Selasa, 19 Oktober 2010

Massa Penyair dan Fanatisme Memalukan

Binhad Nurrohmat
http://www.kr.co.id/

BILA DISENSUS, penembus rekor tertinggi jumlah penulis sastra kita selama ini adalah penyair. Makhluk ini sangat populer, “sakral”, sarat legenda serta mitos dalam dunia penulisan sastra kita selama ini, dibandingkan makhluk lain bernama novelis maupun kritikus. Dua penulis sastra yang terakhir ini jumlahnya minim, bisa dikata hanya sehitungan jari tangan kita. Penyair juga dianggap representasi paling umum kesusastraan kita serta juru bicara kebudayaan kita.


Hampir setiap kota provinsi di Indonesia memiliki penyair yang dianggap sebagai wakil dari basis geografis-administratifnya masing-masing. Bahkan ada predikat personal-geografis yang dilekatkan pada identitas seorang penyair didasarkan pada tempat domisilinya, misal Afrizal Malna Penyair Jakarta, Acep Zamzam Noor Penyair Bandung, Amien Wangsitalaja Penyair Yogyakarta, Warih Wisatsana Penyair Bali, Isbedy Stiawan ZS Penyair Lampung dan masih banyak lagi.

Selain itu, saking banyaknya jumlah serta interaksi yang kuat antar penyair, mereka mendirikan komunitas atau forum di daerahnya masing-masing, yang sebagian besar anggota dan ketua serta pendirinya adalah penyair juga. Di Bandung ada Forum Sastra Bandung (FSB), di Jakarta ada Komunitas Utan Kayu (KUK) dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI), di Bali ada Sanggar Minum Kopi (SMK). Menurut sebuah penelitian, ada lebih dari 50 komunitas di sekitar Jabotabek. Kecenderungan mengelompok seperti ini tak ditemukan pada kelompok penulis sastra yang lain.

Ada sejumlah asumsi mengenai kecenderungan itu. Pertama, untuk menciptakan komunikasi kreatif yang lebih intens melalui acara atau agenda pertemuan. Kedua, manifestasi ketakpercayaan atau ketakmampuan untuk ’sendirian’ mengolah potensi kreatif, sehingga membutuhkan kelompok atau komunitas untuk mengukuhkan eksistensi. Maka ada gejala seolah komunitas-komunitas itu menjelma sebagai ‘blok-blok’ kelompok sastrawan tertentu yang menunjukkan adanya upaya saling bersaing satu dengan yang lain dan memiliki ‘massa fanatik’ masing-masing.

Fenomena kepenyairan kita belum juga surut, setidaknya dari segi jumlah personal dan produksi teks puisi. Hampir setiap penyair kita pernah mempublikasikan/mengirimkan puisi ke media massa (yang memiliki rubrik puisi) dan memiliki antologi puisi tunggal maupun kolektif dalam bentuk manuskrip maupun buku. Juga sudah lama ada media yang mengkhususkan diri memuat puisi seperti Jurnal Puisi. Situs-situs sastra kita seperti Cybersastra.net dan Bumimanusia.or.id juga lebih banyak diserbu puisi. Penghargaan sastra Anugerah Sastra Chairil Anwar, Lontar Award, Khatulistiwa Literary Award, Rancage (dan masih banyak lagi) maupun penghargaan sastra dari mancanegara seperti SEA Write Awards (Thailand), Hadiah A Teeuw (Belanda), maupun Hadiah Yayasan Wertheim (Belanda) lebih banyak yang disabet penyair ketimbang kelompok penulis sastra yang lain. Gambaran-gambaran demikian barangkali yang telah ikut memberikan sebuah pembesaran citra kepenyairan kita tampak kuat, mapan dan legitimated dalam dunia penulisan sastra kita sampai detik ini.

Massa Penyair

NAMUN pembesaran citra itu tak selalu persis dengan kondisi obyektif kualitas mayoritas kepenyairan kita. Ada semacam pars prototo dalam dunia kepenyairan kita saat ini. Prestasi kepenyairan yang diraih oleh hanya minoritas penyair, seakan telah membuat mayoritas penyair juga terangkat citranya, tersanjung. Kemudian dari sikap gede rasa ini muncul nuansa semangat massa yang luar biasa besarnya, kadang dihiasi histeria dan terciptalah semacam “massa penyair” –istilah yang semoga saya pakai sementara saja. Massa ini berada di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Bali dan Lampung, Tangerang dan daerah-daerah lainnya dan sekarang masih aktif bekerja memproduksi teks puisi yang melimpah jumlahnya.

Rekor jumlah penyair kita mungkin sebuah ‘prestasi’ tersendiri secara sosiologis dan fenomena menarik di mata para pengkaji cultural studies. Tapi prestasi jumlah itu tampaknya sangat jelas tak seimbang dengan jumlah upaya eksplorasi yang lebih jauh. Sebagaimana karakter massa, puisi penyair kita saat ini cenderung seragam tema dan pengucapannya. Penyair kita seperti bekerja dalam sebuah rumah berdinding cermin, sehingga yang berada di dalamnya satu sama lain saling berpantulan bayangannya, melakukan pesta besar interteks.

Penyair kita saat ini lebih banyak mempertebal garis capaian-capaian lama yang sudah digaritkan para pendahulunya ketimbang melakukan eksplorasi inovatif dan hanya berputar-putar dalam labirin capaian-capaian lama itu dan tak kunjung mampu menembus batas garis atau menemukan lorong keluar dari dinding-dinding labirin usang yang mengurungnya itu. Barangkali tuduhan demikian ini sudah klise, berulang-ulang. Tapi justru itu menjadi sebuah petunjuk bahwa kepenyairan kita memang belum berubah dan tak beranjak dari titik-titik itu juga.

Dari kondisi demikian, sampai-sampai ada ungkapan pesimis-retoris dari lingkungan penyair muda seperti Jamal D Rahman, “Jika para penyair terdahulu telah hampir menghabiskan eksplorasi dalam pengucapan, apalagi yang bisa tersisa untuk kami?”. Pesimisme ini sebuah representasi wajar dari dalam lingkungan penyair kita yang sadar diri dan sekaligus gelisah dengan kemacetan mobilitas estetik dalam perpuisian kita saat ini. Pesimisme ini dengan sangat menggebu dan panjang lebar dinilai esais Nirwan Dewanto sebagai adanya perasaan dibebani oleh sejarah sastra nasional. Menurut esais ini, ada yang patut dipertimbangkan dari ungkapan ini, antara lain, bahwa dia (Jamal D Rahman-pen) sedang menyempitkan dunia dan menutup mata pada sumber dari segala zaman yang sebenarnya bisa dia pilih secara merdeka, tetapi ternyata tidak pada ‘para penyair terdahulu’ (…) sehingga dia tak pernah siap menjelajahi kemungkinan yang begitu kaya dalam khazanah puisi yang sesungguhnya (…) ibarat sebuah bidang lukisan sudah terisi barik dan jejak para pendahulu, sehingga baginya hanya tersisa sebuah pojok kosong yang kecil saja, di mana ia hanya bisa melanjutkan bentuk-bentuk yang sudah (terlanjur) ada.

Saya kira dalam konteks ini Jamal D Rahman dengan ungkapan pesimistik itu hanya ingin jujur memberikan sebuah representasi obyektif kondisi kepenyairan kita saat ini. Dan tanggapan kritis Nirwan Dewanto itu suatu upaya terobosan untuk memberikan solusi yang kemungkinan bisa menjawab dan memecahkan pesimisme penyair Jamal D Rahman itu. Representasi jujur-obyektif Jamal D Rahman tentang kepenyairan kita dan dialektika-kritis sebagaimana yang ditawarkan Nirwan Dewanto, adalah contoh persentuhan dua pendapat yang aktif dan produktif. Tanpa harus berpolemik panjang berbusa-busa sebagaimana tradisi polemik kita selama ini tentang dunia sastra kita yang cenderung tanpa hasil cuatan solusi atau dialektika yang signifikan dan hanya menjadi tumpukan wacana yang beku, tak fungsional, nihil. Dua pendapat itu merupakan wujud keprihatinan mendalam terhadap dinamika kepenyairan kita saat ini. Banyakkah makhluk sejenis ini yang masih mau meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk menyumbangkan pemikirannya bagi perkembangan puisi kita?

Adanya sinisme, olok-olok intelektual ataupun sekadar anekdot yang nyata-nyata ditujukan pada hasil kerja kepenyairan kita saat ini, kerap muncul dengan nada vulgar dan menggugat (melalui forum diskusi maupun tulisan di media massa) itu saya kira sangat wajar, bahkan ‘menguntungkan’ dan di baliknya mungkin justru mengeram niat baik untuk bersikap kritis dan obyektif pada kondisi kepenyairan kita saat ini. Menurut saya, sikap sumbang itu bukan suatu nonsense belaka. Sikap itu mesti diterima dan dimaknai sebagai representasi yang memiliki akar-akar kausalitas obyektif yang bisa dirunut pijakan paradigma dan nilai kebenarannya. Dengan pemahaman lain, sikap sumbang itu menjadi semacam warning signifikan bagi kepenyairan kita saat ini. Semua itu representasi kerja kritik dalam versi lain.

Kenapa Jadi Massa

KESERAGAMAN dan kemacetan mobilitas estetik puisi penyair kita saat ini disinyalir, salah satunya, karena adanya bias berlebihan dari semaraknya puisi kita di media massa jurnalisme sastra. Terutama koran. Koran-koran penting (di Jakarta) yang memiliki rubrik puisi konon selalu kebanjiran serbuan kiriman naskah puisi para penyair yang berdomisili di Jakarta maupun daerah. Kondisi demikian seringkali merepotkan pihak redaksi untuk melakukan pemilihan terhadap unggunan naskah yang menumpuk di mejanya. Hal ini memaksa redaktur untuk harus memilih dengan kriteria-kriteria tertentu yang mungkin bersifat subyektif, sebab tidak adanya konvensi yang jelas dan pasti tentang puisi (yang baik). ‘Subyektif’ di sini lebih tepatnya sebagai sebuah pilihan yang sesuai dengan selera redaktur, yang kadang tak bisa dipaparkan secara rinci dan jelas. Akibatnya, muncul identifikasi terhadap sebuah corak atau warna puisi yang dimuat media jurnalisme sastra tertentu yang diidentikkan dengan pilihan selera redakturnya. Contoh, pada tahun 70 dan 80-an koran Berita Buana ketika masih memiliki rubrik puisi yang diredakturi Abdul Hadi WM yang identik dengan puisi sufistik, atau majalah Aktuil yang diredakturi Remy Silado dengan puisi mBeling. Kecenderungan identifikasi demikian ini berlangsung juga pada media jurnalisme sastra saat ini, meskipun agak tak mudah untuk merumuskan dan memetakannya secara tepat-menyeluruh.

Sementara itu penyair kita sudah kadung mempertaruhkan dan menggantungkan media ekspresi puisinya melalui media jurnalisme sastra (khususnya koran) dengan semacam ‘histeria publikatif’. Hal ini membuat penyair kita terpaksa (sadar atau di luar sadar) kompromi dalam kerja kreatifnya, menyesuaikan diri dengan corak puisi media jurnalisme sastra yang diharapkan bisa memuat puisinya. Kondisi demikian membuat puisi yang dimuat media dijadikan sebagai konvensi puisi. Salah kaprah ini pun seakan-akan menjadi kesadaran umum penyair kita tentang hakikat kerja kreatif, terutama puisi. Tapi justru pola kerja demikian membuat keseragaman penulisan puisi penyair kita ’selamat’ dan menemukan wilayah atau medium dan memberi ruang yang bisa menampung ekspresinya yang dipercayai dapat memberikan legitimasi kepenyairan, terutama media jurnalisme sastra yang dinilai memiliki citra istimewa. Akibat ketergantungan berlebihan ini, membuat penyair kita menjadi kehilangan kepribadian, mampat eksplorasi kreatifnya yang radikal-alternatif dan sekadar menjadi massa pengikut mainstream puisi tertentu, mungkin, dengan kadar fanatisme yang memalukan.

Gambaran di atas menunjukkan sebuah disorientasi eksistensial penyair kita yang lebih banyak melebarkan ruang legitimasi melalui media jurnalisme sastra dan menciutkan ruang untuk eksistensialisasi individu penyair lewat nilai sastra itu sendiri. Puisi dijadikan jalan pintas yang pragmatis dan efektif untuk mencari sumber pemasok ke dalam ruang eksistensi yang belum penuh dengan cara simbolik hadir menemui publik pembaca yang seluas-luasnya. Sehingga seorang penyair merasa sudah berhasil bila puisinya dimuat media jurnalisme sastra dan merasa gagal bila tak ada satu media pun yang memuatnya.

Penyair kita tanpa sadar justru lebih banyak ‘belajar’ menulis puisi secara sekilas dari puisi yang dimuat media jurnalisme sastra itu dan sangat jarang membaca, belajar dan melakukan pembandingan khazanah puisi dari literatur (buku) penyair lain (terutama puisi dunia) yang sebenanrya layak untuk dijadikan bahan untuk belajar karena khazanahnya yang begitu beragam dan luas. Puisi koran kemudian menjadi mainstream yang luas dan kuat yang diam-diam ‘melemaskan’ gairah idealisme kerja kreatif yang difference atau alternatif. Kelemasan ini berlangsung massal dan hanya segelintir penyair yang berani dan mampu mengambil jalan lain dan bekerja keras melepaskan diri dari kelemasan massal itu, lalu belajar dan berpaling pada literatur lain yang lebih memungkinkannya mendapatkan keluasan wawasan puitika.

Jam Kerja Laborat

PENYAIR KITA sangat jarang yang memiliki disiplin dan metoda kerja kreatif, atau katakanlah ‘jam kerja’, yang diterapkan secara ketat. Misal, dalam sehari berapa jamkah penyair kita menggeluti puisi, bertarung dengan bahasa, bermain-main dengan kemungkinan-kemungkinan artistik di ‘laboratorium’ kerjanya? Tradisi menulis puisi penyair kita masih bersifat sambil lalu dan lebih mengandalkan keterampilan bakat alam belaka sebagaimana cara kerja seniman tradisional. Payahnya disiplin dan metoda kerja membuat penyair kita terperosok ke dalam kepicikan-kepicikan pada mainstream penulisan yang tidak berkembang dan konservatif, sehingga terpencil dari perkembangan puisi (yang sesungguhnya) jauh di luar sana.

Selain itu, dimensi intelektual penyair kita jarang diasah dengan bahan-bahan wacana sastra dan kebudayaan secara luas, sehingga kesadaran intelektualnya tidak dinamis, bahkan merosot ditandai dengan minimnya pemikiran sastra dari penyair kita. Efek dari kemerosotan dan ketidakdinamisan intelektual ini adalah kekurangmampuan (kemalasan?) untuk mengambil saripati kazanah sastra dan wacana yang ada untuk keperluan memperkaya agenda kerja kreatifnya. Sehingga kritik-kritik puisi yang ada saat ini pun menjadi tidak operasional, karena penyair kita tidak memiliki kepekaan intelektual.

Massa penyair ini kemudian menjadi sekadar para pecandu bahasa yang letih tapi terus saja keras kepala bekerja dengan cara memunguti bias-bias dan remah-remah puisi mainstream yang ada dan tak ada usaha untuk mencoba menembus khazanah puitika yang lebih luas yang masih mungkin dirambahinya. Sebab bagi penyair kita, produktivitas terlanjur jadi ukuran penting. Maka, sebagaimana yang pernah saya ungkapkan, biografi kerja (track record) kepenyairan kerap menjadi kebanggaan dan seringkali direkayasa dengan pembubuhan-pembubuhan biografi kepenyairan yang tak jujur (’Dusta Biografis’ Kepenyairan Indonesia, Republika Minggu, 2 Desember 2001).

Kemana massa penyair kita saat ini akan menempuh arah perkembangannya? Energi budaya yang fantastik itu masih menggeliat-geliat, asyik sendiri dan hiruk-pikuk di tempat di tengah gemuruh percepatan perkembangan ilmu, teknologi maupun cabang-cabang seni lain yang berada di sekitarnya. Betapa luar biasa perkembangan prosa kita dengan sejumlah capaian, masterpiece dan tokoh sastrawannya yang mumpuni dan diakui dunia internasional. Penyair kita sekarang harus menengok serta mempertimbangkan gemuruh di sekitarnya itu untuk menggenjot dan mereformasi hasil kerja kreatifnya seoptimal mungkin, atau hanya akan jadi kerak kebudayaan nasional yang tersisih di negeri sendiri (apalagi bagi standar seni kosmopolit). Percayalah, bila tidak ada perubahan fundamental terhadap pola kerja dan wawasan intelektual yang meluas melampaui batasan-batasan lokal dan nasional, penyair kita kian terpuruk dan menjadi sehimpun massa yang hanya ribut-ribut dengan persoalan-persoalan usang dan klise itu melulu.

* Binhad Nurrohmat, penyair dan kurator Indonesia Literature Watch.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Alexander A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Dahana A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.C. Andre Tanama A.J. Susmana A.S. Laksana A’an Jindan AS Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Rauf Singkil Abdul Walid Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adek Alwi Adhi Pandoyo Adhitia Armitrianto Adhy Rical Adi Faridh Adian Husaini Adin Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrizas Adu Pesona Sang Wakil Presiden RI AF. Tuasikal Afri Meldam Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agit Yogi Subandi Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Rakasiwi Agus Sulton Agus Wibowo Agus Wirawan Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ah. Atok Illah Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Anshori Ahmad Damanik Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Hasan MS Ahmad Jauhari Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad S. Zahari Ahmad Syafii Maarif Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fiah Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Siddiq Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al-Fairish Al-Ma'ruf I Al-Ma'ruf II Alang Khoiruddin Albert Camus Ali Mahmudi Ch Alia Swastika Alvi Puspita Alvin Amien Wangsitalaja Aminah Aming Aminoedhin Ana Mustamin Anam Rahus Anas AG Andhi Setyo Wibowo Andi Gunawan Andry Deblenk Angela Anggie Melianna Anindita S. Thayf Anis Ceha Anitya Wahdini Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anugerah Ronggowarsito Anwar Nuris Aprillia Ika Arida Fadrus Aridus Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Ariel Heryanto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Arwan Aryo Wisanggeni Aryo Wisanggeni Gentong AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Ashadi Ik Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asro Kamal Rokan Astrid Reza Asvi Warman Adam Atafras Atok Witono Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azwar Nazir Baca Puisi Badrus Siroj Bahrul Ulum A. Malik Balada Bambang kempling Bambang Riyanto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berita Utama Bernando J. Sujibto Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Bre Redana Brunel University Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Jay Utomo Budi P. Hatees Budi Palopo Budi Setyarso Budi Sp. Indrajati Budiman S. Hartoyo Budiman Sudjatmiko Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Choirul Rikzqa Christian Heru Cahyo Saputro Cover Buku D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dadang Widjanarko Damiri Mahmud Dani Fuadhillah Daniel Paranamesa Darju Prasetya Dati Wahyuni Dawet Jabung Ponorogo Dedykalee Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Deshinta Arofah Dewi Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan Dewi Anggraeni Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Didik Kusbiantoro Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dorothea Rosa Herliany Dr Andi Irawan Dr Siti Muti’ah Setiawati Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Drs. Solihin Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddi Koben Edeng Syamsul Ma’arif Edy Apriyanto Sudiyono Edy Firmansyah Edy Susanto Efri Ritonga EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hartono Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elita Sitorini Elly Trisnawati Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Em. Syuhada' Emha Ainun Nadjib Encep Abdullah Eni Sulistiyawati Eny Rose Esai Ester Lince Napitupulu Etik Widya Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathan Mubarak Fathul Qodir Fathul Qorib Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Seni Surabaya 2011 Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fikri. MS Fiqih Arfani Firman Daeva Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Forum Santri Nasional (FSN) Free Hearty Galuh Tulus Utama Gandis Uka Ganug Nugroho Adi Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gendut Riyanto Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Pratama Glenn Fredly Goenawan Mohamad Golput Gombloh Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Hadi Napster Hafis Azhari Halim HD Halimi Zuhdy Hamid Dabashi Han Gagas Hardi Hamzah Hari Prasetyo Haris Del Hakim Haris Saputra Hary B Kori’un Hasan Basri Marwah Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Hendro Situmorang Henri Nurcahyo Henry H Loupias Hera Khaerani Heri CS Heri Kris Heri Latief Heri Listianto Herman RN Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Kuntoyo Heru Kurniawan Hikmat Darmawan Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humaidi Humam S Chudori I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I. B. Putera Manuaba IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ichwan Prasetyo Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Munadjat Imam Nawawi Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Herdiana Imron Arlado Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indigo Art Space Madiun Indra Tjahyadi Indrian Koto Ingki Rinaldi Iqmal Tahir Is Faridatul Arifah Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Isra’ Mi’raj Iswadi Pratama Iswara N Raditya Iva Titin Shovia Iwan Awaluddin Yusuf Iwan Gunadi J. Sumardianta Jamrin Abubakar Jansen Sinamo Janu Jolang Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jemie Simatupang Jenny Ang Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jl Simo Jo Batara Surya Jodhi Yudono Joko Budhiarto Joko Sadewo Joko Sandur Joko Widodo Jones Gultom Joni Ariadinata Joresan Mlarak Ponorogo Joseph E. Stiglitz Jual Buku Paket Hemat Junus Satrio Jurnalisme Sastra K. Hirzuddin Hasbullah K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.H. Masrikhan Asy'ari K.H. Mudzakir Ma'ruf Kadjie MM Kajian Kitab Nashoihul 'Ibad Kang Daniel Karanggeneng Kartika Foundation Kasanwikrama Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kekal Hamdani Kemah Budaya Panturan (KBP) Kesenian KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Anwar Khoirul Inayah Khoirul Naim Khoirul Rosyadi Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Koko Sudarsono Komaruddin Hidayat Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopuisi Korban Gempa di Lombok Kospela KPRI IKMAL Lamongan Kris Razianto Mada Kritik Sastra Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kusni Kasdut Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto Lagu Laili Rahmawati Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Latif Fianto Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Listiyono Santoso Liya Izzatul Iffah Liza Wahyuninto Lucky Aditya Ramadhan Ludruk Jawa Timur Lukisan Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lustantini Septiningsih Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Ismail M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Iqbal Dawami M. Irfan Hidayatullah M. Latief M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Mushthafa M. Riza Fahlevi M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Maghfur Munif Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahwi Air Tawar Majelis Ulama Indonesia Makalah Tinjauan Ilmiah Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mantan Pastur Hafidz Al-Qur'an Maqhia Nisima Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Marsel Robot Martin Aleida Martin Hatch Marwan Ja'far Marwita Oktaviana Marzuki Mustamar Mashuri Masjid Tegalsari di Pesantren Gerbang Tinatar Masuki M. Astro Matroni el-Moezany Matroni Muserang Max Arifin Maya Handhini Mbah Kalbakal Medco Media Jawa Timur Medri Osno Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Misbahul Huda Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh Samsul Arifin Moh. Ghufron Cholid Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ghannoe Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Rain Muhammad Taufik Muhammad Yasir Muhammad Zia Ulhaq Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukhsin Amar Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Mun'im Sirry Muntamah Cendani Museum Bikon Blewut Ledalero Musfarayani Musfi Efrizal Musyayana Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nabi Adam Nanang Fahrudin Nandang Darana Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Ni Luh Made Pertiwi F Nindya Herdianti Ninin Nurzalina Wati Nitis Sahpeni Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noorsam Noval Jubbek Novel Pekik Novianti Setuningsih Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Hamzah Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nuswantoro Nyimas Nyoman Tingkat Obrolan Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Opini Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Pameran Seni Rupa Panda MT Siallagan Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit SastraSewu Penerbitan dan Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Pengajian Pengetahuan Perang Peringatan Hari Pahlawan 10 November Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pesantren Kampung Inggris Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Petrik Matanasi Pilang Tejoasri Laren Lamongan Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pilkada Piramid Giza Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pradana Boy ZTF Pradaningrum Mijarto Pramoedya Ananta Toer Prih Prawesti Febriani Pringadi AS Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Hartanto Puji Santosa Puput Amiranti N Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Satria Kusuma Putu Setia Putu Wijaya R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.Ng. Ronggowarsito Rabdul Rohim Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sazaly Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Rengga AP Reni Lismawati Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Rieke Diah Pitaloka Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rizka Halida Rizky Putri Pratimi Robin Al Kautsar Rocky Gerung Rodli TL Rofiqi Hasan Rohmad Hadiwijoyo Rohmah Maulidia Rohman Abdullah Rojiful Mamduh Rosdiansyah Rosi Rosidi Roso Titi Sarkoro Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rumah Literasi Rx King Motor S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Saifur Rohman Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Sardono W Kusumo Sartika Sari Sarworo Sp Sastra Facebook Satmoko Budi Santoso Satrio Lintang Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Savidapius Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Sejarah Sekolah Literasi Gratis SelaSAstra Boenga Ketjil SelaSAstra Boenga Ketjil #23 SelaSAstra Boenga Ketjil #24 Seni Ambeng Ponorogo Senirupa Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Shofiyatuz Zahroh Shohebul Umam JR Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Silfia Hanani Sindu Putra Sita Planasari Aquadini Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Hadi Purnomo Soediro Satoto Soegiharto Soeprijadi Tomodihardjo Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Igustin Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Sriyanto Danoesiswoyo Stefanus P. Elu Stevani Elisabeth STKIP PGRI Ponorogo Student Center Kampus ISI Yogyakarta Subagio Sastrowardoyo Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Ariyadi Sukitman Sumenep Sumiati Anastasia Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungelebak Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Suyadi San Syafrizal Sahrun Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syamsul Rizal Syi'ir Syifa Amori Syifa Aulia T.A. Sakti Tajuddin Noor Ganie Tamrin Bey dan Robin Al Kautsar TanahmeraH ArtSpace Tarpin A. Nasri Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Roda UNISDA Lamongan Teater Sakalintang Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tawon Teater Tewol Teguh LR Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Teori Darwin Teori Fisika Hawking Tgk Abdullah Lam U Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute Theresia Purbandini Thomas Koten Tien Rostini Timur Arif Riyadi Tjahjono Widarmanto Tjut Zakiyah Anshari Toeti Adhitama Tosa Poetra Tri Andhi S Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Tutut Herlina Ucu Agustin Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Uniawati Unieq Awien Universitas Jember Usman Arrumy Ustadz Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vassilisa Agata Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Video Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vita Devi Ajeng Pratiwi W. Haryanto W.S. Rendra Wakos R. Gautama Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Suryandoko William Shakespeare Wisnu Kisawa Wiwik Widiyati Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yayat R. Cipasang Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yulianto Yuliawati Yunanto Sutyastomo Yunus Supriyanto Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf AN Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Yuyuk Sugarman Z. Mustopa Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zarra Martsella Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zen Hae Zii Zuhdi Swt