Denny Mizhar**
http://sastra-indonesia.com/
Sebelum saya mulai menulis tentang perjalanan sastra Malang, saya akan bercerita bagaimana saya sampai masuk pada pergumulan sastra di Malang. Tetapi sebenarnya saya, belum berani betul bicara soal perjalanan sastra di Malang. Disebabkan kawan Kholid Amrullah dari komunitas Lembah Ibarat meminta saya untuk menjadi pembicara mendampingi Pak Emil Sanosa untuk berbicara sejarah sastra di Malang. Padahal, saya telah merekomendasikan beberapa nama padanya, ini sebuah permintaan yang tak dapat saya tolak tetapi gamang bagi saya yang belum memiliki kapasitas memadahi berbicara sejarah sastra di Malang. Berbicara sejarah tentu saja ada masa lalu yang direkontruksi, ada masa kini dan ramalan masa akan datang. Saya yang baru mengenal sastra secara intens kurang lebih tiga tahun lalu.
Sebelumnya saya banyak diam di kampus dan bergesekan dengan kesenian teater di dalam kampus. Pada tahun dua ribu tujuh, saya dengan modal yang pas-pas-an tentang sastra mencoba memberanikan diri untuk menulis (katanya) puisi yang saya terbitkan secara indie. Pada awal penerbitan buku saya dan dibedah oleh Tengsoe Tjahjonoh—saat itu puisi saya masih proses—saya mengganggap diri saya masih anak bau kencur dengan berani menerbitan puisi tersebut. Tetapi bagi saya adalah proses untuk belajar. Setelah itu saya mulai membaca buku-buku sastra: puisi, cerpen, novel, kritik sastra serta buku-buku yang lain.
Dari situlah saya mulai mengenal beberapa kawan yang bergelut dalam dunia sastra. Hal ini sedikit mudah bagi saya, karena sebelumnya sudah banyak bertemu dengan beberapa sastrawan khususnya di Malang lewat perjumpaan-perjumpaan yang berangkat dari seni teater. Dari situlah saya coba telisik (masih belum dalam) sastra di Malang. Saya ingin tahu pendahulu-pendahulu saya berkiprah di Malang. Saya pun mulai aktif di komunitas sastra reboan Poestaka Rakjat yang waktu itu bertempat di Toko Buku Muhammad Nasir. Dari situ saya mengenal beberapa komunitas-kumunitas dan lembaga-lembaga kampus yang bergelut dalam dunia sastra. Pada tahun, sekitaran 2007/2008, beberapa kumintas sering bertemu (bergantian) untuk saling mengunjungi. Saya melihat ada potensi besar yang berada di UIN Malang, saya melihat ada beberapa komunitas di kampus tersebut yang tidak tersetruktur dengan kampus alias kelompok pinggiran (ini sebutan saya terhadap kumintas sastra kampus yang tidak menjadi lembaga intra) di antara nama-nama tersebut ada komunitas Tinta Langit, komunitas Promoedya Ananta Toer, Sastra Parkiran. Di kampus UIN Malang juga ada cerpenis yang pada waktu itu cukup produktif dan pernah memenangi lomba penulisan berskala Nasional bahkan dalam Jurnal Cerpen edisi Muda namanya Azizah Hefni. Selain UIN ada juga di UM yang memiliki lembaga kemahasiswaan kepenulisan yang juga cukup intens membicarakan sastra dan menerbitkan beberapa karya kumpulan puisi juga kumpulan cerpen secara Indie, yakni UKMP (Unit Kegiatan Mahasiswa Penulis). Di beberapa kampus lain saya tidak menjumpai, hanya nama-nama saja dan kebanyakan mereka aktif juga di Teater. Di UMM ada Johan Wahyu, di Unisma saya kurang menjumpai (ada, mungkin saya yang kurang bergesekan), di Universitas Brawijaya saya juga tidak menjumpai (mungkin saya kurang mencari tahu). Inilah pada awal-awal perkenalanku dengan dunia sastra di Malang.
Adapun mereka yang lebih dulu berkecimpung dalam dunia sastra di Malang dengan melakukan pergerakan sastra sebelum tahun 2007-an. Misalnya, perkumpulan Penyair Muda Malang diantaranya yang saya kenal, ada Lodzi Hady, Abdul Mukid, Ragil Suprianto dan beberapa nama yang (mungkin) belum saya kenal. Mereka penyair mudah Malang pada sekitaran tahun 2000-an sering mangadakan pembacaan puisi-puisi di Caffe-Caffe di tempat Umum. Bahkan mereka sempat membuat petisi penentangan sastra koran.
Saya mulai gelisah, muncul kesadaran sejarah tentang sastra. Karena saya hendak belajar tentang sastra, pada siapa saya harus belajar sedang yang saya rasa tidak adanya proses pengkaderan dalam bersastra. Yang saya rasakan, semua berjalan sendiri-sendiri dan sesekali berkumpul di komunitas-komunitas yang ada hanya untuk membacakan karya setelah itu sudah.
Dalam perjalanan akhir tahun 2010 saya mendapati buku Kronik Sastra Indonesia di Malang yang ditulis oleh Suripan Sadi Hutomo pada 1994. Suripan mengatakan, dia tidak bisa melacak sejarah sastra Malang secara pencapain-pencaian estetika sastra, karena sastra di Malang masih dalam bayang-bayang sastra yang berkembang di Jakarta. Adapun terpotong-potong. Lalu Suripan melakukan pembacaan dengan mengumpulkan media-media penyaluran sastra: Koran, Majalah, Buku, Stensilan, Ketikan dan Foto Kopian, dan sastra Melayu Tionghoa. Mari kita telisik perkembangan sastra dilihat dari penerbitan surat kabar atau pun majalah pada zaman kolonial dan sesudah kolonial kira-kira tahun 40-90an. Ada majalah Sasterawan, Majalah Kebudajaan, dan Masjarakat. Sedangkan surat kabar Soeara Masjrakat, Suara Indonesia dan Komunikasi. Semua majalah dan surat kabar tersebut memuat hasil karya sastra, kritik sastra maupun masalah kebudayaan (Suripan Sadi Hutomu; 1994). Sehingga pergesekan, distribusi karya terjadi, hal tersebut mampu memicu saling berkresi dan membaca. Karena yang diterbitkan dalam majalah dan surat kabar tersebut tidak hanya satrawan dari kota Malang akan tetapi sastrawan dari daerah lainnya. Sastra yang lahir dari daerah seperti Malang menjadi perhatian H.B Jassin yang memiliki julukan paus sastra Indoensia tersebut, ia mengatakan bahwa majalah sastra banyak yang lahir di daerah tidak hanya di ibu kota saja, salah satunya adalah Sastrawan Malang (Suripan Sadi Hutomo; 1994). Hal tersebut menjadi mudah untuk melakukan pendokumentasian nantinya. Seperti yang dilakukan oleh Hutomu terhadap majalah yang tidak saya sebut di atas tetapi memberi sumbangsi juga yakni Brawijdjaja dan Widjaya yang berupa antologi saja, antologi cerita pendek, dan antologi kritik serta esai kesusastraan.
Perkembangan sastra di Malang pada era itu tidak hanya dapat dilihat dari majalah ataupun surat kabar saja, tetapi penerbitan buku juga menamba pembacan dokumentasi untuk melihat kesusastraan di Malang. Di antaranya buku tersebut adalah Angin Lalu buku antologi sajak yang diterbitkan oleh AMSENI (Angkatan Seniman Muda Indonesia, Malang) pada tahun 1955 dengan bantuan seksi Kebudayaan Kota Besar Malang. Bahkan Buku tersebut di ulas oleh Suripan Sadi Hutomo yang diterbitkan dalam Minggu Bhirawa (28, Juni 1980) dengan judul “Angin Lalu: Kumpulan Sajak yang Dilupakan” . Setelah itu muncul pada akhir 80’an muncul cerita pendek Bau (Sanggar Seni Slake, Batu Malang, 1989) karangan dari Tan Tjin Siong. Buku selanjutnya adalah kumpulan sajak Tengsoe Tjahjono, diterbitkan secara stensilan diantaranya adalah Hom Pim Pah (1983) dan Mata Kalian (1984) tetapi jauh sebelum itu penyair Henricus Suprijanto telah menerbitkan kumpulan sajaknya dengan cara stensilan juga yang berjudul “Episode”. Selain itu juga ada beberapa sajak stensilan “Simalakama” yang diltulis oleh Rahardi Purwanto pada tahun 1975, “Mekar” (1975) karya bersama Ven Wardhana, Hen Dr, Yani Koeswara, Dick Asido, Lila Ratih Komala, dan Rahardi Purwanto, “Mataair (1977) karya Veven (1989) karya Surasono Rashar dan Eko Windarto (Suripan Sadi Hutomo; 1994). Selain majalah, koran, buku, buletin juga turut mewarnai pendukumentasian karya sastra di Malang, di antaranya ada “Buletin Sastra Aktif” yang pada tahun 1989 telah terbit beberapa nomer. Buletin ini sangat ampuh memberi ruang pada sastrawan muda Malang. Di batu pada tahun 90-an di Batu ada HP3N, Buletin Sastra Budaya “Kreatif”, Studio Seni Sastra Batu menerbitkan beberapa jurnal yang memuat sajak-sajak penyair nusantra beberapa kali. Forum Pekerja Kota Malang menerbitkan antologi puisi dan Cerpen “Sempalan” (1994), “Pelataran” (1995). Selain itu masih banyak penyair-penyair yang membuat buku secara stensilan. Di antaranya Nanang Suryadi “Orang Sendiri Membaca Diri” (1997), penyair satu ini sampai kini masih mewarnai kesusastraan secara nasional dengan menyemarakkan sastra di dunia cyber dengan mendirikan www.fordisastra.com yang dikelolanya hingga kini. Malang juga memiliki sastrawan yang produktif menulis cerpen hingga saat ini yakni Ratna Indraswari Ibrahim, ada juga seorang penyair dengan karya-karya fenomenal tetapi kini menghilang dari kanca sastra yakni Wahyu Prasetyo. Selain itu, nama fenomenal sastrawan Malang yang tidak bisa dilupakan adalah Hasim Amir walaupun beliau banyak dikenal pada kesenian teater, juga Emil Sanosa penulis naskah drama. Tidak bisa dilupakan juga Komunitas Kayu Tangan dengan gerakannya hingga memprakarsai pembuatan Patung Chairil Anwar di tahun 60-an.
Pada awal-awal tahun 2000-an Tengsoe Tjahjono menerbit buku puisi “Pertanyaan Daun” (2003), antologi puisi bersama yang berjudul SOI (Suara Orang Indonesi) yang ditulis oleh Fajar, Shinta, dan Safir (2004), ada juga buletin yang saya pikir menarik untuk dicermati yakni BACA yang diterbitkan oleh komunitas Bengkel Imajinasi di Komandoi oleh Abdul Mukid , Lozdi Hadi penyair yang kuliah di Unisma sempat juga membuat sastra stensilan “Infeksi” (2005), Komunitas Penyair Muda Malang, sempat juga membuat stensilan antologi puisi mereka. Abdul Mukid membukukan karyanya dalam “Tulis Namaku dengan Abu”, “Berharap di Senja Hari” oleh Denny Misharudin (2007), “Ketawang Puspa Warna” Kumpulan Cerpen oleh UKMP UM, “Indonesia Dalam Secangkir Kopi Pahit” Antologi Puisi Bersama (Poestaka Rakjat), “Do’a Akasa” Antologi Puisi Bersama (Lembah Ibarat), Kumpulan Cerpen (Forum Penulis Kota Malang), Itupun setelah tebit hilang, artinya tidak ada pembacaan dan ulasan-ulasan sehingga kritik dan masukan menjadi pergerakan dan perkembangan sastra yang menarik untuk dicermati. Langkah yang bagus di mulai oleh Komunitas Mozaik dengan membuat kumpulan cerpen yang memuat beberapa cerpenis muda Malang yang berjudul “Pledoi: pelangi sastra Malang dalam Cerpen”. Kumpulan cerpen yang diberi pengantar oleh Ajang Budiman (Derectur Pusat Study Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang), sedangkan nama-nama cerpenis yang termuat karyanya adalah Yusri Fajar, Titik Qomariah, Aga Herman, Azizah Hefni, Liga Alam, Muyasaroh El-Yasin, Abdul Mukid, Wawan Eko Yulianto, Susanty Oktavia, Supriyadi Hamzah, Yuni Kristyaningsih, A Elwiq Pr, Lubis Grafura, Iman Suwongso.
Tetapi semuanya seperti hilang ditelan angin, mencari kemana buku-buku tersebut semua kecuali pada penulis dan hanya beberapa yang saya temui di Toko Buku Kedai Sinau juga Toga Mas. Menjadi agenda bagi pihak yang terkait demi perkembangan sastra di Malang adalah, melakukan pembacaan perkembangan sastra di Malang melaui esai-esai kritik sastra, juga pembuatan jurnal-jurnal yang membincangkan karya sastra bisa juga melalui dunia cyber. Jika hal tersebut dilakukan mak gaya khas penyair dan cerpenis Malang akan muncul, dari perihal tema, pola ungkap, gaya kebahasaan dengan merespon realitas sosial, budaya yang ada di Malang. Maka Malang akan memiliki identitas sastra yang termaktub dalam karya-karya sastra pengarangnya. Hal tersebut bisa mematahkan pendapat Suripan di Waktu akan datang.
Pembacaan yang saya lalukan berdasar ingatan, perbincangan dengan pelaku sastra di Malang, membaca buku, dan tentu saja masih banyak karya-karya yang belum saya sebutkan dan masih banyak kekurangan. Pembacaan perjalanan ini adalah awal untuk membaca sastra di Malang lebih lanjut.
Malang, 20 Maret 2011
*Di Sampaikan pada Diskusi “Sejarah Sastra Malang” Komunitas Lembah Ibarat Malang
**Anggota Teater Sampar Indonesia Malang dan Pegiat Pelangi Sastra Malang.
http://sastra-indonesia.com/
Sebelum saya mulai menulis tentang perjalanan sastra Malang, saya akan bercerita bagaimana saya sampai masuk pada pergumulan sastra di Malang. Tetapi sebenarnya saya, belum berani betul bicara soal perjalanan sastra di Malang. Disebabkan kawan Kholid Amrullah dari komunitas Lembah Ibarat meminta saya untuk menjadi pembicara mendampingi Pak Emil Sanosa untuk berbicara sejarah sastra di Malang. Padahal, saya telah merekomendasikan beberapa nama padanya, ini sebuah permintaan yang tak dapat saya tolak tetapi gamang bagi saya yang belum memiliki kapasitas memadahi berbicara sejarah sastra di Malang. Berbicara sejarah tentu saja ada masa lalu yang direkontruksi, ada masa kini dan ramalan masa akan datang. Saya yang baru mengenal sastra secara intens kurang lebih tiga tahun lalu.
Sebelumnya saya banyak diam di kampus dan bergesekan dengan kesenian teater di dalam kampus. Pada tahun dua ribu tujuh, saya dengan modal yang pas-pas-an tentang sastra mencoba memberanikan diri untuk menulis (katanya) puisi yang saya terbitkan secara indie. Pada awal penerbitan buku saya dan dibedah oleh Tengsoe Tjahjonoh—saat itu puisi saya masih proses—saya mengganggap diri saya masih anak bau kencur dengan berani menerbitan puisi tersebut. Tetapi bagi saya adalah proses untuk belajar. Setelah itu saya mulai membaca buku-buku sastra: puisi, cerpen, novel, kritik sastra serta buku-buku yang lain.
Dari situlah saya mulai mengenal beberapa kawan yang bergelut dalam dunia sastra. Hal ini sedikit mudah bagi saya, karena sebelumnya sudah banyak bertemu dengan beberapa sastrawan khususnya di Malang lewat perjumpaan-perjumpaan yang berangkat dari seni teater. Dari situlah saya coba telisik (masih belum dalam) sastra di Malang. Saya ingin tahu pendahulu-pendahulu saya berkiprah di Malang. Saya pun mulai aktif di komunitas sastra reboan Poestaka Rakjat yang waktu itu bertempat di Toko Buku Muhammad Nasir. Dari situ saya mengenal beberapa komunitas-kumunitas dan lembaga-lembaga kampus yang bergelut dalam dunia sastra. Pada tahun, sekitaran 2007/2008, beberapa kumintas sering bertemu (bergantian) untuk saling mengunjungi. Saya melihat ada potensi besar yang berada di UIN Malang, saya melihat ada beberapa komunitas di kampus tersebut yang tidak tersetruktur dengan kampus alias kelompok pinggiran (ini sebutan saya terhadap kumintas sastra kampus yang tidak menjadi lembaga intra) di antara nama-nama tersebut ada komunitas Tinta Langit, komunitas Promoedya Ananta Toer, Sastra Parkiran. Di kampus UIN Malang juga ada cerpenis yang pada waktu itu cukup produktif dan pernah memenangi lomba penulisan berskala Nasional bahkan dalam Jurnal Cerpen edisi Muda namanya Azizah Hefni. Selain UIN ada juga di UM yang memiliki lembaga kemahasiswaan kepenulisan yang juga cukup intens membicarakan sastra dan menerbitkan beberapa karya kumpulan puisi juga kumpulan cerpen secara Indie, yakni UKMP (Unit Kegiatan Mahasiswa Penulis). Di beberapa kampus lain saya tidak menjumpai, hanya nama-nama saja dan kebanyakan mereka aktif juga di Teater. Di UMM ada Johan Wahyu, di Unisma saya kurang menjumpai (ada, mungkin saya yang kurang bergesekan), di Universitas Brawijaya saya juga tidak menjumpai (mungkin saya kurang mencari tahu). Inilah pada awal-awal perkenalanku dengan dunia sastra di Malang.
Adapun mereka yang lebih dulu berkecimpung dalam dunia sastra di Malang dengan melakukan pergerakan sastra sebelum tahun 2007-an. Misalnya, perkumpulan Penyair Muda Malang diantaranya yang saya kenal, ada Lodzi Hady, Abdul Mukid, Ragil Suprianto dan beberapa nama yang (mungkin) belum saya kenal. Mereka penyair mudah Malang pada sekitaran tahun 2000-an sering mangadakan pembacaan puisi-puisi di Caffe-Caffe di tempat Umum. Bahkan mereka sempat membuat petisi penentangan sastra koran.
Saya mulai gelisah, muncul kesadaran sejarah tentang sastra. Karena saya hendak belajar tentang sastra, pada siapa saya harus belajar sedang yang saya rasa tidak adanya proses pengkaderan dalam bersastra. Yang saya rasakan, semua berjalan sendiri-sendiri dan sesekali berkumpul di komunitas-komunitas yang ada hanya untuk membacakan karya setelah itu sudah.
Dalam perjalanan akhir tahun 2010 saya mendapati buku Kronik Sastra Indonesia di Malang yang ditulis oleh Suripan Sadi Hutomo pada 1994. Suripan mengatakan, dia tidak bisa melacak sejarah sastra Malang secara pencapain-pencaian estetika sastra, karena sastra di Malang masih dalam bayang-bayang sastra yang berkembang di Jakarta. Adapun terpotong-potong. Lalu Suripan melakukan pembacaan dengan mengumpulkan media-media penyaluran sastra: Koran, Majalah, Buku, Stensilan, Ketikan dan Foto Kopian, dan sastra Melayu Tionghoa. Mari kita telisik perkembangan sastra dilihat dari penerbitan surat kabar atau pun majalah pada zaman kolonial dan sesudah kolonial kira-kira tahun 40-90an. Ada majalah Sasterawan, Majalah Kebudajaan, dan Masjarakat. Sedangkan surat kabar Soeara Masjrakat, Suara Indonesia dan Komunikasi. Semua majalah dan surat kabar tersebut memuat hasil karya sastra, kritik sastra maupun masalah kebudayaan (Suripan Sadi Hutomu; 1994). Sehingga pergesekan, distribusi karya terjadi, hal tersebut mampu memicu saling berkresi dan membaca. Karena yang diterbitkan dalam majalah dan surat kabar tersebut tidak hanya satrawan dari kota Malang akan tetapi sastrawan dari daerah lainnya. Sastra yang lahir dari daerah seperti Malang menjadi perhatian H.B Jassin yang memiliki julukan paus sastra Indoensia tersebut, ia mengatakan bahwa majalah sastra banyak yang lahir di daerah tidak hanya di ibu kota saja, salah satunya adalah Sastrawan Malang (Suripan Sadi Hutomo; 1994). Hal tersebut menjadi mudah untuk melakukan pendokumentasian nantinya. Seperti yang dilakukan oleh Hutomu terhadap majalah yang tidak saya sebut di atas tetapi memberi sumbangsi juga yakni Brawijdjaja dan Widjaya yang berupa antologi saja, antologi cerita pendek, dan antologi kritik serta esai kesusastraan.
Perkembangan sastra di Malang pada era itu tidak hanya dapat dilihat dari majalah ataupun surat kabar saja, tetapi penerbitan buku juga menamba pembacan dokumentasi untuk melihat kesusastraan di Malang. Di antaranya buku tersebut adalah Angin Lalu buku antologi sajak yang diterbitkan oleh AMSENI (Angkatan Seniman Muda Indonesia, Malang) pada tahun 1955 dengan bantuan seksi Kebudayaan Kota Besar Malang. Bahkan Buku tersebut di ulas oleh Suripan Sadi Hutomo yang diterbitkan dalam Minggu Bhirawa (28, Juni 1980) dengan judul “Angin Lalu: Kumpulan Sajak yang Dilupakan” . Setelah itu muncul pada akhir 80’an muncul cerita pendek Bau (Sanggar Seni Slake, Batu Malang, 1989) karangan dari Tan Tjin Siong. Buku selanjutnya adalah kumpulan sajak Tengsoe Tjahjono, diterbitkan secara stensilan diantaranya adalah Hom Pim Pah (1983) dan Mata Kalian (1984) tetapi jauh sebelum itu penyair Henricus Suprijanto telah menerbitkan kumpulan sajaknya dengan cara stensilan juga yang berjudul “Episode”. Selain itu juga ada beberapa sajak stensilan “Simalakama” yang diltulis oleh Rahardi Purwanto pada tahun 1975, “Mekar” (1975) karya bersama Ven Wardhana, Hen Dr, Yani Koeswara, Dick Asido, Lila Ratih Komala, dan Rahardi Purwanto, “Mataair (1977) karya Veven (1989) karya Surasono Rashar dan Eko Windarto (Suripan Sadi Hutomo; 1994). Selain majalah, koran, buku, buletin juga turut mewarnai pendukumentasian karya sastra di Malang, di antaranya ada “Buletin Sastra Aktif” yang pada tahun 1989 telah terbit beberapa nomer. Buletin ini sangat ampuh memberi ruang pada sastrawan muda Malang. Di batu pada tahun 90-an di Batu ada HP3N, Buletin Sastra Budaya “Kreatif”, Studio Seni Sastra Batu menerbitkan beberapa jurnal yang memuat sajak-sajak penyair nusantra beberapa kali. Forum Pekerja Kota Malang menerbitkan antologi puisi dan Cerpen “Sempalan” (1994), “Pelataran” (1995). Selain itu masih banyak penyair-penyair yang membuat buku secara stensilan. Di antaranya Nanang Suryadi “Orang Sendiri Membaca Diri” (1997), penyair satu ini sampai kini masih mewarnai kesusastraan secara nasional dengan menyemarakkan sastra di dunia cyber dengan mendirikan www.fordisastra.com yang dikelolanya hingga kini. Malang juga memiliki sastrawan yang produktif menulis cerpen hingga saat ini yakni Ratna Indraswari Ibrahim, ada juga seorang penyair dengan karya-karya fenomenal tetapi kini menghilang dari kanca sastra yakni Wahyu Prasetyo. Selain itu, nama fenomenal sastrawan Malang yang tidak bisa dilupakan adalah Hasim Amir walaupun beliau banyak dikenal pada kesenian teater, juga Emil Sanosa penulis naskah drama. Tidak bisa dilupakan juga Komunitas Kayu Tangan dengan gerakannya hingga memprakarsai pembuatan Patung Chairil Anwar di tahun 60-an.
Pada awal-awal tahun 2000-an Tengsoe Tjahjono menerbit buku puisi “Pertanyaan Daun” (2003), antologi puisi bersama yang berjudul SOI (Suara Orang Indonesi) yang ditulis oleh Fajar, Shinta, dan Safir (2004), ada juga buletin yang saya pikir menarik untuk dicermati yakni BACA yang diterbitkan oleh komunitas Bengkel Imajinasi di Komandoi oleh Abdul Mukid , Lozdi Hadi penyair yang kuliah di Unisma sempat juga membuat sastra stensilan “Infeksi” (2005), Komunitas Penyair Muda Malang, sempat juga membuat stensilan antologi puisi mereka. Abdul Mukid membukukan karyanya dalam “Tulis Namaku dengan Abu”, “Berharap di Senja Hari” oleh Denny Misharudin (2007), “Ketawang Puspa Warna” Kumpulan Cerpen oleh UKMP UM, “Indonesia Dalam Secangkir Kopi Pahit” Antologi Puisi Bersama (Poestaka Rakjat), “Do’a Akasa” Antologi Puisi Bersama (Lembah Ibarat), Kumpulan Cerpen (Forum Penulis Kota Malang), Itupun setelah tebit hilang, artinya tidak ada pembacaan dan ulasan-ulasan sehingga kritik dan masukan menjadi pergerakan dan perkembangan sastra yang menarik untuk dicermati. Langkah yang bagus di mulai oleh Komunitas Mozaik dengan membuat kumpulan cerpen yang memuat beberapa cerpenis muda Malang yang berjudul “Pledoi: pelangi sastra Malang dalam Cerpen”. Kumpulan cerpen yang diberi pengantar oleh Ajang Budiman (Derectur Pusat Study Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang), sedangkan nama-nama cerpenis yang termuat karyanya adalah Yusri Fajar, Titik Qomariah, Aga Herman, Azizah Hefni, Liga Alam, Muyasaroh El-Yasin, Abdul Mukid, Wawan Eko Yulianto, Susanty Oktavia, Supriyadi Hamzah, Yuni Kristyaningsih, A Elwiq Pr, Lubis Grafura, Iman Suwongso.
Tetapi semuanya seperti hilang ditelan angin, mencari kemana buku-buku tersebut semua kecuali pada penulis dan hanya beberapa yang saya temui di Toko Buku Kedai Sinau juga Toga Mas. Menjadi agenda bagi pihak yang terkait demi perkembangan sastra di Malang adalah, melakukan pembacaan perkembangan sastra di Malang melaui esai-esai kritik sastra, juga pembuatan jurnal-jurnal yang membincangkan karya sastra bisa juga melalui dunia cyber. Jika hal tersebut dilakukan mak gaya khas penyair dan cerpenis Malang akan muncul, dari perihal tema, pola ungkap, gaya kebahasaan dengan merespon realitas sosial, budaya yang ada di Malang. Maka Malang akan memiliki identitas sastra yang termaktub dalam karya-karya sastra pengarangnya. Hal tersebut bisa mematahkan pendapat Suripan di Waktu akan datang.
Pembacaan yang saya lalukan berdasar ingatan, perbincangan dengan pelaku sastra di Malang, membaca buku, dan tentu saja masih banyak karya-karya yang belum saya sebutkan dan masih banyak kekurangan. Pembacaan perjalanan ini adalah awal untuk membaca sastra di Malang lebih lanjut.
Malang, 20 Maret 2011
*Di Sampaikan pada Diskusi “Sejarah Sastra Malang” Komunitas Lembah Ibarat Malang
**Anggota Teater Sampar Indonesia Malang dan Pegiat Pelangi Sastra Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar