Wong Wing King *
Radar Mojokerto-Jombang 16 Jan 2011
Akhir dan awal tahun gedung PSBR benar-benar sibuk. Aktivitas yang luar biasa terjadi disana, sesuatu yang biasanya tampak mewah, eskuisif di sajikan murah meriah. Pun oleh panitia dengan memasang spanduk beserta sang empunya kota tertulis besar “tontonan rakyat”. Panitia tak menyadari, pemilihan kata rakyat, jelas berbanding terbalik dan lurus dengan nama pemerintah, berbeda kalau tontonan “masyarakat”. Beserta itu suport dan fasilitas yang diberikan oleh Dinas Kebudayaan Jombang (DEKAJO) adalah wujud aprisiasi pada seni budaya lokal, sebagai identitas kota?
Ajang adu kreatif yang pernah dilakukan, kalau mereview acara televise semacam adu ketangkasan yang dilakukan oleh orang Jepang untuk mencari champion, kebetulan saya menyaksikan dan suka pertandingan seniman pahat es, pengrajin kaca dan perupa, saya pun menyukai acara ini.
Seperti yang terjadi minggu lalu, seniman –seniman teater berkumpul dan membuat semacam champion. Akh kok saru ya. Karena kata champion ini, mau tidak mau, kalau berbicara persoalan estetika tidak ada ukurannya, relative subyektif. Dan kalau ditemukan semacam pendekatan matematik logik, itu pun hanya berupa angka –angka, bukan ukuran keindahan. Setelah terjadi ajang ‘kompetisi”di sana (gedung PSBR), kelihatannya tambah rumit. Tercium aroma perang tanding disitu. Yakni acara “Kompetisi Teater Dana Hibah”. Sakit sih kedengarannya, atau malah sebaliknya terharu biru. Hari gini, ada dana hibah untuk kesenian teater gitu loh. Lha apa pusing saya, toh acara berlangsung meriah dengan dihadiri 196 pengunjung tiap hari.
Terlepas dari prasangka juri ataupun panitia, sebagai penonoton saya sempat menyaksikan perhelatan akbar tersebut. Meski tidak rutin selama lima hari dalam 13 penyaji (pementasan). Maklum jarak rumah saya terlalu jauh dengan gedung PSBR. Cukuplah untuk menghabiskan 1 liter premium, bagi saya memang tidak ada dana alokasi melihat teater, wong buat makan saja sulit, sekalipun pertunjukkannya tergolong murah, alias dan tumben juga hal itu ada pertunjukkan yang sampai segitunya, padahal biasa seperti pertunjukkan di gedung jelas memakan biasa yang luar biasa. Terlebih dapat terlihat nyata, ya itulah perkembangan teater di Jombang selama ini. Andaikan ada sebuah pertunjukkan yang ramai penontonnya, padahal di tiketkan, hal itu perlu ditanyakan, mereka datang secara sukarela, ingin melihat pertunjukan teater atau malah ada motivasi lain?
Berbeda dengan saya yang benar – benar ingin melihat teater, namun kantong bolong. Saya jadi ingat dulu suatu ketika dewan teater suatu kota mengatakan “teater miskin”. Bayangan saya, kalau kaya kenapa berteater, kok tidak punya mobil, naik haji, rumah mewah. Meski saya tidak sanggup menyaksikan secara full, namun saya juga sempat melihat pementasan sebanyak tiga kali, dan salah satu yang menarik adalah penyaji terbaik adalah Komunitas Tirto Agung Mojoagung.
Pertunjukan Komunitas Tirto Agung Mojoagung, saya menangkap hal baru yang disajikan dalam pertunjukkan tersebut. Awalnya dibuka dengan dua orang aktor menyuguhkan lawakannya ala “ludrukan”. Sangat mengocak perut. Kemudian mempersilahkan aktor memainkan lakon “Thok – Thok Ugel”. Bak MC yang member warning penonton agar menyiapkan diri untuk menyimak alur lakon pementasan. Sakral sekali pertunjukkan teater itu, makanya penonntonya takut melihat.
Perhelatan yang diikuti oleh 15 komunitas teater, entah nama baru atau lama, atau bahkan nama untuk keperluan festival saja. Karena secara riil tidak ada pendukomentasian secara literer, sejak kapan ada teater di Jombang, berapa yang independen, berapa yang ada di kampus – kampus, berapa yang ada di sekolah tingkat, SD, SMP, SMU/SML, beserta perkembangannya. Sebab inilah kenyataan sejarah lokal teater terhapus dari data-data sejarah perkembangan teater Jombang, beserta perkembangannya. Dari ke 15 peserta ternyata hanya 13 yang jadi mengikuti perhelatan akbar, sisanya mengundurkan diri. Alasannya tentu mereka sendiri yang mengetahuinya.
Ada banyak faktor sebenarnya jika di kaji, mengapa ada pengunduran terjadi dari peserta, padahal festival ini real, ada senyata –nyatanya, kecuali kalau festival pesanan. Pertama; panita menyebar info barangkali terlalu mendadak, sehingga batas kesiapan peserta, tidak mungkin menyesuaiakan kondisisi. Kedua; salah satu pemain tiba-tiba harus tidak ikut bermain dalam pementasan, aktor, sutradara, penata lampu, peñata rias, peñata kostum. Ketiga; zona wilayah festival terlalu kecil, skup lokal, bukan regional. Keempat; legowo mempersilahkan komunitas lain untuk menang, suatu sikap yang luar biasa, kalau ada.
Berdasarkan salah satu aktor sekaligus motor Komunitas Tirto Agung Mojoagung, sebut Eko Ugel (karena memernakan tokoh Ugel dalam lakon “Thok – Thok Ugel) bahwasanya “inilah jalan teater yang dipilih kelompoknya. Yakni pencampuran teater tradisi (ludruk) dan teater Eropa”. Sebuah perkawinan silang antara Jawa (ceritanya) dan Eropa (laku teknis) yang seperti dipentaskan itu, keinginan sang komunitasnya sebagai ciri atau style.
Naskah yang bercerita tentang cinta tak sampai ini, seperti halnya Siti Nurbaya, Si Cantik dan Si Buruk Rupa, dapat dirasakan dipertunjukkan lalu bersetting masa silam, ketika masih ada istilah adipati, yang dengan kekayaannya tidak mau menerima seorang calon menentu dari kalangan bawah (Ugel) yang secara nyata tidak sekelas, seimbang dalam strata sosial, Ugel dapat menjadi menentu Adipati sehingga dapat menikahi Dewi, harus memenuhi syarat ketentuan yang berlaku yang diwarningkan oleh sang Adipati. Bahwa kalau mendapatkan “intan sebesar telur angsa” Ugel berhak menikahi putrinya. Terpenuhilah sudah oleh Ugel keinginan Adipati, intan dibawa kepada Adipati, tetapi sesuatu menjadi terbalik. Intan di terima. Sedangkan Ugel dibuang begitu saja. Kemarahan Ugel meledak. Dengan perasaan kecewa, dendam dikeluarkanlah kutukan yang kemudan terjadi bencana berupa banjir bandang hingga meluluhlantahkan rumah Adipati beserta tubuh kikir dan sombongnya.
Pertunjukkan selesai. Ending/ akhir cerita yang sengaja di pilih oleh sang sutradara tergolong unik juga ringan. Bagaimana nasib Ugel, dan Dewi? Terserah penontonnya, mau diapakan. Ada semacam pendewasaan penonton, dan penonton juga cerdas, bahkan lebih cerdas dari para jurinya yakni Gunawan Maryanto (Teater Garasi Yogyakarta) dan Heri Nurcahyo (Surabaya), dari sudut pandang mengapresiasi pertunjukkan, bukan persoalan penilaian angka urusan festival, secara umum bahwa pertunjukkan sah diapresisikan.
Say berharap festival berikutnya, juri bukan dari seorang ahli teater tapi masyrakat (bukan rakyat), di daerah pelosok, 100 0rang secara sukarela. Disitulah tantangan terbesar seniman teater, sudahkan hal itu dijamah, bukan hanya terkenal saja.
Naskah Thok –Thok Ugel sebenarnya sudah dua kali diikutkan event festival. Yang pertama di tahun 2006 mewakili Jombang dengan Dinas Parbupora di Malang, ketika festival ludruk se – Jawa Timur, dan mendapatkan nominasi 5 penyaji terbaik. Ketika itu berkolaborasi dengan temen–teman kampus Undar (Universitas Darul ‘Ulum Jombang). Yakni Sangar Seni Mentari Fakultas Psikologi, Sanggar Laras Rinonce pimpinan Pak Wito, beberapa teman – teman kampung sekitar kampus Undar. Waktu itu saya belum tahu persisnya Komunitas Tirto Agung Mojoagung berdiri. Tak jauh berbeda apa yang disajikan dalam hal artistik panggung dan alur ceritanya, tetepi yang luar biasa adalah kekeuatan para aktornya. Ketegangan emosi sangat terasa pada aktor – aktornya, cimestry nya terpegang, sehingga ruh para pemain hidup di atas panggaung, yang tak sekedar seperti keaktoran klasik, telihat kaku. Walaupun pemain yang tetap adalah Adipati dan Ugel, dan sutradaranya , Haris.
Pementasan Thok–Thok Ugel tergolong realis – magis. Realisnya adalah cerita yang umum berkembang dimasyarakat bahwa kaya dan miskin tidak ada garis lurusnya, selalu patah –patah, dan dikerjakan secara realis pemanggungannya. Magisnya adalah memasukkan unsur – unsur magis Jawa, atau masyarakat mana pun yang dekat dengan mantra –mantra, dan khas bertutur bahasa khas Jombangan.
Persoalan yang terjadi adalah para penyaji terbaik versi kompetisi teater dana hibah ini hanya dari Komunitas Tirto Agung Mojoagung. Tapi yang lainnya ada kesinambungan untuk memperpanjang usia berkesenian dihatinya, dikotanya, bukan dikomunitasnya atau kantong sakunya. Paling tidak seperti yang baru – baru ini dilakukan oleh kelompok Teater Kopi Hitam, dengan “Jendral Markus” nya. Kopi Hitam berani melakukan pementasan di beberapa kota secara swadaya. Bahkan naskahnya merupakan garapan sendiri (tulisan salah satu anggotanya). Atau yang dilakukan Komunitas Teater Suket Indonesia dengan naskah “Cuh” yang hendak akan berangakat bulan–bulan ini keliling beberapa kota dengan naskah sendiri pula. Bukankah bermain naskah sendiri lebih mengasyikkan? Sekaligus menjadi pilihan yang tidak mudah. Karena menulis naskah bukan perkara mudah pula. Harus siap, minimnya berani malu. Maksimal keberaniannya yang teruji, mencoba, belajar bukan malu mencoba atao belajar. Setidaknya tidak hanya jadi jago kandang saja, paling tidak kharus jadi kandang jago, intens berteater, bahkan menjadi actor walau tidak muda lagi. Memeng mau memilih apa ketika sudah masuk dalam dunia teater, sebagai aktor saja, sutradara selamanya, pemusik selamanya, tukang lampu selamanya, tukang artistic selamanya, piñata rias selamanya, penjual tiket selamanya, supporter selamanya, event organizer (EO) teater curator selamanya, pelatih selamanya, guru teater selamanya, juragan selamanya, banyak lagi yang parah adalah punya nama teater tetapi tidak melakukan pementasan. Ironisnya teater tidak mengenal pensiun, semakin lama menjalani berteater setidaknya semakin menemukan spiritualitas berteater, yang tidak lagi berbicara tentang kitab suci teater “dramaturgi”. Tetapi lebih pada ruh berteater pada kehidupan umum bermasyarakat bahwa diri sendiri, yang dilakonkan oleh pencipta diperanakan oleh nama–nama, dimanapun berada selalu mementaskan dirinya sendiri sebagai manusia, tidak lebih.
Semoga di tahun berikutnya ada lagi kompetisi teater atau malah sepesifiknya lagi, kompetisi menulis naskah teater.
*)Aktif dalam Komunitas Teater Sanggar Mentari Indonesia, Medeleg-Tampingmojo Jombang
Radar Mojokerto-Jombang 16 Jan 2011
Akhir dan awal tahun gedung PSBR benar-benar sibuk. Aktivitas yang luar biasa terjadi disana, sesuatu yang biasanya tampak mewah, eskuisif di sajikan murah meriah. Pun oleh panitia dengan memasang spanduk beserta sang empunya kota tertulis besar “tontonan rakyat”. Panitia tak menyadari, pemilihan kata rakyat, jelas berbanding terbalik dan lurus dengan nama pemerintah, berbeda kalau tontonan “masyarakat”. Beserta itu suport dan fasilitas yang diberikan oleh Dinas Kebudayaan Jombang (DEKAJO) adalah wujud aprisiasi pada seni budaya lokal, sebagai identitas kota?
Ajang adu kreatif yang pernah dilakukan, kalau mereview acara televise semacam adu ketangkasan yang dilakukan oleh orang Jepang untuk mencari champion, kebetulan saya menyaksikan dan suka pertandingan seniman pahat es, pengrajin kaca dan perupa, saya pun menyukai acara ini.
Seperti yang terjadi minggu lalu, seniman –seniman teater berkumpul dan membuat semacam champion. Akh kok saru ya. Karena kata champion ini, mau tidak mau, kalau berbicara persoalan estetika tidak ada ukurannya, relative subyektif. Dan kalau ditemukan semacam pendekatan matematik logik, itu pun hanya berupa angka –angka, bukan ukuran keindahan. Setelah terjadi ajang ‘kompetisi”di sana (gedung PSBR), kelihatannya tambah rumit. Tercium aroma perang tanding disitu. Yakni acara “Kompetisi Teater Dana Hibah”. Sakit sih kedengarannya, atau malah sebaliknya terharu biru. Hari gini, ada dana hibah untuk kesenian teater gitu loh. Lha apa pusing saya, toh acara berlangsung meriah dengan dihadiri 196 pengunjung tiap hari.
Terlepas dari prasangka juri ataupun panitia, sebagai penonoton saya sempat menyaksikan perhelatan akbar tersebut. Meski tidak rutin selama lima hari dalam 13 penyaji (pementasan). Maklum jarak rumah saya terlalu jauh dengan gedung PSBR. Cukuplah untuk menghabiskan 1 liter premium, bagi saya memang tidak ada dana alokasi melihat teater, wong buat makan saja sulit, sekalipun pertunjukkannya tergolong murah, alias dan tumben juga hal itu ada pertunjukkan yang sampai segitunya, padahal biasa seperti pertunjukkan di gedung jelas memakan biasa yang luar biasa. Terlebih dapat terlihat nyata, ya itulah perkembangan teater di Jombang selama ini. Andaikan ada sebuah pertunjukkan yang ramai penontonnya, padahal di tiketkan, hal itu perlu ditanyakan, mereka datang secara sukarela, ingin melihat pertunjukan teater atau malah ada motivasi lain?
Berbeda dengan saya yang benar – benar ingin melihat teater, namun kantong bolong. Saya jadi ingat dulu suatu ketika dewan teater suatu kota mengatakan “teater miskin”. Bayangan saya, kalau kaya kenapa berteater, kok tidak punya mobil, naik haji, rumah mewah. Meski saya tidak sanggup menyaksikan secara full, namun saya juga sempat melihat pementasan sebanyak tiga kali, dan salah satu yang menarik adalah penyaji terbaik adalah Komunitas Tirto Agung Mojoagung.
Pertunjukan Komunitas Tirto Agung Mojoagung, saya menangkap hal baru yang disajikan dalam pertunjukkan tersebut. Awalnya dibuka dengan dua orang aktor menyuguhkan lawakannya ala “ludrukan”. Sangat mengocak perut. Kemudian mempersilahkan aktor memainkan lakon “Thok – Thok Ugel”. Bak MC yang member warning penonton agar menyiapkan diri untuk menyimak alur lakon pementasan. Sakral sekali pertunjukkan teater itu, makanya penonntonya takut melihat.
Perhelatan yang diikuti oleh 15 komunitas teater, entah nama baru atau lama, atau bahkan nama untuk keperluan festival saja. Karena secara riil tidak ada pendukomentasian secara literer, sejak kapan ada teater di Jombang, berapa yang independen, berapa yang ada di kampus – kampus, berapa yang ada di sekolah tingkat, SD, SMP, SMU/SML, beserta perkembangannya. Sebab inilah kenyataan sejarah lokal teater terhapus dari data-data sejarah perkembangan teater Jombang, beserta perkembangannya. Dari ke 15 peserta ternyata hanya 13 yang jadi mengikuti perhelatan akbar, sisanya mengundurkan diri. Alasannya tentu mereka sendiri yang mengetahuinya.
Ada banyak faktor sebenarnya jika di kaji, mengapa ada pengunduran terjadi dari peserta, padahal festival ini real, ada senyata –nyatanya, kecuali kalau festival pesanan. Pertama; panita menyebar info barangkali terlalu mendadak, sehingga batas kesiapan peserta, tidak mungkin menyesuaiakan kondisisi. Kedua; salah satu pemain tiba-tiba harus tidak ikut bermain dalam pementasan, aktor, sutradara, penata lampu, peñata rias, peñata kostum. Ketiga; zona wilayah festival terlalu kecil, skup lokal, bukan regional. Keempat; legowo mempersilahkan komunitas lain untuk menang, suatu sikap yang luar biasa, kalau ada.
Berdasarkan salah satu aktor sekaligus motor Komunitas Tirto Agung Mojoagung, sebut Eko Ugel (karena memernakan tokoh Ugel dalam lakon “Thok – Thok Ugel) bahwasanya “inilah jalan teater yang dipilih kelompoknya. Yakni pencampuran teater tradisi (ludruk) dan teater Eropa”. Sebuah perkawinan silang antara Jawa (ceritanya) dan Eropa (laku teknis) yang seperti dipentaskan itu, keinginan sang komunitasnya sebagai ciri atau style.
Naskah yang bercerita tentang cinta tak sampai ini, seperti halnya Siti Nurbaya, Si Cantik dan Si Buruk Rupa, dapat dirasakan dipertunjukkan lalu bersetting masa silam, ketika masih ada istilah adipati, yang dengan kekayaannya tidak mau menerima seorang calon menentu dari kalangan bawah (Ugel) yang secara nyata tidak sekelas, seimbang dalam strata sosial, Ugel dapat menjadi menentu Adipati sehingga dapat menikahi Dewi, harus memenuhi syarat ketentuan yang berlaku yang diwarningkan oleh sang Adipati. Bahwa kalau mendapatkan “intan sebesar telur angsa” Ugel berhak menikahi putrinya. Terpenuhilah sudah oleh Ugel keinginan Adipati, intan dibawa kepada Adipati, tetapi sesuatu menjadi terbalik. Intan di terima. Sedangkan Ugel dibuang begitu saja. Kemarahan Ugel meledak. Dengan perasaan kecewa, dendam dikeluarkanlah kutukan yang kemudan terjadi bencana berupa banjir bandang hingga meluluhlantahkan rumah Adipati beserta tubuh kikir dan sombongnya.
Pertunjukkan selesai. Ending/ akhir cerita yang sengaja di pilih oleh sang sutradara tergolong unik juga ringan. Bagaimana nasib Ugel, dan Dewi? Terserah penontonnya, mau diapakan. Ada semacam pendewasaan penonton, dan penonton juga cerdas, bahkan lebih cerdas dari para jurinya yakni Gunawan Maryanto (Teater Garasi Yogyakarta) dan Heri Nurcahyo (Surabaya), dari sudut pandang mengapresiasi pertunjukkan, bukan persoalan penilaian angka urusan festival, secara umum bahwa pertunjukkan sah diapresisikan.
Say berharap festival berikutnya, juri bukan dari seorang ahli teater tapi masyrakat (bukan rakyat), di daerah pelosok, 100 0rang secara sukarela. Disitulah tantangan terbesar seniman teater, sudahkan hal itu dijamah, bukan hanya terkenal saja.
Naskah Thok –Thok Ugel sebenarnya sudah dua kali diikutkan event festival. Yang pertama di tahun 2006 mewakili Jombang dengan Dinas Parbupora di Malang, ketika festival ludruk se – Jawa Timur, dan mendapatkan nominasi 5 penyaji terbaik. Ketika itu berkolaborasi dengan temen–teman kampus Undar (Universitas Darul ‘Ulum Jombang). Yakni Sangar Seni Mentari Fakultas Psikologi, Sanggar Laras Rinonce pimpinan Pak Wito, beberapa teman – teman kampung sekitar kampus Undar. Waktu itu saya belum tahu persisnya Komunitas Tirto Agung Mojoagung berdiri. Tak jauh berbeda apa yang disajikan dalam hal artistik panggung dan alur ceritanya, tetepi yang luar biasa adalah kekeuatan para aktornya. Ketegangan emosi sangat terasa pada aktor – aktornya, cimestry nya terpegang, sehingga ruh para pemain hidup di atas panggaung, yang tak sekedar seperti keaktoran klasik, telihat kaku. Walaupun pemain yang tetap adalah Adipati dan Ugel, dan sutradaranya , Haris.
Pementasan Thok–Thok Ugel tergolong realis – magis. Realisnya adalah cerita yang umum berkembang dimasyarakat bahwa kaya dan miskin tidak ada garis lurusnya, selalu patah –patah, dan dikerjakan secara realis pemanggungannya. Magisnya adalah memasukkan unsur – unsur magis Jawa, atau masyarakat mana pun yang dekat dengan mantra –mantra, dan khas bertutur bahasa khas Jombangan.
Persoalan yang terjadi adalah para penyaji terbaik versi kompetisi teater dana hibah ini hanya dari Komunitas Tirto Agung Mojoagung. Tapi yang lainnya ada kesinambungan untuk memperpanjang usia berkesenian dihatinya, dikotanya, bukan dikomunitasnya atau kantong sakunya. Paling tidak seperti yang baru – baru ini dilakukan oleh kelompok Teater Kopi Hitam, dengan “Jendral Markus” nya. Kopi Hitam berani melakukan pementasan di beberapa kota secara swadaya. Bahkan naskahnya merupakan garapan sendiri (tulisan salah satu anggotanya). Atau yang dilakukan Komunitas Teater Suket Indonesia dengan naskah “Cuh” yang hendak akan berangakat bulan–bulan ini keliling beberapa kota dengan naskah sendiri pula. Bukankah bermain naskah sendiri lebih mengasyikkan? Sekaligus menjadi pilihan yang tidak mudah. Karena menulis naskah bukan perkara mudah pula. Harus siap, minimnya berani malu. Maksimal keberaniannya yang teruji, mencoba, belajar bukan malu mencoba atao belajar. Setidaknya tidak hanya jadi jago kandang saja, paling tidak kharus jadi kandang jago, intens berteater, bahkan menjadi actor walau tidak muda lagi. Memeng mau memilih apa ketika sudah masuk dalam dunia teater, sebagai aktor saja, sutradara selamanya, pemusik selamanya, tukang lampu selamanya, tukang artistic selamanya, piñata rias selamanya, penjual tiket selamanya, supporter selamanya, event organizer (EO) teater curator selamanya, pelatih selamanya, guru teater selamanya, juragan selamanya, banyak lagi yang parah adalah punya nama teater tetapi tidak melakukan pementasan. Ironisnya teater tidak mengenal pensiun, semakin lama menjalani berteater setidaknya semakin menemukan spiritualitas berteater, yang tidak lagi berbicara tentang kitab suci teater “dramaturgi”. Tetapi lebih pada ruh berteater pada kehidupan umum bermasyarakat bahwa diri sendiri, yang dilakonkan oleh pencipta diperanakan oleh nama–nama, dimanapun berada selalu mementaskan dirinya sendiri sebagai manusia, tidak lebih.
Semoga di tahun berikutnya ada lagi kompetisi teater atau malah sepesifiknya lagi, kompetisi menulis naskah teater.
*)Aktif dalam Komunitas Teater Sanggar Mentari Indonesia, Medeleg-Tampingmojo Jombang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar