suaramerdeka.com
KELON dan kesaksian tubuh perempuan. Ah, Anda jangan merasa bersalah telah tergiring dalam wilayah mekewuhi usai membaca kata-kata tersebut. Meski bahkan nantinya tahu itu sebenarnya nama kelompok teater dan judul karyanya sekali pun. Sekali lagi, jangan.
Di Padepokan Lemah Putih Plesungan, Gondangredjo, Karanganyar, Kamis (21/2) malam lalu, digelar sebuah pertunjukan teater. Pertunjukan itu dimainkan oleh Kelompok Kelon Surakarta dengan mengusung sebuah lakon “Kesaksian Tubuh Perempuan”.
Nah, jadi tahu kan apa maksud dari “kelon dan kesaksian tubuh perempuan” itu.
Hanya tunggu dulu. Cobalah simak apa yang tertuliskan dalam pengantar pertunjukannya. Di sana, dalam biografi kelompok, kelon dalam bahasa Jawa artinya tidur bersama dengan saling berpelukan. Banyak anak kecil harus dikeloni oleh ibu atau bapaknya agar bisa tidur. Tapi juga banyak istri yang saat tidur dikeloni suaminya. Bahkan sepasang kekasih juga memilih kelon untuk mengekspresikan hasratnya.
Jadi tahu juga kan maksud arti jangan merasa bersalah jika Anda sudah tergiring dalam konotasi yang mekewuhi.
Tapi baiklah kita kesampingkan dulu persoalan yang mungkin ewuh itu. Sebab ada pemaknaan kelon yang lebih mengena dengan pertunjukannya. Kelon antara teater dengan cerpen.
Membaca Cerpen Menurut YE Marstyanto, pimpinan Kelompok Kelon, lakon “Kesaksian Tubuh Perempuan” tak ubahnya perkawinan antara seni pertunjukkan teater dengan cerpen. Melakukan transformasi kekuatan-kekuatan teks lalu dialihrupakan ke dalam bentuk panggung pertunjukan, adalah pencapaian yang diharapkan muncul dalam garapan.
“Tentu saja beragam gaya dan stilisasi harus digali,” kata dia.
Hasilnya? Seorang perempuan (Retno “Eno” Sulistyorini) mengeksplorasi gerak dengan menggeliatkan tubuh serupa penari. Seorang perempuan yang lain, Sruti Respati, lebih banyak bernyanyi. Sesekali perempuan yang bernyanyi itu menghampiri sebuah meja, lalu suara ketikan pun segera terdengar bagai memberikan rasa musikalitas.
Hanya sampai disitukah? Tidak ternyata. Masih ada tiga perempuan lagi dari Teater Teras Univet Sukoharjo yang keberadaannya terasa menarik. Mereka tak terlalu banyak berolah tubuh, kecuali membaca teks yang ada di tangan masing-masing. Ya, mereka kemudian silih berganti membaca cerpen “Kesaksian Tubuh perempuan” sebagai bagian dari pertunjukkan plus.
“Kami mencoba menjelajah berbagai kemungkinan dari sebuah cerpen. Hasilnya menjadi tontonon ini, yang mungkin lebih tepat dikatakan sebagai baca cerpen plus,” kata YE Marstyanto. Itulah hasil kelon antara teater dengan cerpen.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar