Herman RN
http://blog.harian-aceh.com/
Bertambahnya media lokal di Aceh semakin memberikan peluang kepada masyarakat untuk menuangkan segala gundah; segala resahnya dalam bentuk tulisan. Apalagi, setelah ‘zaman batu’ penuh peluru yang biasa membungkam telah berlalu dengan selembar ‘surat bersampul biru’ dari Helisinki. Namun demikian, keluhan menembus media masih kerap terdengar, terutama dari mereka penulis pemula.
Beberapa kali saya bertemu sastrawan nasional kekinian pada sejumlah perbincangan/ diskusi, baik dalam bentuk seminar/ simposium/lokakarya, maupun sekedar bincang ringan di rangkang bebas dan warung kopi. Sebut saja di antaranya Nirwan Dewanto, Maman S. Mahayana, Hamsyad Rangkuti, Ignatius Haryanto, Linda Christanti. Hampir semua mereka sepakat bahwa sebuah karya yang “layak” hendak dipublikasikan (diterbitkkan dalam bentuk buku) adalah jika penulisnya sudah pernah diterima di ruang koran. Mungkin karena asumsi ini pula banyak orang berlomba-lomba mencari peluang menembus koran—salah satu media alternatif yang dapat menjangkau masyarakat hingga ke pelosok-pelosok. Ketika itu, yang menjadi topik perbincangan kami sekitar cerpen dan essay sastra sehingga mereka menyarankan kepada saya dan teman-teman dalam diskusi tersebut agar sering-sering membaca cerpen dan essay (selanjutnya saya sebut saja sastra) di koran, lalu menulis seperti orang-orang menulis di koran. “Jika tulisan Anda sudah sering dimuat di koran, tak susah lagi mencari penerbit, karena penerbit sendiri yang akan mencari Anda,” begitu sepotong kalimat Ignatius Haryanto yang masih saya ingat saat ia menjadi pemateri dalam Seuramoe Temuleh I di Banda Aceh dua tahun silam. Hal serupa juga diutarakan Hamsyad Rangkuti, Maman S. Mahayana, Hudan Hidayat, dan beberapa sastrawan lainnya saat saya mengikuti Warkshop Menulis Kreatif di Jakarta tahun 2005 lalu dengan redaksi yang berbeda.
Kalimat yang nyaris sama juga saya dengar dari beberapa pengajar di Sekolah Menulis Dokarim Banda Aceh. Salah satunya Azhari. “Kalian menulis aja dulu di koran, yang sering. Nanti kalau sudah banyak, sudah mudah dibukukan,” ujar penerima Free World Award dari Belanda itu saat menjawab kegelisahan siswa SM Dokarim yang bertanya “Bagaimana membukukan karya” pada suatu ketika.
Demikian halnya dengan anggota Forum Lingkar Pena Aceh yang sekarang sedang gencar-gencar mengutip karya dari anggotanya untuk dibukukan. Jika ada karya anggotanya dimuat di koran, langsung dikatakan bahwa karya itu layak dibukukan, sebab sudah berterima di koran. Hal ini saya dapati dari milis FLP Aceh.
Yang menarik dari semua itu bahwa sastra di era sekarang ini seolah tergantung selera koran. Maka tak perlu terkejut melihat perkembangan koran di Aceh pascatsunami dan geliat anak-anak Aceh yang berlomba-lomba menulis di koran. Namun, yang menjadi persoalan adalah karya seperti apa yang laik muat koran?
Saya anggap ini sebagai persoalan, sebab ada yang sudah dimuat karyanya di koran, dia masih belum puas, apalagi tidak dimuat sama sekali. Bagi yang karyanya tidak dimuat, redaktur koran dituduh diskriminatif. Apalagi, penulis muda, langsung keluar ungkapan, “Redaktur koran terlalu mempertibangkan senioritas sehingga yang muda tidak dipercaya” (Ah, seperti iklan rokok saja). Kemudian saat karyanya dimuat di koran, rasa tidak puas masih ada juga manakala mendapati karya dia itu diedit oleh redaktur. Tudingan miring kepada redaktur koran kembali muncul bahwa redaktur telah menghilangkan esensi karya seseorang, memperkosa karya orang, menghancurkan gagasan orang, dan sebagainya.
Perkara ini memang bukan persoalan sederhana, sebab ada orang yang tidak suka tulisannya diedit, meski hanya sebuah titik atau koma. Semenatara di sisi lain, tugas seorang redaktur adalah mengedit setiap tulisan yang masuk sehingga layak muat di korannya. Ada hal yang mesti diperhatikan sangat di sini; selera redaktur dan koran yang dituju.
Saya misalkan beberapa koran nasional. Republika, yang sudah jelas dari tampilannya berbau agamis hingga redaktur sastranya pun sufiis. Jika karya berbau pemberontakan kepada agama tentu kecil kemungkinan akan dimuat di Republika. Halnya Kompas, Harian Nasional satu ini hemat saya mementingkan karya sastra yang memuat esensi kabar di dalamnya. Kendati sebuah cerita fiksi (cerpen), koran ini tetap lebih mengutamakan ada muatan sesuatu berita dengan penggambaran suasana mendetil. Jika karya terlalu banyak dialognya yang nyaris menyerupai naskah drama, tentu sulit dimuat di koran ini. Karya seperti itu lebih baik layangkan saja ke Suara Pembaruan atau Pikiran Rakyat. Demikian pula Koran Tempo, cerpen yang akan dimuat lebih diutamakan berimajinasi tinggi, yang terkadang berisi penolakan terhadap sesuatu yang diyakini dalam masyarakat banyak sehingga tak ayal koran satu ini acapkali memuat cerpen-cerpen terjemahan dari pengarang luar atau memang cerpe-cerpen yang ditulis oleh orang luar Indonesia. Semua itu adalah selera redaktur. Jadi, tak perlu berang jika karya tak dimuat di koran fulan, tetapi kok diterima di koran fulen. Bukan berarti karya Anda adalah kotoran manusia yang dibuang sembari menghayal di atas kloset.
Menganggap sebuah karya sebagai kotoran (najis) adalah hal tercela terhadap sebuah proses penciptaan. Orang seperti ini biasanya tak tahu menghargai sebuah kontemplasi, padahal karya dia juga tumbuh melalui kontemplasi, yang belum tentu lebih baik dari kotoran yang dibuangnya. Karenanya, orang-orang yang duduk di meja editor biasanya adalah orang-orang yang tahu menghargai karya sehingga tidak serta merta menganggap najis karya orang yang kemudian dibuang ke tong sampah. Makanya, seorang redaktur selalu berusaha mengedit setiap karya yang masuk padanya sehingga layak dikonsumsi khalayak.
Satu hal lagi, koran juga terikat dengan kolom. Saya misalkan pada cerpen, Reublika hanya dapat memuat cerpen 7.000-8.000 karakter, sedangkan Kompas, 9.000-12.000 karakter. Beda halnya dengan Koran Tempo, asal tidak lebih dari 18.000 karakter, pendek seukuran cerita mini pun boleh, yang penting muatan ceritanya. Halnya Harian Serambi Indonesia—sebuah koran terbitan Aceh—jika menulis cerpen seukuran Kompas, tentu tidak akan pernah dimuat. Kalau pun dimuat, akan terjadi pengeditan karya yang berarti akan ada pemenggalan beberapa bagian. Jika ini tidak dilakukan, karya tersebut tidak akan dimuat sampai kapan pun karena dibatasi ruang yang tersedia, sedangkan penulis menginginkan karya dia dimuat. Lantas, salahkah redaktur koran dalam hal ini?
Hemat saya, tidak semua kesalahan mesti dilimpahkan kepada redaktur koran, sebab tugas dia memang tukang edit. Jika tak ingin diedit, lampirkan saja pesan kepada redaktur bahwa “karyaku” tidak boleh diedit, dengan kompensasi, siap menerima tidak akan dimuat karena tak diizinkan edit. Untuk menghindari masalah ini, kerja sama redaktur mengabarkan tentang akan ada beberapa hal yang mesti dipenggal kepada penulis sangat baik. Namun, apa mesti mengulang hal serupa dengan kasus yang sama kepada penulis yang sama sampai berulang kali? Ini mesti dipertimbangan juga sehingga tidak serta merta redaktur dihujat. Jika tidak tahu etika mengedit, bagaimana mungkin dia menjadi redaktur (editor).
Inilah yang sempat saya alami dari seorang teman yang ngebet agar karyanya dimuat. Pernah saya mengabarkan bahwa karya dia kepanjangan untuk kolom sebuah koran yang dituju. Saya dipersilakan memotong beberapa bagian selama tidak menghilangan esensi karya. Saya kira, seorang redaktur, dalam melakukan pengeditan, tidak mungkin mengabaikan esensi karya orang. Namun, mesti diingat, redaktur juga manusia. Dan teman saya terus memaksa agar karyanya tetap dimuat meski saya edit. Ternyata, selesai dimuat, dia malah tak puas dengan hasil editan saya. Akhirya, dalam suatu kesempatan saat menuliskan “Ode” untuk seseorang di Serambi Indonesia, dia memaki saya habis-habisan. Apakah sampai di sini, redakur juga dipersalahkan? Uih, egoisnya penulis satu itu, minta diedit, malah menghujat.
Kejadian ini mengingatkan saya pada sebuah kalimat seorang teman yang juga redaktur sebuah koran di kota ini. “Kalau hendak karya dimuat tapi tak mau diedit, terbitkan saja koran sendiri,” kata teman sekaligus senior saya itu di sebuah warung kopi suatu hari.
Penulis, sarjana Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyiah. Pekerja media.
http://blog.harian-aceh.com/
Bertambahnya media lokal di Aceh semakin memberikan peluang kepada masyarakat untuk menuangkan segala gundah; segala resahnya dalam bentuk tulisan. Apalagi, setelah ‘zaman batu’ penuh peluru yang biasa membungkam telah berlalu dengan selembar ‘surat bersampul biru’ dari Helisinki. Namun demikian, keluhan menembus media masih kerap terdengar, terutama dari mereka penulis pemula.
Beberapa kali saya bertemu sastrawan nasional kekinian pada sejumlah perbincangan/ diskusi, baik dalam bentuk seminar/ simposium/lokakarya, maupun sekedar bincang ringan di rangkang bebas dan warung kopi. Sebut saja di antaranya Nirwan Dewanto, Maman S. Mahayana, Hamsyad Rangkuti, Ignatius Haryanto, Linda Christanti. Hampir semua mereka sepakat bahwa sebuah karya yang “layak” hendak dipublikasikan (diterbitkkan dalam bentuk buku) adalah jika penulisnya sudah pernah diterima di ruang koran. Mungkin karena asumsi ini pula banyak orang berlomba-lomba mencari peluang menembus koran—salah satu media alternatif yang dapat menjangkau masyarakat hingga ke pelosok-pelosok. Ketika itu, yang menjadi topik perbincangan kami sekitar cerpen dan essay sastra sehingga mereka menyarankan kepada saya dan teman-teman dalam diskusi tersebut agar sering-sering membaca cerpen dan essay (selanjutnya saya sebut saja sastra) di koran, lalu menulis seperti orang-orang menulis di koran. “Jika tulisan Anda sudah sering dimuat di koran, tak susah lagi mencari penerbit, karena penerbit sendiri yang akan mencari Anda,” begitu sepotong kalimat Ignatius Haryanto yang masih saya ingat saat ia menjadi pemateri dalam Seuramoe Temuleh I di Banda Aceh dua tahun silam. Hal serupa juga diutarakan Hamsyad Rangkuti, Maman S. Mahayana, Hudan Hidayat, dan beberapa sastrawan lainnya saat saya mengikuti Warkshop Menulis Kreatif di Jakarta tahun 2005 lalu dengan redaksi yang berbeda.
Kalimat yang nyaris sama juga saya dengar dari beberapa pengajar di Sekolah Menulis Dokarim Banda Aceh. Salah satunya Azhari. “Kalian menulis aja dulu di koran, yang sering. Nanti kalau sudah banyak, sudah mudah dibukukan,” ujar penerima Free World Award dari Belanda itu saat menjawab kegelisahan siswa SM Dokarim yang bertanya “Bagaimana membukukan karya” pada suatu ketika.
Demikian halnya dengan anggota Forum Lingkar Pena Aceh yang sekarang sedang gencar-gencar mengutip karya dari anggotanya untuk dibukukan. Jika ada karya anggotanya dimuat di koran, langsung dikatakan bahwa karya itu layak dibukukan, sebab sudah berterima di koran. Hal ini saya dapati dari milis FLP Aceh.
Yang menarik dari semua itu bahwa sastra di era sekarang ini seolah tergantung selera koran. Maka tak perlu terkejut melihat perkembangan koran di Aceh pascatsunami dan geliat anak-anak Aceh yang berlomba-lomba menulis di koran. Namun, yang menjadi persoalan adalah karya seperti apa yang laik muat koran?
Saya anggap ini sebagai persoalan, sebab ada yang sudah dimuat karyanya di koran, dia masih belum puas, apalagi tidak dimuat sama sekali. Bagi yang karyanya tidak dimuat, redaktur koran dituduh diskriminatif. Apalagi, penulis muda, langsung keluar ungkapan, “Redaktur koran terlalu mempertibangkan senioritas sehingga yang muda tidak dipercaya” (Ah, seperti iklan rokok saja). Kemudian saat karyanya dimuat di koran, rasa tidak puas masih ada juga manakala mendapati karya dia itu diedit oleh redaktur. Tudingan miring kepada redaktur koran kembali muncul bahwa redaktur telah menghilangkan esensi karya seseorang, memperkosa karya orang, menghancurkan gagasan orang, dan sebagainya.
Perkara ini memang bukan persoalan sederhana, sebab ada orang yang tidak suka tulisannya diedit, meski hanya sebuah titik atau koma. Semenatara di sisi lain, tugas seorang redaktur adalah mengedit setiap tulisan yang masuk sehingga layak muat di korannya. Ada hal yang mesti diperhatikan sangat di sini; selera redaktur dan koran yang dituju.
Saya misalkan beberapa koran nasional. Republika, yang sudah jelas dari tampilannya berbau agamis hingga redaktur sastranya pun sufiis. Jika karya berbau pemberontakan kepada agama tentu kecil kemungkinan akan dimuat di Republika. Halnya Kompas, Harian Nasional satu ini hemat saya mementingkan karya sastra yang memuat esensi kabar di dalamnya. Kendati sebuah cerita fiksi (cerpen), koran ini tetap lebih mengutamakan ada muatan sesuatu berita dengan penggambaran suasana mendetil. Jika karya terlalu banyak dialognya yang nyaris menyerupai naskah drama, tentu sulit dimuat di koran ini. Karya seperti itu lebih baik layangkan saja ke Suara Pembaruan atau Pikiran Rakyat. Demikian pula Koran Tempo, cerpen yang akan dimuat lebih diutamakan berimajinasi tinggi, yang terkadang berisi penolakan terhadap sesuatu yang diyakini dalam masyarakat banyak sehingga tak ayal koran satu ini acapkali memuat cerpen-cerpen terjemahan dari pengarang luar atau memang cerpe-cerpen yang ditulis oleh orang luar Indonesia. Semua itu adalah selera redaktur. Jadi, tak perlu berang jika karya tak dimuat di koran fulan, tetapi kok diterima di koran fulen. Bukan berarti karya Anda adalah kotoran manusia yang dibuang sembari menghayal di atas kloset.
Menganggap sebuah karya sebagai kotoran (najis) adalah hal tercela terhadap sebuah proses penciptaan. Orang seperti ini biasanya tak tahu menghargai sebuah kontemplasi, padahal karya dia juga tumbuh melalui kontemplasi, yang belum tentu lebih baik dari kotoran yang dibuangnya. Karenanya, orang-orang yang duduk di meja editor biasanya adalah orang-orang yang tahu menghargai karya sehingga tidak serta merta menganggap najis karya orang yang kemudian dibuang ke tong sampah. Makanya, seorang redaktur selalu berusaha mengedit setiap karya yang masuk padanya sehingga layak dikonsumsi khalayak.
Satu hal lagi, koran juga terikat dengan kolom. Saya misalkan pada cerpen, Reublika hanya dapat memuat cerpen 7.000-8.000 karakter, sedangkan Kompas, 9.000-12.000 karakter. Beda halnya dengan Koran Tempo, asal tidak lebih dari 18.000 karakter, pendek seukuran cerita mini pun boleh, yang penting muatan ceritanya. Halnya Harian Serambi Indonesia—sebuah koran terbitan Aceh—jika menulis cerpen seukuran Kompas, tentu tidak akan pernah dimuat. Kalau pun dimuat, akan terjadi pengeditan karya yang berarti akan ada pemenggalan beberapa bagian. Jika ini tidak dilakukan, karya tersebut tidak akan dimuat sampai kapan pun karena dibatasi ruang yang tersedia, sedangkan penulis menginginkan karya dia dimuat. Lantas, salahkah redaktur koran dalam hal ini?
Hemat saya, tidak semua kesalahan mesti dilimpahkan kepada redaktur koran, sebab tugas dia memang tukang edit. Jika tak ingin diedit, lampirkan saja pesan kepada redaktur bahwa “karyaku” tidak boleh diedit, dengan kompensasi, siap menerima tidak akan dimuat karena tak diizinkan edit. Untuk menghindari masalah ini, kerja sama redaktur mengabarkan tentang akan ada beberapa hal yang mesti dipenggal kepada penulis sangat baik. Namun, apa mesti mengulang hal serupa dengan kasus yang sama kepada penulis yang sama sampai berulang kali? Ini mesti dipertimbangan juga sehingga tidak serta merta redaktur dihujat. Jika tidak tahu etika mengedit, bagaimana mungkin dia menjadi redaktur (editor).
Inilah yang sempat saya alami dari seorang teman yang ngebet agar karyanya dimuat. Pernah saya mengabarkan bahwa karya dia kepanjangan untuk kolom sebuah koran yang dituju. Saya dipersilakan memotong beberapa bagian selama tidak menghilangan esensi karya. Saya kira, seorang redaktur, dalam melakukan pengeditan, tidak mungkin mengabaikan esensi karya orang. Namun, mesti diingat, redaktur juga manusia. Dan teman saya terus memaksa agar karyanya tetap dimuat meski saya edit. Ternyata, selesai dimuat, dia malah tak puas dengan hasil editan saya. Akhirya, dalam suatu kesempatan saat menuliskan “Ode” untuk seseorang di Serambi Indonesia, dia memaki saya habis-habisan. Apakah sampai di sini, redakur juga dipersalahkan? Uih, egoisnya penulis satu itu, minta diedit, malah menghujat.
Kejadian ini mengingatkan saya pada sebuah kalimat seorang teman yang juga redaktur sebuah koran di kota ini. “Kalau hendak karya dimuat tapi tak mau diedit, terbitkan saja koran sendiri,” kata teman sekaligus senior saya itu di sebuah warung kopi suatu hari.
Penulis, sarjana Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyiah. Pekerja media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar