Jumat, 01 Oktober 2010

KI HAJAR DEWANTARA DAN PEKERJAAN RUMAH PENDIDIKAN KITA

Janual Aidi
http://janualaidi01.blogspot.com/

…..seperti yang terlihat dari sejarah dan realitas sekarang,
ternyata Indonesia terus mengalami pembodohan secara sistematis.

Prolog

Seingat dan sepemahaman penulis, bahwa dahulu ketika masih duduk berseragam “merah putih” terpampang jelas di kelas gambar para pahlawan-pahlawan bangsa yang berjuang demi merebut kemerdekaan dan meraih kebebasan. Salah satu gambar pahlawan tersebut adalah gambar Ki Hajar Dewantara atau Raden Mas Soewardi Soeryaningrat.
Ki Hajar Dewantara bukanlah semata pahlawan yang berjuang dengan senjata tombak, namun ia adalah sosok pahlawan yang memiliki senjata perlawanan baru yakni “senjata pendidikan”. Awal dari manifestasi perjuangan dengan senjata baru tersebut ialah dengan berdirinya Perguruan Nasional Taman Siswa (Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa). Bukti kontinyuitas dari senjata baru beliau itu, kini sekolah-sekolah sudah masuk ke pelosok-pelosok negeri Indonesia. Menyadari ini, hendaknya semua warga Indonesia wajib berterima kasih pada beliau. Namun akhir-akhir ini sangat disayangkan penulis tidak pernah lagi melihat gambar Ki Hajar Dewantara di kelas-kelas (terlebih ketika sudah duduk di bangku kuliah). Padahal, Ki Hajar Dewantara adalah permata pendidikan Nusantara. Beliau merupakan ‘aset mahal’ Indonesia yang tak ternilai.

Prolog di atas hanyalah kutipan, sebenarnya penulis ingin mengatakan “jangan lupakan dan jangan tinggalkan Ki Hajar Dewantara”. Sebab menurut penulis, saat ini bangsa kita sudah terlalu congkak melupakan sejarah. Bangsa kita seolah tak pernah memiliki sejarah dan para tokoh perjuangan . Pendidikan Indonesia seakan merasa tak memiliki dan mengakui Ki Hajar Dewantara sebagai anak bangsa yang sekaligus menurut penulis sebagai”prime mover” (penggerak utama) dalam dunia pendidikan. Realitas ini menimbulkan sebuah pertanyaan batin, apakah ini mentalitas manusia-manusia Indonesia sekarang? Kalau benar seperti ini mentalitas manusia-manusia Indonesia sekarang, lalu apa bedanya manusia-manusia Indonesia sekarang dengan para penjajah kolonial dahulu yang tak suka dan menjatuhkan hukuman internering (hukum buang) pada Ki Hajar? Penulis khawatir, jangan-jangan, manusia-manusia Indonesia sekarang yang sengaja melupakan dan tak mengindahkan konsep-konsep Ki Hajar Dewantara adalah “kolonial baru” yang menjajah Indonesia dengan konsep kapitalisme pendidikan. Kapitalisme pendidikan yang selalu menyisihkan hak-hak rakyat kecil. Membuat konsep baru bahwa pendidikan hanya untuk “mereka” yang ber-uang dan orang miskin dilarang sekolah. Ini merupakan “PR pendidikan” bangsa kita saat ini, apakah “mereka” yang menjajah dengan gaya kapitalisme pendidikan adalah “orang-orang” yang tak suka dan membenci Ki Hajar Dewantara. Jikalau nantinya “mereka” terbukti sebagai “orang-orang” yang tak suka dan membenci Ki Hajar Dewantara, maka sepatutnya kita semua harus cepat-cepat mengusir mereka dari bumi Indonesia. Mereka tidak “welcome” di Indonesia. Ini adalah PR pertama bagi bangsa kita. Semoga bisa dikerjakan dengan tuntas.

Baiklah, penulis pada kesempatan ini ingin mencoba mengkritisi pola-pola yang berlangsung dalam dunia pendidikan Indonesia sekarang, kemudian akan penulis coba komparasikan dengan konsep Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara yang penulis rasa masih relevan untuk di implementasikan dalam perilaku pendidikan saat ini.

Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Nama asli Ki Hajar Dewantara adalah Raden Mas Soerwardi Soeryaningrat. Beliau dilahirkan di Yogyakarta pada hari Kamis Legi tanggal 2 Mei 1889 sebagai putra keempat dari pangeran Soeryaningrat, putra tertua dari Sri Pakualam III. Konsep Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara (1922) memiliki arti yaitu pendidikan di lembaga pendidikan, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di keluarga. Konsep ini mengisyaratkan bahwa pendidikan dapat diraih di mana dan kapan saja serta menjadi tanggung jawab bersama. Konsep ini memberitahukan bahwa masyarakat dan keluarga memiliki tanggung jawab yang seimbang terhadap keberhasilan para penuntut ilmu. Artinya, bukan hanya sekolah yang dijadikan dan di amanatkan sebagai lembaga yang memiliki tanggung jawab besar (penuh) terhadap berhasil atau tidaknya individu dalam proses pendidikannya. Inilah inti makna dari Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara. Sayang seribu-sayang, kini di Indonesia terlihat bahwa Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara hanya dijadikan sebagai pusaka belaka. Atau menurut nalar penulis, kini di Indonesia hanya menerapkan “Tunggal Pusat Pendidikan” yaitu pendidikan dilembaga (sekolah atau universitas). Sekolah di anggap sebagai satu-satunya tempat belajar yang bisa mengantarkan pada kecerahan masa depan. Inilah konstruksi pemahaman dunia keluarga dan masyarakat yang terbangun pada masa sekarang. Konstruksi ini berakibat pada tiadanya perhatian dan tanggung jawab dari keluarga dan masyarakat atas suksesnya pendidikan peserta didik. Keluarga dan masyarakat seolah “EGP” (Emang Gue Pikirin) dengan tanggung jawab pendidikan mereka, dan ketika anak mereka gagal dalam pendidikan, yang disalahkan adalah sekolah. Kita harus kembali pada konsep “Tri Pusat Pendidikan” Ki Hajar Dewantara bukan melupakan dan meninggalkannya lantas memegang konsep baru yaitu “Tunggal Pusat Pendidikan” yang entah dicetuskan oleh tokoh siapa.

Sesuai dengan hakekat kandungan Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara dengan kritisasi pola-pola yang berlangsung dalam dunia pendidikan Indonesia saat sekarang, maka dalam tiga ranah yaitu sekolah, keluarga dan masyarakat telah dan banyak terjadi perilaku pembodohan siswa. Bentuk perilaku pembodohan dalam “keluarga” terlihat dalam hal: pertama, keluarga kurang perhatian pada anak seperti misalnya ketika rumah tangga mengalami “broken home”. Kita juga sering mendengar anak orang kaya disebut sebagai ‘anak pembantu’ dikarenakan anak mereka jarang diperhatikan oleh orang tua aslinya. Kedua, bentuk perilaku pembodohan lainnya adalah membiarkan anak menonton acara TV yang tidak mendidik serta tidak sesuai dengan tingkat perkembangan usia anak. Misalnya membiarkan anak menonton sinetron atau film “Cinta Fitri, Pernikahan Dini, Ayat-Ayat Cinta, Suster Ngesot, Hantu di Sekolah” dan sebagainya. Ketiga, ketika terjadi pemaksaan hak pada anak. Misalnya “sang anak” memiliki bakat menjadi guru kemudian dipaksa oleh orang tuanya untuk menjadi polisi. Keempat, tindakan orang tua yang “menyuap” pihak sekolah (guru) agar anaknya lulus dan naik kelas. Kelima, tindakan orangtua yang menyuruh anak mencari nafkah, sementara anak masih membutuhkan pendidikan. Pada kasus seperti ini tidak sedikit anak menjadi tulang punggung keluarga. Beban ekonomi selalu menjadi alasan utama bagi orang tua untuk bertindak keliru terhadap pendidikan anaknya. Keenam, orang tua yang keras dalam mendidik anak. Konon, tindakan yang dirasa paling tepat oleh para orangtua ketika si anak mendapat nilai nol di lembar jawaban ujiannya adalah dengan memberi “hukuman”. Film kartun Doraemon merupakan satu gambaran tindakan umum para orang tua ketika menghadapi sang anak yang kesulitan dalam pendidikan. Tokoh si Nobita dalam film Doraemon akan selalu ketakutan bila pulang sekolah dengan membawa hasil ujian yang sangat buruk. Semua bentuk perilaku pembodohan dalam keluarga di atas merupakan PR-PR pendidikan yang semestinya kita sikapi dengan bijak dan arif.

Bentuk perilaku pembodohan siswa dalam “sekolah” tak kalah sadis. Penulis menemukan beberapa contoh, seperti memanipulasi nilai, gaya mengajar guru yang membodohkan siswa (otoriter, tak memberi ruang kritis terhadap siswa, siswa dianggap seperti celengen), atau perilaku guru (sekolah) yang membocorkan serta menjual soal dan kunci jawaban. Pada kondisi ini siswa pun akhirnya menjadi sosok 5D (datang, duduk, dengar, dengkur, dan duit). Maka, tak berlebihan jikalau seorang tokoh yang bernama Thomas Armstrong pernah berkata bahwa “masyarakat saat ini sedang mengalami penderitaan karena salah ajar (dysteachic community)”. Belum lagi dengan praktik pendidikan kita yang sering mengalami perubahan kurikulum secara “erratic” . Ditambah lagi dengan banyaknya guru yang tidak mampu mengaitkan mata pelajaran yang diajarkan dengan fenomena sosial yang dihadapi masyarakat. Penulis teringat dengan buku yang berjudul “Sekolah Itu Candu” (2007) karangan Roem Topatimasang yang membahas sekaligus mengkritik sekolah. Buku tersebut bertanya apakah sekolah itu hanya tentang ijazah? Tentang gelar? Tentang jalan mencari pekerjaan yang lebih baik? Apakah sekolah adalah satu-satunya cara untuk mencerdaskan seseorang? Dengan sedikit malu penulis mengatakan “PR pendidikan kita bertambah lagi”. Penullis melihat lembaga pendidikan kita tidak memberikan kesadaran tentang ini.

Bentuk-bentuk pembodohan di masyarakat lebih terlihat nyata. Sebagaimana dikemukakan di muka, bahwa pendidikan adalah tanggung jawab seluruh masyarakat, entah itu masyarakat miskin atau kaya, tua atau muda, pintar atau tidak pintar, siswa, guru, politikus, atau yang lainnya. Dari sini diharapkan akan tercipta masyarakat yang partisipatif. Namun sayangnya, yang terlihat adalah tidak adanya masyarakat partisipatif dalam memperhatikan atau mengontrol ataupun mengapresiasi pendidikan yang dilakoni siswa. Bentuk perilaku pembodohan dalam “masyarakat” terlihat dalam dua hal: pertama, perilaku para petinggi negara yang terlihat hanya bisa memberi contoh korupsi pada generasi muda saat ini. Kedua, orang-orang kaya tak lagi memberikan bantuan pendidikan bagi murid-murid yang ada di pelosok-pelosok desa. Tak ada lagi sumbangan seragam, sumbangan buku, pensil, tas dan yang lainnya.

Dengan terkuaknya bentuk-bentuk perilaku pembodohan siswa dalam tiga ranah yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat menunjukkan bahwa di Indonesia telah terjadi pembodohan siswa secara sistematis. Realitas ini memberitahukan kepada kita semua bahwa bangsa ini memiliki setumpuk PR pendidikan yang berat. Penulis melihat, salah satu faktor penyebabnya adalah karena kita telah melupakan dan meninggalkan pemikiran cemerlang Ki Hajar Dewantara dalam Tri Pusat Pendidikan. Saatnya kita kembali.

Diskriminasi Sekolah Swasta dan daerah terpencil

Pendeskriminasian sekolah-sekolah swasta ataupun sekolah-sekolah yang ada dipedesaan oleh penguasa merupakan PR lain yang lebih tragis. Dapat dikatakan bahwa pendeskriminasian ini terjadi secara merata di bumi Indonesia. Novel dan film “Laskar Pelangi” merupakan bukti yang jelas adanya pendeskriminasian tersebut. Di daerah propinsi Nusa Tenggara Barat misalnya, pada satu sisi dapat kita lihat dengan mata telanjang, sekolah-sekolah yang berlabel “negeri” mulai dari Sekolah Taman Kanak-Kanak sampai dengan Sekolah Menengah Umum atau sederajat berdiri megah disana-sini dengan bangunan yang seolah-olah berbusung dada. Belum lagi dengan sarana dan prasarana yang serba “mentereng”. Pemerintah Indonesia ataupun Pemerintah Daerah sepertinya meng’anakemas’kan sekolah-sekolah negeri. Akan tetapi di sisi lain, seperti yang dimuat oleh media cetak Lombok Post (Minggu, 24 Mei 2009) dalam berita “Laskar Pelangi ala Lombok”, terpampang sebuah fakta dan kisah yang memprihatinkan dunia pendidikan SDN 12 Pemongkong Kecamatan Jerowaru (daerah paling selatan Lombok Timur), SDN 6 Sukaraja ( Jerowaru, Lombok Timur), SDN 3 Batulayar (Kabupaten Lombok Barat), SDN 4 Lembah Sari (Lombok Barat) dan SDN 4 Mareje yang berada di balik bukit Sekotong Timur (Lombok Barat). Sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil tersebut rata-rata memiliki ruang kelas yang atapnya sudah rusak, bangku sekolah yang tak layak pakai, tembok retak yang menunggu waktu akan roboh, atap yang bocor, lantai yang tak memakai semen alias berlantai tanah dan jumlah guru yang terbatas. Hasil penelitian kecil didesa Selaparang Kabupaten Lombok Timur oleh kawan-kawan mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi STKIP Hamzanwadi Selong pada tahun 2007 lalu, menunjukkan bahwa didesa yang tergolong bersejarah tersebut hanya terdapat “satu” Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtida’iyah saja. Inilah potret pendidikan di “Pulau Seribu Masjid”. “Pulau Seribu Masjid”, bagian dari “Indonesia Seribu Pulau”. Kita tak bisa mengelak dan berbohong akan kenyataan dunia pendidikan yang dialami anak bangsa sekarang, padahal jika mau jujur, dahulu Ki Hajar Dewantara lebih senang bergelut dengan anak-anak awam dan sering tidur bersama di masjid. Ini menandakan bahwa pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan tak memandang “si kaya” ataupun “si miskin”. “Si desa” ataupun “si kota” dan “si priyayi” ataupun “si non-priyayi”. Sekarang ini dunia pendidikan kita terbalik, rakyat disuruh membiayai pendidikan anak-anak orang kaya yang sekolah di negeri, sementara anak-anak mereka yang miskin tidak bisa sekolah karena tidak mampu menanggung biaya sekolah.

Coba kita bandingkan kualitas pendidikan dahulu dengan sekarang, atau semangat para penuntut ilmu dahulu dengan sekarang. Para penuntut ilmu dahulu tidak memiliki fasilitas penunjang seperti yang dimiliki oleh para penuntut ilmu sekarang. Tidak ada internet, komputer, laptop, gedung yang mewah ataupun seragam sekolah yang indah. Yang ada hanyalah gedung sekolah sederhana, jalan setapak yang berlubang dan kadang kala becek, lidi sebagai alat bantu hitung, keseharian mereka yang di isi oleh saling meminjam buku, dan interaksi hangat serta salam dan hormat mereka dengan keluarga, guru dan masyarakat. Suatu alur kisah para “truth seekers” (pencari kebenaran) yang sulit ditemukan pada zaman sekarang.

Namun apa yang penulis tuturkan di atas sangat jauh berbeda dengan kondisi yang terlihat sekarang. Kini yang tampak adalah “si murid” tidak lagi menenteng buku dan pensil, melainkan menenteng laptop yang lebih banyak berisi lagu-lagu ataupun blue film (BF). Atau, para pelajar sekarang lebih sering terlihat memencet hand phone (HP) dari pada memegang dan membaca buku. Tidak ada lagi hormat pada guru, dan yang ada yaitu kabar “si murid” membacok “si guru”. Kegiatan diskusi kelompok pun tergantikan oleh ‘kumpul kebo dan perkelahian antar pelajar”. Kualitas pendidikan Indonesia sekarang hanya bisa menelurkan “manusia-manusia korup yang tak berkualitas”. Inilah yang tampak dan melanda pendidikan Indonesia saat ini. Dan inilah akibatnya ketika pendidikan dibangun hanya pada satu sisi sekolah saja, tetapi tidak mengindahkan pendidikan keluarga dan masyarakat.

Maka, tugas kita semua adalah “kembali pada konsep yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara”. Mengimbangkan peran sekolah, sekolah dan masyarakat. Terakhir, penulis hanya bisa mengatakan bahwa tugas akhir kita semua yaitu mengubah paradigma masyarakat dari “gila gelar” ke arah “gila kualitas”, dari “simbol” ke “aksi” sehingga kualitas pendidikan kita tidak hanya diukur oleh ijazah atau lamanya belajar di kelas, tetapi oleh kontribusi pemikiran dan keterampilannya dalam menata hidup dan kehidupan. Semoga setumpuk PR pendidikan kita dapat tertuntaskan dengan baik.

1 komentar:

MY IDENTITY mengatakan...

Terima kasih tulisan saya sudah diterima di blog ini...

A Rodhi Murtadho A. Alexander A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Dahana A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.C. Andre Tanama A.J. Susmana A.S. Laksana A’an Jindan AS Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Rauf Singkil Abdul Walid Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adek Alwi Adhi Pandoyo Adhitia Armitrianto Adhy Rical Adi Faridh Adian Husaini Adin Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrizas Adu Pesona Sang Wakil Presiden RI AF. Tuasikal Afri Meldam Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agit Yogi Subandi Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Rakasiwi Agus Sulton Agus Wibowo Agus Wirawan Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ah. Atok Illah Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Anshori Ahmad Damanik Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Hasan MS Ahmad Jauhari Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad S. Zahari Ahmad Syafii Maarif Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fiah Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Siddiq Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al-Fairish Al-Ma'ruf I Al-Ma'ruf II Alang Khoiruddin Albert Camus Ali Mahmudi Ch Alia Swastika Alvi Puspita Alvin Amien Wangsitalaja Aminah Aming Aminoedhin Ana Mustamin Anam Rahus Anas AG Andhi Setyo Wibowo Andi Gunawan Andry Deblenk Angela Anggie Melianna Anindita S. Thayf Anis Ceha Anitya Wahdini Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anugerah Ronggowarsito Anwar Nuris Aprillia Ika Arida Fadrus Aridus Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Ariel Heryanto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Arwan Aryo Wisanggeni Aryo Wisanggeni Gentong AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Ashadi Ik Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asro Kamal Rokan Astrid Reza Asvi Warman Adam Atafras Atok Witono Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azwar Nazir Baca Puisi Badrus Siroj Bahrul Ulum A. Malik Balada Bambang kempling Bambang Riyanto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berita Utama Bernando J. Sujibto Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Bre Redana Brunel University Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Jay Utomo Budi P. Hatees Budi Palopo Budi Setyarso Budi Sp. Indrajati Budiman S. Hartoyo Budiman Sudjatmiko Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Choirul Rikzqa Christian Heru Cahyo Saputro Cover Buku D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dadang Widjanarko Damiri Mahmud Dani Fuadhillah Daniel Paranamesa Darju Prasetya Dati Wahyuni Dawet Jabung Ponorogo Dedykalee Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Deshinta Arofah Dewi Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan Dewi Anggraeni Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Didik Kusbiantoro Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dorothea Rosa Herliany Dr Andi Irawan Dr Siti Muti’ah Setiawati Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Drs. Solihin Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddi Koben Edeng Syamsul Ma’arif Edy Apriyanto Sudiyono Edy Firmansyah Edy Susanto Efri Ritonga EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hartono Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elita Sitorini Elly Trisnawati Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Em. Syuhada' Emha Ainun Nadjib Encep Abdullah Eni Sulistiyawati Eny Rose Esai Ester Lince Napitupulu Etik Widya Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathan Mubarak Fathul Qodir Fathul Qorib Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Seni Surabaya 2011 Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fikri. MS Fiqih Arfani Firman Daeva Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Forum Santri Nasional (FSN) Free Hearty Galuh Tulus Utama Gandis Uka Ganug Nugroho Adi Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gendut Riyanto Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Pratama Glenn Fredly Goenawan Mohamad Golput Gombloh Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Hadi Napster Hafis Azhari Halim HD Halimi Zuhdy Hamid Dabashi Han Gagas Hardi Hamzah Hari Prasetyo Haris Del Hakim Haris Saputra Hary B Kori’un Hasan Basri Marwah Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Hendro Situmorang Henri Nurcahyo Henry H Loupias Hera Khaerani Heri CS Heri Kris Heri Latief Heri Listianto Herman RN Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Kuntoyo Heru Kurniawan Hikmat Darmawan Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humaidi Humam S Chudori I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I. B. Putera Manuaba IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ichwan Prasetyo Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Munadjat Imam Nawawi Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Herdiana Imron Arlado Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indigo Art Space Madiun Indra Tjahyadi Indrian Koto Ingki Rinaldi Iqmal Tahir Is Faridatul Arifah Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Isra’ Mi’raj Iswadi Pratama Iswara N Raditya Iva Titin Shovia Iwan Awaluddin Yusuf Iwan Gunadi J. Sumardianta Jamrin Abubakar Jansen Sinamo Janu Jolang Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jemie Simatupang Jenny Ang Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jl Simo Jo Batara Surya Jodhi Yudono Joko Budhiarto Joko Sadewo Joko Sandur Joko Widodo Jones Gultom Joni Ariadinata Joresan Mlarak Ponorogo Joseph E. Stiglitz Jual Buku Paket Hemat Junus Satrio Jurnalisme Sastra K. Hirzuddin Hasbullah K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.H. Masrikhan Asy'ari K.H. Mudzakir Ma'ruf Kadjie MM Kajian Kitab Nashoihul 'Ibad Kang Daniel Karanggeneng Kartika Foundation Kasanwikrama Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kekal Hamdani Kemah Budaya Panturan (KBP) Kesenian KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Anwar Khoirul Inayah Khoirul Naim Khoirul Rosyadi Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Koko Sudarsono Komaruddin Hidayat Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopuisi Korban Gempa di Lombok Kospela KPRI IKMAL Lamongan Kris Razianto Mada Kritik Sastra Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kusni Kasdut Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto Lagu Laili Rahmawati Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Latif Fianto Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Listiyono Santoso Liya Izzatul Iffah Liza Wahyuninto Lucky Aditya Ramadhan Ludruk Jawa Timur Lukisan Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lustantini Septiningsih Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Ismail M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Iqbal Dawami M. Irfan Hidayatullah M. Latief M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Mushthafa M. Riza Fahlevi M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Maghfur Munif Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahwi Air Tawar Majelis Ulama Indonesia Makalah Tinjauan Ilmiah Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mantan Pastur Hafidz Al-Qur'an Maqhia Nisima Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Marsel Robot Martin Aleida Martin Hatch Marwan Ja'far Marwita Oktaviana Marzuki Mustamar Mashuri Masjid Tegalsari di Pesantren Gerbang Tinatar Masuki M. Astro Matroni el-Moezany Matroni Muserang Max Arifin Maya Handhini Mbah Kalbakal Medco Media Jawa Timur Medri Osno Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Misbahul Huda Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh Samsul Arifin Moh. Ghufron Cholid Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ghannoe Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Rain Muhammad Taufik Muhammad Yasir Muhammad Zia Ulhaq Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukhsin Amar Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Mun'im Sirry Muntamah Cendani Museum Bikon Blewut Ledalero Musfarayani Musfi Efrizal Musyayana Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nabi Adam Nanang Fahrudin Nandang Darana Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Ni Luh Made Pertiwi F Nindya Herdianti Ninin Nurzalina Wati Nitis Sahpeni Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noorsam Noval Jubbek Novel Pekik Novianti Setuningsih Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Hamzah Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nuswantoro Nyimas Nyoman Tingkat Obrolan Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Opini Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Pameran Seni Rupa Panda MT Siallagan Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit SastraSewu Penerbitan dan Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Pengajian Pengetahuan Perang Peringatan Hari Pahlawan 10 November Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pesantren Kampung Inggris Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Petrik Matanasi Pilang Tejoasri Laren Lamongan Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pilkada Piramid Giza Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pradana Boy ZTF Pradaningrum Mijarto Pramoedya Ananta Toer Prih Prawesti Febriani Pringadi AS Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Hartanto Puji Santosa Puput Amiranti N Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Satria Kusuma Putu Setia Putu Wijaya R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.Ng. Ronggowarsito Rabdul Rohim Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sazaly Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Rengga AP Reni Lismawati Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Rieke Diah Pitaloka Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rizka Halida Rizky Putri Pratimi Robin Al Kautsar Rocky Gerung Rodli TL Rofiqi Hasan Rohmad Hadiwijoyo Rohmah Maulidia Rohman Abdullah Rojiful Mamduh Rosdiansyah Rosi Rosidi Roso Titi Sarkoro Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rumah Literasi Rx King Motor S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Saifur Rohman Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Sardono W Kusumo Sartika Sari Sarworo Sp Sastra Facebook Satmoko Budi Santoso Satrio Lintang Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Savidapius Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Sejarah Sekolah Literasi Gratis SelaSAstra Boenga Ketjil SelaSAstra Boenga Ketjil #23 SelaSAstra Boenga Ketjil #24 Seni Ambeng Ponorogo Senirupa Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Shofiyatuz Zahroh Shohebul Umam JR Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Silfia Hanani Sindu Putra Sita Planasari Aquadini Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Hadi Purnomo Soediro Satoto Soegiharto Soeprijadi Tomodihardjo Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Igustin Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Sriyanto Danoesiswoyo Stefanus P. Elu Stevani Elisabeth STKIP PGRI Ponorogo Student Center Kampus ISI Yogyakarta Subagio Sastrowardoyo Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Ariyadi Sukitman Sumenep Sumiati Anastasia Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungelebak Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Suyadi San Syafrizal Sahrun Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syamsul Rizal Syi'ir Syifa Amori Syifa Aulia T.A. Sakti Tajuddin Noor Ganie Tamrin Bey dan Robin Al Kautsar TanahmeraH ArtSpace Tarpin A. Nasri Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Roda UNISDA Lamongan Teater Sakalintang Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tawon Teater Tewol Teguh LR Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Teori Darwin Teori Fisika Hawking Tgk Abdullah Lam U Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute Theresia Purbandini Thomas Koten Tien Rostini Timur Arif Riyadi Tjahjono Widarmanto Tjut Zakiyah Anshari Toeti Adhitama Tosa Poetra Tri Andhi S Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Tutut Herlina Ucu Agustin Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Uniawati Unieq Awien Universitas Jember Usman Arrumy Ustadz Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vassilisa Agata Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Video Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vita Devi Ajeng Pratiwi W. Haryanto W.S. Rendra Wakos R. Gautama Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Suryandoko William Shakespeare Wisnu Kisawa Wiwik Widiyati Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yayat R. Cipasang Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yulianto Yuliawati Yunanto Sutyastomo Yunus Supriyanto Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf AN Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Yuyuk Sugarman Z. Mustopa Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zarra Martsella Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zen Hae Zii Zuhdi Swt