Binhad Nurrohmat
http://www.sinarharapan.co.id/
Pluralitas media komunikasi sastra sama sekali bukan indikator dominan bagi munculnya kehebatan inovasi karya sastra dan singularitas media komunikasi sastra juga sama sekali bukan tanda adanya bencana kejumudan mutu sastra.
Pluralitas media komunikasi sastra akan memberi ruang lebih luas bagi usaha publikasi karya sastra tapi tak selalu menjamin adanya usaha eksplorasi mutu sastra yang lebih jauh dan luas. Sedangkan singularitas media komunikasi sastra kadang justru bisa menciptakan kompetisi bersastra yang liat dan mampu memunculkan maestro-maestro sastra sekaligus melahirkan para ”pecundang” sastra yang tersingkir karena tak bisa memenangi kompetisi kreatif yang ketat.
Sesungguhnya sastra tak pernah tergantung hanya pada media tertentu untuk ”mewujudkan” dirinya secara bagus sehingga sangat tak fair menciptakan anggapan adanya hierarki mutu sastra didasarkan jenis medianya. Sastra yang bagus akan tetap bagus dikomunikasikan lewat media apa pun. Tapi sudah menjadi niscaya bahwa sastra tak bisa dipaksa menjadi media bagi dirinya sendiri. Sastra tetap butuh media komunikasi verbal maupun nonverbal untuk menghadirkan dirinya sebagai artefak budaya yang bisa diakses secara representatif.
Para sastrawan sebenarnya lebih berkewajiban bekerja keras menciptakan karya yang bagus dan tak perlu disibukkan, apalagi sampai mati-matian, pada persoalan politisasi media sastra.
Bagi sastrawan, media apa pun yang digunakan untuk mengomunikasikan karyanya semestinya berfungsi hanya sebagai alat, perkakas, bagi pengomunikasian karyanya supaya tak mandek pada wilayah gagasan yang abstrak dan personal. Dan media apa pun sama sekali bukan parameter mutu sastra selain sebagai (sekali lagi) perkakas untuk mengomunikasikan ide sastrawi kepada orang lain.
Jenis media apa pun yang digunakan mengomunikasikan karya sastra punya kedudukan yang sama di hadapan nilai sastra. Tak ada kasta dalam perkara ini.
Belakangan muncul sebuah upaya mewacanakan semacam gerakan politisasi hierarki mutu sastra berdasarkan jenis media komunikasinya dari segelintir nama yang bergerak di bidang penerbitan buku sastra yang menganggap media buku adalah perkakas komunikasi sastra yang seolah-olah paling representatif ketimbang yang lain.
Juga ada sebuah manifesto gegabah tentang ketakpercayaan dari aktivis sastra di internet terhadap eksistensi karya sastra di koran dengan anggapan (tepatnya buruk sangka) bahwa para editor atau redaktur sastra di koran fasistik, tak demokratis, selera sastranya tak sedap, kelewat fanatik pada ”estetika modernis” dan lain sebagainya untuk menolak atau meloloskan karya sastra. Juga ada sebuah gerakan penolakan terhadap sebuah pusat media sastra (baca: Jakarta) oleh mereka yang bergerak di luar pusat (periferal) yang menamai diri Revitalisasi Sastra Pedalaman.
Semua wacana hierarkisasi dan ketidakpercayaan itu entah kenapa lagi-lagi menjadikan karya sastra di koran jadi bidikan serangan utama, menjadikan sastra di koran sebagai sebuah musuh besar yang harus dilawan.
Euforia Pluralitas Media
Pluralitas media komunikasi sastra mengandaikan meluruhnya sebuah kekuatan monopoli dan hegemoni kekuasaan media komunikasi sastra tertentu yang sebelumnya dianggap menjadi semacam rezim status quo yang punya otoritas menentukan ukuran mutu sastra yang bagus atau yang buruk. Tapi benarkah ada kekuatan monopoli dan hegemoni kekuasaan media komunikasi sastra semacam itu sehingga perlu diluruhkan?
Rasanya sungguh aneh, terasa politis serta mengada-ada memahami media komunikasi sastra dengan kaca mata politik kekuasaan seperti itu.
Pluralitas media komunikasi sastra rupanya membawa sebuah efek gegar, sebuah euforia, kegirangan yang luar biasa besarnya yang juga menjangkiti sejumlah sastrawan dan kemudian bergerak dengan usaha mempolitisasi kondisi itu untuk membangun ”wilayah sastra” sendiri dan menghancurkan ”wilayah sastra” yang lain dengan sejumlah dalih bahkan manifesto yang cool maupun gusar.
Gejala ini tak menarik dan jauh dari sikap produktif. Sebab segala polemik dan perdebatan kusir atau tak kusir mengenai persoalan itu tak akan memperbaiki cara dan wawasan kepenulisan sastra selain sebuah kenyataan adanya gejala mengondisikan terciptanya blok-blok subjektif sastrawan yang fanatik mengidentifikasi dirinya berdasarkan media komunikasi karya sastranya.
Polemik dan perdebatan itu cuma jadi semacam pertarungan antar- ”kubu sastra” yang tujuannya bukan memperjuangkan mutu sastra melainkan nafsu kepentingan kekuasaan antarkelompok sastrawan yang terlibat di dalamnya secara diam-diam maupun terang-terangan.
Politisasi media komunikasi sastra hanya akan menjebak sastrawan pada persoalan politik kepentingan, menjauh dari lingkaran pertaruhan sastra yang sesungguhnya. Ini adalah salah sebuah tanda belum matangnya eksistensi kesastrawanan kita sehingga harus berkeringat dan tegang menghadapi persoalan yang sebenarnya kurang relevan dengan kerja kreasi sastra yang sesungguhnya.
Semangat kelompok dan ketegangan eksistensial para sastrawan itu bisa berdampak pada mutu produk-produk sastra akibat fanatisme yang tumbuh terlampau berlebihan terhadap eksistensi media komunikasi sastra tertentu.
Kenapa di tengah maraknya media komunikasi sastra yang tumbuh justru konflik-konflik yang tak produktif bagi sastra? ***
*) Penulis adalah penyair.
http://www.sinarharapan.co.id/
Pluralitas media komunikasi sastra sama sekali bukan indikator dominan bagi munculnya kehebatan inovasi karya sastra dan singularitas media komunikasi sastra juga sama sekali bukan tanda adanya bencana kejumudan mutu sastra.
Pluralitas media komunikasi sastra akan memberi ruang lebih luas bagi usaha publikasi karya sastra tapi tak selalu menjamin adanya usaha eksplorasi mutu sastra yang lebih jauh dan luas. Sedangkan singularitas media komunikasi sastra kadang justru bisa menciptakan kompetisi bersastra yang liat dan mampu memunculkan maestro-maestro sastra sekaligus melahirkan para ”pecundang” sastra yang tersingkir karena tak bisa memenangi kompetisi kreatif yang ketat.
Sesungguhnya sastra tak pernah tergantung hanya pada media tertentu untuk ”mewujudkan” dirinya secara bagus sehingga sangat tak fair menciptakan anggapan adanya hierarki mutu sastra didasarkan jenis medianya. Sastra yang bagus akan tetap bagus dikomunikasikan lewat media apa pun. Tapi sudah menjadi niscaya bahwa sastra tak bisa dipaksa menjadi media bagi dirinya sendiri. Sastra tetap butuh media komunikasi verbal maupun nonverbal untuk menghadirkan dirinya sebagai artefak budaya yang bisa diakses secara representatif.
Para sastrawan sebenarnya lebih berkewajiban bekerja keras menciptakan karya yang bagus dan tak perlu disibukkan, apalagi sampai mati-matian, pada persoalan politisasi media sastra.
Bagi sastrawan, media apa pun yang digunakan untuk mengomunikasikan karyanya semestinya berfungsi hanya sebagai alat, perkakas, bagi pengomunikasian karyanya supaya tak mandek pada wilayah gagasan yang abstrak dan personal. Dan media apa pun sama sekali bukan parameter mutu sastra selain sebagai (sekali lagi) perkakas untuk mengomunikasikan ide sastrawi kepada orang lain.
Jenis media apa pun yang digunakan mengomunikasikan karya sastra punya kedudukan yang sama di hadapan nilai sastra. Tak ada kasta dalam perkara ini.
Belakangan muncul sebuah upaya mewacanakan semacam gerakan politisasi hierarki mutu sastra berdasarkan jenis media komunikasinya dari segelintir nama yang bergerak di bidang penerbitan buku sastra yang menganggap media buku adalah perkakas komunikasi sastra yang seolah-olah paling representatif ketimbang yang lain.
Juga ada sebuah manifesto gegabah tentang ketakpercayaan dari aktivis sastra di internet terhadap eksistensi karya sastra di koran dengan anggapan (tepatnya buruk sangka) bahwa para editor atau redaktur sastra di koran fasistik, tak demokratis, selera sastranya tak sedap, kelewat fanatik pada ”estetika modernis” dan lain sebagainya untuk menolak atau meloloskan karya sastra. Juga ada sebuah gerakan penolakan terhadap sebuah pusat media sastra (baca: Jakarta) oleh mereka yang bergerak di luar pusat (periferal) yang menamai diri Revitalisasi Sastra Pedalaman.
Semua wacana hierarkisasi dan ketidakpercayaan itu entah kenapa lagi-lagi menjadikan karya sastra di koran jadi bidikan serangan utama, menjadikan sastra di koran sebagai sebuah musuh besar yang harus dilawan.
Euforia Pluralitas Media
Pluralitas media komunikasi sastra mengandaikan meluruhnya sebuah kekuatan monopoli dan hegemoni kekuasaan media komunikasi sastra tertentu yang sebelumnya dianggap menjadi semacam rezim status quo yang punya otoritas menentukan ukuran mutu sastra yang bagus atau yang buruk. Tapi benarkah ada kekuatan monopoli dan hegemoni kekuasaan media komunikasi sastra semacam itu sehingga perlu diluruhkan?
Rasanya sungguh aneh, terasa politis serta mengada-ada memahami media komunikasi sastra dengan kaca mata politik kekuasaan seperti itu.
Pluralitas media komunikasi sastra rupanya membawa sebuah efek gegar, sebuah euforia, kegirangan yang luar biasa besarnya yang juga menjangkiti sejumlah sastrawan dan kemudian bergerak dengan usaha mempolitisasi kondisi itu untuk membangun ”wilayah sastra” sendiri dan menghancurkan ”wilayah sastra” yang lain dengan sejumlah dalih bahkan manifesto yang cool maupun gusar.
Gejala ini tak menarik dan jauh dari sikap produktif. Sebab segala polemik dan perdebatan kusir atau tak kusir mengenai persoalan itu tak akan memperbaiki cara dan wawasan kepenulisan sastra selain sebuah kenyataan adanya gejala mengondisikan terciptanya blok-blok subjektif sastrawan yang fanatik mengidentifikasi dirinya berdasarkan media komunikasi karya sastranya.
Polemik dan perdebatan itu cuma jadi semacam pertarungan antar- ”kubu sastra” yang tujuannya bukan memperjuangkan mutu sastra melainkan nafsu kepentingan kekuasaan antarkelompok sastrawan yang terlibat di dalamnya secara diam-diam maupun terang-terangan.
Politisasi media komunikasi sastra hanya akan menjebak sastrawan pada persoalan politik kepentingan, menjauh dari lingkaran pertaruhan sastra yang sesungguhnya. Ini adalah salah sebuah tanda belum matangnya eksistensi kesastrawanan kita sehingga harus berkeringat dan tegang menghadapi persoalan yang sebenarnya kurang relevan dengan kerja kreasi sastra yang sesungguhnya.
Semangat kelompok dan ketegangan eksistensial para sastrawan itu bisa berdampak pada mutu produk-produk sastra akibat fanatisme yang tumbuh terlampau berlebihan terhadap eksistensi media komunikasi sastra tertentu.
Kenapa di tengah maraknya media komunikasi sastra yang tumbuh justru konflik-konflik yang tak produktif bagi sastra? ***
*) Penulis adalah penyair.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar