Muhammadun AS*
http://oase.kompas.com/
Judul buku : Merawat Kemajemukan, Merawat Indonesia
Penulis : Azyumardi Azra
Penerbit : Impulse-Kanisius Yogyakarta
Cetakan : 1, 2009
Tebal : 40 halaman
Tidak akan ada sebuah entitas bangsa dan negara bernama Indonesia, jika tidak ada kemajemukan. Tidak akan ada Indonesia, jika yang ada hanyalah ke-ika-an, ketunggalan, dan monokulturalisme. Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia di pajang dalam lintasan ragam pulau, budaya, etinis, suku, dan agama. Di atas lintasan kekayaan kultural itulah, Indonesia berdiri kokoh, tegak, dan kukuh. Berbagai goncangan dan badai terus datang menggerus kemajemukan Indonesia, tetapi basis multikultural tetap kukuh dalam menyangga eksisitensi Indonesia.
Goncangan sangat hebat menerpa tatakala terompet reformasi disiulkan pada tahun 1998. Krisis moneter, krisis ekonomi, dan krisis politik, pada gilirannya membuat krisis sosio-kultural di seluruh pelosok negeri. Jalinan tenun masyarakat (fabric of society) kelihatan tercabik-cabik akibat krisis yang sangat akut.
Krisis sosio-kultural dapat disaksikan dalam bentuk disorientasi dan dislokasi masyarakat, misalnya; disintegrasi sosial-politik yang bersumber dari euforia kebebasan yang nyaris kebablasan; lenyapnya kesabaran sosial (social temper) dalam menghadapi realitas kehidupan yang semakin sulit sehingga mudah mengamuk dan melakukan berbagai tindakan kekerasan dan anarkhi; merosotnya penghargaan dan kepatuhan kepada hukum, etika, moral, kesantunan sosial, dan keadaban publik; berlanjutnya konflik kekerasan yang bernuansa politis, etinis, dan agama, sebagaimana terjadi di Aceh, Ambon, Poso, Papua, dan sebagainya.
Runtuhnya basis sosio-kultural di Indonesia inilah yang coba diurai secara jeli oleh Azyumardi Azra dalam buku " Merawat Kemajemukan, Merawat Indonesia". Azra melihat bahwa keruntuhan basis sosio-kultural telah menjebak Indonesia dalam budaya gado-gado tanpa identitas (hal. 9). Keterjebakan dalam budaya gado-gado ini semakin terjepit tatkala globalisasi menghembus dengan kencang merusak sendi-sendi budaya lokal ke-Indonesia-an. Sudah tergerus dalam konflik dan tragedi kekerasan, budaya Indonesia di serang secara ganas oleh budaya global yang hedonis, pragmatis, dan matrialis. Edward Said melihat ini sebagai "cultural imprealism".
Jalinan tenun masyarakat Indonesia yang sedang tercaik-cabik ini, bagi Azra, harus segera diselamatkan. Karena sekali ada jalinan tenun lain yang sobek lagi, maka eksistensi Indonesia bisa terancam. Indonesia sangat mungkin terperosok dalam lubang keruntuhan dan kehancuran. Sekali lagi, kerana basis sosio-kulturalnya runtuh, padahal basis inilah yang telah menyangga Indonesia, bahkan sebelum nama Indonesia itu sendiri tercipta.
Dengan komitmen merawat kemajemukan, bagi Azra, kita sesungguhnya telah merawat Indonesia. Kekayaan kultural Indonesia sangat mencolok. Dalam teori politik Barat sepanjang dasawarsa 1930-an dan 1940-an, wilayah Indonesia di pandang sebagai "lokus klasik" bagi konsep masyarakat majmuk/plural (plural society) yang diperkenalkan ke dunia Barat oleh Furnival (1944, 1948).
Peta Indonesia sebagai basis multikulkturalisme Asia Tenggara, sebagaimana yang diakui oleh Hefner, bagi Azra, dikategorikan dalam multikulturalisme akomodatif dan multikulturalisme kritikal atau interaktif. Dalam multikulturalisme akomodatif, masyarakat Indonesia terdiri dari kultur dominan baik dalam konteks budaya, politik, etinis, dan agama. Walaupun mempunyai kultur dominan, tetapi mudah membuat penyesuaian dan adomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum minoritas.
Karena gampang melakukan penyesuaian, masyarakat Indonesia kemudian masuk dalam multikulturalisme kritikal atau interaktif. Masyarakat Indonesia tidak terlalu concern dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka. Di Indonesia juga terjadi proses cukup intens antara kultur dominan dengan kultur lain, yang pada gilirannya memunculkan sebuah supra-culture –yang sederhananya bisa diniasbahkan kepaa kultur Indonesia- kultur nation-state Indonesia (hal. 16).
Setelah melewati kedua fase tersebut, yang merupakan hasil analisis Barat, Azra menawarkan pentingnya multikulturalisme demokratis. Multikulturalisme demokratis merupakan landasan budaya, lebih jauh lagi, terkait erat dengan pencapaian civility (keadaban) yang sngat esensial bagi demokrasi yang berkeadaban dan keadaban yang demokratis (democratic civility). Dalam upaya penumbuhan dan pengembangan democratic civility, maka civil society dan pendidikan menduduki peran sangat instrumental. Civil society dan pendidikan diharapkan menjadi social and cultural capital yang esensial bagi pengembangan dan pemberdayaan civilitas dan demokrasi yang berkeadaban.
Untuk penumbuhan dan pengembangan social and cultural capital melalui pendidikan, maka pendidikan kewargaan (civic education) menjadi sebuah keharusan. Keadaban dan demokrasi, sekali lagi, tak bisa dicapai secara trial dan error atau diperlakukan secara taken for granted, tetapi harus diprogramkan secara konseptual dan komprehensif pada setiap jejang pendidikan, baik formal, non-formal, maupun informal.
Melalui civic education dapat ditumbuhkan tidak hanya pemahaman lebih benar tentang demokrasi, HAM, pluralitas, respek dan toleransi diantara berbagai komunitas, tetapi juga pengalaman berdemokrasi keadaban. Dari civic education ini kita bisa membangun paradigma pendidikan multikultural, sehingga kerangka kemajemukan dan ke-Indonesia-an, dapat dicerna dengan jernih, dan akhirnya agenda penyelamatan Indonesia bisa digapai dan dilaksanakan.
Gagasan-gagasan Azra dalam merawat kemajemukan Indonesia sangat tepat untuk direfleksikan bangsa Indonesia di tengah gempuran konflik sosial dan arogansi budaya global yang terus merasuk dalam sendi budaya bangsa. Bagi Azra, Indonesia harus mempunyai identitas budaya yang genuine, tidak mudah terkoyak, dan akhirnya menjadi penyangga Indonesia. Dari sinilah, agenda kebangkitan budaya Indonesia bisa disuarakan dengan lantang, sehingga bisa membangun kerangka paradigmatik pembangunan manusia Indonesia di masa depan.
*) Analis sosial
http://oase.kompas.com/
Judul buku : Merawat Kemajemukan, Merawat Indonesia
Penulis : Azyumardi Azra
Penerbit : Impulse-Kanisius Yogyakarta
Cetakan : 1, 2009
Tebal : 40 halaman
Tidak akan ada sebuah entitas bangsa dan negara bernama Indonesia, jika tidak ada kemajemukan. Tidak akan ada Indonesia, jika yang ada hanyalah ke-ika-an, ketunggalan, dan monokulturalisme. Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia di pajang dalam lintasan ragam pulau, budaya, etinis, suku, dan agama. Di atas lintasan kekayaan kultural itulah, Indonesia berdiri kokoh, tegak, dan kukuh. Berbagai goncangan dan badai terus datang menggerus kemajemukan Indonesia, tetapi basis multikultural tetap kukuh dalam menyangga eksisitensi Indonesia.
Goncangan sangat hebat menerpa tatakala terompet reformasi disiulkan pada tahun 1998. Krisis moneter, krisis ekonomi, dan krisis politik, pada gilirannya membuat krisis sosio-kultural di seluruh pelosok negeri. Jalinan tenun masyarakat (fabric of society) kelihatan tercabik-cabik akibat krisis yang sangat akut.
Krisis sosio-kultural dapat disaksikan dalam bentuk disorientasi dan dislokasi masyarakat, misalnya; disintegrasi sosial-politik yang bersumber dari euforia kebebasan yang nyaris kebablasan; lenyapnya kesabaran sosial (social temper) dalam menghadapi realitas kehidupan yang semakin sulit sehingga mudah mengamuk dan melakukan berbagai tindakan kekerasan dan anarkhi; merosotnya penghargaan dan kepatuhan kepada hukum, etika, moral, kesantunan sosial, dan keadaban publik; berlanjutnya konflik kekerasan yang bernuansa politis, etinis, dan agama, sebagaimana terjadi di Aceh, Ambon, Poso, Papua, dan sebagainya.
Runtuhnya basis sosio-kultural di Indonesia inilah yang coba diurai secara jeli oleh Azyumardi Azra dalam buku " Merawat Kemajemukan, Merawat Indonesia". Azra melihat bahwa keruntuhan basis sosio-kultural telah menjebak Indonesia dalam budaya gado-gado tanpa identitas (hal. 9). Keterjebakan dalam budaya gado-gado ini semakin terjepit tatkala globalisasi menghembus dengan kencang merusak sendi-sendi budaya lokal ke-Indonesia-an. Sudah tergerus dalam konflik dan tragedi kekerasan, budaya Indonesia di serang secara ganas oleh budaya global yang hedonis, pragmatis, dan matrialis. Edward Said melihat ini sebagai "cultural imprealism".
Jalinan tenun masyarakat Indonesia yang sedang tercaik-cabik ini, bagi Azra, harus segera diselamatkan. Karena sekali ada jalinan tenun lain yang sobek lagi, maka eksistensi Indonesia bisa terancam. Indonesia sangat mungkin terperosok dalam lubang keruntuhan dan kehancuran. Sekali lagi, kerana basis sosio-kulturalnya runtuh, padahal basis inilah yang telah menyangga Indonesia, bahkan sebelum nama Indonesia itu sendiri tercipta.
Dengan komitmen merawat kemajemukan, bagi Azra, kita sesungguhnya telah merawat Indonesia. Kekayaan kultural Indonesia sangat mencolok. Dalam teori politik Barat sepanjang dasawarsa 1930-an dan 1940-an, wilayah Indonesia di pandang sebagai "lokus klasik" bagi konsep masyarakat majmuk/plural (plural society) yang diperkenalkan ke dunia Barat oleh Furnival (1944, 1948).
Peta Indonesia sebagai basis multikulkturalisme Asia Tenggara, sebagaimana yang diakui oleh Hefner, bagi Azra, dikategorikan dalam multikulturalisme akomodatif dan multikulturalisme kritikal atau interaktif. Dalam multikulturalisme akomodatif, masyarakat Indonesia terdiri dari kultur dominan baik dalam konteks budaya, politik, etinis, dan agama. Walaupun mempunyai kultur dominan, tetapi mudah membuat penyesuaian dan adomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum minoritas.
Karena gampang melakukan penyesuaian, masyarakat Indonesia kemudian masuk dalam multikulturalisme kritikal atau interaktif. Masyarakat Indonesia tidak terlalu concern dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka. Di Indonesia juga terjadi proses cukup intens antara kultur dominan dengan kultur lain, yang pada gilirannya memunculkan sebuah supra-culture –yang sederhananya bisa diniasbahkan kepaa kultur Indonesia- kultur nation-state Indonesia (hal. 16).
Setelah melewati kedua fase tersebut, yang merupakan hasil analisis Barat, Azra menawarkan pentingnya multikulturalisme demokratis. Multikulturalisme demokratis merupakan landasan budaya, lebih jauh lagi, terkait erat dengan pencapaian civility (keadaban) yang sngat esensial bagi demokrasi yang berkeadaban dan keadaban yang demokratis (democratic civility). Dalam upaya penumbuhan dan pengembangan democratic civility, maka civil society dan pendidikan menduduki peran sangat instrumental. Civil society dan pendidikan diharapkan menjadi social and cultural capital yang esensial bagi pengembangan dan pemberdayaan civilitas dan demokrasi yang berkeadaban.
Untuk penumbuhan dan pengembangan social and cultural capital melalui pendidikan, maka pendidikan kewargaan (civic education) menjadi sebuah keharusan. Keadaban dan demokrasi, sekali lagi, tak bisa dicapai secara trial dan error atau diperlakukan secara taken for granted, tetapi harus diprogramkan secara konseptual dan komprehensif pada setiap jejang pendidikan, baik formal, non-formal, maupun informal.
Melalui civic education dapat ditumbuhkan tidak hanya pemahaman lebih benar tentang demokrasi, HAM, pluralitas, respek dan toleransi diantara berbagai komunitas, tetapi juga pengalaman berdemokrasi keadaban. Dari civic education ini kita bisa membangun paradigma pendidikan multikultural, sehingga kerangka kemajemukan dan ke-Indonesia-an, dapat dicerna dengan jernih, dan akhirnya agenda penyelamatan Indonesia bisa digapai dan dilaksanakan.
Gagasan-gagasan Azra dalam merawat kemajemukan Indonesia sangat tepat untuk direfleksikan bangsa Indonesia di tengah gempuran konflik sosial dan arogansi budaya global yang terus merasuk dalam sendi budaya bangsa. Bagi Azra, Indonesia harus mempunyai identitas budaya yang genuine, tidak mudah terkoyak, dan akhirnya menjadi penyangga Indonesia. Dari sinilah, agenda kebangkitan budaya Indonesia bisa disuarakan dengan lantang, sehingga bisa membangun kerangka paradigmatik pembangunan manusia Indonesia di masa depan.
*) Analis sosial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar