Yudhi Herwibowo, Han Gagas
http://pawonsastra.blogspot.com/
Menemui Sosiawan Leak di rumahnya yang menyudut, lengang, karena agak terpencil menciptakan keintiman yang gayeng. Malam telah turun lebih sempurna, beserta Yudhi Herwibowo, saya menemui di lantai atas rumahnya yang bermotif etnik dan lapang. Sebelumnya seorang putrinya menyalami kami dengan takzim, lalu disusul anak laki-lakinya, disertai sapaan senyuman dari istri profil kita kali ini, perempuan berkerudung yang nampak habis sibuk di sebuah ruangan. Keadaan rumah yang bersih tertata rapi dengan anggota keluarga dan perilakunya yang santun lumayan menggeser persepsi awal saya tentang Mas Leak yang lebih sering nampak kusut dan kurang rapi. Begitulah Leak dimana-mana akan selalu apa adanya.
Memutuskan Sosiawan Leak sebagai profil adalah suatu perubahan bagi Pawon yang selama ini selalu mengangkat penulis perempuan, kini lebih berorientasi –setidaknya dalam waktu dekat- untuk mendekatkan pembaca Pawon pada penulis/sastrawan Solo sendiri baik laki-laki maupun perempuan.
Setelah berbincang-bincang ngalor-ngidul, tanpa alat rekam, hanya berbekal coret-coret kertas, saya mulai menyelingi dengan melemparkan pertanyaan:
Sejarah kepenyairan Anda?
Saya memulai menulis puisi sejak tahun 1987. Masa itu menulis puisi berbahaya.
Kenapa berbahaya?
Puisi-puisi saya adalah berusaha menangkap apa yang terjadi di masyarakat, kahanan sejatine, ada ketidakberesan di negara ini oleh rezim Soeharto.
Anda seangkatan dengan Wiji Thukul yang lenyap itu?
Wiji Tukul dalam arti proses lebih dulu, ia sekitar tahun 1983. Tapi selanjutnya kita bersama-sama.
Pak Wijang?
Ada Wijang juga. Pangkat Warek Al’Mauti itu diberi oleh Rendra (terkekeh~ kami juga).
Berarti boleh dikatakan anda bertiga seangkatan dan yang paling menonjol?
Sebenarnya banyak juga yang ingin bahkan bercita-cita menjadi penyair, sok nyair, dengan gaya yang aneh, perilaku yang tak biasa tapi esensinya tak ada, karya tak berisi, dulu seorang penyair terasa hebat di Jaman Soeharto apalagi di kalangan mahasiswa, tapi sebenarnya yang penyair dengan muatan karya yang baik amat jarang.
Perjalanan anda baik sebagai penyair, aktor, maupun sutradara?
Saya pernah jadi aktor di kelompok Teater Gidag-Gidig (Solo), TERA (Teater Surakarta), Teater Keliling (Jakarta), Wayang Suket (Solo). Di teater keliling ini saya bermain di perusahaan-perusahaan minyak. Saat itu gajinya besar sehingga bisa untuk menutup biaya kuliah saya.
Untuk drama saya pernah menulis lakon dan menyutradarai-nya untuk Teater Peron dan Thoekoel. Sejak tahun 1998 membentuk dan menjadi sutradara Kelompok Tonil Klosed (Kloearga Sedjahtra).
Sebagai penyair, pernah diundang di beberapa event sastra nasional, seperti “Konggres Sastra Indonesia” di Kudus, “Temu Sastrawan Indonesia” di Jambi, Revitalisasi Budaya Melayu di Tanjung Pinang, Festival Kebudayaan Aceh, Ubud Writers & Reader Festival dll. Puisi telah dimuat di berbagai media dan antologi event sastra, di samping ada yang terkumpul dalam “Umpatan” (1995), “Cermin Buram” (1996) dan “Dunia Bogambola” (2007).
Juga ber”Deklamasi Keliling” Jawa Tengah & Jawa Timur (1994), serta “Deklamasi Keliling Sumatra” (1995). Baca Puisi di Kampus & Ponpes Jawa Timur bareng WS Rendra & Brigitte Olenski (2002). Baca Puisi & Diskusi “Membaca Indonesia” dengan Martin Janskowski (Berlin, Jerman) & Dorothea Rosa Herliany di Madura, Surabaya, Solo dan Kudus (2006). Baca Puisi & Diskusi “Membaca Kota-kota” bersama Martin Janskowski (Berlin, Jerman) di Pati, Yogja, Semarang, Purwokerto, Wonosobo, Indramayu, Kediri dan Surabaya (2008). Baca Puisi & Diskusi “ JOHAN WOLFGANG von GOETHE, Perintis Dialog Islam-Barat” menyertai Berthold Damhauser (Bonn, Jerman) & Dorothea Rosa Herliany di Kudus, Semarang, Solo dan Magelang (2010).
April 2002 saya diundang di “Festival Puisi Internasional Indonesia “ yang diselenggarakan di Makassar, Bandung & Solo. Lalu, Mei 2003 diundang di Festival Puisi Internasional “The Road” (Bremen, Jerman). Saat itu pula diminta Universitas Hamburg & Universitas Passau (Jerman) untuk baca puisi dan menjadi narasumber diskusi.
Bulan Februari 2010, saya membuat “atisejati”, kelompok musik yang berpijak pada eksplorasi bentuk musik akustik dan kekuatan lirik.
Lebih enjoy mana drama-teater dibanding puisi?
Puisi, saya enjoy karena lebih leluasa dan terlunaskan. Dalam drama dan teater bila ada satu aktor tak datang kita akan ribet dan terganggu kerjanya. Pekerjaan bersama terkadang tidak lunas. Tapi puisi selalu melunaskan segala hal.
Saya jadi ingat Mas Timur dengan pakaian kebesarannya, atau Mas Rendra dengan gaya pesoleknya, Wijang juga dengan baju kepenyairannya yang berwarna kotak-kotak hitam putih itu, atau Afrizal Malna yang pelontos, lalu melihat anda gondrong. Apa-kah seorang penyair memang berciri khas masing-masing dalam arti fisik?
Saya gondrong lebih karena balas dendam. Orang tua melarang gondrong, jadi awalnya karena itu. Lagi pula saya ketika bercermin, nampak lebih ganteng dengan rambut panjang ini (terkekeh lagi)
Masa Mas Leak dulu sampai sekarang dengan bangunnya sastra di Solo sekitar satu dekade. Ada jeda yang kosong, bagaimana anda memandang hal ini?
Saya tidak merasa bahwa regenerasi, penyemaian dalam arti harus nyantrik, ngenger, belajar dengan rutin dan formal untuk orang lain yang ingin belajar berpuisi adalah sebuah kewajiban. Bahkan pada keluargapun saya sterilkan dari dunia sastra. Ketika saya menulis ada istri atau anak yang melihat saya stop atau menyuruhnya pergi. Saya tak mengajak anak sulung saya kemana-mana belajar berpuisi, berkenalan dengan sastrawan besar untuk koneksitas misalkan, saya tak melakukan itu, hal yang sangat lazim dilakukan oleh orang lain terutama dalam seni tradisi. Berpuisi menurut saya adalah pilihan sadar seseorang, dan bagi saya habis aqil balik anak saya boleh berpuisi seperti bapaknya. Jadi saya tak bisa semena-mena menarik anak ke dalam dunia saya, ini menyangkut psikologi dia. Tapi, walau saya sterilkan, saya pernah melihat puisinya di mading sekolahnya SMP Al Islam yang menurut saya cukup baik. Ia juga suka menggambar.
Saya pernah melihat Mas Leak pentas di Teater Arena TBS membawakan puisi yang telah anda “naiki” hingga ke Jerman, boleh cerita?
Puisi itu berjudul Phobia, kucipta tahun 2003. Mas Willy (panggilan Rendra) menyukai puisi itu dan karenanya menyebutku sebagai Penyair Gelombang Baru, baru dalam arti membawa tema keterasingan manusia akibat perkembangan teknologi komunikasi yang teramat cepat dan mewabah.
Boleh cerita awal mula perjalanan anda ke Jerman?
Sebelumnya saya sudah sering main ke kantung-kantung kesenian, pada tahun 2002-2003 saya sering diundang ke Jakarta membacakan sajak dan monolog di gedung kesenian, kadang juda sama Mas Arswendo. Sering ketika di Jakarta saya tidur di Bengkel Teaternya Mas Willy yang di masa-masa itu ada kegiatan Poetry On The Road di Bremmen Jerman atau festival sastra Internasional. Ada beberapa nama penyair nasional seperti Joko Pinurbo, Afrizal Malna, Soetardji, dan lain-lain juga Matori Al-elwa. Saya dan Matori inilah yang diadu dan dari sekian penyair itu justru saya yang terpilih ke sana yang akhirnya berlanjut hingga sekarang.
Kenapa anda terpilih?
Muatan puisi saya dan hukum panggung yang saya jalankan dengan baik. Puisi itu ya yang ada di buku, tapi kalau di panggung ya harus menguasai hukum panggung dengan baik. Sebagaimana novel yang difilmkan. Isi novel dengan film yang berdasar novel itu bisa dan boleh saja berbeda. Puisi di buku dengan puisi di panggung bisa menjadi berbeda karena biar ngeh di hadapan penonton dalam rangka menguasai hukum panggung itu.
Melihat perkembangan puisi sekarang dibanding jaman anda dulu?
Puisi-puisi sekarang saya amati memang lebih bernas tapi tidak macth dengan kehidupan. Penyair menurut saya harus nyemplung dalam masyarakat. Puisi-puisi sekarang banyak berbahan baku dari buku, televisi, dan internet. Saya lebih berbahan baku kahanan dengan jalan lelaku, laku rasa. Kahanan adalah bahan baku utama, nomer satu, sedang buku, televisi dan internet itu yang kedua. Nyemplung ke masyarakat menghirup fenomenanya, rentetan kejadian, keluh kesahnya, pikiran-pikirannya juga alam raya ini yang sudah tak lagi bisa terprediksikan. Masa hujan masih berlangsung hingga bulan Juni padahal dalam teori April-Oktober harusnya sudah kemarau, seperti itu.
Saya merasa karya penulis puisi Solo masih kalah jauh dengan penulis puisi kota lain terutama Jogja dan Makasar, ini bisa dilihat setidaknya di koran minggu. Apa komentar anda?
Saya juga merasa demikian, tapi saya tak khawatir, mungkin memang ada jalan lain. Tapi melihat kondisi sastra yang ramai beberapa tahun terakhir ini juga para penyairnya itu adalah perjalanan yang benar mungkin yang perlu diperdalam adalah kepekaan membaca kahanan tadi. Melalui koran dan buku itu jalan yang benar, saya juga menempuhnya. Kadang ingin puisi saya dimuat koran ya seperti absen gitu, artinya seperti untuk memenuhi keinginan publik.
***
Sosiawan Leak lahir di Solo, 23 September 1967 dengan nama Sosiawan Budi Sulistio. Ia merampungkan kuliah di Administrasi Negara FISIP UNS Solo tahun 1994. Leak adalah panggilan dari teman-temannya ketika SMA karena bakat alaminya sebagai adventourir, mengelana, hingga beberapa kali ke Bali dengan nggandhul truk, dll.
Setelah mewawancarai beliau, saya dimintanya membuka blog kalau-kalau saya memerlukan hal lain. Benar juga, dalam blognya saya menemukan naskah lakon yang sangat sungguh asyik, banyolan-banyolannya nyentrik dan sebagian besar orisinil. Penyair yang suka bercocok tanam ini memang bergaul dengan semua model orang, tak terbatasi segmen apapun, bila dia disuruh memilih dia akan lebih menyukai bergaul dengan masyarakat lumrah, dan bukan dari kalangan sastrawan –yang pusingnya sama, katanya- dan dari hasil pergaulannya sangat jelas tampak, minimal, dalam lakon-lakon yang ia tulis dengan jernih, memikat, dan apa adanya.
Di blognya pula ada kisah menarik tentang perjalanannya selama di Jerman yang serba teratur dan penuh pelayanan terbaik yang didibandingkannya dengan Indonesia yang serba semrawut dan sangat merugikan konsumen.
Jika anda ingin lebih memperdalam mengenai profil kita kali ini atau kurang puas dengan sajian wawancara dan profil tulisan saya ini, silakan mengunjungi Blog Sosiawan Leak dan facebooknya.
Han Gagas, 7 Juni 2010
Beralas Sajadah Kutulis Puisi
Sosiawan Leak
timpuh di sajadah
kutulis sajak
tentang pelacuran,
pornografi dan kehidupan malam.
tapi tidak ada mesias apalagi tuhan
kitab suci terbakar bersama tembakan
dan huru hara kartun nabi.
timpuh di sajadah
kutulis sajak
tentang mata anakku yang terpejam
kecapaian di tengah malam
entah karena mimpi atau lantaran permainan siang hari
tentang wajah ibunya yang dirajang-rajang usia
lantaran pekerjaan rumah, kenekalanku yang meremaja
atau kesibukan kerja.
tapi tidak ada malaikat
surga terbakar kenaikan harga
neraka menggurita di mana-mana
di tiap trafick light dan pojok kota
merdeka dan sentosa!
kaki tangannya menjelma tuhan, nabi, kitab suci
juga malaikat dan surga
bahkan juga puisi, timpuh dan sajadah ini.
Pelangi Mojosongo, Solo, Maret 2006
http://pawonsastra.blogspot.com/
Menemui Sosiawan Leak di rumahnya yang menyudut, lengang, karena agak terpencil menciptakan keintiman yang gayeng. Malam telah turun lebih sempurna, beserta Yudhi Herwibowo, saya menemui di lantai atas rumahnya yang bermotif etnik dan lapang. Sebelumnya seorang putrinya menyalami kami dengan takzim, lalu disusul anak laki-lakinya, disertai sapaan senyuman dari istri profil kita kali ini, perempuan berkerudung yang nampak habis sibuk di sebuah ruangan. Keadaan rumah yang bersih tertata rapi dengan anggota keluarga dan perilakunya yang santun lumayan menggeser persepsi awal saya tentang Mas Leak yang lebih sering nampak kusut dan kurang rapi. Begitulah Leak dimana-mana akan selalu apa adanya.
Memutuskan Sosiawan Leak sebagai profil adalah suatu perubahan bagi Pawon yang selama ini selalu mengangkat penulis perempuan, kini lebih berorientasi –setidaknya dalam waktu dekat- untuk mendekatkan pembaca Pawon pada penulis/sastrawan Solo sendiri baik laki-laki maupun perempuan.
Setelah berbincang-bincang ngalor-ngidul, tanpa alat rekam, hanya berbekal coret-coret kertas, saya mulai menyelingi dengan melemparkan pertanyaan:
Sejarah kepenyairan Anda?
Saya memulai menulis puisi sejak tahun 1987. Masa itu menulis puisi berbahaya.
Kenapa berbahaya?
Puisi-puisi saya adalah berusaha menangkap apa yang terjadi di masyarakat, kahanan sejatine, ada ketidakberesan di negara ini oleh rezim Soeharto.
Anda seangkatan dengan Wiji Thukul yang lenyap itu?
Wiji Tukul dalam arti proses lebih dulu, ia sekitar tahun 1983. Tapi selanjutnya kita bersama-sama.
Pak Wijang?
Ada Wijang juga. Pangkat Warek Al’Mauti itu diberi oleh Rendra (terkekeh~ kami juga).
Berarti boleh dikatakan anda bertiga seangkatan dan yang paling menonjol?
Sebenarnya banyak juga yang ingin bahkan bercita-cita menjadi penyair, sok nyair, dengan gaya yang aneh, perilaku yang tak biasa tapi esensinya tak ada, karya tak berisi, dulu seorang penyair terasa hebat di Jaman Soeharto apalagi di kalangan mahasiswa, tapi sebenarnya yang penyair dengan muatan karya yang baik amat jarang.
Perjalanan anda baik sebagai penyair, aktor, maupun sutradara?
Saya pernah jadi aktor di kelompok Teater Gidag-Gidig (Solo), TERA (Teater Surakarta), Teater Keliling (Jakarta), Wayang Suket (Solo). Di teater keliling ini saya bermain di perusahaan-perusahaan minyak. Saat itu gajinya besar sehingga bisa untuk menutup biaya kuliah saya.
Untuk drama saya pernah menulis lakon dan menyutradarai-nya untuk Teater Peron dan Thoekoel. Sejak tahun 1998 membentuk dan menjadi sutradara Kelompok Tonil Klosed (Kloearga Sedjahtra).
Sebagai penyair, pernah diundang di beberapa event sastra nasional, seperti “Konggres Sastra Indonesia” di Kudus, “Temu Sastrawan Indonesia” di Jambi, Revitalisasi Budaya Melayu di Tanjung Pinang, Festival Kebudayaan Aceh, Ubud Writers & Reader Festival dll. Puisi telah dimuat di berbagai media dan antologi event sastra, di samping ada yang terkumpul dalam “Umpatan” (1995), “Cermin Buram” (1996) dan “Dunia Bogambola” (2007).
Juga ber”Deklamasi Keliling” Jawa Tengah & Jawa Timur (1994), serta “Deklamasi Keliling Sumatra” (1995). Baca Puisi di Kampus & Ponpes Jawa Timur bareng WS Rendra & Brigitte Olenski (2002). Baca Puisi & Diskusi “Membaca Indonesia” dengan Martin Janskowski (Berlin, Jerman) & Dorothea Rosa Herliany di Madura, Surabaya, Solo dan Kudus (2006). Baca Puisi & Diskusi “Membaca Kota-kota” bersama Martin Janskowski (Berlin, Jerman) di Pati, Yogja, Semarang, Purwokerto, Wonosobo, Indramayu, Kediri dan Surabaya (2008). Baca Puisi & Diskusi “ JOHAN WOLFGANG von GOETHE, Perintis Dialog Islam-Barat” menyertai Berthold Damhauser (Bonn, Jerman) & Dorothea Rosa Herliany di Kudus, Semarang, Solo dan Magelang (2010).
April 2002 saya diundang di “Festival Puisi Internasional Indonesia “ yang diselenggarakan di Makassar, Bandung & Solo. Lalu, Mei 2003 diundang di Festival Puisi Internasional “The Road” (Bremen, Jerman). Saat itu pula diminta Universitas Hamburg & Universitas Passau (Jerman) untuk baca puisi dan menjadi narasumber diskusi.
Bulan Februari 2010, saya membuat “atisejati”, kelompok musik yang berpijak pada eksplorasi bentuk musik akustik dan kekuatan lirik.
Lebih enjoy mana drama-teater dibanding puisi?
Puisi, saya enjoy karena lebih leluasa dan terlunaskan. Dalam drama dan teater bila ada satu aktor tak datang kita akan ribet dan terganggu kerjanya. Pekerjaan bersama terkadang tidak lunas. Tapi puisi selalu melunaskan segala hal.
Saya jadi ingat Mas Timur dengan pakaian kebesarannya, atau Mas Rendra dengan gaya pesoleknya, Wijang juga dengan baju kepenyairannya yang berwarna kotak-kotak hitam putih itu, atau Afrizal Malna yang pelontos, lalu melihat anda gondrong. Apa-kah seorang penyair memang berciri khas masing-masing dalam arti fisik?
Saya gondrong lebih karena balas dendam. Orang tua melarang gondrong, jadi awalnya karena itu. Lagi pula saya ketika bercermin, nampak lebih ganteng dengan rambut panjang ini (terkekeh lagi)
Masa Mas Leak dulu sampai sekarang dengan bangunnya sastra di Solo sekitar satu dekade. Ada jeda yang kosong, bagaimana anda memandang hal ini?
Saya tidak merasa bahwa regenerasi, penyemaian dalam arti harus nyantrik, ngenger, belajar dengan rutin dan formal untuk orang lain yang ingin belajar berpuisi adalah sebuah kewajiban. Bahkan pada keluargapun saya sterilkan dari dunia sastra. Ketika saya menulis ada istri atau anak yang melihat saya stop atau menyuruhnya pergi. Saya tak mengajak anak sulung saya kemana-mana belajar berpuisi, berkenalan dengan sastrawan besar untuk koneksitas misalkan, saya tak melakukan itu, hal yang sangat lazim dilakukan oleh orang lain terutama dalam seni tradisi. Berpuisi menurut saya adalah pilihan sadar seseorang, dan bagi saya habis aqil balik anak saya boleh berpuisi seperti bapaknya. Jadi saya tak bisa semena-mena menarik anak ke dalam dunia saya, ini menyangkut psikologi dia. Tapi, walau saya sterilkan, saya pernah melihat puisinya di mading sekolahnya SMP Al Islam yang menurut saya cukup baik. Ia juga suka menggambar.
Saya pernah melihat Mas Leak pentas di Teater Arena TBS membawakan puisi yang telah anda “naiki” hingga ke Jerman, boleh cerita?
Puisi itu berjudul Phobia, kucipta tahun 2003. Mas Willy (panggilan Rendra) menyukai puisi itu dan karenanya menyebutku sebagai Penyair Gelombang Baru, baru dalam arti membawa tema keterasingan manusia akibat perkembangan teknologi komunikasi yang teramat cepat dan mewabah.
Boleh cerita awal mula perjalanan anda ke Jerman?
Sebelumnya saya sudah sering main ke kantung-kantung kesenian, pada tahun 2002-2003 saya sering diundang ke Jakarta membacakan sajak dan monolog di gedung kesenian, kadang juda sama Mas Arswendo. Sering ketika di Jakarta saya tidur di Bengkel Teaternya Mas Willy yang di masa-masa itu ada kegiatan Poetry On The Road di Bremmen Jerman atau festival sastra Internasional. Ada beberapa nama penyair nasional seperti Joko Pinurbo, Afrizal Malna, Soetardji, dan lain-lain juga Matori Al-elwa. Saya dan Matori inilah yang diadu dan dari sekian penyair itu justru saya yang terpilih ke sana yang akhirnya berlanjut hingga sekarang.
Kenapa anda terpilih?
Muatan puisi saya dan hukum panggung yang saya jalankan dengan baik. Puisi itu ya yang ada di buku, tapi kalau di panggung ya harus menguasai hukum panggung dengan baik. Sebagaimana novel yang difilmkan. Isi novel dengan film yang berdasar novel itu bisa dan boleh saja berbeda. Puisi di buku dengan puisi di panggung bisa menjadi berbeda karena biar ngeh di hadapan penonton dalam rangka menguasai hukum panggung itu.
Melihat perkembangan puisi sekarang dibanding jaman anda dulu?
Puisi-puisi sekarang saya amati memang lebih bernas tapi tidak macth dengan kehidupan. Penyair menurut saya harus nyemplung dalam masyarakat. Puisi-puisi sekarang banyak berbahan baku dari buku, televisi, dan internet. Saya lebih berbahan baku kahanan dengan jalan lelaku, laku rasa. Kahanan adalah bahan baku utama, nomer satu, sedang buku, televisi dan internet itu yang kedua. Nyemplung ke masyarakat menghirup fenomenanya, rentetan kejadian, keluh kesahnya, pikiran-pikirannya juga alam raya ini yang sudah tak lagi bisa terprediksikan. Masa hujan masih berlangsung hingga bulan Juni padahal dalam teori April-Oktober harusnya sudah kemarau, seperti itu.
Saya merasa karya penulis puisi Solo masih kalah jauh dengan penulis puisi kota lain terutama Jogja dan Makasar, ini bisa dilihat setidaknya di koran minggu. Apa komentar anda?
Saya juga merasa demikian, tapi saya tak khawatir, mungkin memang ada jalan lain. Tapi melihat kondisi sastra yang ramai beberapa tahun terakhir ini juga para penyairnya itu adalah perjalanan yang benar mungkin yang perlu diperdalam adalah kepekaan membaca kahanan tadi. Melalui koran dan buku itu jalan yang benar, saya juga menempuhnya. Kadang ingin puisi saya dimuat koran ya seperti absen gitu, artinya seperti untuk memenuhi keinginan publik.
***
Sosiawan Leak lahir di Solo, 23 September 1967 dengan nama Sosiawan Budi Sulistio. Ia merampungkan kuliah di Administrasi Negara FISIP UNS Solo tahun 1994. Leak adalah panggilan dari teman-temannya ketika SMA karena bakat alaminya sebagai adventourir, mengelana, hingga beberapa kali ke Bali dengan nggandhul truk, dll.
Setelah mewawancarai beliau, saya dimintanya membuka blog kalau-kalau saya memerlukan hal lain. Benar juga, dalam blognya saya menemukan naskah lakon yang sangat sungguh asyik, banyolan-banyolannya nyentrik dan sebagian besar orisinil. Penyair yang suka bercocok tanam ini memang bergaul dengan semua model orang, tak terbatasi segmen apapun, bila dia disuruh memilih dia akan lebih menyukai bergaul dengan masyarakat lumrah, dan bukan dari kalangan sastrawan –yang pusingnya sama, katanya- dan dari hasil pergaulannya sangat jelas tampak, minimal, dalam lakon-lakon yang ia tulis dengan jernih, memikat, dan apa adanya.
Di blognya pula ada kisah menarik tentang perjalanannya selama di Jerman yang serba teratur dan penuh pelayanan terbaik yang didibandingkannya dengan Indonesia yang serba semrawut dan sangat merugikan konsumen.
Jika anda ingin lebih memperdalam mengenai profil kita kali ini atau kurang puas dengan sajian wawancara dan profil tulisan saya ini, silakan mengunjungi Blog Sosiawan Leak dan facebooknya.
Han Gagas, 7 Juni 2010
Beralas Sajadah Kutulis Puisi
Sosiawan Leak
timpuh di sajadah
kutulis sajak
tentang pelacuran,
pornografi dan kehidupan malam.
tapi tidak ada mesias apalagi tuhan
kitab suci terbakar bersama tembakan
dan huru hara kartun nabi.
timpuh di sajadah
kutulis sajak
tentang mata anakku yang terpejam
kecapaian di tengah malam
entah karena mimpi atau lantaran permainan siang hari
tentang wajah ibunya yang dirajang-rajang usia
lantaran pekerjaan rumah, kenekalanku yang meremaja
atau kesibukan kerja.
tapi tidak ada malaikat
surga terbakar kenaikan harga
neraka menggurita di mana-mana
di tiap trafick light dan pojok kota
merdeka dan sentosa!
kaki tangannya menjelma tuhan, nabi, kitab suci
juga malaikat dan surga
bahkan juga puisi, timpuh dan sajadah ini.
Pelangi Mojosongo, Solo, Maret 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar