya menjemput takdir dengan perkara yang kurang manusia.
24 Juli 2018, Lamongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar