DONGENG DARI SAYAP KIRI (Kumpulan Cerita Pendek)
Maxim Gorki, Gabriel Garcia Marquez, John Steinback, Jean-Paul Sartre, Lu Hsun
Penerjemah dan pengantar : Eka Kurniawan
Penyunting : Subandi
Penerbit : Yayasan Aksara Indonesia, 2000
Peresensi: Gendut Riyanto
http://majalah.tempointeraktif.com/
“Sastra kiri”, atau sastra Marxis, selalu mengingatkan kembali pada sebuah gerakan di awal abad ke-20, yakni realisme sosialis. Itulah sebuah periode ketika Maxim Gorki berdiri sebagai pelopornya. Selain di Rusia, gerakan ini berpengaruh luas, di antaranya di daratan Cina dan Indonesia, yang berawal dari penolakan terhadap sastra (dan seni pada umumnya) “borjuis”, sebagaimana Karl Marx menolak sistem kapitalisme. Sastra realisme sosialis lebih menekankan pada “visi” ketimbang “bentuk”. Sastra harus merupakan representasi kondisi obyektif masyarakat yang diasingkan oleh sistem kapitalisme yang menindas. Sastra realisme sosialis atau sastra kiri berempati pada derita rakyat melarat, pada mereka yang disampahkan oleh masyarakat dan yang kehidupannya dipojokkan, misalnya pencuri, pelacur, dan buruh.
Dalam cerpen Dua Sahabat, umpamanya, Gorki berupaya mengetengahkan sebuah kenyataan dalam masyarakat yang karena kondisinya telah dikalahkan oleh sistem. Dengan detail kisah yang kuat, terutama gaya romantik yang menguasainya, Gorki memaparkan sebagai berikut: Mereka tinggal di pinggiran kota, di sebuah pelosok yang tumbuh secara aneh sepanjang cekungan, di salah satu gubuk-gubuk bobrok yang dibangun dari tanah liat dan kayu setengah busuk. Kawanan itu melakukan pencurian di kampung-kampung, karena di kota terlalu sulit untuk mencuri.
Gaya deskripsi yang detail dan kuat, bahkan cenderung naturalis (dan lagi-lagi romantik!), memang sangat menonjol pada karya-karya sastra kiri. Hal ini bisa disimak dari lima cerita pendek yang dikumpulkan dalam buku yang diberi judul Dongeng dari Sayap Kiri ini. Di antara para pendongeng itu adalah Maxim Gorki (1868-1936), seorang pendiri Realisme Sosialis yang termasyhur dengan novel Mother, Tales of Italy, dan Lower Depth; Gabriel Garcia Marquez, sastrawan Amerika Latin terdepan dan peraih Nobel Kesusastraan 1982 untuk karyanya yang terkenal, One Hundred Years of Solitude; Jean-Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis, sastrawan dan dramawan yang menghasilkan novel Nausea dan dianugerahi penghargaan Nobel Kesusastraan 1964, yang kemudian ditolaknya; Lu Hsun (1881-1936), yang menerbitkan The Diary of a Madman, sebuah satire atas budaya tradisional Cina yang banyak dipengaruhi gaya sastra Rusia; dan John Steinback (1902-1968), yang namanya melejit sesudah menerbitkan novel Tortila Flat dan The Grapes of Wrath, yang membawanya meraih Nobel Kesusastraan 1962.
Cerita pendek Wanita yang Datang Pukul Enam karya Gabriel Garcia Marquez menawarkan sesuatu yang manis, sensual, “gaib”: “Jose memperhatikan rambut si wanita yang rimbun, seluruhnya dilumasi dengan minyak murahan, tebal dengan Vaseline. Ia memelototi bahunya yang telanjang di atas bra berbunga-bunga. Ia memandang sisi buah dadanya yang temaram ketika si wanita mengangkat kepalanya….”
Gaya romantik, sekaligus sifat-sifatnya yang liris, bagaimanapun sangat dominan dalam sastra kiri. Sebuah gaya yang mengagungkan kecermatan tiap obyek dari gerak-gerik serta temperamen manusia sampai yang terlembut, terdalam, yang terurai.
Namun, terlepas dari semua itu, berhasilkah realisme sosial menolak apa yang disebut sebagai “sastra borjuis” dan membangun sastranya sendiri? Sesungguhnya, gaya realisme sosialis belumlah (secara radikal) menolak gaya-gaya sastra borjuis. Kritik-kritik sastra borjuis banyak ditentukan oleh hal-hal yang bersifat formal: bahasa, gaya, plot, dan aneka bentuk-bentuk sastra. Kita dibimbing menuju sebuah “penjara teks”, tempat kekuasaan “teks” lebih penting ketimbang ketimpangan struktur dalam masyarakat. Dan realisme sosialis (bahkan sampai saat ini dinilai sebagai estetika Marxis paling progresif) tidak secara revolusioner menuntaskan penolakannya terhadap sastra borjuis. Kendati sastra realisme sosialis sudah berupaya keras menceburkan diri dalam konteks masyarakatnya (terutama melalui ajaran Gorki tentang sejarah, “The people must know their history”, pada kenyataannya sastra realisme sosialis gagal membangun sebuah struktur sastra yang lebih “baru” dan “tidak borjuis”.
Inilah kenyataan sastra kiri. Sastra berpihak pada gaya realisme sosialis. Mereka tetap sibuk berkutat dalam “penjara tekstual”. Adakah naskah tertentu secara detail dan radikal telah menjelaskan kebusukan sistem kapitalis? Adakah naskah tertentu telah memperlihatkan bentuk-bentuk solidaritas kaum buruh?
Bagaimanapun, kita tetap dihadapkan pada kekuasaan teks, ketika di suatu masa “pisau analisis Marxis” berperan mengupas rinciannya. Dan dalam buku kumpulan cerpen para jagoan ini, sastra kiri atau sastra Marxis memperoleh tempat yang dominan agar pembaca mampu menyelami lorong-lorong problem, kemuraman, dan keindahannya yang demikian mencekam.
04 Desember 2000
Maxim Gorki, Gabriel Garcia Marquez, John Steinback, Jean-Paul Sartre, Lu Hsun
Penerjemah dan pengantar : Eka Kurniawan
Penyunting : Subandi
Penerbit : Yayasan Aksara Indonesia, 2000
Peresensi: Gendut Riyanto
http://majalah.tempointeraktif.com/
“Sastra kiri”, atau sastra Marxis, selalu mengingatkan kembali pada sebuah gerakan di awal abad ke-20, yakni realisme sosialis. Itulah sebuah periode ketika Maxim Gorki berdiri sebagai pelopornya. Selain di Rusia, gerakan ini berpengaruh luas, di antaranya di daratan Cina dan Indonesia, yang berawal dari penolakan terhadap sastra (dan seni pada umumnya) “borjuis”, sebagaimana Karl Marx menolak sistem kapitalisme. Sastra realisme sosialis lebih menekankan pada “visi” ketimbang “bentuk”. Sastra harus merupakan representasi kondisi obyektif masyarakat yang diasingkan oleh sistem kapitalisme yang menindas. Sastra realisme sosialis atau sastra kiri berempati pada derita rakyat melarat, pada mereka yang disampahkan oleh masyarakat dan yang kehidupannya dipojokkan, misalnya pencuri, pelacur, dan buruh.
Dalam cerpen Dua Sahabat, umpamanya, Gorki berupaya mengetengahkan sebuah kenyataan dalam masyarakat yang karena kondisinya telah dikalahkan oleh sistem. Dengan detail kisah yang kuat, terutama gaya romantik yang menguasainya, Gorki memaparkan sebagai berikut: Mereka tinggal di pinggiran kota, di sebuah pelosok yang tumbuh secara aneh sepanjang cekungan, di salah satu gubuk-gubuk bobrok yang dibangun dari tanah liat dan kayu setengah busuk. Kawanan itu melakukan pencurian di kampung-kampung, karena di kota terlalu sulit untuk mencuri.
Gaya deskripsi yang detail dan kuat, bahkan cenderung naturalis (dan lagi-lagi romantik!), memang sangat menonjol pada karya-karya sastra kiri. Hal ini bisa disimak dari lima cerita pendek yang dikumpulkan dalam buku yang diberi judul Dongeng dari Sayap Kiri ini. Di antara para pendongeng itu adalah Maxim Gorki (1868-1936), seorang pendiri Realisme Sosialis yang termasyhur dengan novel Mother, Tales of Italy, dan Lower Depth; Gabriel Garcia Marquez, sastrawan Amerika Latin terdepan dan peraih Nobel Kesusastraan 1982 untuk karyanya yang terkenal, One Hundred Years of Solitude; Jean-Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis, sastrawan dan dramawan yang menghasilkan novel Nausea dan dianugerahi penghargaan Nobel Kesusastraan 1964, yang kemudian ditolaknya; Lu Hsun (1881-1936), yang menerbitkan The Diary of a Madman, sebuah satire atas budaya tradisional Cina yang banyak dipengaruhi gaya sastra Rusia; dan John Steinback (1902-1968), yang namanya melejit sesudah menerbitkan novel Tortila Flat dan The Grapes of Wrath, yang membawanya meraih Nobel Kesusastraan 1962.
Cerita pendek Wanita yang Datang Pukul Enam karya Gabriel Garcia Marquez menawarkan sesuatu yang manis, sensual, “gaib”: “Jose memperhatikan rambut si wanita yang rimbun, seluruhnya dilumasi dengan minyak murahan, tebal dengan Vaseline. Ia memelototi bahunya yang telanjang di atas bra berbunga-bunga. Ia memandang sisi buah dadanya yang temaram ketika si wanita mengangkat kepalanya….”
Gaya romantik, sekaligus sifat-sifatnya yang liris, bagaimanapun sangat dominan dalam sastra kiri. Sebuah gaya yang mengagungkan kecermatan tiap obyek dari gerak-gerik serta temperamen manusia sampai yang terlembut, terdalam, yang terurai.
Namun, terlepas dari semua itu, berhasilkah realisme sosial menolak apa yang disebut sebagai “sastra borjuis” dan membangun sastranya sendiri? Sesungguhnya, gaya realisme sosialis belumlah (secara radikal) menolak gaya-gaya sastra borjuis. Kritik-kritik sastra borjuis banyak ditentukan oleh hal-hal yang bersifat formal: bahasa, gaya, plot, dan aneka bentuk-bentuk sastra. Kita dibimbing menuju sebuah “penjara teks”, tempat kekuasaan “teks” lebih penting ketimbang ketimpangan struktur dalam masyarakat. Dan realisme sosialis (bahkan sampai saat ini dinilai sebagai estetika Marxis paling progresif) tidak secara revolusioner menuntaskan penolakannya terhadap sastra borjuis. Kendati sastra realisme sosialis sudah berupaya keras menceburkan diri dalam konteks masyarakatnya (terutama melalui ajaran Gorki tentang sejarah, “The people must know their history”, pada kenyataannya sastra realisme sosialis gagal membangun sebuah struktur sastra yang lebih “baru” dan “tidak borjuis”.
Inilah kenyataan sastra kiri. Sastra berpihak pada gaya realisme sosialis. Mereka tetap sibuk berkutat dalam “penjara tekstual”. Adakah naskah tertentu secara detail dan radikal telah menjelaskan kebusukan sistem kapitalis? Adakah naskah tertentu telah memperlihatkan bentuk-bentuk solidaritas kaum buruh?
Bagaimanapun, kita tetap dihadapkan pada kekuasaan teks, ketika di suatu masa “pisau analisis Marxis” berperan mengupas rinciannya. Dan dalam buku kumpulan cerpen para jagoan ini, sastra kiri atau sastra Marxis memperoleh tempat yang dominan agar pembaca mampu menyelami lorong-lorong problem, kemuraman, dan keindahannya yang demikian mencekam.
04 Desember 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar