Ramadhan Batubara
http://www.hariansumutpos.com/
Kami Poetra dan Poetri Indonesia Mengjoenjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia
Bisanya kalian baca kata-kata di atas dengan ejaan semacam itu? Kalo bisa, patenlah. Brarti kalian ngerti soal sejarah bahasa persatuan kita itu.Gini, jujur aja, aku agak gak enak juga mau nulis soal Bahasa Indonesia. Tapi kekmanalah, ulang tahun pula bahasa kita tercinta itu. Padahal, saya lagi syur dengan kabar gubernur kita yang ditangkap itu. Belum pula ada Pesta Danau Toba. Ah, udahlah…
Cakap punya cakap, bahasa yang kita pakek ini katanya punya sejarah panjang. Saking panjangnya, sampek bingung orang kalo disuruh mengulang. Tapi cobalah kita ulang ya. Biar enak kepala kita. Nanti, kalo tak ingat sejarah, katanya, gak cinta tanah air. Payah kan?
Sejarahnya kekgini: Bahasa Indonesia itu salah satu dialek temporal dari Bahasa Melayu yang mirip dengan bahasa sebelumnya kek Bahasa Melayu Klasik dan Bahasa Melayu Kuno. Nah, secara sosiologis, bolehlah kita katakan bahwa bahasa Indonesia baru dianggap “lahir” atau diterima keberadaannya pada tanggal 28 Oktober 1928. Secara yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya. Mau paten lagi, Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36.
O mak, ngeri kali kalimat di atas ya. Tapi kubilang, kalo cerita bahasa kita ini memang ngeri. Bayangin aja, bahasa kita ini umurnya dah 82 tahun. Tapi, entah kekmana ceritanya, payah kali kita bicara atau nulis dengan betul. Kupikir-pikir apa pula yang salah. Kutau banyaknya sarjana Bahasa dan Sastra Indonesia, tapi tak pula terliat kerjanya. Kantor jagoan bahasa pun besar kali di daerah Pancing sana, tapi tak pula banyak dia ganti papan iklan yang kalimatnya tak betul itu. Belum lagi radio-radio yang ucapannya penyiarnya yang sok barat itu. Kek gak pede kuliat jagoan bahasa itu. Ah, ngeri kan?
Kukutiplah kalimat Ki Hajar Dewantara di Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jaw a Tengah ya. Biar jagoan bahasa itu sadar kalo sebenarnya orang tuh mantab. Kekgini bunyinya, “Jang dinamakan ‘Bahasa Indonesia’ jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari ‘Melajoe Riaoe’, akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia”.
Kekgitulah, bahasa kita ini memang unik pula. Dia tak pula lahir dari satu ibu. Istilah mantapnya, dia ini anak seribu ibu. Bayangin lagi, bahasa kita ini berasal dari Bahasa Melayu, katanya. Coba kita liat pula, Bahasa Melayu itu pun banyak menyerap bahasa asing. Contohnya Sansekerta, Persia, Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Kenapa pula Bahasa Melayu bisa kekgitu? Kalo yang ini bisa bangga juga sebenarnya kita. Ceritanya, sejak zaman dulu Bahasa Malayu sudah dipakek sebagai bahasa perhubungan alias lingua franca (sok barat pula aku ya), bukan cuma di Kepulauan Nusantara, tapi hampir di seluruh Asia Tenggara. Gara-gara ini pula Bahasa Melayu bisa jadi Bahasa Indonesia.
Masalahnya, bahasa kita ini kek gak mandiri. Maksudku gini, kalo kita mau bilang ‘aku cinta kepada kamu’, kenapa pula kita bilang ‘i love you’. Terus, kenapa kita harus tulis kata ‘fly over Amplas’ padahal kan bisa kita tulis ‘jembatan layang Amplas’. Kalo dicari lagi gak mandirinya bahasa kita, pasti gampang kita dapat kan?
Tapi, udahlah. Aku cuma percaya kalo bahasa harus hidup di daerahnya sendiri. Jadi jangan pula dipaksa semua orang untuk menggunakan kata ‘mbak atau mas’ untuk menyebut orang yang usianya agak lebih tua. kekmana perasaan orang Palembang, orang sana biasa menyebut orang yang agak tua dengan panggilan ‘ayu’ untuk perempuan dan ‘kak’ untuk lelaki. Kupikir, karena bahasa kita ini muncul dengan sejarah gabungan bahasa asing dan bahasa daerah, kenapa pula harus ada keseragaman. Sumpah, lucu kali aku nonton berita soal kebakaran di Medan beberapa hari lalu. Kekgini reporter tv itu bicara: Telah terjadi kebakaran di Pasar Sukaramai Medan… dan seterusnya. Pas dia ngomong kekgitu, latar belakangnya ada papan nama bertuliskan ‘Pasar Sukaramai’. Terus, reporter itu mewancarai orang yang ada di situ. Tau jawaban orang yang diwawancarai itu? Gini jawabnya: Kami, pedagang di Pajak Sukaramai meminta pemerintah… dan seterusnya.
Nah, liat, kata ‘pasar’ yang ada di papan nama dan yang dibilang reporter itu. Maksudnya kan pasar itu berarti tempat orang jualan. Tapi, bagi orang Medan, pasar itu kan artinya jalan. Terus, kalo tempat orang jualan orang Medan pakek kata ‘pajak’. Padahal, bagi umum, pajak itu iuran. Repot kan? Harus disesuaikan kan?
Tapi kubilang tak ada yang salah, cuma belum tepat aja. Pemakaian kata asing harusnya bisa dibuang kalo kita biasa mendengar atau memakai kata padanannya. Bahasa kita gak miskin, coba liat aja kamus Bahasa Indonesia, malah banyak kata yang kita anggap asing kan? Terus, jagoan bahasa lebih bijaklah, jangan pula sembarangan menyeragamkan. Untung aja masih soal kata ‘pasar’. Kekmana pula kalo kata ‘bujang’. Di Sumatera sebelah selatan ‘bujang’ artinya anak lajang, atau lelaki muda. Tapi, kalo di Sumatera sebelah utara? Ah, bahaya kan?
Sudahlah, letih juga menulis dengan menggunakan gaya bahasa cakapan semacam ini. Ini hanya sebuah ironi dari ulang tahun Bahasa Indonesia yang ke-82. Mari menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Bukankah begitu?
http://www.hariansumutpos.com/
Kami Poetra dan Poetri Indonesia Mengjoenjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia
Bisanya kalian baca kata-kata di atas dengan ejaan semacam itu? Kalo bisa, patenlah. Brarti kalian ngerti soal sejarah bahasa persatuan kita itu.Gini, jujur aja, aku agak gak enak juga mau nulis soal Bahasa Indonesia. Tapi kekmanalah, ulang tahun pula bahasa kita tercinta itu. Padahal, saya lagi syur dengan kabar gubernur kita yang ditangkap itu. Belum pula ada Pesta Danau Toba. Ah, udahlah…
Cakap punya cakap, bahasa yang kita pakek ini katanya punya sejarah panjang. Saking panjangnya, sampek bingung orang kalo disuruh mengulang. Tapi cobalah kita ulang ya. Biar enak kepala kita. Nanti, kalo tak ingat sejarah, katanya, gak cinta tanah air. Payah kan?
Sejarahnya kekgini: Bahasa Indonesia itu salah satu dialek temporal dari Bahasa Melayu yang mirip dengan bahasa sebelumnya kek Bahasa Melayu Klasik dan Bahasa Melayu Kuno. Nah, secara sosiologis, bolehlah kita katakan bahwa bahasa Indonesia baru dianggap “lahir” atau diterima keberadaannya pada tanggal 28 Oktober 1928. Secara yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya. Mau paten lagi, Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36.
O mak, ngeri kali kalimat di atas ya. Tapi kubilang, kalo cerita bahasa kita ini memang ngeri. Bayangin aja, bahasa kita ini umurnya dah 82 tahun. Tapi, entah kekmana ceritanya, payah kali kita bicara atau nulis dengan betul. Kupikir-pikir apa pula yang salah. Kutau banyaknya sarjana Bahasa dan Sastra Indonesia, tapi tak pula terliat kerjanya. Kantor jagoan bahasa pun besar kali di daerah Pancing sana, tapi tak pula banyak dia ganti papan iklan yang kalimatnya tak betul itu. Belum lagi radio-radio yang ucapannya penyiarnya yang sok barat itu. Kek gak pede kuliat jagoan bahasa itu. Ah, ngeri kan?
Kukutiplah kalimat Ki Hajar Dewantara di Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jaw a Tengah ya. Biar jagoan bahasa itu sadar kalo sebenarnya orang tuh mantab. Kekgini bunyinya, “Jang dinamakan ‘Bahasa Indonesia’ jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari ‘Melajoe Riaoe’, akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia”.
Kekgitulah, bahasa kita ini memang unik pula. Dia tak pula lahir dari satu ibu. Istilah mantapnya, dia ini anak seribu ibu. Bayangin lagi, bahasa kita ini berasal dari Bahasa Melayu, katanya. Coba kita liat pula, Bahasa Melayu itu pun banyak menyerap bahasa asing. Contohnya Sansekerta, Persia, Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Kenapa pula Bahasa Melayu bisa kekgitu? Kalo yang ini bisa bangga juga sebenarnya kita. Ceritanya, sejak zaman dulu Bahasa Malayu sudah dipakek sebagai bahasa perhubungan alias lingua franca (sok barat pula aku ya), bukan cuma di Kepulauan Nusantara, tapi hampir di seluruh Asia Tenggara. Gara-gara ini pula Bahasa Melayu bisa jadi Bahasa Indonesia.
Masalahnya, bahasa kita ini kek gak mandiri. Maksudku gini, kalo kita mau bilang ‘aku cinta kepada kamu’, kenapa pula kita bilang ‘i love you’. Terus, kenapa kita harus tulis kata ‘fly over Amplas’ padahal kan bisa kita tulis ‘jembatan layang Amplas’. Kalo dicari lagi gak mandirinya bahasa kita, pasti gampang kita dapat kan?
Tapi, udahlah. Aku cuma percaya kalo bahasa harus hidup di daerahnya sendiri. Jadi jangan pula dipaksa semua orang untuk menggunakan kata ‘mbak atau mas’ untuk menyebut orang yang usianya agak lebih tua. kekmana perasaan orang Palembang, orang sana biasa menyebut orang yang agak tua dengan panggilan ‘ayu’ untuk perempuan dan ‘kak’ untuk lelaki. Kupikir, karena bahasa kita ini muncul dengan sejarah gabungan bahasa asing dan bahasa daerah, kenapa pula harus ada keseragaman. Sumpah, lucu kali aku nonton berita soal kebakaran di Medan beberapa hari lalu. Kekgini reporter tv itu bicara: Telah terjadi kebakaran di Pasar Sukaramai Medan… dan seterusnya. Pas dia ngomong kekgitu, latar belakangnya ada papan nama bertuliskan ‘Pasar Sukaramai’. Terus, reporter itu mewancarai orang yang ada di situ. Tau jawaban orang yang diwawancarai itu? Gini jawabnya: Kami, pedagang di Pajak Sukaramai meminta pemerintah… dan seterusnya.
Nah, liat, kata ‘pasar’ yang ada di papan nama dan yang dibilang reporter itu. Maksudnya kan pasar itu berarti tempat orang jualan. Tapi, bagi orang Medan, pasar itu kan artinya jalan. Terus, kalo tempat orang jualan orang Medan pakek kata ‘pajak’. Padahal, bagi umum, pajak itu iuran. Repot kan? Harus disesuaikan kan?
Tapi kubilang tak ada yang salah, cuma belum tepat aja. Pemakaian kata asing harusnya bisa dibuang kalo kita biasa mendengar atau memakai kata padanannya. Bahasa kita gak miskin, coba liat aja kamus Bahasa Indonesia, malah banyak kata yang kita anggap asing kan? Terus, jagoan bahasa lebih bijaklah, jangan pula sembarangan menyeragamkan. Untung aja masih soal kata ‘pasar’. Kekmana pula kalo kata ‘bujang’. Di Sumatera sebelah selatan ‘bujang’ artinya anak lajang, atau lelaki muda. Tapi, kalo di Sumatera sebelah utara? Ah, bahaya kan?
Sudahlah, letih juga menulis dengan menggunakan gaya bahasa cakapan semacam ini. Ini hanya sebuah ironi dari ulang tahun Bahasa Indonesia yang ke-82. Mari menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Bukankah begitu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar