Soegiharto
http://www.lampungpost.com/
Tidak dimungkiri kenyataan sastra kini hanya berkembang di kota-kota. Tokoh-tokoh sastra kita kebanyakan tinggal di daerah urban. Demikian pula dengan penikmatnya. Tidak heran kalau Arief Budiman pernah mengatakan kalau sastra Indonesia merupakan sastra kota.
TENTU Arief tidak sembarang bicara, karena hampir seluruh karya sastra kita muncul dan syiar hanya di kota-kota. Senada pendapat Arief, pada Temu Sastra ’82 Arifin C. Noer tak gamang mengatakan kalau sastra kita adalah sastra borjuis. Kenyataan kalau sastra juga harus dihidupi dan sumber penghidupan itu ada di kota. Pas. Lantas, haruskah sastra kita hanya berkembang di sana? Pastilah sastra kita akan mandek dan sumpek. Sebab, mayoritas penduduk Indonesia masih tinggal di daerah. Ibarat orang lapar: nasi sesuap diharap, sepiring terhidang dibuang.
Sungguh memprihatinkan, penduduk Indonesia yang hampir seperempat miliar semestinya menjadi jaminan investasi bagi karya sastra. Seandainya sastra kita tidak terjebak di daerah urban. Dan sepatutnya sastra Indonesia bicara banyak di khasanah sastra dunia. Saat menerima gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Indonesia, H.B. Jassin mengatakan kalau sastra Indonesia sudah mulai masuk dalam khasanah sastra dunia. Itu memang tidak mengada-ada, pantas, dan sepatutnya. Tetapi kata “mulai memasuki” memberi arti sastra Indonesia masih bayi. Masih merah. Masih harus merangkak, berdiri, kemudian berjalan agar bisa disebut bocah.
Untuk tampil mendunia, sastra Indonesia harus meningkatkan bobot. Dan, hal itu tidak akan terjadi jika di negeri sendiri sastra Indonesia mandek, terkurung. Belenggu harus dibebaskan agar sastra kita maju. Estimasi sastra kota harus didobrak dan septum sastra dibelah. Kemudian mengalirkan darah kesusastraan kita ke seluruh wilayah Indonesia. Niscaya sastra kita lebih membumi. Mempunyai ciri dan mampu menepuk dada di kancah dunia.
Realita
Seorang teman pernah mengeluh. Pasalnya, setelah selesai kuliah dia ditugaskan di daerah. Katanya di daerah sangat sulit mengembangkan kepenulisan apalagi bagi pemula. Teman itu rupanya kehilangan optimisme. Alasannya sederhana dan realistis. Pertama, kesulitan menembus media sebagai akibat sastra yang mengota. Asumsi bahwa masyarakat kota jauh berpendidikan lebih punya potensi. Kedua, pusat informasi, referensi dan event-event sastra masih terfokus di kota-kota. Ketiga, kurang berkembangnya media di daerah. Keempat, masih ada asumsi penulis asal kota penerbitan lebih mendapat prioritas. Alasannya penulis kota lebih mudah mengontrol naskah, ada relasi, punya status, aktivis perhimpunan atau hal lain.
Sementara itu, konsep penciptaan sastra terus dipermasalahkan. Sejak Manikebu (Manifes Kebudayaan), hingga usaha untuk membangun kembali konsep Manikebu di penghujung tahun 1992 yang kemudian dikenal dengan Neo-Manikebu. Konsep ini pun masih banyak ditentang, dan salah satunya Sapardi Djoko Damono. Katanya, “Bukan Neo-Manikebu yang dibutuhkan dunia kesusastraan Indonesia, melainkan pengarang-pengarang cendikia”. Ada catatan menarik, pembicaraan sastra Indonesia oleh para cendikia terjadi di luar Indonesia. Tanggal 28—31 Mei 1998, lokakarya diselenggarakan di Centre for Performance Studies dengan hibah dari Faculty of Arts pada Sydney University. Dan sebuah hibah dari Australia Research Council untuk penelitian tahun 1999—2001.
Membelah septum sastra memang bukan perkara mudah. Perlu perhatian dan kesadaran banyak orang. Terutama mereka yang berkubang di dunia sastra penulis, pemerhati, redaktur, dan guru bahasa. Yang terakhir sangat diharapkan karena jumlah mereka banyak dan tersebar di seluruh wilayah. Uluran tangan pemerintah sangat berperan. Misalnya dengan membentuk lembaga, mengadakan lomba, memfasilitasi event-event sastra, dan sebagainya.
Jangan Gerah
Kita tak perlu gatal-gatal dengan empat sandungan di atas. Sudah semestinya seorang penulis membebaskan diri dari segala belenggu. Karena di mana pun sastra boleh tumbuh. Sastra bukan monopoli kota. Septum sastra harus dibelah agar khasanah sastra lebih kaya. Jika dalam kondisi tidak menguntungkan, seorang Chairil Anwar mampu mendobrak dunia kepenyairan Indonesia. Itu karena Chairil Anwar tidak gerah dengan kondisi, bahkan dia “ingin hidup seribu tahun lagi”.
Untuk menjadi pengarang yang tinggal di daerah tidak sendirian. Banyak pengarang terkenal di Indonesia yang tinggal di daerah. Sebut saja seperti Chairul Harun (Sumatera Barat), Zawawi Imron (Madura), Putu Arya Tirtawirya (Lombok), dan Beni Setia (Jawa Timur). Mereka membuktikan daerah bukan halangan untuk menjadi pengarang. Sekaligus sebagai bukti bahwa sebenarnya sastra bukan monopoli kota. Sastra lahir sebagai hasil peradaban di mana pun tempatnya.
Bagi pengarang, menelorkan karya berbobot itu yang penting. Tentu semua itu tidak mungkin diperoleh begitu saja. Perlu belajar dan berlatih terus-menerus. The Liang Gie dalam buku Pengantar Dunia Karang-Mengarang dengan segar memberi nasihat: Kalau mau menjadi pengarang produktif, jangan menunda aktivitas kepengarangan kita dengan dalih udara panas, tetangga berisik, mesin tik tidak diservis, dan badan terasa gatal-gatal.
The Liang Gie tidak bergumam dengan kata-katanya, karena malas memang “penyakit mencari alasan” yang susah disembuhkan.
Menghidupkan sastra di daerah berarti pula membangun fondasi sastra Indonesia di pelataran sastra dunia. Sebab, bibit pengarang tidak lagi lahir dari minoritas kota, tetapi dari seluruh penduduk Indonesia. Setelah itu H.B. Jassin boleh berharap pidato gelar doktornya diteruskan.
Sastra Indonesia sudah mulai masuk khasanah sastra dunia dan akan menjadi anggota sastra dunia yang sangat diperhitungkan. Itu bukan angan-angan jika saja kita mampu membawa sastra ke desa-desa, membuat tumbuh, dan semarak di sana.
Sebuah desa di dekat Oxford pernah melahirkan novelis besar Amerika penerima Nobel 1949, William Faulkner. Sang pengarang ini lahir dan meninggal di sana. Boris Pasternak, pengarang novel Dr. Zhivago yang menerima Nobel tahun 1958, lebih sering tinggal di desa di luar kota Moskwa. Dan setelah enam tahun terakhir, Nobel jatuh pada sastrawan Eropa, akhirnya Nobel Sastra 2010 diterima Mario Vargas Llosa kelahiran Arequipa (Peru). Penyair Abdul Hadi W.M. pernah berniat membuka pesantren di luar kota Sumenep, dan berharap dapat membantu sastra masuk desa. Mengapa kita tidak?
Soegiharto, pembaca sastra
http://www.lampungpost.com/
Tidak dimungkiri kenyataan sastra kini hanya berkembang di kota-kota. Tokoh-tokoh sastra kita kebanyakan tinggal di daerah urban. Demikian pula dengan penikmatnya. Tidak heran kalau Arief Budiman pernah mengatakan kalau sastra Indonesia merupakan sastra kota.
TENTU Arief tidak sembarang bicara, karena hampir seluruh karya sastra kita muncul dan syiar hanya di kota-kota. Senada pendapat Arief, pada Temu Sastra ’82 Arifin C. Noer tak gamang mengatakan kalau sastra kita adalah sastra borjuis. Kenyataan kalau sastra juga harus dihidupi dan sumber penghidupan itu ada di kota. Pas. Lantas, haruskah sastra kita hanya berkembang di sana? Pastilah sastra kita akan mandek dan sumpek. Sebab, mayoritas penduduk Indonesia masih tinggal di daerah. Ibarat orang lapar: nasi sesuap diharap, sepiring terhidang dibuang.
Sungguh memprihatinkan, penduduk Indonesia yang hampir seperempat miliar semestinya menjadi jaminan investasi bagi karya sastra. Seandainya sastra kita tidak terjebak di daerah urban. Dan sepatutnya sastra Indonesia bicara banyak di khasanah sastra dunia. Saat menerima gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Indonesia, H.B. Jassin mengatakan kalau sastra Indonesia sudah mulai masuk dalam khasanah sastra dunia. Itu memang tidak mengada-ada, pantas, dan sepatutnya. Tetapi kata “mulai memasuki” memberi arti sastra Indonesia masih bayi. Masih merah. Masih harus merangkak, berdiri, kemudian berjalan agar bisa disebut bocah.
Untuk tampil mendunia, sastra Indonesia harus meningkatkan bobot. Dan, hal itu tidak akan terjadi jika di negeri sendiri sastra Indonesia mandek, terkurung. Belenggu harus dibebaskan agar sastra kita maju. Estimasi sastra kota harus didobrak dan septum sastra dibelah. Kemudian mengalirkan darah kesusastraan kita ke seluruh wilayah Indonesia. Niscaya sastra kita lebih membumi. Mempunyai ciri dan mampu menepuk dada di kancah dunia.
Realita
Seorang teman pernah mengeluh. Pasalnya, setelah selesai kuliah dia ditugaskan di daerah. Katanya di daerah sangat sulit mengembangkan kepenulisan apalagi bagi pemula. Teman itu rupanya kehilangan optimisme. Alasannya sederhana dan realistis. Pertama, kesulitan menembus media sebagai akibat sastra yang mengota. Asumsi bahwa masyarakat kota jauh berpendidikan lebih punya potensi. Kedua, pusat informasi, referensi dan event-event sastra masih terfokus di kota-kota. Ketiga, kurang berkembangnya media di daerah. Keempat, masih ada asumsi penulis asal kota penerbitan lebih mendapat prioritas. Alasannya penulis kota lebih mudah mengontrol naskah, ada relasi, punya status, aktivis perhimpunan atau hal lain.
Sementara itu, konsep penciptaan sastra terus dipermasalahkan. Sejak Manikebu (Manifes Kebudayaan), hingga usaha untuk membangun kembali konsep Manikebu di penghujung tahun 1992 yang kemudian dikenal dengan Neo-Manikebu. Konsep ini pun masih banyak ditentang, dan salah satunya Sapardi Djoko Damono. Katanya, “Bukan Neo-Manikebu yang dibutuhkan dunia kesusastraan Indonesia, melainkan pengarang-pengarang cendikia”. Ada catatan menarik, pembicaraan sastra Indonesia oleh para cendikia terjadi di luar Indonesia. Tanggal 28—31 Mei 1998, lokakarya diselenggarakan di Centre for Performance Studies dengan hibah dari Faculty of Arts pada Sydney University. Dan sebuah hibah dari Australia Research Council untuk penelitian tahun 1999—2001.
Membelah septum sastra memang bukan perkara mudah. Perlu perhatian dan kesadaran banyak orang. Terutama mereka yang berkubang di dunia sastra penulis, pemerhati, redaktur, dan guru bahasa. Yang terakhir sangat diharapkan karena jumlah mereka banyak dan tersebar di seluruh wilayah. Uluran tangan pemerintah sangat berperan. Misalnya dengan membentuk lembaga, mengadakan lomba, memfasilitasi event-event sastra, dan sebagainya.
Jangan Gerah
Kita tak perlu gatal-gatal dengan empat sandungan di atas. Sudah semestinya seorang penulis membebaskan diri dari segala belenggu. Karena di mana pun sastra boleh tumbuh. Sastra bukan monopoli kota. Septum sastra harus dibelah agar khasanah sastra lebih kaya. Jika dalam kondisi tidak menguntungkan, seorang Chairil Anwar mampu mendobrak dunia kepenyairan Indonesia. Itu karena Chairil Anwar tidak gerah dengan kondisi, bahkan dia “ingin hidup seribu tahun lagi”.
Untuk menjadi pengarang yang tinggal di daerah tidak sendirian. Banyak pengarang terkenal di Indonesia yang tinggal di daerah. Sebut saja seperti Chairul Harun (Sumatera Barat), Zawawi Imron (Madura), Putu Arya Tirtawirya (Lombok), dan Beni Setia (Jawa Timur). Mereka membuktikan daerah bukan halangan untuk menjadi pengarang. Sekaligus sebagai bukti bahwa sebenarnya sastra bukan monopoli kota. Sastra lahir sebagai hasil peradaban di mana pun tempatnya.
Bagi pengarang, menelorkan karya berbobot itu yang penting. Tentu semua itu tidak mungkin diperoleh begitu saja. Perlu belajar dan berlatih terus-menerus. The Liang Gie dalam buku Pengantar Dunia Karang-Mengarang dengan segar memberi nasihat: Kalau mau menjadi pengarang produktif, jangan menunda aktivitas kepengarangan kita dengan dalih udara panas, tetangga berisik, mesin tik tidak diservis, dan badan terasa gatal-gatal.
The Liang Gie tidak bergumam dengan kata-katanya, karena malas memang “penyakit mencari alasan” yang susah disembuhkan.
Menghidupkan sastra di daerah berarti pula membangun fondasi sastra Indonesia di pelataran sastra dunia. Sebab, bibit pengarang tidak lagi lahir dari minoritas kota, tetapi dari seluruh penduduk Indonesia. Setelah itu H.B. Jassin boleh berharap pidato gelar doktornya diteruskan.
Sastra Indonesia sudah mulai masuk khasanah sastra dunia dan akan menjadi anggota sastra dunia yang sangat diperhitungkan. Itu bukan angan-angan jika saja kita mampu membawa sastra ke desa-desa, membuat tumbuh, dan semarak di sana.
Sebuah desa di dekat Oxford pernah melahirkan novelis besar Amerika penerima Nobel 1949, William Faulkner. Sang pengarang ini lahir dan meninggal di sana. Boris Pasternak, pengarang novel Dr. Zhivago yang menerima Nobel tahun 1958, lebih sering tinggal di desa di luar kota Moskwa. Dan setelah enam tahun terakhir, Nobel jatuh pada sastrawan Eropa, akhirnya Nobel Sastra 2010 diterima Mario Vargas Llosa kelahiran Arequipa (Peru). Penyair Abdul Hadi W.M. pernah berniat membuka pesantren di luar kota Sumenep, dan berharap dapat membantu sastra masuk desa. Mengapa kita tidak?
Soegiharto, pembaca sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar