Sayuri Yosiana
http://politik.kompasiana.com/
Dalam suatu berita di televisi, saya pernah tercenung sendiri melihat tokoh masyarakat, sampai mahasiswa berteriak-teriak soal nasionalisme. Apaan sih nasionalisme itu? Waktu ditanya, sebagian anggota masyarakat saat diwawancara menjawab dengan beragam ekspresi dan penafsirannya masing-masing.
“ Nasionalisme itu yaa..kita berani pertahankan bendera merah putih , mba dari serangan kaum penjajah”, jawab seorang tukang ojek sambil cengar cengir.
“Nasionalisme itu berani mati, mbaa untuk negara. Lalu jadi pahlawan kesuma bangsa”, ujar seorang anak SMP, dengan tampang ragu-ragu seraya melirik temen disebelahnya yang melongo.
“ Kalo menurut sayahh nih mbaa, nasionalisme ntuh , hhmm apaan yaahh, oohh ini mbaa, berbakti pada nusa dan bangsa “, jawaban polos terucap dari seorang ibu yang sedang belanja ikan di keramaian pasar.
Sang reporter, senyum-senyum mengangguk-anggukan kepala mendengarnya. Lalu mulai melapor soal makna nasionalisme dikalangan masyarakat luas.
Saya sendiri menonton dengan sedikit tertegun. Kerap kali teringat pertanyaan soal nasionalisme ini. Saking seringnya, sampai kuanggap pertanyaan basi. Alias terlalu ketinggalan jaman buat dijawab. Males menjawabnya. Tanya temen lain saja deh sana. Gerutu saya jengkel waktu itu.
Bagi saya, nasionalisme itu baru kedengaran lagi gaungnya setiap tujuh belas Agustus. Saat aura perayaan kemerdekaan begitu bergema. Eforia penghayatan kemerdekaan dimana-mana dengan segala ekspresinya. Saya sendiri jarang merayakan kemerdekaan dengan mengikuti aneka kegiatan ini itu. Cukup menonton tivi pada puncak acara di istana. Atau melihat kilas balik acara-acara yang memutar sejarah bangsa. Kebetulan saya sangat menyukai segala sesuatu yang bernuansa sejarah. Maka, setiap hari-hari peringatan sejarah bangsa seperti Tujuh Belasan, Sumpah Pemuda, Kebangkitan Nasional, Kartini, Hari pahlawan, dll..saya setia membuka channel tivi dan mencari acara-acara yang mendukung moment tersebut. Dulu sih waktu SMP pernah ikutan pawai dengan berpakaian kimono, tapi saya malah diteriaki sebagai gadis Jepun peninggalan tentara Jepang. Tentu saja maksud mereka bercanda mungkin.
Bagi saya pribadi, soal nasionalisme ini seperti umumnya kita bicara soal Pancasila, biasanya hanya sebatas slogan saat momentnya mendukung. “Tapi itupun masih lumayan daripada tak perduli samasekali” , ujar kawan saya semasa kuliah dulu yang rajin ikut demo. Sementara saya lebih asyik masyuk bikin puisi ataupun esai serta cerpen tentang moment itu dan mengirimnya ke majalah kampus. Saya tak biasa turun kejalan untuk membela kepentingan masyarakat banyak.
Alhasil saya sering sekali ditanya soal rasa nasionalisme ini. Dan jawaban saya lagi-lagi tak pernah bergeser dari, “Ah basi. Memangnya kamu sendiri sudah merasa nasionalis?”, begitulah saya menjawabnya setiap kali ditanya teman-teman..
Sebenarnya saya sendiri suka bingung. Bagaimana tidak? Sejak SMA, banyak orang-orang yang bicara soal nasionalisme, tapi kelakuannya tak mencerminkan itu semua.
Yang paling heran bila mendengar para pejabat ataupun tokoh-tokoh masyarakat bicara soal nasionalisme. Dari mulai soal batik, makanan tradisional, kerajinan budaya Indonesia lainnya, sampai soal pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Padahal kalau pidato diacara resmi negara , pidato para tokoh itupun gaya penuturannya masih kacau. Sampai ditertawakan para wakil negara lain. Padahal partainya paling sering mengusung masalah nasionalisme. Semua partai sih sebenarnya hehe…
Lalu, kalau para tokoh, sampai mahasiswa sedang beradu argument dalam suatu acara di ruang ataupun jalanan. Bahasa mereka tak kalah “ sadis” nya dengan preman jalanan yang tak berpendidikan. Bahkan antar penegak hukum, bisa saling menghina dengan bahasa Indonesia “”yang baik dan benar” itu. Juga dalam penggunaan bahasa asing, ternyata tokoh-tokoh tersebut sering juga menyelipkan bahasa Inggris untuk hal yang sebenarnya masih bisa dicari padanannya dalam bahasa Indonesia.
“Pakailah bahasa Indonesia, jangan sok berbahasa Inggris, Jepang,Jerman, Cina, Arab, bla bla bla..demikian himbauan para tokoh, sampai slogan-slogan di media dan pamflet jalanan mengingatkan masyarakat.
Nyatanya yang sering saya lihat, dalam suatu diskusi, beberapa tokoh nasionalis tersebut seringkali menyelipkan bahasa Inggris ,meskipun bukan bahasa asing lainnya.
Kalau kita mau konsekwen dan konsisten, maka banyak sekali tentunya hal-hal yang harus dibiasakan dalam masyarakat sampai pejabat serta para cendekiawan agar membiasakan diri mengunakan istlah-istilah negeri sendiri dalam hal apapun. Seperti salah satu contoh, dalam penggunaan nama hotel, perumahan dan apartemen elit, mal-mall ataupun sekedar acara televisi dengan pengalihan dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya nama-nama seperti, Apartemen Taman Rasuna, atau Sekar Kedaton…Residence , eh masih ada residence nya di belakang hehe.
Di wilayah Jakarta Selatan kadang saya tersenyum bila membaca entah hotel, apartement atau apalah…namanya yang kadang dicampur aduk antara bahasa Indonesia dan bahasa lainnya. Seperti The Pakubuwono Residence. Kenapa tidak Taman Pakubuwono saja ya, atau Rumah Susun Pakubuwono hehehe…kurang keren apa ya kedengarannya? Penggunaan bahasa asing terutama bahasa Inggris yang merupakan bahasa Internasional, kadang memang menjadikan kita mungkin serasa terlihat sedikit keren..dimana sisi kerennya entah, tergantung sudut pandang masing-masing. Belum lagi yang suka mencampuradukkan dua bahasa.
Kadang pencampuradukkan atau tumpang tindihnya antara bahasa asing dan bahasa Indonesia agak sedikit janggal. Seperti contohnya Village Lembah Hijau . sudah Village, pakai lembah lagi. Taman Garden, dll.
Begitulah, bukan bermaksud menjudge pihak-pihak atau orang-orang terkait lho. Karena ini sebenarnya kealpaan kita semua. Suka heboh soal nasionalisme dari berbagai sisi, mencurigai rasa nasionalisme orang lain, sementara diri sendiri bagaimanakah? Sudahkah layak mensematkan nama diri sebagai nasionalis sejati? Menurut saya sih, kalau menggunakan bahasa asing untuk belajar , ya tak masalahkan? Atau dalam suatu diskusi memang harus menggunakan istilah-istilah asing tersebut, karena secara teknis memang demikian istilahnya. Atau kalau tempat-tempat milik publik tersebut seperti nama hotel, mall, dan lainnya yang kebetulan memang kepemilikannya oleh pihak asing, ya apa boleh buat. Tak mudah kan untuk meminta sang investor mengubahnya kedalam bahasa Indonesia.
Tapi kalau memang murni tempat-tempat publik tersebut memang dibuat untuk masyarakat kita. Ya namakan saja perumahan Taman Bahagia, rumah susun melati dll. Begitu juga dengan acara televisi. Bila memang produk kita sendiri, ya pakai saja judul, tema, atau nama acaranya dalam bahasa sendiri. Bukankah Bahasa Indonesia itu indah kalau dirangkai puitik seperti puisi? Sayangnya acara-acara tivi kita sebagian besar memang saduran atau bahkan ciplakan dari acara luar negeri hehe. Yaah kadang saya merasa sebenarnya masih menganut faham dualisme dalam pemahaman dan penggunaan bahasa Indonesia. Disisi lain ingin mencoba berbahasa Indonesia yang baik dan benar, serta konsisten. Namun dalam prakteknya, kadang masih “terpaksa” mencampuradukan untuk suatu kepentingan khusus. Bila begini, saya tak tahu apakah memang rasa nasionalisme itu juga diukur dari seberapa dalam kita mempraktekan bahasa ibu kedalam setiap langkah-langkah kita dalam berkarya? Gugatan dan pembelaan masih saling beradu argumen di kepala saya sendiri saat menilai orang lain, juga saat berkaca pada diri sendiri. Bagaimana dnegan anda?
Saya ingat dengan nama-nama grup musik seperti The Rock, Peterpan, Nidji dll ( kenapa nggak Banyubiru?) Kenapa tidak, wong pitoe, dewa dll. Apakah mereka juga akan dijuluki sebagai tak nasionalis karena menggunakan istilah asing baik sebagai nama perusahaan atau grup musiknya?
Dan terakhir, bagaimana dengan yang mengaku datang dari keluarga pribumi tapi menamakan putra-putrinya dengan nama berbau asing? Padahal tak ada keturunan asing? Kenapa tidak Ayu, Ratih, atau nama-nama indah lainnya asli bahasa kita? Sedangkan bagi yang blasteran, bagaimana pula ini? Sayuri Yosiana (nama saya sendiri) hehe kurang nasionalis nih nama. Atau nama seperti Jessica, Maria, Albert yang bernuansa Eropa. Abubakar, Abdul Malik yang bernuansa timur tengah dll. Jangan-jangan begitu pula anggapan kita ya. Tapi kan mengganti nama bisa-bisa dianggap tidak menghargai pemberian orang tua. Apalagi kalau punya orangtua beda bangsa, namapun jadi campur-campur atau mengambil dari nama-nama yang biasa dipakai dari negara salah satu orangtua kita berasal.
Begitupun dalam menulis karya. Bila kita mengambil setting luar negeri, atau kisah seseorang yang bukan dari negeri sendiri, maka pertanyaan yang bernada sedikit menggugat muncul dalam pesan masuk di sebuah jejaring sosial tempat biasa saya memposting tulisan dalam suatu komunitas sastra maya. Misalnya saat saya menulis kisah anak dengan judul “Angela dan Petualangan kecilnya”, yang mengisahkan seorang anak dari Eropa Selatan di era PD 11 yang bersahabat dengan anak Gypsi. Tak ada kisah anak Indonesia disini. Alhasil, dalam pesan inbox, banyak pertanyaan, mengapa tidak membuat kisah anak Indonesia dengan segala kompleksitasnya? Dan karena saya punya penyakit ketergantungan suasana perasaan (moody) yang akut, maka baru beberapa waktu yang lalulah saya menulis kisah anak dari suku Jawa, “Sekar hanya ingin jadi Priyayi”.
Sebelumnya dalam catatan lama, saya membuat kisah anak remaja dengan segala problema hidupnya sebagai anak keturunan dalam semi fiksi “Ternyata ..aku bukan pribumi!”, serta “Adinda dan kisah sakura dimusim semi”, yang lagi-lagi mengambil setting diluar , yakni Jepang. lalu kisah seorang penulis yang mengambil setting Eropa era perang dunia kedua.
Jujur saja, bukan bermaksud gaya-gayaan bila kebetulan saya mengambil setting negara lain. Hanya saja saya kadang mengikuti rasa ketertarikan saat itu dalam menulis sebuah kisah. Semacam ketertarikan pada budaya tertentu. Lagipula pengeksploran settingnya sebenarnya tak juga terlalu menonjol.
Jadi samasekali bukan bermaksud meninggalkan akar dimana saya lahir dan tinggal, lantas seakan diharuskan membuat kisah yang tak jauh dari lingkungan saya. Hmm, inipun hanya bentuk argumen saya sebagai bentuk pembelaan diri. Tapi saya senang karena dengan demikian kita bisa saling memberi saran dan masukan. Itulah yang terpenting, bukan dengan saling mengklaim sebagai ini bagian dari rasa nasionalisme, dan itu bukan.
Note : dalam menulis status di facebook, saya juga kadang menggunakan bahasa Inggris, tapi kan bukan berarti saya tak nasionalis lho. Hmm.. lagi-lagi membela diri dot com…hiks.
http://www.sayuriyosiana.com/esai/nasionalisme-hmm-bagaimana-seharusnya-yaaa/
http://politik.kompasiana.com/
Dalam suatu berita di televisi, saya pernah tercenung sendiri melihat tokoh masyarakat, sampai mahasiswa berteriak-teriak soal nasionalisme. Apaan sih nasionalisme itu? Waktu ditanya, sebagian anggota masyarakat saat diwawancara menjawab dengan beragam ekspresi dan penafsirannya masing-masing.
“ Nasionalisme itu yaa..kita berani pertahankan bendera merah putih , mba dari serangan kaum penjajah”, jawab seorang tukang ojek sambil cengar cengir.
“Nasionalisme itu berani mati, mbaa untuk negara. Lalu jadi pahlawan kesuma bangsa”, ujar seorang anak SMP, dengan tampang ragu-ragu seraya melirik temen disebelahnya yang melongo.
“ Kalo menurut sayahh nih mbaa, nasionalisme ntuh , hhmm apaan yaahh, oohh ini mbaa, berbakti pada nusa dan bangsa “, jawaban polos terucap dari seorang ibu yang sedang belanja ikan di keramaian pasar.
Sang reporter, senyum-senyum mengangguk-anggukan kepala mendengarnya. Lalu mulai melapor soal makna nasionalisme dikalangan masyarakat luas.
Saya sendiri menonton dengan sedikit tertegun. Kerap kali teringat pertanyaan soal nasionalisme ini. Saking seringnya, sampai kuanggap pertanyaan basi. Alias terlalu ketinggalan jaman buat dijawab. Males menjawabnya. Tanya temen lain saja deh sana. Gerutu saya jengkel waktu itu.
Bagi saya, nasionalisme itu baru kedengaran lagi gaungnya setiap tujuh belas Agustus. Saat aura perayaan kemerdekaan begitu bergema. Eforia penghayatan kemerdekaan dimana-mana dengan segala ekspresinya. Saya sendiri jarang merayakan kemerdekaan dengan mengikuti aneka kegiatan ini itu. Cukup menonton tivi pada puncak acara di istana. Atau melihat kilas balik acara-acara yang memutar sejarah bangsa. Kebetulan saya sangat menyukai segala sesuatu yang bernuansa sejarah. Maka, setiap hari-hari peringatan sejarah bangsa seperti Tujuh Belasan, Sumpah Pemuda, Kebangkitan Nasional, Kartini, Hari pahlawan, dll..saya setia membuka channel tivi dan mencari acara-acara yang mendukung moment tersebut. Dulu sih waktu SMP pernah ikutan pawai dengan berpakaian kimono, tapi saya malah diteriaki sebagai gadis Jepun peninggalan tentara Jepang. Tentu saja maksud mereka bercanda mungkin.
Bagi saya pribadi, soal nasionalisme ini seperti umumnya kita bicara soal Pancasila, biasanya hanya sebatas slogan saat momentnya mendukung. “Tapi itupun masih lumayan daripada tak perduli samasekali” , ujar kawan saya semasa kuliah dulu yang rajin ikut demo. Sementara saya lebih asyik masyuk bikin puisi ataupun esai serta cerpen tentang moment itu dan mengirimnya ke majalah kampus. Saya tak biasa turun kejalan untuk membela kepentingan masyarakat banyak.
Alhasil saya sering sekali ditanya soal rasa nasionalisme ini. Dan jawaban saya lagi-lagi tak pernah bergeser dari, “Ah basi. Memangnya kamu sendiri sudah merasa nasionalis?”, begitulah saya menjawabnya setiap kali ditanya teman-teman..
Sebenarnya saya sendiri suka bingung. Bagaimana tidak? Sejak SMA, banyak orang-orang yang bicara soal nasionalisme, tapi kelakuannya tak mencerminkan itu semua.
Yang paling heran bila mendengar para pejabat ataupun tokoh-tokoh masyarakat bicara soal nasionalisme. Dari mulai soal batik, makanan tradisional, kerajinan budaya Indonesia lainnya, sampai soal pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Padahal kalau pidato diacara resmi negara , pidato para tokoh itupun gaya penuturannya masih kacau. Sampai ditertawakan para wakil negara lain. Padahal partainya paling sering mengusung masalah nasionalisme. Semua partai sih sebenarnya hehe…
Lalu, kalau para tokoh, sampai mahasiswa sedang beradu argument dalam suatu acara di ruang ataupun jalanan. Bahasa mereka tak kalah “ sadis” nya dengan preman jalanan yang tak berpendidikan. Bahkan antar penegak hukum, bisa saling menghina dengan bahasa Indonesia “”yang baik dan benar” itu. Juga dalam penggunaan bahasa asing, ternyata tokoh-tokoh tersebut sering juga menyelipkan bahasa Inggris untuk hal yang sebenarnya masih bisa dicari padanannya dalam bahasa Indonesia.
“Pakailah bahasa Indonesia, jangan sok berbahasa Inggris, Jepang,Jerman, Cina, Arab, bla bla bla..demikian himbauan para tokoh, sampai slogan-slogan di media dan pamflet jalanan mengingatkan masyarakat.
Nyatanya yang sering saya lihat, dalam suatu diskusi, beberapa tokoh nasionalis tersebut seringkali menyelipkan bahasa Inggris ,meskipun bukan bahasa asing lainnya.
Kalau kita mau konsekwen dan konsisten, maka banyak sekali tentunya hal-hal yang harus dibiasakan dalam masyarakat sampai pejabat serta para cendekiawan agar membiasakan diri mengunakan istlah-istilah negeri sendiri dalam hal apapun. Seperti salah satu contoh, dalam penggunaan nama hotel, perumahan dan apartemen elit, mal-mall ataupun sekedar acara televisi dengan pengalihan dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya nama-nama seperti, Apartemen Taman Rasuna, atau Sekar Kedaton…Residence , eh masih ada residence nya di belakang hehe.
Di wilayah Jakarta Selatan kadang saya tersenyum bila membaca entah hotel, apartement atau apalah…namanya yang kadang dicampur aduk antara bahasa Indonesia dan bahasa lainnya. Seperti The Pakubuwono Residence. Kenapa tidak Taman Pakubuwono saja ya, atau Rumah Susun Pakubuwono hehehe…kurang keren apa ya kedengarannya? Penggunaan bahasa asing terutama bahasa Inggris yang merupakan bahasa Internasional, kadang memang menjadikan kita mungkin serasa terlihat sedikit keren..dimana sisi kerennya entah, tergantung sudut pandang masing-masing. Belum lagi yang suka mencampuradukkan dua bahasa.
Kadang pencampuradukkan atau tumpang tindihnya antara bahasa asing dan bahasa Indonesia agak sedikit janggal. Seperti contohnya Village Lembah Hijau . sudah Village, pakai lembah lagi. Taman Garden, dll.
Begitulah, bukan bermaksud menjudge pihak-pihak atau orang-orang terkait lho. Karena ini sebenarnya kealpaan kita semua. Suka heboh soal nasionalisme dari berbagai sisi, mencurigai rasa nasionalisme orang lain, sementara diri sendiri bagaimanakah? Sudahkah layak mensematkan nama diri sebagai nasionalis sejati? Menurut saya sih, kalau menggunakan bahasa asing untuk belajar , ya tak masalahkan? Atau dalam suatu diskusi memang harus menggunakan istilah-istilah asing tersebut, karena secara teknis memang demikian istilahnya. Atau kalau tempat-tempat milik publik tersebut seperti nama hotel, mall, dan lainnya yang kebetulan memang kepemilikannya oleh pihak asing, ya apa boleh buat. Tak mudah kan untuk meminta sang investor mengubahnya kedalam bahasa Indonesia.
Tapi kalau memang murni tempat-tempat publik tersebut memang dibuat untuk masyarakat kita. Ya namakan saja perumahan Taman Bahagia, rumah susun melati dll. Begitu juga dengan acara televisi. Bila memang produk kita sendiri, ya pakai saja judul, tema, atau nama acaranya dalam bahasa sendiri. Bukankah Bahasa Indonesia itu indah kalau dirangkai puitik seperti puisi? Sayangnya acara-acara tivi kita sebagian besar memang saduran atau bahkan ciplakan dari acara luar negeri hehe. Yaah kadang saya merasa sebenarnya masih menganut faham dualisme dalam pemahaman dan penggunaan bahasa Indonesia. Disisi lain ingin mencoba berbahasa Indonesia yang baik dan benar, serta konsisten. Namun dalam prakteknya, kadang masih “terpaksa” mencampuradukan untuk suatu kepentingan khusus. Bila begini, saya tak tahu apakah memang rasa nasionalisme itu juga diukur dari seberapa dalam kita mempraktekan bahasa ibu kedalam setiap langkah-langkah kita dalam berkarya? Gugatan dan pembelaan masih saling beradu argumen di kepala saya sendiri saat menilai orang lain, juga saat berkaca pada diri sendiri. Bagaimana dnegan anda?
Saya ingat dengan nama-nama grup musik seperti The Rock, Peterpan, Nidji dll ( kenapa nggak Banyubiru?) Kenapa tidak, wong pitoe, dewa dll. Apakah mereka juga akan dijuluki sebagai tak nasionalis karena menggunakan istilah asing baik sebagai nama perusahaan atau grup musiknya?
Dan terakhir, bagaimana dengan yang mengaku datang dari keluarga pribumi tapi menamakan putra-putrinya dengan nama berbau asing? Padahal tak ada keturunan asing? Kenapa tidak Ayu, Ratih, atau nama-nama indah lainnya asli bahasa kita? Sedangkan bagi yang blasteran, bagaimana pula ini? Sayuri Yosiana (nama saya sendiri) hehe kurang nasionalis nih nama. Atau nama seperti Jessica, Maria, Albert yang bernuansa Eropa. Abubakar, Abdul Malik yang bernuansa timur tengah dll. Jangan-jangan begitu pula anggapan kita ya. Tapi kan mengganti nama bisa-bisa dianggap tidak menghargai pemberian orang tua. Apalagi kalau punya orangtua beda bangsa, namapun jadi campur-campur atau mengambil dari nama-nama yang biasa dipakai dari negara salah satu orangtua kita berasal.
Begitupun dalam menulis karya. Bila kita mengambil setting luar negeri, atau kisah seseorang yang bukan dari negeri sendiri, maka pertanyaan yang bernada sedikit menggugat muncul dalam pesan masuk di sebuah jejaring sosial tempat biasa saya memposting tulisan dalam suatu komunitas sastra maya. Misalnya saat saya menulis kisah anak dengan judul “Angela dan Petualangan kecilnya”, yang mengisahkan seorang anak dari Eropa Selatan di era PD 11 yang bersahabat dengan anak Gypsi. Tak ada kisah anak Indonesia disini. Alhasil, dalam pesan inbox, banyak pertanyaan, mengapa tidak membuat kisah anak Indonesia dengan segala kompleksitasnya? Dan karena saya punya penyakit ketergantungan suasana perasaan (moody) yang akut, maka baru beberapa waktu yang lalulah saya menulis kisah anak dari suku Jawa, “Sekar hanya ingin jadi Priyayi”.
Sebelumnya dalam catatan lama, saya membuat kisah anak remaja dengan segala problema hidupnya sebagai anak keturunan dalam semi fiksi “Ternyata ..aku bukan pribumi!”, serta “Adinda dan kisah sakura dimusim semi”, yang lagi-lagi mengambil setting diluar , yakni Jepang. lalu kisah seorang penulis yang mengambil setting Eropa era perang dunia kedua.
Jujur saja, bukan bermaksud gaya-gayaan bila kebetulan saya mengambil setting negara lain. Hanya saja saya kadang mengikuti rasa ketertarikan saat itu dalam menulis sebuah kisah. Semacam ketertarikan pada budaya tertentu. Lagipula pengeksploran settingnya sebenarnya tak juga terlalu menonjol.
Jadi samasekali bukan bermaksud meninggalkan akar dimana saya lahir dan tinggal, lantas seakan diharuskan membuat kisah yang tak jauh dari lingkungan saya. Hmm, inipun hanya bentuk argumen saya sebagai bentuk pembelaan diri. Tapi saya senang karena dengan demikian kita bisa saling memberi saran dan masukan. Itulah yang terpenting, bukan dengan saling mengklaim sebagai ini bagian dari rasa nasionalisme, dan itu bukan.
Note : dalam menulis status di facebook, saya juga kadang menggunakan bahasa Inggris, tapi kan bukan berarti saya tak nasionalis lho. Hmm.. lagi-lagi membela diri dot com…hiks.
http://www.sayuriyosiana.com/esai/nasionalisme-hmm-bagaimana-seharusnya-yaaa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar