(Sekedar Komentar pada Buku Puisi “Kabar Debu”)
Mashuri
Jika puisi adalah Pesta, itulah pesta yang bertahan melawan musim,
di tempat-tempat yang jarang dikunjungi orang
—sebuah keriangan pesta bawah tanah.
Octavio Paz
1/
Kini puisi bukan hanya sering salah dihargai, sebagaimana yang pernah disinyalir Goenawan Muhamad dalam sebuah esai tahun 1992, tetapi puisi seperti telah kehilangan daya dan yoni. Para penyair seakan telah kehilangan kata-kata karena suaranya telah dijambret media, mulut politisi dan suara-suara lain yang demikian hiperreal, hingar dan begitu mendesak masuk ke ruang kita, sekaligus memaksa kita untuk mendengarnya. Hanya saja, meski kini puisi menjadi sebuah suara yang ‘fakir’, tersingkir, yang semakin mengecil dan terasa sayup di zaman yang begitu riuh, tetapi puisi harus tetap disuarakan, dipestakan, dan ditarikan, karena puisi adalah suara yang lain, suara nurani, juga suara kemurnian yang lahir dari ‘guyuran waktu murni’, meminjam istilah Octavio Paz.
Oleh karena itu, apapun nawaitu-nya terbitnya Kabar Debu layak dirayakan, dipestakan. Begitu diminta turut merayakan buku puisi tersebut, saya langsung teringat pada penyair Ka, dalam novel Snow karya Orhan Pamuk. Ka demikian bergairah menulis puisi kembali setelah beberapa tahun merasa disapih dan ‘tidak dihadiri’ puisi. Begitu ia datang ke sebuah kota ‘asing’ dan jarang dikunjungi orang, apalagi berjumpa dengan seorang kekasih lama yang demikian memikat, puisi pun kembali hadir di hatinya. Ia merayakan kehadiran puisi dalam lawatan itu dalam sebuah pesta, tetapi tentu saja pesta tersebut seperti apa yang diungkap Paz yang saya nukil dalam awal tulisan ini: pesta di tempat yang jarang dikunjungi orang: pesta bawah tanah. Kegembiraan pesta bawah tanah ini harus dirayakan. ‘Pesta bawah tanah’ ini adalah langkah asasi kita dalam menjaga marwah kemanusiaan, agar kita tetap menyadari sisi-sisi manusiawi kita.
Tentu saja, kawan-kawan Kostela berbeda dengan penyair Ka tersebut, hal itu karena Kostela termasuk segelintir komunitas sastra di Tanah Air yang masih dan terus ‘istiqomah’ memestakan puisi. Sebuah ‘pesta’ yang menggali sunyi, menakar ke dalam diri, mengais makna dari kesementaraan dan sepi. Tak heran, memestakan puisi dimaknai sebagai sebuah ikhtiar menari dengan makna. Ihwal menari dengan makna ini, Goenawan dalam sebuah esainya pada 1972, pernah menujum: “Kematian kesusastraan bukanlah karena sensor dan pemberangusan, ialah bila ia membuat kita semua tidak bisa lagi menari dengan makna.” Dengan niat itu, tulisan singkat yang tak lebih sekadar komentar ini juga tak lebih dari ikhtiar ‘menari’ dengan makna, semacam perayaan pembacaan dan pesta penafsiran pada beberapa puisi kawan Kostela.
2/
Dalam Kabar Debu terdapat beragam mosaik puitik yang digelar kawan-kawan Kostela. Banyak puisi yang menarik, ada beberapa puisi yang sudah jadi, ada pula puisi yang menuju jadi, terutama dari kawan-kawan Kostela generasi baru. Meski demikian yang patut dicatat adalah adanya ikhtiar untuk regenerasi, meski puisi-puisi yang baru belumlah segelimang penyair-penyair sebelumnya seperti Herry Lamongan, Pringgo HR, Bambang Kempling, Alang Khoirudin, Syaiful Anam dan Imaduddin SA. Hal itu memang wajar. Walau begitu bukan berarti puisi-puisi dari kawan-kawan baru tersebut tanpa kekuatan dan keistimewaan. Bahkan, di antaranya terdapat puisi-puisi yang menakik tema-tema berat, seperti maut, mitos dan spiritualitas, dengan sebuah sudut pandang baru bila dibandingkan dengan tradisi perpuisian Indonesia. Oleh karena itu, dengan berpangkal pada ‘pleasure the text’, saya ingin mendekati puisi kawan-kawan Kostela dengan titik simpul pada masalah-masalah tersebut, terutama dari nuansa spiritualitas, mitos dan maut, karena hampir semua penyair menyuguhkan masalah tersebut.
Dari kawan Saipul Apet, terdapat sebuah puisi yang mengunggah ihwal maut dengan cara yang berbeda. Judulnya “Dongeng Sebelum Mati”. Judul sajak ini segera mengingatkan kita pada sebuah sajak Goenawan Muhamad, “Dongeng Sebelum Tidur”. Jika puisi Goenawan mengungkap ‘dongeng’ ihwal gundah gulana Prabu Angling Dharma ketika harus menghadapi sang isteri yang telah ‘berselingkuh’ dengan patihnya Batik Madrim, Saipul Apet mengunggah ihwal kematian. Tetapi kematian yang dihadirkan Saipul, bukanlah sebuah kematian yang selama ini selalu menjadi rahasia dan ‘ruang nganga’ para penyair kita, sebagaimana Chairil Anwar (dalam “Aku”) dan Soebagyo Sastorwardoyo (dalam “Dan Kematian Makin Akrab”), sehingga maut menjadi simpul yang bernuansa eksistensial. Maut, bagi kebanyakan penyair adalah sebuah wilayah antara yang begitu rahasia dan sunyi maha sunyi. Banyak penyair yang menganggap bahwa di sana adalah sesuatu yang tak terbayangkan. Di sana, imajinasi seakan-akan terkotak dan selesai. Tak heran, banyak penyair mengunggah ihwal maut ini dalam kerangka eksistenis: antara ada dan tiada. Saipul Apet mencoba memandang maut sebagai sebuah hal yang mengundang tawa dan komedi. Sebagaimana kutipan: “Membayangkan kematian/ Tak bisa kutahan tawa.“ Selain itu, terdapat puisi lainnya. Di antaranya puisi yang bernada sederhana tetapi menggunakan teknik reduplikasi juga menarik, di antaranya dalam “Untukmu”.
Di sisi lain, seorang Saiful yang lain, yaitu Syaiful Anam, mengunggah tentang mitos. Penyair yang satu ini agak ‘unik’ karena puisi-puisinya pada masa lampau lebih puitis dari puisinya sekarang. Jika puisinya pada masa lampau bisa masuk kategori ‘puisi’ untuk ‘puisi’, tetapi pada masa-masa ini, puisinya lebih memberat pada pesan dan verbalitas. Saya kemudian teringat pada apa yang diungkap Octavio Paz, bahwa ‘pada zaman dulu, puisi dan agama, ilmu pengetahuan dan magic, nyanyian dan tarian, ada satu dan merupakan barang yang sama’. Saya berpraduga bahwa ada hasrat yang demikian besar dari Syaiful untuk kembali ke masa lalu. Jika tidak percaya, bandingkan tiga puisi dalam ‘Kabar Debu’. Puisi pertama ‘Kupukupu di Dada’ adalah sebuah puisi yang utuh. Ia telah menjadi dunia tersendiri tanpa harus bersandar pada dunia di luar dirinya. Ia adalah sebuah dunia kupu-kupu yang pernah hinggap di dada, pada sebuah ‘malam yang rapuh’.
Kupukupu di Dada
matahari melipat senja di langit dadaku
kemudian mengendap di dadamu
tapi kita lupa bahwa di dada kita
pernah ada seekor kupukupu
dengan sayap luka
menyisir malam yang rapuh.
Lamongan, 2003
Pada puisi kedua ‘Iblis’ dan ketiga ‘Jadzab’, kita melihat bahwa puisi-puisi itu memerlukan dunia lain sebagai tempat bersandar. Beban pengetahuan atau metafisisnya demikian besar. Namun, bukan berarti puisi ini tak bisa dijadikan sandaran. Ada keinginan besar dalam puisi-puisi itu untuk mengembalikan atau mensenyawakann antara ‘agama dan puisi’ dan medan makna di sebaliknya. Iblis, adalah sebuah simbol yang superbesar dalam karya-karya sufistik. Ia menyimpan jejak dekonstruktif dan kontradiktif tersendiri terkait dengan masalah keimanan. Bahkan, ada yang mengganggap bahwa Iblis ingkar pada Tuhan karena ia tak ingin menyekutukan Tuhan. Ia menolak perintah menyembah pada Adam karena yang berhak disembah hanyalah Tuhan semata. Begitulah tafsir yang berkembang. Pada ‘Jadzab’ yang diunggah juga tentang spiritualisme, sesuai dengan judulnya. Ada jejak-jejak khasanah lama di sana, terutama dalam mantra-mantra pesisir, terutama dalam frase ‘kerudungku Jibril, tongkatku Muhammad”. Tetapi yang jelas puisi ini berbicara tentang tercerabutnya diri karena kekuasaan dan kekuatan cinta pada “Nabi/Tuhan” atau daya tarik sesuatu di luar diri yang demikian besar dan menghilangkan diri.
Sebagaimana puisi Pringgo HR lain, puisi ‘Cerita Malam Itu’ adalah puisi yang mengunggah sebuah kestabilan jiwa. Secara isi, hubungan ‘aku’ dan dunia mampu saling menopang: berdiri sendiri. Dalam puisi itu, penyair mengeksplore unsur simbolik perahu, maut dan malam. Meski puisi ini berpotensi ke arah seorang kekasih ‘berdaging’, tetapi unsur spiritualitasnya bisa saja pada ‘nir-daging’. Perahu, dalam ranah puisi kita pernah menjadi sebuah simbol bermuatan dari ikhtiar atau jalan pencarian manusia dalam mengarungi lautan mencari kebenaran sejati. Hal itu sebagaimana ‘Syair Perahu’ dalam khasanah Melayu Lama, yang pernah digurat penyair sufi Hamzah Fansuri. Perahu itu kini dalam puisi ‘Cerita Malam Itu’ diminimalisasi menjadi ‘perahuperahu kecil’ yang ‘mengusung cita-cita kecil sampai jalanan jenazah’. Berikut ini kutipannya:
Cerita Malam Itu
malam tak pernah bisa membungkusmu dalam gelap
tepian sungai, rindumu yang sesat mengeruh deras air
perahuperahu kecil tak mungkin aku larung di sedemikian malam
akan retak dan rabun
jejakjejak basah tilas nistamu memaksa perahu berangkat
memberi jelas engkau bukan setulus embun mengecup
luka rumputan sehabis siang terik
ketika kerumun orang berteriak perahu lebam dan nanah
tenggelam aku dalam bising
jalan telah lumpur cerita malam nekatmu
membikin sia puluhan tahun aku menganyam serpih papan
perahuperahu kecil mengusung citacita kecil
sampai jalanan jenazah
—lumpuh—
engkau menguburku
dalam kubang gunjing peristiwa
malam itu
Babat, 5 Mei 2011
Nurudin Zanky juga berbicara banyak hal dalam puisinya. Beberapa puisinya pun sudah kelihatan bentuknya dan sangat potensial untuk berkembang. Saya mencoba membaca sajaknya yang memiliki unsur spiritualitas, terutama dalam ‘Suatu Sore di Pantai Tuban’. Puisi ini bisa dikatakan sebagai sebuah puisi suasana. Potret tentang sebuah pantai, yang ‘kering’ dan ‘terakhir’ tampil dengan sketsa, sebagaimana dalam sajak ‘Laut Terakhir’. Dalam sajak ini juga berbicara tentang perahu. Namun simbolisasi perahu bisa saja, berkaitan dengan soal waktu, bukan soal sebuah sarana yang bisa menjadikan seorang anak manusia untuk bermain dengan ‘gelombang’.
Unsur-unsur spiritualitas juga tampak dalam karya Luthfi Sepat. Di antaranya adalah ‘Kamboja Senja’. Puisi ini mencoba memaknai ihwal ‘kamboja’ dan ‘senja’ yang dalam terminologi tafsir kepenyairan kita selalu mengarah pada soal maut dan waktu abadi yang hendak menjemput. Kamboja sebagai lambang maut, sebagaimana mawar sebagai lambang cinta memang menjadi klasik sebagai metafor. Namun, di sini, sebagaimana Saepul Apet, yang tidak takut menghadapi maut, Luthfi pun demikian. Memang, bahwa ‘kuncup kamboja’ itu telah ‘merantak’ sampai ke ‘pesisir jingga’. Tetapi itu adalah sebuah niscaya, jika kita memandangkanya ‘dalam ranum kemboja-Mu’. Tentu akan berbeda jika kita membacanya di luar ‘ranum kamboja-Mu’.
Luqman Almishr juga bicara tentang spiritualitas maut. Meski demikian, beberapa sajaknya yang benih berbicara tentang banyak hal, ihwal kesepian, penantian, juga kerinduan. Dalam “Malam Perkabungan”, kita melihat sebuah kejernihan serupa dalam memandang maut. Tema maut memang digandrungi oleh para penyair kita, sebagaimana yang telah dinyatakan di atas, di antara yang cukup fenomenal, mulai dari Chairil Anwar (dalam ‘Aku’, ‘Nisan’, ‘Kerawang-Bekasi’ dan lainnya), hingga dua almarhum: Kriapur (Solo) dan Beni R Budiman (Bandung). Sajak Kripaur ‘Menjadi Batu di Dasar Kali’ adalah nujum mautnya sendiri. Adapun buku kumpulan puisi Beni R Budiman, ‘Penjaga Makam’ adalah penanda bakat dan pengabdiannya, dan kehadirannya yang demikian sementara di atas bumi. Tetapi dalam sajak ini, penyair dengan jernih mengakrabi maut. Maut bukanlah rahasia, ‘ia telah melangkah dengan doa, tertawa bersama sepi’. Sebagaimana Saipul Apet, Luqman juga menghadapi maut dengan tertawa, bahkan ia menolak tangis juga sesal. Berikut kutipannya:
Tak perlu kau tenggelam
dalam tangis bulan
tak usah kau mengirim sesal
ke palung hatimu
Unsur spiritualitas juga nampak dalam sajak Kacoeng Latief Al Chusnan. Saya melihat terdapat gejala Atavisme dalam sajaknya yang berjudul ‘Awal’. Dalam sajak, yang berusha mengeksplore kata basmalah yang dalam setiap suku katanya bisa dijadikan sebuah baris sajak, mengingatkan saya pada mantra-mantra lama Jawa atau Melayu Kuno. Namun, tentu ada yang rumpang di sana, karena pertalian alphabet capital seakan menyuguhkan sebuah tafsir yang lain. Engkau dan Aku dengan huruf kapital, menandaskan bahwa ada subyek yang sebanding yang sedang berdialog di sana. Sajak-sajaknya yang lain juga ada yang mengunggah ihwal abjad kapital yang segera kita bisa runut sebagai pronominal persona Tuhan.
Sajak Jirin TM juga berbicara tentang spiritualitas. Jika ia menggarapnya dengan kesabaran dan kebeningan metafor, sajak-sajaknya berpotensial sebagai sajak-sajak imajis, seperti haiku Jepang. Dalam ‘Dermaga’, penyair juga menggunakan simbol perahu, yang dalam kumpulan sajak ini, juga digunakan beberapa penyair lain dan cukup utuh bisa kita lihat pada sajak Pringgo HR yang sudah dikomentari. Dalam sajak ini, penyair memotret dermaga. Benda-benda seperti bernyawa, sayangnya ada alur yang rumpang, simbolisasinya pun jumpalitan. Namun, secara umum, dermaga bisa dimaknai sebagai tempat bersandar yang lalu-lalang: tempat perahu berasal dan kembali.
Sementara itu, sajak-sajak Ishaq Fathoni R juga berbincang tentang banyak hal, tetapi saya suka sebuah sajak pendeknya yang bertajuk “Zikir Segelas Air”. Sajak ini berbeda dengan sajak Ishaq lainnya. Sebagaimana air dalam gelas, saya bisa merasakan kebeningan dan kejernihan sajak itu. Pilihan katanya tepat, tanpa perlu ‘riuh’ dan berhasrat bicara yang besar. Ia berbicara tentang waktu subuh, aku yang rindu pada segelas air putih, air putih yang tentu berembun pada malam hari, tetapi yang diembunkan adalah “namamu”. Tanpa berpretensi menjadi religius, sebagaimana judulnya yang ada ‘zikir’, sesungguhnya dalam dirinya, sajak ini sudah menyimpan arus religiusitas.
Zikir Segelas Air
Selepas subuh
Aku selalu rindu
Pada segelas air putih
Yang mengembunkan namamu
Batu, 25 September 2011
Dalam Kabar Debu, banyak sajak Imaduddin SA yang menarik. Sajak-sajak yang ranum. Beberapa di antaranya terdapat ikhtiar untuk memasukkan sajak berbahsa Jawa ke dalam bahasa Indonesia, juga ada upaya membaca mitos-mitos yang ada. Yang agak mengganggu sebenarnya adalah sajak Jawa-nya, yang memiliki pretensi besar untuk berfilsafat. Selain itu, adanya potensi besar terjebak dalam lokalitas Jawa dalam arti harfiah dan tidak spiritnya. Dalam alam sajak modern, kehendak berfilsafat, apalagi dari sebuah bahasa yang berbeda dari bangun sajak secara keseluruhan bisa berbuah menjadi anomali. Hal itu akan berbeda rasanya, jika yang diunggah bukan sekedar nilai-nilai kebijakannya, tetapi masih menggunakan kadar sajaknya. Sebagaimana kita tahu, sajak dalam kesusastraan Jawa berakar panjang, mulai dari kakawin hingga sampai pada masa gagrak anyar, hingga pasca gagrak anyar. Ihwal ‘kekurangpaduan’ itu tampak dalam sajak ‘Di Garis Batas Waktu’ ada dua bait puisi Jawa: sejatining urip mung sadermo/ ora bakal nyono pesti iro, dan wong aji bakal nyawiji/ dadi pertondo kang didoleki.
Hal itu berbeda dengan yang ada pada ‘Suatu Malam Dalam Sebuah Kamar’. Dalam puisi itu, bait-bait Jawa masih kelihatan puisinya, sehingga tetap menarik: kaleming laku njejeke sabdo imanku/ sapecak-pecak nginggilake saf magatruh/ nglingsirno angkuh lebur sajroning pasrah/-lemah-/. Pralambang Jawa dan anasir-anasirnya begitu kental di sana, dan terjaga. Ikhtiar penyair ini untuk memasukkan lokalitas Jawa, anasir-anasirnya dan muatan maknanya patut diapresiasi. Tidak mudah untuk melakukan hal ini karena perlu penyelaman yang lebih jauh terhadap khasanah-khasanah Jawa tersebut. Sementara itu, ihwal pembacaan mitos dan spiritualitas, bisa didapati pada sajak “Kali Maya”. Dalam sajak tersebut penyair berusaha menyelami kembali apa yang pernah terjadi pada perjalanan Kalijaga. Sementara itu, dalam ‘Melebur Luka Lara’. Pralambang Jawa dan anasir-anasirnya begitu kental dengan memadumadankan dengan pertarungan purba manusia, baik pada Habil-Qabil, Pendawa-Kurawa dan lain-lainnya. Di sini tergambar dengan liris, bagaimana manusia hadir di dunia dengan segala kontradiksinya.
