Naskah Teater Monolog Penari
Karya: Rodli TL
http://sastra-indonesia.com/
Adegan 1
Seorang penari muda menarikan sebuah tarian. Ia sungguh menghipnotis para penonton dengan kelincahan gerakannya. Ceriah wajahnya bagai rembulan. Penari mudah itu sungguh asyik menarikan sebuah tarian tradisi jawa. Sebelum berakhir lampu panggung mendadak gelap dan terjadilah sebuah tragedi yang amat gelap bagi Penari Muda itu. Musiknya yang rancak seperti menjerit ikuti jeritan penari itu. Lampunya menyala menyambar seperti kilatan.
Penari Muda
Jangan perkosa aku. Aku seorang penari. Aku bukan pelacur
………………………………………………………………
Beberapa kalimat itu meluncur dalam jeritan penari. dan berakhir dengan jeritan panjang yang mencekik. Suasana menjadi spontan gelap. Lampu gelap. Cahaya berhenti menjilat.
Adegan 2
Musik dawai mengalun. Lamat-lamat lampu menyala pada satu titik. Terlihat seorang perempuan melakukan gerakan ritmis dan lembut. Ia seperti penari topeng, namun tidak memakai topeng. Pipinya banyak kerutan, namun masih terlihat garis wajah kecantikannya. Ia memakai kebaya tua. Hanya selendang berwarnah merah dan kuning yang diikat di pinggangnya yang membuat ia terlihat masih enerjik.
Wanita Tua
(pelan ia berucap) Selendang ini adalah saksi bisu. Tentang hidup seorang penari pada zamannya. (sedikit bersemangat) He he he …. aku ingat ketika malam-malam itu. Kami para penari dan para pengrawit terus-menerus berlatih untuk mempersiapkan undangan para petinggi. Sungguh bahagia malam-malam itu.
Musik mulai terdengar. Perempuan tua itu menggerakkan tangan dan tubuhnya dengan mengikuti alunan musik yang lembut..
Wanita Tua
Malam purnama.
Tergaris lukisan bidadari pada rembulan.
Sedang gemintang itu tertawa riang
Mereka tersenyum menyaksikan bocah-bocah bermain
dan yang tua memainkan tetabuhan.
Semilir angin meliukkan daun-daun.
Seperti seorang penari menggerakkan selendang pada jemarinya.
Berhenti menari. Berjalan ke depan
Wanita Tua
(bersemangat) Sungguh semuanya bahu-membahu menyambut pementasan kami. Sungguh kami tak merasa kering dengan kesenian. Kadang kami bergantian dengan kampung-kampung lain untuk saling bertandang adakan pementasan di musim panen.
Temanku si Lasmi. Ia seringkali menjadi duta untuk memerkan tradisis kebudayaan kami di daerah tetangga. Tapi kini sudah lama kami tidak bertemu sejak peristiwa itu, ya sejak peristiwa itu… (terlihat sedih)
(tertawa lalu menangis) ya, si Lasmi, gadis termuda dan berbakat di paguyuban kami yang harus kami selamatkan. Tuhan sungguh sayang pada dia, seperti dalam firmannya
Sejak peristiwa naas itu ia pergi merantau menjadi TKW. Kami tidak pernah bertemu memang, namun ia sering berkirim kabar padaku. Ia menjadi pengajar tari dan menikah dengan seorang pemuda yang baik asal negeri tersebut. Kabar terakhir yang dikirimkan padaku menceritakan tentang anak-anaknya yang juga suka menari tari-tarian Jawa.
Nasib Lasmi yang paling baik diantara nasib-nasib kami. Lasmi adalah gadis termuda di antara kami. Dia adalah satu-satunya gadis yang mujur diantara kami. Dia memang harus diselamatkan… kita yakin, ia yang akan mewarisi tradisi menari.
(musik gamelan dan suara-suara aneh tiba-tiba terdengar bergantian)
(menutup telinga) Asu?…ya suara asu…………. (membuka dan menutupnya lagi) Bukan, itu bukan suara para penabuh gamelan. Tapi kenapa sekaras itu, kenapa suara itu semakin melolong. itu suara asu. Jangan-jangan diam! (berteriak sambil menelungkupkan wajahnya pada lantai)
Teriakan perempuan itu membuat suasana histeris lalu sep sesespi mungkini. Pelan-pelan perempuan itu menengadahkan ke cahaya temaram. Ia menangis menyesali nasibnya. Suara tangisanya begitu sendiri.
Wanita Tua
Aku ingat malam itu. Malam itu bukan malam purnama. Malam itu malam perayaan. Kami dan rombongan sedang menari di hadapan para petinggi. Entah dari mana awalnya kekacauan itu Tiba-tiba seakan banyak lolongan anjing menerkam tubuh-tubuh kami. (dialognya diucapkan dengan cepat, gerakannya seperti orang teraniaya) Kami berontak namun kekuatan kami tidak mampu melawannya. Kami kalah malam itu. Kami diperlakukan sebagai pelacur, kami diperkosa.
Perempuan itu menangis menjadi-jadi
Kami diperlakukan sebagai pelacur, kami diperkosa
………………………………………………………
Lampu tetap menyala.
Musik mulai terdengar
Adegan 3
Agak tenang lalu berdiri pelan. Wajahnya masih terlihat ketakutan. Ia berjalan mengambil posisi lain.
Wanita Tua
Mulai itu, orang-orang memandang kami adalah penari murahan. Kelompok seni yang tidak memiliki kehormatan. Sungguh kami heran, kenapa kenyataan itu berubah ketika sesampainya berita itu pada telinga orang-orang kampung. Sungguh kami tidak bisa berbuat apa-apa.
(berontak) Awalnya teman-teman lain mencoba untuk membela diri. Kami dianggap melawan. Kami dianggap tidak patuh pada petinggi. Anti kemapanan. Kami dituduh tidak pro petinggi. Kami kalah, ya kami benar-benar kalah (terlihat lelah.)
Membalik tubuhnya dan berjalan mundur.
Kini semakin tua saya semakin heran, banyak orang-rang yang antipati dengan nasib ini. Nasib seorang penari yang betul-betul menjadi sampah di negeri sendiri. Untunglah saya masih punya Lasmi yang tinggal di negeri tetangga, yang masih peduli dengan nasib temannya seperjuangan. Ia masih sering kirim uang kepada kami walaupun tidak banyak.
Nasib saya adalah yang paling buruk diantara teman-teman. Mereka masih ada yang punya sepetak tanah untuk bertahan hidup. Ada yang merantau lalu menikah dengan pemuda setempat. Tapi aku takut, sungguh peristiwa itu sangat menghantuiku.
Berjalan dengan semangat menempati posisi lain
(bersemangat) Zaman berubah. Aku yakin nasib saya, nasib seorang penari tradisi akan berbuah. Hidup ini seperti roda berputar. Ada kalanya menderita, juga ada saatnya berbahagia. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian.
Tersenyum namun getir
Pernah kami diundang oleh para petinggi yang mengurusi seni. Saya berfikir pasti ada perubahan pada diri nasib kami di usia senja ini. Undanagan itu dalam rangka memberikan apresiasai penari tua seperti saya ini. Tapi itu hanya mimpi. Setelah kami menari, mereka menyodorkan selembar kertas yang harus kami tanda tangani untuk menerima upah, namun saya hanya menerima kurang dari separo dari angka yang tertulis itu. Saya tidak mengerti untuk siapa yang separo. (tertawa getir) Di atas apa negeri ini dibangun. Penuh dengan intrik dan kebohongan.
(tertawa lebar) Sungguh kami trauma dengan orang-orang berseragam. Kami menjadi gila menghadapi mereka. Kebobrokan itu ternyata turun menurun. (menjerit menyesali nasib) kenapa hidup segila ini. Orang-orang yang seharusnya terpercaya justru pemerkosa.
Saya bisa merasakan apa yang dikatakan Ronggowarsito. Sulit menemukan orang yang waras di negeri ini (tertawa getir)
Lampu padam. Wanita tua it terus tertawa dalam kegelapan.
Adegan 4
Musik masuk. Lampu mulai menyala. Perempuan itu berjalan ke depan kiri panggung.
Wanita Tua
Boleh kami menari untuk saudara-saudara. Namun mohon maaf sebelumnya. Saya tidak bisa menari seeksotis pemuda dan pemudi sekarang. Tarian saya tarian kuno yang mungkin sudah tidak menarik lagi. Kalau dihargai oleh para petinggi itu, tarian saya hanya seharga satu gelas air mineral.
Ia mengambil lipatan selendang lalu di taruhnya dilantai berharap ada orang yang memberi uang dilipatan selendang tersebut. Musik terdengar lalu ia menari ikuti musik. Cepat tarianya.
Selang beberapa menit, tertengar suara-suara sepatu. Tariannya gugup. Ia terlihat ketakutan.
Wanita Tua
Orang-orang itu datang lagi. Jangan-jangan mimpi buruk itu terulang. Ya mereka orang-orang berseragam. Mereka para petinggi sedang kemari. Aku takut. Aku takut mereka memperkosaku lagi
Jangan perkosa aku. Aku adalah penari. Aku bukan pelacur
………………………………………………………………
Aku takut pada mereka yang berseragam
Aku bukan pelacur
……………………………………………..
Ia berlarian sampai pojok belakang penonton dan terus menangis ketakutan.
Jangan perkosa aku. Aku adalah penari. Aku bukan pelacur
………………………………………………………………
Aku takut pada mereka yang berseragam
Aku bukan pelacur
……………………………………………..
(menangis menjadi-Jadi) mimpi buruk apa lagi yang akan terjadi pada seorang penari seperti ini.…….
TAMAT
Lamongan, 18 September 2009
Rodli TL, alumnus teater tiang FKIP Jember, pernah mendirikan kelompok teater pelajar di SMPN 3 Jember yang bernama STAPEGA. Juga pernah di teater DOBRAK SMAN Arjasa. Kini hidup bersama sanggarnya Sang_BALA (Kelompok Belajar Bermain Drama) di Kampungnya Canditunggal Kalitengah Lamongan. Bersama kelompok tersebut dipercaya mewakili Indonesia di Festival Seni Internatioanl 2009 untuk seni pertunjukan anak. Ia mendapatkan 2 penghargaan; karya pertunjukannya menjadi karya terbaik pertama Festival International II dan sebagai pengajar seni budaya berprestasi dari MENDIKNAS.
Karya: Rodli TL
http://sastra-indonesia.com/
Adegan 1
Seorang penari muda menarikan sebuah tarian. Ia sungguh menghipnotis para penonton dengan kelincahan gerakannya. Ceriah wajahnya bagai rembulan. Penari mudah itu sungguh asyik menarikan sebuah tarian tradisi jawa. Sebelum berakhir lampu panggung mendadak gelap dan terjadilah sebuah tragedi yang amat gelap bagi Penari Muda itu. Musiknya yang rancak seperti menjerit ikuti jeritan penari itu. Lampunya menyala menyambar seperti kilatan.
Penari Muda
Jangan perkosa aku. Aku seorang penari. Aku bukan pelacur
………………………………………………………………
Beberapa kalimat itu meluncur dalam jeritan penari. dan berakhir dengan jeritan panjang yang mencekik. Suasana menjadi spontan gelap. Lampu gelap. Cahaya berhenti menjilat.
Adegan 2
Musik dawai mengalun. Lamat-lamat lampu menyala pada satu titik. Terlihat seorang perempuan melakukan gerakan ritmis dan lembut. Ia seperti penari topeng, namun tidak memakai topeng. Pipinya banyak kerutan, namun masih terlihat garis wajah kecantikannya. Ia memakai kebaya tua. Hanya selendang berwarnah merah dan kuning yang diikat di pinggangnya yang membuat ia terlihat masih enerjik.
Wanita Tua
(pelan ia berucap) Selendang ini adalah saksi bisu. Tentang hidup seorang penari pada zamannya. (sedikit bersemangat) He he he …. aku ingat ketika malam-malam itu. Kami para penari dan para pengrawit terus-menerus berlatih untuk mempersiapkan undangan para petinggi. Sungguh bahagia malam-malam itu.
Musik mulai terdengar. Perempuan tua itu menggerakkan tangan dan tubuhnya dengan mengikuti alunan musik yang lembut..
Wanita Tua
Malam purnama.
Tergaris lukisan bidadari pada rembulan.
Sedang gemintang itu tertawa riang
Mereka tersenyum menyaksikan bocah-bocah bermain
dan yang tua memainkan tetabuhan.
Semilir angin meliukkan daun-daun.
Seperti seorang penari menggerakkan selendang pada jemarinya.
Berhenti menari. Berjalan ke depan
Wanita Tua
(bersemangat) Sungguh semuanya bahu-membahu menyambut pementasan kami. Sungguh kami tak merasa kering dengan kesenian. Kadang kami bergantian dengan kampung-kampung lain untuk saling bertandang adakan pementasan di musim panen.
Temanku si Lasmi. Ia seringkali menjadi duta untuk memerkan tradisis kebudayaan kami di daerah tetangga. Tapi kini sudah lama kami tidak bertemu sejak peristiwa itu, ya sejak peristiwa itu… (terlihat sedih)
(tertawa lalu menangis) ya, si Lasmi, gadis termuda dan berbakat di paguyuban kami yang harus kami selamatkan. Tuhan sungguh sayang pada dia, seperti dalam firmannya
Sejak peristiwa naas itu ia pergi merantau menjadi TKW. Kami tidak pernah bertemu memang, namun ia sering berkirim kabar padaku. Ia menjadi pengajar tari dan menikah dengan seorang pemuda yang baik asal negeri tersebut. Kabar terakhir yang dikirimkan padaku menceritakan tentang anak-anaknya yang juga suka menari tari-tarian Jawa.
Nasib Lasmi yang paling baik diantara nasib-nasib kami. Lasmi adalah gadis termuda di antara kami. Dia adalah satu-satunya gadis yang mujur diantara kami. Dia memang harus diselamatkan… kita yakin, ia yang akan mewarisi tradisi menari.
(musik gamelan dan suara-suara aneh tiba-tiba terdengar bergantian)
(menutup telinga) Asu?…ya suara asu…………. (membuka dan menutupnya lagi) Bukan, itu bukan suara para penabuh gamelan. Tapi kenapa sekaras itu, kenapa suara itu semakin melolong. itu suara asu. Jangan-jangan diam! (berteriak sambil menelungkupkan wajahnya pada lantai)
Teriakan perempuan itu membuat suasana histeris lalu sep sesespi mungkini. Pelan-pelan perempuan itu menengadahkan ke cahaya temaram. Ia menangis menyesali nasibnya. Suara tangisanya begitu sendiri.
Wanita Tua
Aku ingat malam itu. Malam itu bukan malam purnama. Malam itu malam perayaan. Kami dan rombongan sedang menari di hadapan para petinggi. Entah dari mana awalnya kekacauan itu Tiba-tiba seakan banyak lolongan anjing menerkam tubuh-tubuh kami. (dialognya diucapkan dengan cepat, gerakannya seperti orang teraniaya) Kami berontak namun kekuatan kami tidak mampu melawannya. Kami kalah malam itu. Kami diperlakukan sebagai pelacur, kami diperkosa.
Perempuan itu menangis menjadi-jadi
Kami diperlakukan sebagai pelacur, kami diperkosa
………………………………………………………
Lampu tetap menyala.
Musik mulai terdengar
Adegan 3
Agak tenang lalu berdiri pelan. Wajahnya masih terlihat ketakutan. Ia berjalan mengambil posisi lain.
Wanita Tua
Mulai itu, orang-orang memandang kami adalah penari murahan. Kelompok seni yang tidak memiliki kehormatan. Sungguh kami heran, kenapa kenyataan itu berubah ketika sesampainya berita itu pada telinga orang-orang kampung. Sungguh kami tidak bisa berbuat apa-apa.
(berontak) Awalnya teman-teman lain mencoba untuk membela diri. Kami dianggap melawan. Kami dianggap tidak patuh pada petinggi. Anti kemapanan. Kami dituduh tidak pro petinggi. Kami kalah, ya kami benar-benar kalah (terlihat lelah.)
Membalik tubuhnya dan berjalan mundur.
Kini semakin tua saya semakin heran, banyak orang-rang yang antipati dengan nasib ini. Nasib seorang penari yang betul-betul menjadi sampah di negeri sendiri. Untunglah saya masih punya Lasmi yang tinggal di negeri tetangga, yang masih peduli dengan nasib temannya seperjuangan. Ia masih sering kirim uang kepada kami walaupun tidak banyak.
Nasib saya adalah yang paling buruk diantara teman-teman. Mereka masih ada yang punya sepetak tanah untuk bertahan hidup. Ada yang merantau lalu menikah dengan pemuda setempat. Tapi aku takut, sungguh peristiwa itu sangat menghantuiku.
Berjalan dengan semangat menempati posisi lain
(bersemangat) Zaman berubah. Aku yakin nasib saya, nasib seorang penari tradisi akan berbuah. Hidup ini seperti roda berputar. Ada kalanya menderita, juga ada saatnya berbahagia. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian.
Tersenyum namun getir
Pernah kami diundang oleh para petinggi yang mengurusi seni. Saya berfikir pasti ada perubahan pada diri nasib kami di usia senja ini. Undanagan itu dalam rangka memberikan apresiasai penari tua seperti saya ini. Tapi itu hanya mimpi. Setelah kami menari, mereka menyodorkan selembar kertas yang harus kami tanda tangani untuk menerima upah, namun saya hanya menerima kurang dari separo dari angka yang tertulis itu. Saya tidak mengerti untuk siapa yang separo. (tertawa getir) Di atas apa negeri ini dibangun. Penuh dengan intrik dan kebohongan.
(tertawa lebar) Sungguh kami trauma dengan orang-orang berseragam. Kami menjadi gila menghadapi mereka. Kebobrokan itu ternyata turun menurun. (menjerit menyesali nasib) kenapa hidup segila ini. Orang-orang yang seharusnya terpercaya justru pemerkosa.
Saya bisa merasakan apa yang dikatakan Ronggowarsito. Sulit menemukan orang yang waras di negeri ini (tertawa getir)
Lampu padam. Wanita tua it terus tertawa dalam kegelapan.
Adegan 4
Musik masuk. Lampu mulai menyala. Perempuan itu berjalan ke depan kiri panggung.
Wanita Tua
Boleh kami menari untuk saudara-saudara. Namun mohon maaf sebelumnya. Saya tidak bisa menari seeksotis pemuda dan pemudi sekarang. Tarian saya tarian kuno yang mungkin sudah tidak menarik lagi. Kalau dihargai oleh para petinggi itu, tarian saya hanya seharga satu gelas air mineral.
Ia mengambil lipatan selendang lalu di taruhnya dilantai berharap ada orang yang memberi uang dilipatan selendang tersebut. Musik terdengar lalu ia menari ikuti musik. Cepat tarianya.
Selang beberapa menit, tertengar suara-suara sepatu. Tariannya gugup. Ia terlihat ketakutan.
Wanita Tua
Orang-orang itu datang lagi. Jangan-jangan mimpi buruk itu terulang. Ya mereka orang-orang berseragam. Mereka para petinggi sedang kemari. Aku takut. Aku takut mereka memperkosaku lagi
Jangan perkosa aku. Aku adalah penari. Aku bukan pelacur
………………………………………………………………
Aku takut pada mereka yang berseragam
Aku bukan pelacur
……………………………………………..
Ia berlarian sampai pojok belakang penonton dan terus menangis ketakutan.
Jangan perkosa aku. Aku adalah penari. Aku bukan pelacur
………………………………………………………………
Aku takut pada mereka yang berseragam
Aku bukan pelacur
……………………………………………..
(menangis menjadi-Jadi) mimpi buruk apa lagi yang akan terjadi pada seorang penari seperti ini.…….
TAMAT
Lamongan, 18 September 2009
Rodli TL, alumnus teater tiang FKIP Jember, pernah mendirikan kelompok teater pelajar di SMPN 3 Jember yang bernama STAPEGA. Juga pernah di teater DOBRAK SMAN Arjasa. Kini hidup bersama sanggarnya Sang_BALA (Kelompok Belajar Bermain Drama) di Kampungnya Canditunggal Kalitengah Lamongan. Bersama kelompok tersebut dipercaya mewakili Indonesia di Festival Seni Internatioanl 2009 untuk seni pertunjukan anak. Ia mendapatkan 2 penghargaan; karya pertunjukannya menjadi karya terbaik pertama Festival International II dan sebagai pengajar seni budaya berprestasi dari MENDIKNAS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar