Sabtu, 25 September 2010

Puisi, Sejarah, Santet *

Sebentuk ‘Surat Kreatif’ kepada Fatah Yasin Noor, Penulis Kumpulan Puisi Rajegwesi
Mashuri **
http://www.sastra-indonesia.com/

Sejarah adalah mimpi buruk (James Joyce)

Bung Fatah Yasin Noor yang terhormat.
Mungkin kita belum pernah bersua, namun dalam kesempatan ini aku berikhtiar bersua denganmu lewat puisi-puisimu. Siapa tahu aku dan dirimu bertemu atau berpapasan di teks-teks puisimu, dan pertemuan itu bisa aku untai menjadi buah pikiranku. Jika aku tak bisa menemuimu di sana, aku akan merangkum kealpaan itu dalam praduga yang berlatar pada sosio-kultur yang melahirkan teks-teks puisimu, juga sosiokultur yang mematri nilai-nilai dan kearifan ke jiwamu.


Oleh karena itu, aku akan bertumpu pada ingatan-ingatan kolektif, kearifan dan kenaifan tradisi, juga mungkin sebentuk hasrat yang tergurat di bait-baitmu, yang kadang lancar. Kadang patah-patah. Dan, seringkali membuat aku harus menakik alur pikir dan perasaanku untuk membalik teks-teks puisimu, agar aku bisa mengintip rahasia dan misteri yang tersimpan di sana. Mengingat topografi dan historiografi tradisi dan budaya Banyuwangi, aku melihat beberapa puisi patah-patahmu adalah niscaya. Aku teringat saat A. Solzeynistin, mengakui tulisan tentang pulau penjara pada masa-masa rezim komunis berkuasa di Rusia: ‘Gulag’, yang tak senada, dan mungkin patah-patah, karena kondisi saat menulisnya sambil berlari dan itu adalah keniscayaan dari kesusastraannya. Mungkin aku terlalu gegabah, tetapi ini adalah salah satu caraku untuk bersua denganmu.

Ah, lupakan soal itu. Yang jelas, apapun alasannya puisi tetaplah penting, apalagi untuk zaman kini, ketika suara-suara begitu banyak yang mendesak ingin menguasai ruang kita dan menuntut untuk didengar. Dan, itu yang aku tangkap dari spiritmu: adanya keyakinan yang begitu penting pada puisi. Tak peduli kata orang, ihwal akhir romantik peran penyair. Aku menangkap begitu banyak kesungguhan dalam puisimu yang menegaskan bahwa puisi itu juga masih sangat penting dalam lingkar sengkarut realitas yang demikian hiperreal, dan kondisi kekinian kita yang rapuh.

Mungkin ini adalah problem akut kita bersama yang masih meraba-raba arah gerak dunia dan menjadi pengekor yang teguh. Aku menangkap puisimu bermain dalam wilayah itu. Spirit puisimu ingin ‘mendamaikan’ masa lalu dan masa kini. Apalagi realitas sejarah ‘lokal’-mu begitu luka. Jika dalam konteks sosio-kulturmu, itu sebagai cara terapi dalam merakit trauma-trauma sejarah, karena kita memang tak cerdas untuk ihwal itu dan selalu mengulang hal-hal yang sama, meski di masa lalu hal itu sering berperistiwa.

Sebagaimana yang dianggit Octavio Paz, bahwa puisi adalah penyembuh bagi sebuah ‘luka sejarah’. Hal itu karena sejarah Brang Wetan/ Blambangan, selalu saja menempati wilayah periferi dalam sejarah mapan Jawa. Pada masa Majapahit, ia juga berada di ruang-ruang subordinat, terutama dalam kisah perseteruan Damarwulan-Menakjinggo. Pada lanskap kultur Jawa, Damarwulan adalah pahlawan. Tetapi aku yakin dalam kultur Brang Wetan/Blambangan, terdapat anggapan yang berbeda, dan hero itu Menak Jinggo. Kondisi ‘muram’ itu berlangsung hingga kondisi mutakhir, ketika isu dukun santet merebak. Padahal, selama ini, telah terjadi pemaknaan yang salah kaprah dalam dunia santet. Santet bagi orang Osing berbeda dengan santet bagi masyarakat awam dan dipahami oleh khalayak riuh. Bahkan, lagu ‘Genjer-Genjer’ yang netral itu tiba-tiba begitu subversif pada masa Orde Baru dan disangkutpautkan dengan Gerakan 30 September, dan dianggap sebagai lagu wajib Gerwani dalam berpesta.

Dengan sedikit latar itu, tak heran, dari baris-baris puisimu, aku melihat begitu banyak warisan yang berusaha kau baca dalam kekinian, dengan tak segan kau berkata: sejarah adalah luka, sebagaimana yang dikatakan James Joyce, bahwa sejarah adalah mimpi buruk. Namun bukan berarti kau abai pada sejarah dan menganggapnya tidak penting. Aku masih meyakini bahwa kau sebagaimana Ortega Y. Gaset, yang tetap ‘gamang’ melihat masa depan, dan menganggap bahwa sejarah itu adalah ‘harta’ yang berharga. Dengan tegas Gaset mengatakan bahwa manusia tak punya kodrat dan yang dipunyai hanya sejarah. Aku melihat kau berada di persimpangan antara kodrat dan sejarah.

Sejarahmu demikian luka dan kau masih bimbang dalam kekinian. Meski demikian, keyakinan begitu besar dalam kekinianmu yang masih carut-marut itu. Ketika membuka bukumu Rajegwesi, aku bersua dengan gelisah dan optimismu itu. Dalam “Elegi Perjalanan Hidup”, yang kautulis pada 1991, aku melihat adanya kegamangan itu. Sebagaimana manusia modern Indonesia, yang masih terombang-ambing antara tradisi lokalnya dengan tradisi dari Barat yang sering disebut modern. Memang sering kali kita mendengar jangan tangisi kematian tradisi, tetapi mengingat zaman kini, sepertinya kita masih begitu butuh pada tradisi. Tentu yang patut ditimba adalah spirit tradisi sebagai progres kreatif. Karena sungguh, seringkali kita asing dengan tradisi kita sendiri. Aku dalam puisimu “Rajegwesi” (hal 50) yang kautulis pada 2007, adalah kita.

…di saat gending itu menggerakkan angin
maka di sanalah aku tahu bagaimana wajahmu
sekian lama menempati peta asing

Hal itu tidak hanya dalam “Rajegwesi” saja. Bahkan, dari sajak-sajak yang kautulis dan bertahun 1991, sebanyak 13, aku melihat adanya rasa gelisah pada ingatan, kenangan, dan kekinian. Dan, aku merasa, inilah ruh yang hidup dan menghidupi sajakmu. Dalam “Laut” (hal 22), kesadaran sejarahmu demikian tinggi: sejarah luka, juga berbagai pendikreditan arketipe budaya sekaligus ‘salah baca’-nya.

Laut yang terhampar di hadapanku
Senantiasa menyentuh luka yang tiada pernah sembuh
Telah terkubur berabad
Abad, sehingga aku tak tahu di mana
Akan kubuang masa laluku. Laut telah
Sesak oleh sejarah

Kau terus ‘Membaca. Mengaji lautan sejarah” (“Manusia Sehari”, hal 18). Kau seakan-akan menunjuk ada sesuatu yang tidak ‘alami’ terjadi di lingkungan budayamu, dan merasa “Di sini waktu berhenti. Jam-jam kehilangan jarum” (“Cerita”, hal 19). Kau begitu menolak kebekuan waktu. Kesadaran yang menguasaimu adalah kesadaran ‘modern’ dengan progres. Tetapi realitas-kekinian seakan membekukan dan waktu seakan berhenti seperti yang kau lontarkan. “Sehari waktu telah berhenti mengenal manusia. Melebur diri. Hanyut oleh kesementaraan waktu yang berhenti. (“Cerita”, hal 19). “O ini abad sudah enggan disapa”. (“Untuk Jari-jari”, 20)

Ingatan, kenangan, sejarah dan panggilan dari ‘Ibu’ menjadi ruh hidup puisi-puisimu yang lainnya. Seperti dalam “Perimbangan” (hal. 17)./Telah kulihat ibu/Memanggil namaku/Agar segera berangkat/Melupakan catatan harian/ Yang hanya menyimpan sunyi/ Telah melukai tubuh sendiri/ Tiap hari.

Dalam “Jalan Alam” (hal. 59) ditulis 2008. /Aku meletakkan telapak tanganku di dadamu/ Juga perlahan-lahan seperti ingin menghapus kenangan/. Begitu pula dalam “Kerinduan” (hal. 66), ditulis 2009: /Aku berupaya menemuimu,/ Karena begitu lama aku mengembara/ Di labirin kesia-siaan./ Engkau adalah rumah yang lama kutinggalkan/.

Dalam sajak lain yang ditulis pada 2009, juga menyangkut ihwal kenangan dan usia. “Dahan Kelapa dalam Dadamu” (hal. 70):/ Ingin segera sampai ke rumahmu./ Meletakkan gerimis./ Atas nama pikiran kosong./ Juga ingatan yang terkotak hijau. Dalam “Dan Waktu” (hal. 78): /usia empat puluh tujuh,/… sejarah puisi yang terlupakan/. Dan, pada “Sampiran Setan” (hal. 80) mengerucut pada hal-hal sublim sekaligus kontradiktif: sebuah perjalanan telah sampai, sekaligus mempertanyakan tentang sesuatu yang dianggap ‘terberi’.

Memang, meski secara umum, bait-bait puisimu tak menyimpan bentuk metrum ‘Sabuk Mangir’, ‘Jaran Goyang’, tradisi ‘Warung Bathokan”, dan lainnya yang memasang atribut identitas kulturmu, tetapi aku menangkap adanya sinyal itu. Bahkan, ada usaha untuk mengembalikan makna santet yang sesungguhnya sebagai sebentuk usaha meraih mahabbah/cinta dan demi cinta. Tentu saja, kau juga merajutnya dengan sajak-sajak cinta yang ciamik, sajak persembahan yang mantap, juga sajak-sajak yang kau sebut ‘puisi-puisi tak terduga’ yang lain.

Sungguh, berpuluh sajak-sajak berbinar ihwal cinta. Tentu cinta di sini, bukan cinta sejoli, birahi, tetapi cinta yang menguniversal dalam kemanusiaamu. Sajak-sajak cintamu demikian banyak. Aku terpaku pada sajak cintamu, yang berjudul “Yashinta Nur Safitri” (hal 82), yang kautulis pada 2009. Aku lalu teringat bahwa kumpulan sajak ini juga kau persembahkan pada nama itu. Aku menduga ia adalah buah hatimu.

Bung Fatah Yasin Noor yang terhormat.
Aku termasuk orang yang kagum pada sub kultur Osing, yang tradisi lisan dan tulisannya terus terpelihara. Sastranya terus tumbuh secara mandiri dan kompleks. Bisa jadi karena begitu banyak ‘agen kebudayaan’ di sana, yang membacanya dalam kekinian, sebagaimana engkau membacanya. Mungkin banyak orang yang merasa gelisah ketika sebuah laju budaya berhenti pada ornamen, arketif pasif dan kebudayaan menjadi kata benda. Aku menangkap beberapa puisimu meruju ke situ. Kau ingin membaca warisan bukan dalam kapasitas masa lalu, tetapi dalam kekiniannya. Sehingga terkesan ada nada miris ketika kau bicara warisan masa lalu.

Hal ini kau tegaskan dalam sajak “Kelahiran” (hal. 31). Berikut ini kutipan beberapa bait:

Mataku terpejam diam-diam mengusung
Kemiren dalam tubuhku menjadi fosil
Serupa penari Gandrung yang tengah bermimpi
Tentang bulan dan suara using ditalu-talu

Tapi, di kota aku sempat mengelus patung-patung itu
Jejak masa lalu yang semakin mengabur
Hanya kukenali kembali rintihan-rintihan lembut
Yang nyaris tak terdengar dalam dadaku

O Tradisi pesisir: perahumu dihimpit gunung

Hal itu juga juga tampak pada dua sajak yang kau tulis pada tahun 2006, judulnya “Banyuwangi” (hal. 27) dan “Sebentuk Kisah” (hal. 32). Dalam “Banyuwangi”. /Banyuwangi,/ Terasa merdu suaramu di telingaku/ Lantaran jauh aku meninggalkanmu/. Banyuwangi,/ Kesempitan melapangkan jalanku ke duna/ Lantaran dialek Using yang begitu-begitu saja. /Kini sayup-sayup kudengar lagi suaramu/ Mengusung carut-marut penampakanmu/. Adapun dalam “Sebentuk Kisah”, aku lirik ‘hanya’ bersua ‘sebutir pasir’ dalam ‘kamar’ pertaruhan realitasnya, dan selalu dijejali dengan menemukan ‘tv yang selalu menyala.

Dari dua sajak tersebut tersebut, terdapat nada masqul menghadapi ‘yang begitu-begitu saja’ dan ‘carut marut’, dan dirimu berkehendak untuk memberi nilai lebih dari yang sudah ada. Jika Adonis alias Ali Ahmad Said meminjam ‘ruh’ puitik Mutanabbi untuk mendobrak kebuntuan kreativitas bangsa Arab pasca kalah Perang dengan Israil, aku melihat ada hasrat demikian besar dalam puisi-puisimu. Kau begitu luka memahami masa lalumu, dan dengan puisi kau menyurat sebuah kesaksian, bahwa mesti ada yang tetap dan berubah. Tentu warisan masa lalu yang kau angankan itu adalah dinamika Osing, Kemiren, juga Banyuwangi dengan tradisi dan kultur yang begitu kaya dan mandiri. Dan, kau ingin warisan itu tidak hanya ‘begitu-begitu saja’ tapi ‘hidup’.

Kau menegaskan dalam “Elegi Perjalanan Hidup” (hal. 14), puisi pertama dalam kumpulan Rajegwesi.

Ah hidup!
Masih mengais-ngais juga di bumi
Segala hulu yang mengalirkan sejarah
Kini meretas di jari-jariku

Optimisme masih kau pegang meski kau alirkan lewat suara sajakmu yang ironi. /Dan kini secupang cinta telah menodai tujuan yang/ Telah kubangun lewat keping waktu (“Ia Mendengar Suaraku”, hal. 15). Sajak-sajakmu yang lain juga menyebut beberapa tempat, tokoh, mitos, alih kode dan campur kode dan lainnya terkait dengan Osing dan Banyuwangi. Kau juga meruyak wilayah spiritualisme Islam, dengan mengunggah puisi yang yang sunyi dan mengungkai kaidah-kaidah sufisme.

Adapun pada tahun-tahun 2007, sajakmu cukup banyak yang berbicara tentang Kemiren. Di antaranya “Hantu di Kemiren” (hal 41), “Dosa Kemiren” (hal. 43), “Magma Kemiren” (hal. 44), dan “Geriap Kemiren” (45). Nada dan suasana yang terbangun ‘muram’, sebuah introspeksi pada ruang dan waktu yang tak tepat, menyoal perspektif umum/mapan yang riil, tapi ganjil. Ihwal ragam kulturmu juga membukit di ‘Sebukit Rinjani”, yang kau tulis 2009 (hal. 75), meski nadanya berbeda dengan sajak tahun 2007.

Dalam sajak tahun 2007 “Desa-desa di Kemiren” ( hal.47), kau menegaskan gejolak itu dalam di antara dua tanda kutip.

“Di sini tak ada apa-apa, saudara
Pergilah di kota-kota
telah tersimpan riwayatku yang basi”

Dalam “Sebukit Rinjani” (2009), yang bentuknya mirip prosa, sepertinya ada usaha untuk berdamai. “Sudahlah, hanya secangkir kopi. Engkau hanya mencari orang yang terkesima. Menggenggam peninggalan Majapahit erat-erat. Yang dekat dari sini hanya Gunung Ijen.” Suasana yang berbeda dari tahun sebelumnya juga kau tabalkan dengan mengambil ikon Gandrung dalam sajak yang kautulis pada 2009, judulnya “Belerang di Tubuhmu” (hal 77)

Tak ada bau bangkai di sini.
Hanya jejak-jejak Gandrung yang menempel
di beranda rumahmu
Selendang merah yang kusam

Bung Fatah Yasin Noor yang terhormat.
Meski berbeda, aku melihat kau tetap memandang ‘jejak-jejak’ itu sebagai hal yang ‘kusam’. Artinya, kau tetap istiqomah dalam memandang masa lalu dan warisan tradisi itu sebagai hal yang harus ditafsir ulang dan diberi notasi dalam kekiniannya yang tidak terjebak pada masa lalu…

Demikianlah, pada akhirnya, beribu maaf aku gelar di sini, karena harus menyudahi pembicaraan yang mungkin terlalu melenceng jauh dari perkiraan dan bertele-tele. Namun bagiku ini adalah sebentuk ‘kenikmatan’ dan ‘rekreasi’ yang menyenangkan. Aku sudah berikhtiar ‘membaca’ 70 puisimu, yang ditulis mulai 1991—2009, dengan jumlah dan jeda yang berbeda. Tak ada sajak dari tahun 1992—1995 dan 2000—2005. Rinciannya: tahun 1991 (13 sajak), 1996 (6 sajak), 1997 (1 sajak), 1998 (2 sajak), 1999 (1 sajak), 2006 (1 sajak), 2007 (14 sajak), 2008 (8 sajak), dan 2009 (25 sajak). Paparan singkat ini adalah hasil perjumpaanku dengan beberapa puisimu.

Aku memang hanya fokus pada hal ihwal yang berbau sejarah, tradisi dan ingatan-ingatan kolektif saja, karena sajak-sajakmu mendedah banyak hal, yang tentu saja tidak kuasa kubaca semua. Bahkan, bisa jadi, banyak hal dari sajak-sajakmu yang luput dan itu karena keterbatasanku yang tak mungkin bisa mendedah seluruhnya dan sempurna. Semoga bermanfaat. Wallahu muwafiq ila aqwamit thariq. (*)

*) Disampaikan sebagai prasaran dalam acara “Geladak Sastra” di Mojokerto, pada Minggu, 26 September 2010. Belum diedit.
**) Penulis puisi, prosa dan esai.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Alexander A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Dahana A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.C. Andre Tanama A.J. Susmana A.S. Laksana A’an Jindan AS Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Rauf Singkil Abdul Walid Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adek Alwi Adhi Pandoyo Adhitia Armitrianto Adhy Rical Adi Faridh Adian Husaini Adin Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrizas Adu Pesona Sang Wakil Presiden RI AF. Tuasikal Afri Meldam Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agit Yogi Subandi Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Rakasiwi Agus Sulton Agus Wibowo Agus Wirawan Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ah. Atok Illah Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Anshori Ahmad Damanik Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Hasan MS Ahmad Jauhari Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad S. Zahari Ahmad Syafii Maarif Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fiah Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Siddiq Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al-Fairish Al-Ma'ruf I Al-Ma'ruf II Alang Khoiruddin Albert Camus Ali Mahmudi Ch Alia Swastika Alvi Puspita Alvin Amien Wangsitalaja Aminah Aming Aminoedhin Ana Mustamin Anam Rahus Anas AG Andhi Setyo Wibowo Andi Gunawan Andry Deblenk Angela Anggie Melianna Anindita S. Thayf Anis Ceha Anitya Wahdini Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anugerah Ronggowarsito Anwar Nuris Aprillia Ika Arida Fadrus Aridus Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Ariel Heryanto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Arwan Aryo Wisanggeni Aryo Wisanggeni Gentong AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Ashadi Ik Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asro Kamal Rokan Astrid Reza Asvi Warman Adam Atafras Atok Witono Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azwar Nazir Baca Puisi Badrus Siroj Bahrul Ulum A. Malik Balada Bambang kempling Bambang Riyanto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berita Utama Bernando J. Sujibto Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Bre Redana Brunel University Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Jay Utomo Budi P. Hatees Budi Palopo Budi Setyarso Budi Sp. Indrajati Budiman S. Hartoyo Budiman Sudjatmiko Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Choirul Rikzqa Christian Heru Cahyo Saputro Cover Buku D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dadang Widjanarko Damiri Mahmud Dani Fuadhillah Daniel Paranamesa Darju Prasetya Dati Wahyuni Dawet Jabung Ponorogo Dedykalee Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Deshinta Arofah Dewi Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan Dewi Anggraeni Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Didik Kusbiantoro Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dorothea Rosa Herliany Dr Andi Irawan Dr Siti Muti’ah Setiawati Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Drs. Solihin Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddi Koben Edeng Syamsul Ma’arif Edy Apriyanto Sudiyono Edy Firmansyah Edy Susanto Efri Ritonga EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hartono Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elita Sitorini Elly Trisnawati Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Em. Syuhada' Emha Ainun Nadjib Encep Abdullah Eni Sulistiyawati Eny Rose Esai Ester Lince Napitupulu Etik Widya Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathan Mubarak Fathul Qodir Fathul Qorib Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Seni Surabaya 2011 Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fikri. MS Fiqih Arfani Firman Daeva Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Forum Santri Nasional (FSN) Free Hearty Galuh Tulus Utama Gandis Uka Ganug Nugroho Adi Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gendut Riyanto Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Pratama Glenn Fredly Goenawan Mohamad Golput Gombloh Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Hadi Napster Hafis Azhari Halim HD Halimi Zuhdy Hamid Dabashi Han Gagas Hardi Hamzah Hari Prasetyo Haris Del Hakim Haris Saputra Hary B Kori’un Hasan Basri Marwah Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Hendro Situmorang Henri Nurcahyo Henry H Loupias Hera Khaerani Heri CS Heri Kris Heri Latief Heri Listianto Herman RN Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Kuntoyo Heru Kurniawan Hikmat Darmawan Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humaidi Humam S Chudori I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I. B. Putera Manuaba IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ichwan Prasetyo Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Munadjat Imam Nawawi Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Herdiana Imron Arlado Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indigo Art Space Madiun Indra Tjahyadi Indrian Koto Ingki Rinaldi Iqmal Tahir Is Faridatul Arifah Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Isra’ Mi’raj Iswadi Pratama Iswara N Raditya Iva Titin Shovia Iwan Awaluddin Yusuf Iwan Gunadi J. Sumardianta Jamrin Abubakar Jansen Sinamo Janu Jolang Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jemie Simatupang Jenny Ang Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jl Simo Jo Batara Surya Jodhi Yudono Joko Budhiarto Joko Sadewo Joko Sandur Joko Widodo Jones Gultom Joni Ariadinata Joresan Mlarak Ponorogo Joseph E. Stiglitz Jual Buku Paket Hemat Junus Satrio Jurnalisme Sastra K. Hirzuddin Hasbullah K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.H. Masrikhan Asy'ari K.H. Mudzakir Ma'ruf Kadjie MM Kajian Kitab Nashoihul 'Ibad Kang Daniel Karanggeneng Kartika Foundation Kasanwikrama Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kekal Hamdani Kemah Budaya Panturan (KBP) Kesenian KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Anwar Khoirul Inayah Khoirul Naim Khoirul Rosyadi Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Koko Sudarsono Komaruddin Hidayat Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopuisi Korban Gempa di Lombok Kospela KPRI IKMAL Lamongan Kris Razianto Mada Kritik Sastra Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kusni Kasdut Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto Lagu Laili Rahmawati Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Latif Fianto Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Listiyono Santoso Liya Izzatul Iffah Liza Wahyuninto Lucky Aditya Ramadhan Ludruk Jawa Timur Lukisan Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lustantini Septiningsih Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Ismail M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Iqbal Dawami M. Irfan Hidayatullah M. Latief M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Mushthafa M. Riza Fahlevi M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Maghfur Munif Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahwi Air Tawar Majelis Ulama Indonesia Makalah Tinjauan Ilmiah Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mantan Pastur Hafidz Al-Qur'an Maqhia Nisima Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Marsel Robot Martin Aleida Martin Hatch Marwan Ja'far Marwita Oktaviana Marzuki Mustamar Mashuri Masjid Tegalsari di Pesantren Gerbang Tinatar Masuki M. Astro Matroni el-Moezany Matroni Muserang Max Arifin Maya Handhini Mbah Kalbakal Medco Media Jawa Timur Medri Osno Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Misbahul Huda Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh Samsul Arifin Moh. Ghufron Cholid Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ghannoe Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Rain Muhammad Taufik Muhammad Yasir Muhammad Zia Ulhaq Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukhsin Amar Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Mun'im Sirry Muntamah Cendani Museum Bikon Blewut Ledalero Musfarayani Musfi Efrizal Musyayana Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nabi Adam Nanang Fahrudin Nandang Darana Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Ni Luh Made Pertiwi F Nindya Herdianti Ninin Nurzalina Wati Nitis Sahpeni Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noorsam Noval Jubbek Novel Pekik Novianti Setuningsih Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Hamzah Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nuswantoro Nyimas Nyoman Tingkat Obrolan Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Opini Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Pameran Seni Rupa Panda MT Siallagan Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit SastraSewu Penerbitan dan Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Pengajian Pengetahuan Perang Peringatan Hari Pahlawan 10 November Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pesantren Kampung Inggris Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Petrik Matanasi Pilang Tejoasri Laren Lamongan Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pilkada Piramid Giza Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pradana Boy ZTF Pradaningrum Mijarto Pramoedya Ananta Toer Prih Prawesti Febriani Pringadi AS Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Hartanto Puji Santosa Puput Amiranti N Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Satria Kusuma Putu Setia Putu Wijaya R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.Ng. Ronggowarsito Rabdul Rohim Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sazaly Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Rengga AP Reni Lismawati Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Rieke Diah Pitaloka Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rizka Halida Rizky Putri Pratimi Robin Al Kautsar Rocky Gerung Rodli TL Rofiqi Hasan Rohmad Hadiwijoyo Rohmah Maulidia Rohman Abdullah Rojiful Mamduh Rosdiansyah Rosi Rosidi Roso Titi Sarkoro Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rumah Literasi Rx King Motor S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Saifur Rohman Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Sardono W Kusumo Sartika Sari Sarworo Sp Sastra Facebook Satmoko Budi Santoso Satrio Lintang Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Savidapius Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Sejarah Sekolah Literasi Gratis SelaSAstra Boenga Ketjil SelaSAstra Boenga Ketjil #23 SelaSAstra Boenga Ketjil #24 Seni Ambeng Ponorogo Senirupa Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Shofiyatuz Zahroh Shohebul Umam JR Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Silfia Hanani Sindu Putra Sita Planasari Aquadini Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Hadi Purnomo Soediro Satoto Soegiharto Soeprijadi Tomodihardjo Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Igustin Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Sriyanto Danoesiswoyo Stefanus P. Elu Stevani Elisabeth STKIP PGRI Ponorogo Student Center Kampus ISI Yogyakarta Subagio Sastrowardoyo Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Ariyadi Sukitman Sumenep Sumiati Anastasia Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungelebak Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Suyadi San Syafrizal Sahrun Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syamsul Rizal Syi'ir Syifa Amori Syifa Aulia T.A. Sakti Tajuddin Noor Ganie Tamrin Bey dan Robin Al Kautsar TanahmeraH ArtSpace Tarpin A. Nasri Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Roda UNISDA Lamongan Teater Sakalintang Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tawon Teater Tewol Teguh LR Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Teori Darwin Teori Fisika Hawking Tgk Abdullah Lam U Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute Theresia Purbandini Thomas Koten Tien Rostini Timur Arif Riyadi Tjahjono Widarmanto Tjut Zakiyah Anshari Toeti Adhitama Tosa Poetra Tri Andhi S Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Tutut Herlina Ucu Agustin Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Uniawati Unieq Awien Universitas Jember Usman Arrumy Ustadz Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vassilisa Agata Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Video Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vita Devi Ajeng Pratiwi W. Haryanto W.S. Rendra Wakos R. Gautama Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Suryandoko William Shakespeare Wisnu Kisawa Wiwik Widiyati Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yayat R. Cipasang Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yulianto Yuliawati Yunanto Sutyastomo Yunus Supriyanto Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf AN Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Yuyuk Sugarman Z. Mustopa Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zarra Martsella Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zen Hae Zii Zuhdi Swt