Melebur Luka Lara
tentu, aku tengah menumpah darah
pada lembar sajadah
sebab tak mungkin hawa
hanya melahirkan habil tanpa wajah qabilnya
dan malam ini
sesabit bulan telah terlukis pandang
walau hanya seklebat bayang
yekti nyekseni brotoyudo katunggon pandowo
sileme kolo bebungahe manah: bali dadi bocah
kulihat pesta kemenangan telah dirayakan
dari akbar peperangan jalan
kudengar genderang takbir mengalun sedang
nyanyian tahmid sahut berkumandang
melebur luka lara
gaib dan nyata
antara hati dan raga
antara kesucian dan dosa
Lamongan, September 2010
Unsur spiritualitas juga terdapat pada sajak-sajak Mas Herry Lamongan. Hal itu di antaranya bisa kita lihat pada ‘Taman 1’. Dalam puisi itu, kita bisa ‘membilang’ kesementaraan kita dan ‘kekalkan musim yang terus menerus akan tiada’. Segala bakal terjadi, begitu ‘lekas’, ketika kita bertualang ke dalam gerbang: ‘memasuki engkau’ yang berbait ‘99’. Berikut ini kutipan sajak “Taman 1”
Taman 1
memasuki engkau
lekas benar 99 bait lahirmu
mengundang gema
seperti kalender membilang umur
sepanjang tahun
dari rabu ke rabu kita bersulang
kita gemburkan tanah
kita kekalkan musim yang terus menerus
akan tiada
8/10/2011
Penyair yang sangat bergairah yang memiliki nama mirip Mas Herry Lamongan adalah Heri Listianto. Jika ia tekun untuk berproses dan terus mencoba untuk mengeksplore gaya ucap beberapa sajaknya bisa menjadi pengisi celah sajak yang selama ini alpa dalam tradisi perpuisian Tanah Air. Tetapi jika ia ‘berhenti’ pada titik ini maka sajak-sajaknya serupa berita di koran-koran dan majalah atau televisi. Hal itu bisa dilihat pada beberapa sajaknya, dalam Democrazy, kita bisa melihat ikhtiarnya. Yang harus dijawab oleh penyair ini adalah kenapa ia menggunakan alfabet capital untuk negara. Saya berharap dia tidak menjawab bahwa itu adalah sebentuk licentia poetica bagi penyair. Saya tertarik dengan puisinya “Mati Rasa” yang ditujukan untuk binatang jalang, dan juga di dalamnya terdapat negara dengan alphabet capital. Dalam sajak itu, ada ikhtiar untuk mengawinkan antara yang ‘dalam’ dan ‘luar’, antara mitos lama dan mitos baru, dan lainnya, tetapi beberapa pilihan kata belum bisa menghidupkan sajak, tetapi kata yang memilihi beban referensial panjang, seperti binatang jalang, Negara, Sri, Indonesia, Gudang Uang. Jika tidak hati-hati, maka penyair bisa terjebak pada diksi anti-puisi. Berikut ini kutipannya:
Sebagaimana Heri Listianto, sajak Fathur Rohim berbicara banyak hal, tetapi saya tertarik pada ‘Jangan Mengadu Padanya’. Sajak ini adalah sajak yang sederhana, juga aneh. Ada beberapa lompatan metafor, seperti guman seorang kanak, yang tak terduga tetapi jujur. Memang terkesan lugu dan naïf. Dan, di situ sebenarnya letak kelebihannya. Hanya saja, karena di penghujung akhir sajak terdapat –Nya, maka kenaifan yang terbangun sejak awal menjadi mentah. Jika -Nya itu, ditulis -nya saja, kiranya kenaifannya akan menjadi sebuah gaya persajakan yang menarik, apalagi pada baris terakhir muncul ‘aku’ lirik yang sejak awal disembunyikan. Ini kutipannya:
Gunung-gunung merata
Gunung-gunung terlobangi
Ulah kucing-kucing kuning berbuat
Lautan jadi kopi
Karang-karang menjadi lumpur
Ikan-ikan menjadi tuna wisma
Ulah kebo hitam berbuat
Urutan selanjutnya adalah Bambang Kempling. Sebagaimana sajak Herry Lamongan dan Pringgo HR, sajak-sajaknya adalah sajak utuh. Adapun terkait dengan masalah spiritualitas, saya ingin mengutipnya dari sajak ‘Di Sebuah Ruang’. Dalam sajak ini, dalam perulangan ‘kau tersipu’ terdapat dua hal kontras hadir dalam keserentakan. Pada bait pertama, ‘tembang kanak-kanak’ bisa ‘menjelma ajal’. Pada bait kedua, ‘tak setitikpun derai gerimis singgah’ bisa bersatu padan dengan ‘jalan setapak menuju ziarahmu tak lagi berkelok’, dan tentu saja pada bait ketiga, yang ‘wajah’ tak dikenal dan ‘rahasia debu’.
Di Sebuah Ruang
Kau tersipu ketika tembang kanak-kanakmu mengalun kembali di antara kering ilalang lewat lirih suara dan tiba-tiba menjelma ajal.
Kau tersipu ketika tak setitikpun derai gerimis singgah lalu memendarkan kesahajaan dan kesetiaan daun jendela yang senantiasa berkabar bahwa jalan setapak menuju ziarahmu tak lagi berkelok.
Kau pun tersipu ketika tak kau kenali wajah yang kau simpan sendiri dalam benakmu
Betapa sulit menerjemahkan itu, sementara tarian kupu-kupu di pagi hari kepaknya teramat sunyi
:rahasia debu.
19 Oktober 2011
Sajak-sajak Alang Khoirudin, ternyata sebagai menu penghabisan dalam Kabar Debu. Sajak penyair satu ini sebenarnya sudah memiliki gaya ucap yang khas. Saya melihat sajak-sajaknya bisa dikatakan sebagai kekhasan ‘mazhab’ sajak Kostela pasca-Hery Lamongan, Pringgo HR, Sutardi, dan Bambang Kempling. Sajak-sajak Alang memiliki kemiripan dalam hal gaya, obyek, serta muatan-muatannya sebagaimana sajak-sajak Saiful Anam dan kawan-kawan seangkatannya, dan ‘menitis’ pada sajak Imaduddin SA, meski penulis yang terakhir ini mengembangkannya dengan perspektif sendiri yang lebih kompleks. Meski demikian, sajak Alang juga memiliki ciri tersendiri, termasuk sajak matang, menarik, dan berbobot. Dalam sajak ‘Makrifat Purba’, kita disuguhi tentang perjalanan batin diri, yang mengandung perjanjian azali.
Makrifat Purba
Sebelum ada sesuatu
Tuhan telah bercakap dengan begitu salju
‘Aku adalah kabar bagimu’
Lantas aku
serupa pecinta yang gemulai
membikin seyum di dataran pipi
merona
tanda syahadah atasmu
Kemudian
saat rahim membuka kelopaknya
aku menjejaki lembah demi lembah
aku menyusuri sepi demi sepi
berharap saut mesra denganmu
Adakah terlalu lampau
semesta makrifat purba ini
sampai pengetahuan atasmu terjajah
3/
Demikianlah, sekelumit komentar tentang sajak-sajak dalam buku Kabar Debu. Sebagai komentar, tentu tulisan ini tak berpretensi sebagai sebuah analisis yang mendalam dan komprehensif. Komentar ini pun tak lebih hanya sebagai sebuah ikhtiar untuk turut memestakan puisi yang digelar hari ini. Semoga bisa menjadi pengantar perbincangan tentang puisi yang inspiratif, imajinatif, dan bermanfaat. Wallahu waliyyut thariq.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/pringgo-hr/makalah-launching-kabar-debu-23-januari-2012/10150499660920079
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Alexander
A. Anzieb
A. Aziz Masyhuri
A. Dahana
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.C. Andre Tanama
A.J. Susmana
A.S. Laksana
A’an Jindan AS
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Lathif
Abdul Malik
Abdul Rauf Singkil
Abdul Walid
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abid Rohmanu
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adhitia Armitrianto
Adhy Rical
Adi Faridh
Adian Husaini
Adin
Aditya Ardi N
Adreas Anggit W.
Adrizas
Adu Pesona Sang Wakil Presiden RI
AF. Tuasikal
Afri Meldam
Afrizal Malna
AG. Alif
Agama
Agama Para Bajingan
Agit Yogi Subandi
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Rakasiwi
Agus Sulton
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Aguslia Hidayah
AH J Khuzaini
Ah. Atok Illah
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Anshori
Ahmad Damanik
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Gaus
Ahmad Hasan MS
Ahmad Jauhari
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainul Fiah
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhmad Siddiq
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Aksin Wijaya
Al-Fairish
Al-Ma'ruf I
Al-Ma'ruf II
Alang Khoiruddin
Albert Camus
Ali Mahmudi Ch
Alia Swastika
Alvi Puspita
Alvin
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aming Aminoedhin
Ana Mustamin
Anam Rahus
Anas AG
Andhi Setyo Wibowo
Andi Gunawan
Andry Deblenk
Angela
Anggie Melianna
Anindita S. Thayf
Anis Ceha
Anitya Wahdini
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anugerah Ronggowarsito
Anwar Nuris
Aprillia Ika
Arida Fadrus
Aridus
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Junianto
Ariel Heryanto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Armawati
Arswendo Atmowiloto
Art Sabukjanur
Arti Bumi Intaran
Arwan
Aryo Wisanggeni
Aryo Wisanggeni Gentong
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Ashadi Ik
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Asro Kamal Rokan
Astrid Reza
Asvi Warman Adam
Atafras
Atok Witono
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azwar Nazir
Baca Puisi
Badrus Siroj
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bambang kempling
Bambang Riyanto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Bernarda Rurit
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Bre Redana
Brunel University
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Jay Utomo
Budi P. Hatees
Budi Palopo
Budi Setyarso
Budi Sp. Indrajati
Budiman S. Hartoyo
Budiman Sudjatmiko
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Candrakirana
Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Choirul Rikzqa
Christian Heru Cahyo Saputro
Cover Buku
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dadang Widjanarko
Damiri Mahmud
Dani Fuadhillah
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Dati Wahyuni
Dawet Jabung Ponorogo
Dedykalee
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Desa Glogok Karanggeneng Lamongan
Deshinta Arofah Dewi
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan
Dewi Anggraeni
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Didik Kusbiantoro
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Djulianto Susantio
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Dorothea Rosa Herliany
Dr Andi Irawan
Dr Siti Muti’ah Setiawati
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Drs H Choirul Anam
Drs. Solihin
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo Maksum
Dyah Ayu Fitriana
Eddi Koben
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy Apriyanto Sudiyono
Edy Firmansyah
Edy Susanto
Efri Ritonga
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eko Hartono
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
El Sahra Mahendra
Elita Sitorini
Elly Trisnawati
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Em. Syuhada'
Emha Ainun Nadjib
Encep Abdullah
Eni Sulistiyawati
Eny Rose
Esai
Ester Lince Napitupulu
Etik Widya
Evan Ys
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Fahrur Rozi
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathan Mubarak
Fathul Qodir
Fathul Qorib
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Festival Seni Surabaya 2011
Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan
Fikri. MS
Fiqih Arfani
Firman Daeva
Forum Lingkar Pena Lamongan
Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L)
Forum Santri Nasional
Forum Santri Nasional (FSN)
Free Hearty
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Ganug Nugroho Adi
Gedung Sabudga UNISDA Lamongan
Gendut Riyanto
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gesit Ariyanto
Gita Pratama
Glenn Fredly
Goenawan Mohamad
Golput
Gombloh
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gugun el-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hafis Azhari
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamid Dabashi
Han Gagas
Hardi Hamzah
Hari Prasetyo
Haris Del Hakim
Haris Saputra
Hary B Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Hendro Situmorang
Henri Nurcahyo
Henry H Loupias
Hera Khaerani
Heri CS
Heri Kris
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Kuntoyo
Heru Kurniawan
Hikmat Darmawan
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humaidi
Humam S Chudori
I Made Asdhiana
I Nyoman Suaka
I. B. Putera Manuaba
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ichwan Prasetyo
Ida Fitri
Ignas Kleden
Ilham Safutra
Ilham Wancoko
Imam Munadjat
Imam Nawawi
Imam Zanatul Huaeri
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Herdiana
Imron Arlado
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indigo Art Space Madiun
Indra Tjahyadi
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Iqmal Tahir
Is Faridatul Arifah
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Isra’ Mi’raj
Iswadi Pratama
Iswara N Raditya
Iva Titin Shovia
Iwan Awaluddin Yusuf
Iwan Gunadi
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Jansen Sinamo
Janu Jolang
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jemie Simatupang
Jenny Ang
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jl Simo
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Joko Budhiarto
Joko Sadewo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jones Gultom
Joni Ariadinata
Joresan Mlarak Ponorogo
Joseph E. Stiglitz
Jual Buku Paket Hemat
Junus Satrio
Jurnalisme Sastra
K. Hirzuddin Hasbullah
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma’ruf Amin
K.H. Masrikhan Asy'ari
K.H. Mudzakir Ma'ruf
Kadjie MM
Kajian Kitab Nashoihul 'Ibad
Kang Daniel
Karanggeneng
Kartika Foundation
Kasanwikrama
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kekal Hamdani
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Kesenian
KH. M. Najib Muhammad
KH. Ma'ruf Amin
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Khoirul Anwar
Khoirul Inayah
Khoirul Naim
Khoirul Rosyadi
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Koko Sudarsono
Komaruddin Hidayat
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA)
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Kopi Bubuk Mbok Djum
Kopuisi
Korban Gempa di Lombok
Kospela
KPRI IKMAL Lamongan
Kris Razianto Mada
Kritik Sastra
Kurnia Sari Aziza
Kurniawan
Kusni Kasdut
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
Lagu
Laili Rahmawati
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lan Fang
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Latif Fianto
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Listiyono Santoso
Liya Izzatul Iffah
Liza Wahyuninto
Lucky Aditya Ramadhan
Ludruk Jawa Timur
Lukisan
Lukman Alm
Lukman Santoso Az
Luqman Almishr
Lustantini Septiningsih
Lutfi S. Mendut
Lynglieastrid Isabellita
M Ismail
M Zainuddin
M. Afif Hasbullah
M. Faizi
M. Iqbal Dawami
M. Irfan Hidayatullah
M. Latief
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Mushthafa
M. Riza Fahlevi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M’Shoe
Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1
Maghfur Munif
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahwi Air Tawar
Majelis Ulama Indonesia
Makalah Tinjauan Ilmiah
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mantan Pastur Hafidz Al-Qur'an
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Hatch
Marwan Ja'far
Marwita Oktaviana
Marzuki Mustamar
Mashuri
Masjid Tegalsari di Pesantren Gerbang Tinatar
Masuki M. Astro
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Max Arifin
Maya Handhini
Mbah Kalbakal
Medco
Media Jawa Timur
Medri Osno
Mega Vristian
Mei Anjar Wintolo
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Menggalang Dana Amal
Mentari Meida
Mh Zaelani Tammaka
Michael Gunadi Widjaja
Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno)
Misbahul Huda
Misbahus Surur
Moch. Faisol
Mochammad A. Tomtom
Moh Samsul Arifin
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Afifi
Mohammad Rafi Azzamy
Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ghannoe
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Rain
Muhammad Taufik
Muhammad Yasir
Muhammad Zia Ulhaq
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukafi Niam
Mukhsin Amar
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Mun'im Sirry
Muntamah Cendani
Museum Bikon Blewut Ledalero
Musfarayani
Musfi Efrizal
Musyayana
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nabi Adam
Nanang Fahrudin
Nandang Darana
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Ni Luh Made Pertiwi F
Nindya Herdianti
Ninin Nurzalina Wati
Nitis Sahpeni
Nono Anwar Makarim
Noor H. Dee
Noorsam
Noval Jubbek
Novel Pekik
Novianti Setuningsih
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Hamzah
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nuswantoro
Nyimas
Nyoman Tingkat
Obrolan
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Opini
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Padepokan Lemah Putih Surakarta
Pagelaran Musim Tandur
Pameran Seni Rupa
Panda MT Siallagan
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Pekan Literasi Lamongan
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Jumartono
Pelukis Saron
Pelukis Senior Tarmuzie
Pendidikan
Penerbit SastraSewu
Penerbitan dan Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan
Pengajian
Pengetahuan
Perang
Peringatan Hari Pahlawan 10 November
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
Pesantren An Nawawi Tanara (Penata)
Pesantren Kampung Inggris
Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011
Petrik Matanasi
Pilang Tejoasri Laren Lamongan
Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur
Pilkada
Piramid Giza
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pradana Boy ZTF
Pradaningrum Mijarto
Pramoedya Ananta Toer
Prih Prawesti Febriani
Pringadi AS
Prof Dr Achmad Zahro
Prof Dr Aminuddin Kasdi
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Puji Hartanto
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Puspita Rose
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Satria Kusuma
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.Ng. Ronggowarsito
Rabdul Rohim
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sazaly
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Rengga AP
Reni Lismawati
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Riadi Ngasiran
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Rieke Diah Pitaloka
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Rizka Halida
Rizky Putri Pratimi
Robin Al Kautsar
Rocky Gerung
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohmad Hadiwijoyo
Rohmah Maulidia
Rohman Abdullah
Rojiful Mamduh
Rosdiansyah
Rosi
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rumah Budaya Pantura Lamongan
Rumah Literasi
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Saifur Rohman
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Sardono W Kusumo
Sartika Sari
Sarworo Sp
Sastra Facebook
Satmoko Budi Santoso
Satrio Lintang
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Savidapius
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis
SelaSAstra Boenga Ketjil
SelaSAstra Boenga Ketjil #23
SelaSAstra Boenga Ketjil #24
Seni Ambeng Ponorogo
Senirupa
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Shofiyatuz Zahroh
Shohebul Umam JR
Sholihul Huda
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Silfia Hanani
Sindu Putra
Sita Planasari Aquadini
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Hadi Purnomo
Soediro Satoto
Soegiharto
Soeprijadi Tomodihardjo
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sreismitha Wungkul
Sri Igustin
Sri Mulyani
Sri Wintala Achmad
Sriyanto Danoesiswoyo
Stefanus P. Elu
Stevani Elisabeth
STKIP PGRI Ponorogo
Student Center Kampus ISI Yogyakarta
Subagio Sastrowardoyo
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Ariyadi
Sukitman
Sumenep
Sumiati Anastasia
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungelebak
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Suyadi San
Syafrizal Sahrun
Syaifuddin Gani
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Syamsul Arifin
Syamsul Rizal
Syi'ir
Syifa Amori
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajuddin Noor Ganie
Tamrin Bey dan Robin Al Kautsar
TanahmeraH ArtSpace
Tarpin A. Nasri
Taufik Rachman
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater
Teater Air
Teater Bias
Teater Biru
Teater Cepak
Teater Dua
Teater Kanjeng
Teater Lingkar Merah Putih
Teater Mikro
Teater nDrinDinG
Teater Nusa
Teater Padi
Teater Roda UNISDA Lamongan
Teater Sakalintang
Teater Tali Mama
Teater Taman
Teater Tawon
Teater Tewol
Teguh LR
Temu Karya Teater Jawa Timur XXI
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Teori Darwin
Teori Fisika Hawking
Tgk Abdullah Lam U
Tharie Rietha
The Ibrahim Hosen Institute
Theresia Purbandini
Thomas Koten
Tien Rostini
Timur Arif Riyadi
Tjahjono Widarmanto
Tjut Zakiyah Anshari
Toeti Adhitama
Tosa Poetra
Tri Andhi S
Triyanto triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tutut Herlina
Ucu Agustin
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Jember
Usman Arrumy
Ustadz Bangun Samudra
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Vassilisa Agata
Veven Sp. Wardhana
Viddy AD Daery
Video
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vita Devi Ajeng Pratiwi
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wakos R. Gautama
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Suryandoko
William Shakespeare
Wisnu Kisawa
Wiwik Widiyati
Wong Wing King
Wuri Kartiasih
Y. Wibowo
Yayasan Thoriqotul Hidayah 1
Yayat R. Cipasang
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yulianto
Yuliawati
Yunanto Sutyastomo
Yunus Supriyanto
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf AN
Yusuf Suharto
Yusuf Wibisono
Yuval Noah Harari
Yuyuk Sugarman
Z. Mustopa
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zarra Martsella
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zen Hae
Zii
Zuhdi Swt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar