Abdul Aziz Rasjid
Minggu Pagi, V Maret 2009.
Semoga masih terkenang di ingatan kita saat beberapa politisi negeri ini mengutip sebuah bait puisi untuk kepentingan mengkampanyekan diri. Salah satunya bait puisi Chairil Anwar “sekali berarti sudah itu mati”, dimanfaatkan seorang politisi untuk mempopulerkan namanya pada masyarakat. Bait puisi itu tak hanya terpampang pada spanduk-spanduk di tepi jalan atau surat kabar harian, kita juga menyaksikan bait puisi itu berkali-kali tampil di layar televisi.
Politisi lainnya lalu ikut serta menggunakan modus yang serupa, mulai dengan mengutip bait puisi dari luar negeri sampai dengan membuat pantun kreasi sendiri. Kemudian beberapa orang menanggapi aksi itu; diantara mereka ada yang menyimpulkan bahwa aksi itu adalah bentuk politisasi puisi, sebagian sebaliknya dengan menyatakan bahwa aksi itu merupakan puitisasi politik, bahkan ada pula yang melakukan interpretasi dengan menggunakan pandangan kritik seni.
Fenomena itu tentu tidak tiba-tiba jatuh dari angkasa, berkembangnya tekhnologi media dan informasi menjadi salah sebuah penyebabnya. Politisi yang membutuhkan diri untuk dikenal dan tampil dalam cakupan sosial yang luas tentu memfungsikan kemajuan itu semaksimal mungkin ?melakukan beberapa eksperimentasi pembentukan citra diri? salah satunya menggunakan bait puisi sebagai daya tarik pembentuk imaji pada massa.
Puisi, ketika diambil alih guna mendongkrak citra diri sebagai pembentuk imaji tentu berpengaruh pula terhadap proses pemberadaban publik. Sebab puisi yang tampil dalam media kampanye itu, yang bersatu padu bersama layar juga gambar berpotensi untuk membentuk keadaan baru pada masyarakat, yaitu masyarakat sebagai subjek yang tidak lagi terkait dengan kenyataan aktual. Namun, secara perlahan-lahan masyarakat terjebak pada tipuan virtual dan identitas kedirian mereka pun terbentuk lewat jejaring komunikasi virtual.
Dari puisi ke pencitraan diri
Jika kita kaitkan gejala ini dengan kata-kata yang pernah diucapkan Pramoedya Ananta Toer di tahun 1952, bahwa kesusastraan digunakan sebagai “senjata utama” untuk mereka yang tak punya kekuasaan, tak punya uang, tak punya bedil dan tak punya Japamantera. Maka, apa yang diucapkan Pramoedya puluhan tahun lalu itu kini menjadi tak berlaku lagi.
Sebab perkembangan kebudayaan masa kini yang sangat terasa dikendalikan oleh kekuatan media dan informasi, pada akhirnya menciptakan posisi masyarakat di antara batas-batas imajiner suatu geografi kultural yang setiap saat bergerak, bergeser dan meluas. Kondisi ini dalam sisi positif memang meluaskan pengguna kesusastraan, namun sebaliknya dapat pula menghadirkan penyempitan dalam sisi yang negatif.
Kesusastraan yang diharapkan dapat menjadi alat untuk membentuk pemberadaban publik, bila dikaitkan pada fenomena yang sedang kita perbincangkan ?politisi dan puisi? rentan untuk mengalami penyempitan fungsi, karena ketika sastra hanya diperankan sebagai penguat citra kedirian segelintir orang untuk mengejar kursi kekuasaan, sebenarnya hanya menjadikan sastra serupa merk dagang.
Apalagi puisi dalam fenomena ini tak lagi berdiri dalam keutuhan. Tapi sepenggal bait yang dikemas lalu dicampur adukkan dengan gambar, program, visi dan misi. Puisi menjadi semacam korespondensi untuk mendongkrak derajat pada masyarakat sehingga menghadirkan penandaan identitas ?pembawa kemakmuran dan pemberadaban.
Dalam kasus ini, Jaques Lacan benar, bahwa bahasa yang berpotensi untuk menghadirkan gambaran akan kedirian seseorang berpeluang untuk melahirkan sebuah bentuk citraan imajiner. Namun, citraan itu tak lebih hanya bermuatan hasrat narsisitik yang sebenarnya berupa identitas yang ilusi.
Sebab puisi yang difungsikan dalam pola seperti itu, tak lagi mengambil jarak atau melakukan transedensi secara sadar dari jebakan sosial dan berbagai masalah budaya. Tetapi kesusastraan ?secara sadar? di tangan politisi dijadikan alat untuk membentuk jebakan sosial karena difungsikan untuk mewujudkan kepentingan segelintir orang. Dan, dalam setiap jebakan yang tidak boleh dilupakan selalu ada kata ”bahaya” yang turut serta.
Pembelotan kenyataan aktual
Kembali pada bait puisi Chairil Anwar itu, kita setidaknya mendapati sebuah kredo puisi. Semacam prinsip yang juga pernah dipuisikan oleh Wiji Thukul, ”Hanya ada satu kata: Lawan!”. Dalam bait itu terpendam makna dari sebuah kenyataan aktual pada suatu masa, juga sebentuk laku sebagai oposisi binernya. Dimana Chairil mendapatkannya ketika ia meletakkan kemerdekaan lebih tingi dari kehidupan yang berada di tengah kuasa kolonial, sedang Wiji Thukul mendapatkannya ketika ia secara aktif memperjuangkan demokrasi di tengah kekuasaan yang represif dan otoriter pada masa orde baru.
Tapi, kredo puisi dalam kemasan politisi telah mengalami pergeseran dari kenyataan aktualnya. Dimana kenyataan aktual telah dibelotkan menjadi kepentingan individual, dan proses pembelotan itu dijalankan secara sistematis ?teks yang pada mulanya difungsikan untuk memobilisasi kesadaran massa digubah menjadi mobilisasi pencitraan kekuasaan? sampai akhirnya dikemas dalam jalinan virtual semenarik mungkin.
Kita sama tahu, pembelotan itu memang tak langsung bersangkut dengan kehendak manusia, tetapi buah dari sistem kekuasaan yang otoriter. Dimana berbagai fenomena telah menunjukkan pada kita: tak jarang politisi itu setelah berhasil menjadi fungsionaris Negara, seringkali menjadi tunduk bahkan takluk untuk melakukan apa saja yang diperintahkan oleh sistem, walaupun perintah itu termasuk kejahatan.
Itulah banalitas kejahatan dalam kebudayaan virtual, sebuah kenyataan aktual yang melanda negeri ini. Dan kredo puisi dikemas dalam bentuk serupa apapun oleh siapapun, tetap menjalani takdirnya sebagai penentang yang abadi, sebab pemberontakan manusia lapar tak dapat ditindas/ aku menentang paham, doktrin, ideologi perongrong keutuhan dan keagungan manusia (M Fadjroel Rachman, “Hotel Salak, 1964-1966”).
***
Dimuat di Tabloid Minggu Pagi No 52 Th 61 Minggu V, Maret 2009. Di siar ulang dalam catatan facebook 26 Oktober 2009.
Minggu Pagi, V Maret 2009.
Semoga masih terkenang di ingatan kita saat beberapa politisi negeri ini mengutip sebuah bait puisi untuk kepentingan mengkampanyekan diri. Salah satunya bait puisi Chairil Anwar “sekali berarti sudah itu mati”, dimanfaatkan seorang politisi untuk mempopulerkan namanya pada masyarakat. Bait puisi itu tak hanya terpampang pada spanduk-spanduk di tepi jalan atau surat kabar harian, kita juga menyaksikan bait puisi itu berkali-kali tampil di layar televisi.
Politisi lainnya lalu ikut serta menggunakan modus yang serupa, mulai dengan mengutip bait puisi dari luar negeri sampai dengan membuat pantun kreasi sendiri. Kemudian beberapa orang menanggapi aksi itu; diantara mereka ada yang menyimpulkan bahwa aksi itu adalah bentuk politisasi puisi, sebagian sebaliknya dengan menyatakan bahwa aksi itu merupakan puitisasi politik, bahkan ada pula yang melakukan interpretasi dengan menggunakan pandangan kritik seni.
Fenomena itu tentu tidak tiba-tiba jatuh dari angkasa, berkembangnya tekhnologi media dan informasi menjadi salah sebuah penyebabnya. Politisi yang membutuhkan diri untuk dikenal dan tampil dalam cakupan sosial yang luas tentu memfungsikan kemajuan itu semaksimal mungkin ?melakukan beberapa eksperimentasi pembentukan citra diri? salah satunya menggunakan bait puisi sebagai daya tarik pembentuk imaji pada massa.
Puisi, ketika diambil alih guna mendongkrak citra diri sebagai pembentuk imaji tentu berpengaruh pula terhadap proses pemberadaban publik. Sebab puisi yang tampil dalam media kampanye itu, yang bersatu padu bersama layar juga gambar berpotensi untuk membentuk keadaan baru pada masyarakat, yaitu masyarakat sebagai subjek yang tidak lagi terkait dengan kenyataan aktual. Namun, secara perlahan-lahan masyarakat terjebak pada tipuan virtual dan identitas kedirian mereka pun terbentuk lewat jejaring komunikasi virtual.
Dari puisi ke pencitraan diri
Jika kita kaitkan gejala ini dengan kata-kata yang pernah diucapkan Pramoedya Ananta Toer di tahun 1952, bahwa kesusastraan digunakan sebagai “senjata utama” untuk mereka yang tak punya kekuasaan, tak punya uang, tak punya bedil dan tak punya Japamantera. Maka, apa yang diucapkan Pramoedya puluhan tahun lalu itu kini menjadi tak berlaku lagi.
Sebab perkembangan kebudayaan masa kini yang sangat terasa dikendalikan oleh kekuatan media dan informasi, pada akhirnya menciptakan posisi masyarakat di antara batas-batas imajiner suatu geografi kultural yang setiap saat bergerak, bergeser dan meluas. Kondisi ini dalam sisi positif memang meluaskan pengguna kesusastraan, namun sebaliknya dapat pula menghadirkan penyempitan dalam sisi yang negatif.
Kesusastraan yang diharapkan dapat menjadi alat untuk membentuk pemberadaban publik, bila dikaitkan pada fenomena yang sedang kita perbincangkan ?politisi dan puisi? rentan untuk mengalami penyempitan fungsi, karena ketika sastra hanya diperankan sebagai penguat citra kedirian segelintir orang untuk mengejar kursi kekuasaan, sebenarnya hanya menjadikan sastra serupa merk dagang.
Apalagi puisi dalam fenomena ini tak lagi berdiri dalam keutuhan. Tapi sepenggal bait yang dikemas lalu dicampur adukkan dengan gambar, program, visi dan misi. Puisi menjadi semacam korespondensi untuk mendongkrak derajat pada masyarakat sehingga menghadirkan penandaan identitas ?pembawa kemakmuran dan pemberadaban.
Dalam kasus ini, Jaques Lacan benar, bahwa bahasa yang berpotensi untuk menghadirkan gambaran akan kedirian seseorang berpeluang untuk melahirkan sebuah bentuk citraan imajiner. Namun, citraan itu tak lebih hanya bermuatan hasrat narsisitik yang sebenarnya berupa identitas yang ilusi.
Sebab puisi yang difungsikan dalam pola seperti itu, tak lagi mengambil jarak atau melakukan transedensi secara sadar dari jebakan sosial dan berbagai masalah budaya. Tetapi kesusastraan ?secara sadar? di tangan politisi dijadikan alat untuk membentuk jebakan sosial karena difungsikan untuk mewujudkan kepentingan segelintir orang. Dan, dalam setiap jebakan yang tidak boleh dilupakan selalu ada kata ”bahaya” yang turut serta.
Pembelotan kenyataan aktual
Kembali pada bait puisi Chairil Anwar itu, kita setidaknya mendapati sebuah kredo puisi. Semacam prinsip yang juga pernah dipuisikan oleh Wiji Thukul, ”Hanya ada satu kata: Lawan!”. Dalam bait itu terpendam makna dari sebuah kenyataan aktual pada suatu masa, juga sebentuk laku sebagai oposisi binernya. Dimana Chairil mendapatkannya ketika ia meletakkan kemerdekaan lebih tingi dari kehidupan yang berada di tengah kuasa kolonial, sedang Wiji Thukul mendapatkannya ketika ia secara aktif memperjuangkan demokrasi di tengah kekuasaan yang represif dan otoriter pada masa orde baru.
Tapi, kredo puisi dalam kemasan politisi telah mengalami pergeseran dari kenyataan aktualnya. Dimana kenyataan aktual telah dibelotkan menjadi kepentingan individual, dan proses pembelotan itu dijalankan secara sistematis ?teks yang pada mulanya difungsikan untuk memobilisasi kesadaran massa digubah menjadi mobilisasi pencitraan kekuasaan? sampai akhirnya dikemas dalam jalinan virtual semenarik mungkin.
Kita sama tahu, pembelotan itu memang tak langsung bersangkut dengan kehendak manusia, tetapi buah dari sistem kekuasaan yang otoriter. Dimana berbagai fenomena telah menunjukkan pada kita: tak jarang politisi itu setelah berhasil menjadi fungsionaris Negara, seringkali menjadi tunduk bahkan takluk untuk melakukan apa saja yang diperintahkan oleh sistem, walaupun perintah itu termasuk kejahatan.
Itulah banalitas kejahatan dalam kebudayaan virtual, sebuah kenyataan aktual yang melanda negeri ini. Dan kredo puisi dikemas dalam bentuk serupa apapun oleh siapapun, tetap menjalani takdirnya sebagai penentang yang abadi, sebab pemberontakan manusia lapar tak dapat ditindas/ aku menentang paham, doktrin, ideologi perongrong keutuhan dan keagungan manusia (M Fadjroel Rachman, “Hotel Salak, 1964-1966”).
***
Dimuat di Tabloid Minggu Pagi No 52 Th 61 Minggu V, Maret 2009. Di siar ulang dalam catatan facebook 26 Oktober 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar