[Khususon Jombang, Wabil khusus Fahrudin Nasrulloh]
Nurel Javissyarqi *
Sebelum jauh menelusuri judul di atas, diriku teringat awalkali melangkahkan kaki ke tanah Jombang, tahun 1993. Dari rumah di Lamongan, aku persiapkan niat menimba keilmuan mengeruk ketololan demi semakin menginsyafi kebodohan. Terbayang di kepalaku sosok-sosok insan ampuh pada daerah kan kudiami, para pejuang serta penyebar ajaran Islam; KH. Hasyim Asy’ari, KH. A. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Sansuri, dan tokoh-tokoh masih hidup dikala itu; Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, serta tidak terkecuali budayawan Emha Ainun Nadjib, yang sampai kini menyetiai lelakunya mengayomi rakyat jelata, masyarakat pedalaman.
Setiap langkah kubaca tanda kan terjadi, kusapa dedaunan terlintas di pinggir jalan; jalur ini kelak laluan sering kulewati. Pun menyimak gemawan sambil merasai apakah pribadiku tergolong dirahmati menggapai cita. Demikian memasuki kota lain, diuntit bayang-bayang masa silam; penjajahan di Bumi Pertiwi juga nasib apakah yang bakal menimpa bangsa ini. Aku lebih suka menyuntuki alam raya, ialah lelembaran catatan yang tiada membohongi. Tentu melewati lelatihan, mengidentifikasi kemungkinan atas periodisasi, sedari sanalah perkiraan tepat searah.
Aku terkagum kualitas anak-anak bangsa yang dilahirkan di bencah tandus berpasir, dataran Jombang serupa Ponorogo yang gersang atau Cirebon bagian selatan. Terus kepalaku menggeliat, mengira-ira jikalau di jaman dulu, ada sebuah gunung besar meletus, lantas tinggal sisa-sisa abunya. Pun tak kurang teringat kabar kudengar semasa sekolah dasar, semisal wilayah berbasis agamis, biasanya berdampingan kaum begundal.
Kontradiksi itu menerbitkan pemahaman, kawasan makmur pemikiran, tentu ada tirakat lahir sejenis kemiskinan, yang ditancapkan unen-unen orang utama; ilmu kan mendekati yang berpayah-payah. Juga benturan hawa religiusitas tak berhembus kuat, jikalau tiada tekanan sedari kebalikannya. Lalu terngiang keramaian pasar, tempat segala keteledoran, yang di sebelahnya, syiar Keilahian ramai berkumandang.
Jombang kota santri, begitu orang-orang menyebutnya. Ini tak bisa dipungkiri, ada puluhan, bahkan ratusan pesantren jika ditelisik dari kecil-kecil sampai yang tersohor namanya. Adanya sekte-sekte atau mazhab ajaran Islam tersebar di sana, semua memakmurkan nalar iman, mengembangkan khasanah spiritual, mensejahterahkan umat demi nada-nada kebersatuan. Para penimbanya tak sekadar tetangga kota; Malang, Sidoarjo, Surabaya, Lamongan, Bojonegoro, Tuban, bahkan luar jauh; Kebumen, Jogjakarta, Jepara, Cirebon, Jakarta, Banten &ll, disamping tidak sedikit dari luar kepulauan; Aceh, Padang, Samarinda, Makassar, tak terkeculai dari Irian &st.
Fenomena itu menghantuiku yang kuandaikan kota Mesir, akan ruhaniah pengetahuannya, mencurigai kerahasiaan di dalamnya menyembulkan aroma kesturi. Membaca alam sambil memadukan orang-orangnya, menguap embun fikirku memendarkan teka-teki silang-sengkarut mengurai benang kusut. Pelahan-lahan kuamati amis sungainya, bau menyengat pabrik tebu, nuanse kota nanggung, warga etnis Cina dipastikan penggerak perekonomiannya, ini merata pada pulau Jawa, selain di Kota Gede, Jogjakarta.
Selama tiga tahun kupelajari kota tersebut demi membaca pantulan wewajah serupa, seperti daerah-daerah di pelosok Tanah Air berlabel Kauman, diambil dari kalimah; kumpulan kaum beriman. Di Jombang aku kerap jalan kaki ke dusun-dusun terpencil, memandang perkebunan tembakau, rumput pepadian kurang subur, kuburan Cina yang mewah, suara klenteng bergaung, bioskop, kadang lelah naik becak jika di kota. Orang tuaku sempat membelikanku sepeda, sehingga leluasa menyinahui pernik mistisnya. Keluar-masuk santren, salam sungkem ke setiap kuanggap ampuh, sampai kuyakini tak keliru pilihanku ke Jombang, sebelum ke Jogja menjejaki pengalaman.
Entah terpaksa atau kebetulan, di pesantren aku tak dapati ruang ekspresikan jiwa di bingkai lukisan, yang sebelumnya terbiasa kalau ada perasaan menggejalai badan, langsung mengguratkan cat minyak di kanvas. Maka bersusah payah, kupindahkan gejolak diri dalam tulisan di lelembaran kertas dengan pena. Bacaanku minim karena sering keluyuran, jelas tidak mendukung polaku menggumuli kata, olehnya tulisan awalku potretan semata, belum menghisap perihal membetot jiwa.
Jalan ini dimungkinkan sebab pangasuh pesantren yang aku diami seorang penulis, penyusun kitab, penerjemah bahasa arab, dimana sehari-harinya tiada waktu istirah; membaca, menulis. Selama tiga tahun aku amati, seakan satu jam paling banter dua jam istirah dalam sehari. Hal tersebut membuatku cemburu, sebagai anak muda tentu tertantang melampaui. Dan kucoba membaca tak henti-henti berhari-hari sampai merasakan keadaan mabuk, hingga sang kiai menyindirku; belajar ya belajar, tapi jangan sampai mabuk.
Kesastrawanan Emha Ainun Najib kian santer bergema, kabar penyair sedari Menturo, Jombang, yang tinggal di Jogjakarta itu menghisap seluruh perhatian, apalagi bagi yang tinggal di kota kelahirannya. Yang mana diriku awal menancapkan niat menggeluti sastra. Buku Emha kubaca, nadhoman pelajaran bersyair mulai menghantui, demi aku loloskan dalam khasana Indonesia, serta semua pendukung kemauanku berbelok, tepatnya menyembuhkan sedari minat lukis yang tidak tersalurkan.
Alam pesantren meraup keilmuan Islami berbalutan lokalitas menjelmakan diri se-istilah Islam Jawa. Apakah sejarah, filsafat, ilmu hitung, perbintangan, mantek &ll, sangatlah mewarnai denyutan Jombang. Tidak ketinggalan susastra sebagai sarana berbahasa dalam penyebaran ajarannya pada kitab-kitab kuning atau klasik, menjadi lagu merdu menyusupnya faham-faham diingini sang pengarangnya.
Olehnya tak dapat disangkal, pesantren salah satu gudang susatra tersembunyi, hanya yang ingin mengangkat ke alam lebih umum, khususnya dalam bahasa Indonesia, tentu tidak terbantahkan. Tak diragukan, karya sastra bercorak Islam di bumi Nusantara, tegak bergoyang rindang sepohonan tinggi tegap melambaikan dedaun hijaunya, sebagai perlambang kemakmuran atas pupuk memberkah para pendahulunya.
Di asrama Al-Aziziyah, diriku adik kelas Moammar Emka, penulis buku “Jakarta Undercover” yang tulisannya kukira kurang berfaedah, jika ditengok sisi keberangkatan dirinya meski sempat meledak, kecuali sekadar informasi bagi insan metropolis yang haus hiburan malam. Padahal dikala itu, Emka sangat tekun belajar berpidato kayak Soekarno di depan cermin, ah menjijikkan sampai terjadi baku-hantam karenanya. Sebelah kamar kami, tepatnya dihuni siswa MAN PK, ada murid bernama Fahrudin Nasrulloh yang sama-sama nantinya melanjutkan sekolah di Jogjakarta seangkatan-ku, tapi aku tak mengenalnya. Hanya selepas kuliah, namanya baru berkibar. Demikian benturan watak bersegenap intrik dalam keseharian, membetulkan nasib masing-masing atas alasan sendiri-sendiri.
Asrama itu diasuh KH. A. Aziz Masyhuri, salah satu karyanya “99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara: Riwayat, Perjuangan dan Doa,” Penerbit Kutub, Yogyakarta, 2006. Mungkin atas pantulan keseharian beliau yang kuceritakan di atas, kami bersaing dengan keyakinan serta resiko berlainan. Entah keakrabanku dengan Fahrudin saat kapan, yang teringat sewaktu di Jogja, aku membaca puisi di sanggar Eska, dan kulihat sekelebat bayangnya. Penulis Haris del Hakim asal Lamongan di sana pula, diriku tak mengetahui, ia berkisah di kala keakraban kami berlangsung di kampung halaman, yang bercerita kegembelanku masa itu; lontang-lantung di setiap kampus, tidur di plafon sanggar, mandi di sembarang perguruan tinggi, yang jelas aku menikmatinya.
Agar tak mbelakrak, kembali ke judul semula, tepatnya Fahrudin pulang kampung, pun diriku, dan kami kerap bertemu di Mojokerto. Kegelisahan FN sampai menganggap kota Jombang seperti kuburan, karena dengungan sastrawi berbahasa Indonesia, bukan nadhoman pesantren, sangat minim. Sementara para tokoh kelahiran Jombang banyak berada di luar daerah, entah Jogja, Jakarta pun lainnya. Ia mengutuki nasib tersebut hingga mendekati titik putus-asa, untung teman-temannya masih ada di Jogja, FN bolak-balik menimba kegairahan bersastra demi bumi kelahirannya dan ditanggapi baik Jabbar Abdullah, lantas terbentuk Komunitas Lembah Pring; salah satu wadah yang kini tampak istikomah menampung, menaburkan harum sastrawi Indonesia, sedari tlatah Jombang, banyu santren dinaungi angin bertuah.
Sebenarnya aku kurang nyaman menulis ini, tiada tantangan sekadar mengenang ulang kejadian, namun siapa tahu ada guna di hari kemudian. Selama di Jogja, aku tak menemukan jejak FN, ya dapat dibilang masih untung diriku, pernah direkam surat kabar setempat atas ulasan penulis KRT. Suryanto Sastroatmodjo (almarhum), penyair Hamdy Salad membahas berdirinya KSTI (Komunitas Sastrawan Tugu Indonesia) yang kugerakkan bersama Y. Wibowo, Akhmad Muhaimin Azzet &ll, sedang penyair Edeng Samsul Maarif asal Cirebon, mengudar terbitnya buku keduaku (yang pertama stensilan bertitel “Sarang Ruh”) kedua berlabel “Balada-balada Takdir Terlalu Dini.”
Pun aku tak mengetahui persis proses kreatif novelis A. Syauqi Sumbawi di kota pelajar itu, baru aku mengenalnya disaat pertemuan sastra di tanah kelahiran kami, Lamongan. Dari jejak kuketahui, FN bukan yang pertama mengobarkan susastra di Jombang, setidaknya alumnus Pesantren Tebuireng, sastrawan Zainal Arifin Thoha (almarhum) sempat mengajakku mengisi acara di Pesantren Tambak Beras, juga kampus Unipdu, lingkungan santren Darul Ulum, Rejoso, Jombang 2004-an. Dan Gus Zainal menemukan bibit unggul sedari santren Tambak Beras, cerpenis Azizah Hefni, yang kini bersuamikan penyair Ahmad Muchlish Amrin.
Sedangkan pecahnya kegelisahan FN dengan terbentuknya Komunitas Lembah Pring baru kemarin tahun 2007-an, ada semacam sistem waktu datangnya betapa lamban, tetapi sangat kuat aromanya di setiap tikungan tajam. Ah, jadi teringat diriku bersama FN mengisi acara di UIN Malang; menyusuri jalan-jalan tanjakan penuh guncangan mawas disaat-saat embrio komunitasnya mematangkan tekad, aku hanya mengamatinya sejarak penciuman.
Kalau membahas sastra lokal sangatlah semarak, gayeng istilah Jogjanya, namun ada hal kurang kusukai, tatkala muncul bayang-bayang senioritas, pengaku-akuan yang kurang penting, terpenting wujud capaiannya; gugusan karya. Di Lamongan sendiri dapat dicatat yang berkarya kian menggeliat, novelis A. Syauqi Sumbawi, Rodli TL, A. Rodli Murtadho, penyair Imamuddin SA &ll. Mereka tergabung dalam Forum Sastra Lamongan, yang kini tak jelas nasibnya, sebagian ke luar kota meneruskan sekolah, ada yang menikah dapat luar daerah, hanya beberapa kali bertemu sapa di dunia maya.
Khususon Jombang, setelah bergulirnya agenda Geladak Sastra pada Komunitas Lembah Pring, dapat dicatat nama-nama selain Fahrudin Nasrulloh, adanya Jabbar Abdullah, Dian Sukarno, Sabrank Suparno, Agus Sulton, Siti Sa’adah, &ll. Kini izinkan diriku membatek ruhaniah geliatnya sebagai penutupnya;
Tak sia-sia bolak-baliknya Networker Kebudayaan Halim HD, sastrawan Fahmi Faqih ke Jombang sekitarnya, mengompori cerpenis Fahrudin Nasrulloh, demi membakar diri dalam api tungku pekuburannya. Kebertemuan tidak rutin tapi dijubeli debat sengit, mematangkan denyut kesusastraan di daerah, menjelma tonggak-tonggak, semoga mampu membentengi pusaran memusat menjadi lebur, tertinggal mensaktikan karya masing-masing. Sebab tiada guna meniupi nama-nama melambung, tapi nyata karyanya kacangan, tak berani dipertanggungjawabkan depan umum, mimbar pengadilan, tidak sekadar tepuk tangan panjang, yang mencipta ketawa terpingkal-pingkal di kesunyian kamar.
FN disokong bacaannya sejak di Denanyar, didukung perpustakaan pribadinya, kukira cukup untuk sementara waktu, sebab rasa haus berbaca tak kan tuntas sebelum memasuki liang lahat. Gejolak pencarian keilmuannya menghipnotis, menularkan minat baca tulis, bagi yang sudah, kian meningkatkan obor kreativitas di tiap ubun-ubun kawan-kawannya menyaksikan tingkah pakolahnya urakan, namun juntrung dalam penulisan. Aku tersenyum saja, kala ia sms padaku mengenai menumbuhkan gairah menerus, saat itu aku curiga semangatnya melemah atau diriku sangking percaya perhatian padanya.
FN yang kini dipandang, kerap diundang acara pertemuan-pertemuan sastra di JaTim, maupun luar daerah, aku kira tak perlu lagi bakar-bakaran semangat, jika masih namanya kebacut. Darinyalah, belantikan sastra Jombang untuk bumi Nusantara mendapati tempat, mulai kerap diperbincangkan, ia telah kubur mitosnya sendiri, yakni Jombang pekuburan.
Sebagai esais tak diragukan lagi, dan sosok peneliti cukup handal mengangkat pernik-pertikaian tradisi, sedari dunia pesantren hingga kesenian ludruk. Beberapa bukunya telah terbit, “Syekh Branjang Abang” Pustaka Pesantren, 2007, “Geger Kiai” Pustaka Pesantren, 2009 &ll. Hampir semuanya berdaya kontemplatif luar biasa, perasan ruang-waktu, jejalan peristiwa diselusupkan tak sekadar dalam, tapi menyusup seakaran pepohon menghisap sumber mata air kedalaman hikmah. Dapat dipastikan hasil-hasil kerjanya memberi sumbangsih penelitian kebudayaan, para penulis mendatang untuk mentafakkuri, jika Bumi Pertiwi masih mendambai nilai-nilai adi luhung.
Penulis muda yang menempa hari-harinya berbaca, senantiasa menggenggam sikap kukuh. Jika sifat ini dipelihara, Tuhan Maha Kuasa pasti mendukung langkahnya. Tidakkah bentuk-bentuk istikomah melebihi seribu karomah, para malaikat tertunduk malu kepadanya, pula orang-orang edan memiliki gelombang netral, dapat dipastikan tersetut dinayanya. Manusia-manusia unggul mampu berbicara yang mengisari sekeliling dirinya, berkah ilmu menancapkan tiang pancang, suatu hari nanti turunannya peroleh limpahannya, sedang keikhlasan menggetarkan tiap-tiap persendian jiwa.
Ia kerap berucap kata; “jangan banyak bacot” &ls, sebagai cermin betapa hari-harinya kenyang dijejali gelisah, demi terus menulis, menuntaskan tekad memakmurkan daerah. Mengenai komunitasnya aku masih melihat, sebab banyak sekali nggelimpang atas hal-hal sepele, tetapi jiwa matang tempaan hidup, realitas nalar dipukuli kepahitan, kan selalu mengobarkan juang, apalagi bangsa Indonesia baru “50% Merdeka,” menjumput istilah dari penyair Heri Latief. Dan ruhani kepatriotikan tanah pedalaman Jombang, masih mewangi, ini tak lebih darah para pahlawan tetap segar mendenyuti nadi anak-anaknya, yang taat memegang bara keadilan.
Jombang, 22 November 2010
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Indonesia.
Nurel Javissyarqi *
Sebelum jauh menelusuri judul di atas, diriku teringat awalkali melangkahkan kaki ke tanah Jombang, tahun 1993. Dari rumah di Lamongan, aku persiapkan niat menimba keilmuan mengeruk ketololan demi semakin menginsyafi kebodohan. Terbayang di kepalaku sosok-sosok insan ampuh pada daerah kan kudiami, para pejuang serta penyebar ajaran Islam; KH. Hasyim Asy’ari, KH. A. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Sansuri, dan tokoh-tokoh masih hidup dikala itu; Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, serta tidak terkecuali budayawan Emha Ainun Nadjib, yang sampai kini menyetiai lelakunya mengayomi rakyat jelata, masyarakat pedalaman.
Setiap langkah kubaca tanda kan terjadi, kusapa dedaunan terlintas di pinggir jalan; jalur ini kelak laluan sering kulewati. Pun menyimak gemawan sambil merasai apakah pribadiku tergolong dirahmati menggapai cita. Demikian memasuki kota lain, diuntit bayang-bayang masa silam; penjajahan di Bumi Pertiwi juga nasib apakah yang bakal menimpa bangsa ini. Aku lebih suka menyuntuki alam raya, ialah lelembaran catatan yang tiada membohongi. Tentu melewati lelatihan, mengidentifikasi kemungkinan atas periodisasi, sedari sanalah perkiraan tepat searah.
Aku terkagum kualitas anak-anak bangsa yang dilahirkan di bencah tandus berpasir, dataran Jombang serupa Ponorogo yang gersang atau Cirebon bagian selatan. Terus kepalaku menggeliat, mengira-ira jikalau di jaman dulu, ada sebuah gunung besar meletus, lantas tinggal sisa-sisa abunya. Pun tak kurang teringat kabar kudengar semasa sekolah dasar, semisal wilayah berbasis agamis, biasanya berdampingan kaum begundal.
Kontradiksi itu menerbitkan pemahaman, kawasan makmur pemikiran, tentu ada tirakat lahir sejenis kemiskinan, yang ditancapkan unen-unen orang utama; ilmu kan mendekati yang berpayah-payah. Juga benturan hawa religiusitas tak berhembus kuat, jikalau tiada tekanan sedari kebalikannya. Lalu terngiang keramaian pasar, tempat segala keteledoran, yang di sebelahnya, syiar Keilahian ramai berkumandang.
Jombang kota santri, begitu orang-orang menyebutnya. Ini tak bisa dipungkiri, ada puluhan, bahkan ratusan pesantren jika ditelisik dari kecil-kecil sampai yang tersohor namanya. Adanya sekte-sekte atau mazhab ajaran Islam tersebar di sana, semua memakmurkan nalar iman, mengembangkan khasanah spiritual, mensejahterahkan umat demi nada-nada kebersatuan. Para penimbanya tak sekadar tetangga kota; Malang, Sidoarjo, Surabaya, Lamongan, Bojonegoro, Tuban, bahkan luar jauh; Kebumen, Jogjakarta, Jepara, Cirebon, Jakarta, Banten &ll, disamping tidak sedikit dari luar kepulauan; Aceh, Padang, Samarinda, Makassar, tak terkeculai dari Irian &st.
Fenomena itu menghantuiku yang kuandaikan kota Mesir, akan ruhaniah pengetahuannya, mencurigai kerahasiaan di dalamnya menyembulkan aroma kesturi. Membaca alam sambil memadukan orang-orangnya, menguap embun fikirku memendarkan teka-teki silang-sengkarut mengurai benang kusut. Pelahan-lahan kuamati amis sungainya, bau menyengat pabrik tebu, nuanse kota nanggung, warga etnis Cina dipastikan penggerak perekonomiannya, ini merata pada pulau Jawa, selain di Kota Gede, Jogjakarta.
Selama tiga tahun kupelajari kota tersebut demi membaca pantulan wewajah serupa, seperti daerah-daerah di pelosok Tanah Air berlabel Kauman, diambil dari kalimah; kumpulan kaum beriman. Di Jombang aku kerap jalan kaki ke dusun-dusun terpencil, memandang perkebunan tembakau, rumput pepadian kurang subur, kuburan Cina yang mewah, suara klenteng bergaung, bioskop, kadang lelah naik becak jika di kota. Orang tuaku sempat membelikanku sepeda, sehingga leluasa menyinahui pernik mistisnya. Keluar-masuk santren, salam sungkem ke setiap kuanggap ampuh, sampai kuyakini tak keliru pilihanku ke Jombang, sebelum ke Jogja menjejaki pengalaman.
Entah terpaksa atau kebetulan, di pesantren aku tak dapati ruang ekspresikan jiwa di bingkai lukisan, yang sebelumnya terbiasa kalau ada perasaan menggejalai badan, langsung mengguratkan cat minyak di kanvas. Maka bersusah payah, kupindahkan gejolak diri dalam tulisan di lelembaran kertas dengan pena. Bacaanku minim karena sering keluyuran, jelas tidak mendukung polaku menggumuli kata, olehnya tulisan awalku potretan semata, belum menghisap perihal membetot jiwa.
Jalan ini dimungkinkan sebab pangasuh pesantren yang aku diami seorang penulis, penyusun kitab, penerjemah bahasa arab, dimana sehari-harinya tiada waktu istirah; membaca, menulis. Selama tiga tahun aku amati, seakan satu jam paling banter dua jam istirah dalam sehari. Hal tersebut membuatku cemburu, sebagai anak muda tentu tertantang melampaui. Dan kucoba membaca tak henti-henti berhari-hari sampai merasakan keadaan mabuk, hingga sang kiai menyindirku; belajar ya belajar, tapi jangan sampai mabuk.
Kesastrawanan Emha Ainun Najib kian santer bergema, kabar penyair sedari Menturo, Jombang, yang tinggal di Jogjakarta itu menghisap seluruh perhatian, apalagi bagi yang tinggal di kota kelahirannya. Yang mana diriku awal menancapkan niat menggeluti sastra. Buku Emha kubaca, nadhoman pelajaran bersyair mulai menghantui, demi aku loloskan dalam khasana Indonesia, serta semua pendukung kemauanku berbelok, tepatnya menyembuhkan sedari minat lukis yang tidak tersalurkan.
Alam pesantren meraup keilmuan Islami berbalutan lokalitas menjelmakan diri se-istilah Islam Jawa. Apakah sejarah, filsafat, ilmu hitung, perbintangan, mantek &ll, sangatlah mewarnai denyutan Jombang. Tidak ketinggalan susastra sebagai sarana berbahasa dalam penyebaran ajarannya pada kitab-kitab kuning atau klasik, menjadi lagu merdu menyusupnya faham-faham diingini sang pengarangnya.
Olehnya tak dapat disangkal, pesantren salah satu gudang susatra tersembunyi, hanya yang ingin mengangkat ke alam lebih umum, khususnya dalam bahasa Indonesia, tentu tidak terbantahkan. Tak diragukan, karya sastra bercorak Islam di bumi Nusantara, tegak bergoyang rindang sepohonan tinggi tegap melambaikan dedaun hijaunya, sebagai perlambang kemakmuran atas pupuk memberkah para pendahulunya.
Di asrama Al-Aziziyah, diriku adik kelas Moammar Emka, penulis buku “Jakarta Undercover” yang tulisannya kukira kurang berfaedah, jika ditengok sisi keberangkatan dirinya meski sempat meledak, kecuali sekadar informasi bagi insan metropolis yang haus hiburan malam. Padahal dikala itu, Emka sangat tekun belajar berpidato kayak Soekarno di depan cermin, ah menjijikkan sampai terjadi baku-hantam karenanya. Sebelah kamar kami, tepatnya dihuni siswa MAN PK, ada murid bernama Fahrudin Nasrulloh yang sama-sama nantinya melanjutkan sekolah di Jogjakarta seangkatan-ku, tapi aku tak mengenalnya. Hanya selepas kuliah, namanya baru berkibar. Demikian benturan watak bersegenap intrik dalam keseharian, membetulkan nasib masing-masing atas alasan sendiri-sendiri.
Asrama itu diasuh KH. A. Aziz Masyhuri, salah satu karyanya “99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara: Riwayat, Perjuangan dan Doa,” Penerbit Kutub, Yogyakarta, 2006. Mungkin atas pantulan keseharian beliau yang kuceritakan di atas, kami bersaing dengan keyakinan serta resiko berlainan. Entah keakrabanku dengan Fahrudin saat kapan, yang teringat sewaktu di Jogja, aku membaca puisi di sanggar Eska, dan kulihat sekelebat bayangnya. Penulis Haris del Hakim asal Lamongan di sana pula, diriku tak mengetahui, ia berkisah di kala keakraban kami berlangsung di kampung halaman, yang bercerita kegembelanku masa itu; lontang-lantung di setiap kampus, tidur di plafon sanggar, mandi di sembarang perguruan tinggi, yang jelas aku menikmatinya.
Agar tak mbelakrak, kembali ke judul semula, tepatnya Fahrudin pulang kampung, pun diriku, dan kami kerap bertemu di Mojokerto. Kegelisahan FN sampai menganggap kota Jombang seperti kuburan, karena dengungan sastrawi berbahasa Indonesia, bukan nadhoman pesantren, sangat minim. Sementara para tokoh kelahiran Jombang banyak berada di luar daerah, entah Jogja, Jakarta pun lainnya. Ia mengutuki nasib tersebut hingga mendekati titik putus-asa, untung teman-temannya masih ada di Jogja, FN bolak-balik menimba kegairahan bersastra demi bumi kelahirannya dan ditanggapi baik Jabbar Abdullah, lantas terbentuk Komunitas Lembah Pring; salah satu wadah yang kini tampak istikomah menampung, menaburkan harum sastrawi Indonesia, sedari tlatah Jombang, banyu santren dinaungi angin bertuah.
Sebenarnya aku kurang nyaman menulis ini, tiada tantangan sekadar mengenang ulang kejadian, namun siapa tahu ada guna di hari kemudian. Selama di Jogja, aku tak menemukan jejak FN, ya dapat dibilang masih untung diriku, pernah direkam surat kabar setempat atas ulasan penulis KRT. Suryanto Sastroatmodjo (almarhum), penyair Hamdy Salad membahas berdirinya KSTI (Komunitas Sastrawan Tugu Indonesia) yang kugerakkan bersama Y. Wibowo, Akhmad Muhaimin Azzet &ll, sedang penyair Edeng Samsul Maarif asal Cirebon, mengudar terbitnya buku keduaku (yang pertama stensilan bertitel “Sarang Ruh”) kedua berlabel “Balada-balada Takdir Terlalu Dini.”
Pun aku tak mengetahui persis proses kreatif novelis A. Syauqi Sumbawi di kota pelajar itu, baru aku mengenalnya disaat pertemuan sastra di tanah kelahiran kami, Lamongan. Dari jejak kuketahui, FN bukan yang pertama mengobarkan susastra di Jombang, setidaknya alumnus Pesantren Tebuireng, sastrawan Zainal Arifin Thoha (almarhum) sempat mengajakku mengisi acara di Pesantren Tambak Beras, juga kampus Unipdu, lingkungan santren Darul Ulum, Rejoso, Jombang 2004-an. Dan Gus Zainal menemukan bibit unggul sedari santren Tambak Beras, cerpenis Azizah Hefni, yang kini bersuamikan penyair Ahmad Muchlish Amrin.
Sedangkan pecahnya kegelisahan FN dengan terbentuknya Komunitas Lembah Pring baru kemarin tahun 2007-an, ada semacam sistem waktu datangnya betapa lamban, tetapi sangat kuat aromanya di setiap tikungan tajam. Ah, jadi teringat diriku bersama FN mengisi acara di UIN Malang; menyusuri jalan-jalan tanjakan penuh guncangan mawas disaat-saat embrio komunitasnya mematangkan tekad, aku hanya mengamatinya sejarak penciuman.
Kalau membahas sastra lokal sangatlah semarak, gayeng istilah Jogjanya, namun ada hal kurang kusukai, tatkala muncul bayang-bayang senioritas, pengaku-akuan yang kurang penting, terpenting wujud capaiannya; gugusan karya. Di Lamongan sendiri dapat dicatat yang berkarya kian menggeliat, novelis A. Syauqi Sumbawi, Rodli TL, A. Rodli Murtadho, penyair Imamuddin SA &ll. Mereka tergabung dalam Forum Sastra Lamongan, yang kini tak jelas nasibnya, sebagian ke luar kota meneruskan sekolah, ada yang menikah dapat luar daerah, hanya beberapa kali bertemu sapa di dunia maya.
Khususon Jombang, setelah bergulirnya agenda Geladak Sastra pada Komunitas Lembah Pring, dapat dicatat nama-nama selain Fahrudin Nasrulloh, adanya Jabbar Abdullah, Dian Sukarno, Sabrank Suparno, Agus Sulton, Siti Sa’adah, &ll. Kini izinkan diriku membatek ruhaniah geliatnya sebagai penutupnya;
Tak sia-sia bolak-baliknya Networker Kebudayaan Halim HD, sastrawan Fahmi Faqih ke Jombang sekitarnya, mengompori cerpenis Fahrudin Nasrulloh, demi membakar diri dalam api tungku pekuburannya. Kebertemuan tidak rutin tapi dijubeli debat sengit, mematangkan denyut kesusastraan di daerah, menjelma tonggak-tonggak, semoga mampu membentengi pusaran memusat menjadi lebur, tertinggal mensaktikan karya masing-masing. Sebab tiada guna meniupi nama-nama melambung, tapi nyata karyanya kacangan, tak berani dipertanggungjawabkan depan umum, mimbar pengadilan, tidak sekadar tepuk tangan panjang, yang mencipta ketawa terpingkal-pingkal di kesunyian kamar.
FN disokong bacaannya sejak di Denanyar, didukung perpustakaan pribadinya, kukira cukup untuk sementara waktu, sebab rasa haus berbaca tak kan tuntas sebelum memasuki liang lahat. Gejolak pencarian keilmuannya menghipnotis, menularkan minat baca tulis, bagi yang sudah, kian meningkatkan obor kreativitas di tiap ubun-ubun kawan-kawannya menyaksikan tingkah pakolahnya urakan, namun juntrung dalam penulisan. Aku tersenyum saja, kala ia sms padaku mengenai menumbuhkan gairah menerus, saat itu aku curiga semangatnya melemah atau diriku sangking percaya perhatian padanya.
FN yang kini dipandang, kerap diundang acara pertemuan-pertemuan sastra di JaTim, maupun luar daerah, aku kira tak perlu lagi bakar-bakaran semangat, jika masih namanya kebacut. Darinyalah, belantikan sastra Jombang untuk bumi Nusantara mendapati tempat, mulai kerap diperbincangkan, ia telah kubur mitosnya sendiri, yakni Jombang pekuburan.
Sebagai esais tak diragukan lagi, dan sosok peneliti cukup handal mengangkat pernik-pertikaian tradisi, sedari dunia pesantren hingga kesenian ludruk. Beberapa bukunya telah terbit, “Syekh Branjang Abang” Pustaka Pesantren, 2007, “Geger Kiai” Pustaka Pesantren, 2009 &ll. Hampir semuanya berdaya kontemplatif luar biasa, perasan ruang-waktu, jejalan peristiwa diselusupkan tak sekadar dalam, tapi menyusup seakaran pepohon menghisap sumber mata air kedalaman hikmah. Dapat dipastikan hasil-hasil kerjanya memberi sumbangsih penelitian kebudayaan, para penulis mendatang untuk mentafakkuri, jika Bumi Pertiwi masih mendambai nilai-nilai adi luhung.
Penulis muda yang menempa hari-harinya berbaca, senantiasa menggenggam sikap kukuh. Jika sifat ini dipelihara, Tuhan Maha Kuasa pasti mendukung langkahnya. Tidakkah bentuk-bentuk istikomah melebihi seribu karomah, para malaikat tertunduk malu kepadanya, pula orang-orang edan memiliki gelombang netral, dapat dipastikan tersetut dinayanya. Manusia-manusia unggul mampu berbicara yang mengisari sekeliling dirinya, berkah ilmu menancapkan tiang pancang, suatu hari nanti turunannya peroleh limpahannya, sedang keikhlasan menggetarkan tiap-tiap persendian jiwa.
Ia kerap berucap kata; “jangan banyak bacot” &ls, sebagai cermin betapa hari-harinya kenyang dijejali gelisah, demi terus menulis, menuntaskan tekad memakmurkan daerah. Mengenai komunitasnya aku masih melihat, sebab banyak sekali nggelimpang atas hal-hal sepele, tetapi jiwa matang tempaan hidup, realitas nalar dipukuli kepahitan, kan selalu mengobarkan juang, apalagi bangsa Indonesia baru “50% Merdeka,” menjumput istilah dari penyair Heri Latief. Dan ruhani kepatriotikan tanah pedalaman Jombang, masih mewangi, ini tak lebih darah para pahlawan tetap segar mendenyuti nadi anak-anaknya, yang taat memegang bara keadilan.
Jombang, 22 November 2010
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar