Dewi Anggraeni
http://majalah.tempointeraktif.com/
The Politics of Indonesia, second edition
Penulis/penyunting: Damien Kingsbury
Penerbit : Oxford University Press, 2002
Tebal : Paperback, 330 halaman
Betapapun carut-marutnya wajah Indonesia belakangan ini, toh kita berupaya agar tampak menyenangkan. Kita butuh cermin, dan itulah yang kita dapat ketika membaca The Politics of Indonesia, tulisan Damien Kingsbury, seorang akademisi senior dari Universitas Deakin di Melbourne yang telah meneliti situasi politik di Indonesia lebih dari sepuluh tahun.
Memang, sudah ada sejumlah buku tentang Indonesia yang ditulis pakar luar negeri. A History of Modern Indonesia since c. 1200, oleh sejarawan kawakan Merle Ricklefs, misalnya, walau jujur dan penuh data, tidak membuat kita merasa sama sekali ditelanjangi. Mungkin karena Ricklefs mulai penuturan sejarahnya dari era jauh sebelum terbentuknya negara kesatuan Indonesia, sehingga carut-marut di wajah Indonesia tidak begitu menonjol di samping wajah seram para penguasa kolonial.
Sedangkan Kingsbury, setelah memberi sekadar latar belakang dalam pasal pertamanya, segera masuk dalam bahasan terbuka dan gamblang tentang negara Indonesia sejak masa kemerdekaan. Kingsbury tampaknya tidak gentar memasuki pojok-pojok peka dalam perjalanan eksplorasinya, dan dia pun berani memberikan analisis yang merupakan pendapatnya sendiri, tentunya setelah menyimak dan menilai berbagai pendapat pakar lain.
Kingsbury tidak luput dari gejala yang tampak pada tulisan dan telaah banyak peneliti politik dan budaya Indonesia, yaitu menempatkan Jawa sebagai pusat segala perilaku politik Indonesia. Bahkan Kingsbury menggambarkannya sebagai pusaran, menggunakan imaji Hindu-Buddha mandala dengan Jawa sebagai pusatnya. Ini tidak berarti penulis serampangan dalam analisisnya, tapi mungkin karena memang konsep "pusat kekuasaan" itu sendiri masih menjadi bahan perdebatan bagi orang Indonesia sendiri.
Walau resminya tidak ada oposisi dalam pemerintahan Indonesia, buku ini membeberkan oposisi politik, mulai dari rasa tidak puas kepada partai yang berkuasa selama 32 tahun, Golkar, yang tertuang dalam berbagai kelompok, oposisi dari berbagai golongan Islam, sampai berbagai upaya perlawanan implisit dari badan-badan non-pemerintah. Semua ini ditelusuri dengan rinci.
Dalam penyajian lahan hukum dan lahan ekonomi, Kingsbury tidak tanggung-tanggung membuka borok para penguasa dan para kroninya, dan dia tidak berhenti pada masa awal reformasi. Bahkan dia mempertanyakan apa sebenarnya yang sudah dicapai reformasi. Pertanyaan dan observasi ini sering beredar di antara orang Indonesia sendiri. Tapi, begitu datang dari orang luar, pertanyaan ini sering membuat kita meringis.
Dan yang tidak kurang membuat perih ialah bagian yang membeberkan luasnya dan dalamnya akar korupsi di negara ini, padahal kita mengetahui data-data yang dipasang di sini didapat dari congkelan-congkelan yang seharusnya kita lakukan sendiri. Tapi, seperti yang juga dipaparkan dalam buku ini, kalaupun congkelan sudah dikerjakan sendiri, otot hukum yang sontoloyo membuat upaya mencongkel itu mubazir.
Yang paling enak dibaca adalah bagian akhirnya saat Kingsbury menuturkan permainan kekuasaan dalam tubuh angkatan bersenjata, yang kini bernama TNI, terutama dalam Angkatan Darat. Mungkin karena, pada saat kita sampai pada bagian ini, badan dan muka kita sudah penuh memar dan coreng-moreng sehingga tamparan-tamparan yang datang tidak lagi terasa begitu hebat.
Tidak seorang jenderal pun yang tampil bersih dari cipratan lumpur. Yang relatif masih bersih mungkin alm. Agus Wirahadikusumah, yang dalam penilaian Kingsbury berani melawan arus. Ulasannya tentang Abdurrahman Wahid pun tidak memberi ampun. Dia mengakui aspek-aspek positif mantan presiden ini dan kontribusinya pada pengembangan gerakan liberal-demokratis di Indonesia. Namun, dia juga menyayangkan kecenderungan eratik tokoh muslim yang tidak konvensional ini.
Malang bagi Kingsbury, walau dia selalu berusaha menjaga jarak dalam bahasannya, dia toh sempat tergelincir. Dia menanyakan sendiri kepada Gus Dur, makna kata "Gus" dalam panggilannya. Kingsbury, yang mengaku dia percaya waktu mendapat jawaban bahwa "Gus" adalah singkatan dari "Gusti", rupanya tidak sadar bahwa dia sedang "dikerjain".
The Politics of Indonesia mengandung informasi yang sangat penting bagi orang luar yang ingin belajar tentang Indonesia ataupun bagi orang Indonesia sendiri yang berani berkaca dan mengakui bahwa apa yang dilihat adalah yang bisa dilihat orang lain. Sebab, wajah itu, walau ada segi manisnya, juga perlu pertolongan bedah plastik.
21 Oktober 2002
http://majalah.tempointeraktif.com/
The Politics of Indonesia, second edition
Penulis/penyunting: Damien Kingsbury
Penerbit : Oxford University Press, 2002
Tebal : Paperback, 330 halaman
Betapapun carut-marutnya wajah Indonesia belakangan ini, toh kita berupaya agar tampak menyenangkan. Kita butuh cermin, dan itulah yang kita dapat ketika membaca The Politics of Indonesia, tulisan Damien Kingsbury, seorang akademisi senior dari Universitas Deakin di Melbourne yang telah meneliti situasi politik di Indonesia lebih dari sepuluh tahun.
Memang, sudah ada sejumlah buku tentang Indonesia yang ditulis pakar luar negeri. A History of Modern Indonesia since c. 1200, oleh sejarawan kawakan Merle Ricklefs, misalnya, walau jujur dan penuh data, tidak membuat kita merasa sama sekali ditelanjangi. Mungkin karena Ricklefs mulai penuturan sejarahnya dari era jauh sebelum terbentuknya negara kesatuan Indonesia, sehingga carut-marut di wajah Indonesia tidak begitu menonjol di samping wajah seram para penguasa kolonial.
Sedangkan Kingsbury, setelah memberi sekadar latar belakang dalam pasal pertamanya, segera masuk dalam bahasan terbuka dan gamblang tentang negara Indonesia sejak masa kemerdekaan. Kingsbury tampaknya tidak gentar memasuki pojok-pojok peka dalam perjalanan eksplorasinya, dan dia pun berani memberikan analisis yang merupakan pendapatnya sendiri, tentunya setelah menyimak dan menilai berbagai pendapat pakar lain.
Kingsbury tidak luput dari gejala yang tampak pada tulisan dan telaah banyak peneliti politik dan budaya Indonesia, yaitu menempatkan Jawa sebagai pusat segala perilaku politik Indonesia. Bahkan Kingsbury menggambarkannya sebagai pusaran, menggunakan imaji Hindu-Buddha mandala dengan Jawa sebagai pusatnya. Ini tidak berarti penulis serampangan dalam analisisnya, tapi mungkin karena memang konsep "pusat kekuasaan" itu sendiri masih menjadi bahan perdebatan bagi orang Indonesia sendiri.
Walau resminya tidak ada oposisi dalam pemerintahan Indonesia, buku ini membeberkan oposisi politik, mulai dari rasa tidak puas kepada partai yang berkuasa selama 32 tahun, Golkar, yang tertuang dalam berbagai kelompok, oposisi dari berbagai golongan Islam, sampai berbagai upaya perlawanan implisit dari badan-badan non-pemerintah. Semua ini ditelusuri dengan rinci.
Dalam penyajian lahan hukum dan lahan ekonomi, Kingsbury tidak tanggung-tanggung membuka borok para penguasa dan para kroninya, dan dia tidak berhenti pada masa awal reformasi. Bahkan dia mempertanyakan apa sebenarnya yang sudah dicapai reformasi. Pertanyaan dan observasi ini sering beredar di antara orang Indonesia sendiri. Tapi, begitu datang dari orang luar, pertanyaan ini sering membuat kita meringis.
Dan yang tidak kurang membuat perih ialah bagian yang membeberkan luasnya dan dalamnya akar korupsi di negara ini, padahal kita mengetahui data-data yang dipasang di sini didapat dari congkelan-congkelan yang seharusnya kita lakukan sendiri. Tapi, seperti yang juga dipaparkan dalam buku ini, kalaupun congkelan sudah dikerjakan sendiri, otot hukum yang sontoloyo membuat upaya mencongkel itu mubazir.
Yang paling enak dibaca adalah bagian akhirnya saat Kingsbury menuturkan permainan kekuasaan dalam tubuh angkatan bersenjata, yang kini bernama TNI, terutama dalam Angkatan Darat. Mungkin karena, pada saat kita sampai pada bagian ini, badan dan muka kita sudah penuh memar dan coreng-moreng sehingga tamparan-tamparan yang datang tidak lagi terasa begitu hebat.
Tidak seorang jenderal pun yang tampil bersih dari cipratan lumpur. Yang relatif masih bersih mungkin alm. Agus Wirahadikusumah, yang dalam penilaian Kingsbury berani melawan arus. Ulasannya tentang Abdurrahman Wahid pun tidak memberi ampun. Dia mengakui aspek-aspek positif mantan presiden ini dan kontribusinya pada pengembangan gerakan liberal-demokratis di Indonesia. Namun, dia juga menyayangkan kecenderungan eratik tokoh muslim yang tidak konvensional ini.
Malang bagi Kingsbury, walau dia selalu berusaha menjaga jarak dalam bahasannya, dia toh sempat tergelincir. Dia menanyakan sendiri kepada Gus Dur, makna kata "Gus" dalam panggilannya. Kingsbury, yang mengaku dia percaya waktu mendapat jawaban bahwa "Gus" adalah singkatan dari "Gusti", rupanya tidak sadar bahwa dia sedang "dikerjain".
The Politics of Indonesia mengandung informasi yang sangat penting bagi orang luar yang ingin belajar tentang Indonesia ataupun bagi orang Indonesia sendiri yang berani berkaca dan mengakui bahwa apa yang dilihat adalah yang bisa dilihat orang lain. Sebab, wajah itu, walau ada segi manisnya, juga perlu pertolongan bedah plastik.
21 Oktober 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar