Senin, 15 Juni 2009

KECANTIKAN & MISTIS ALAM NATURALIS

Nurel Javissyarqi *
http://ja-jp.facebook.com/people/Nurel-Javissyarqi/1355886977

Siapa pun yang dicintai adalah cantik, tetapi tidak semua yang cantik itu dicintai (Jalaluddin Rumi, Discourses of Rumi, fihi ma fihi, A. J . Arberry).

Marilah memohon ridho-Nya, Yang Maha Cantik, Yang Maha Mistis. Hanya dengan-Nya menyandarkan pemahaman, tidak sekadar dataran pemikiran. Dia pemegang hati menguasai lupa serta ingatan, segala tautan, tambatan, mesti kepada-Nya.

Dengan kasih sayang-Nya, insan diberi ketampanan pengertian menurut kadarnya tanpa terkecuali. Hanya kebanyakan belum mengetahui, pintu mana saja mendatangkan khasana dalam diri. Ada yang faham tapi belum mampu mengikuti, sebab jalannya berliku kepahitan, ada yang terbelenggu diri sendiri.

Banyak yang tertipu label mistis, pengetahuannya dari kegagalan mencapai puncak sesungguhnya. Dengan menyamaratakan pengertian, semisal menyebut kebaikan itu kebijakan, kesahajaan dianggap tangga pada mistis. Benarkah demikian?

Kenapa saya gabungkan mistis dan kecantikan? Apa ada kesamaan? Atau sekadar selentingan yang dapat memerosotkan asal penipuan? Marilah mengupas, demi mengetahui ini puncak kekenesan atau benar adanya.

Saya ambil tahapan berikut, agar paparannya runtut mudah difahami, yang mungkin kurang layak juga diberi urutan. Namun itu kadang dibutuhkan, atau saudara berharap persoalan tersebut sebagai keharusan.

Dengan ringan hati saya melalukan, demi pandangan baik. Pertama mahabbah (Cinta), kedua Syauq (Rindu), dan ketiga Muwajjaha (Bertatap Muka).

Mahabbah (Cinta)

Sebelum jauh, marilah menyimak paparan ini:
“Kecantikan adalah penggerak alam mistis.”

Secara manusiawi, kita tertarik wujud kecantikan, dan seringkali terprogram sesuai idealitas, atau adanya makna universal darinya. Kajian ini, seperti tertarik pandangan pertama. Rasa tertarik ini saya sebut pintu mengenal mistis. Kenapa berminat? Dan dengan cara bagaimana melanggengkan?

Pertanyaan itu kudu dijawab, demi mengetahui sejauh mana mengenal mistis dalam diri. Seolah rasa tertarik itu mendadak tanpa alasan, kalau menyelidik mundur, tentu mengenalnya. Warna yang disuka, atau yang dibenci? Dan warna apa yang asing baginya?

Pola pertanyaan ke belakang akan memberi tanda permulaan daya suka, semisal cinta bukan datang tiba-tiba meski tampak mendadak. Kenalan sebelumnya mengenai warna, sudut pandang, pun bentuk yang pernah dibayangkan. Mendekatiyang namanya pertemuan berkesan. Kesan dari beberapa idealitas yang belum jelas menjadi terang, jika mendapati wajah kemisterian itu akrab.

Setelah mengenal kemauan, lalu bertemu mahabbah. Cinta timbul egoistis, berhambur dalam keikhlasan keputusan ruang-waktu. Dan setiap kejadian sebagai rona. Kenapa saya sebut cinta itu pintu mistis? Sebab menyimpan perbendaharaan tersembunyi, sedangkan kecantikan sebagai daya tariknya.

Kesaksian kaum mistis melihat ciptaan di bawah matahari, bersimpan kecantikan. Pengakuan segala unsur itu kecantikan, maka semakin terang tahap mistis merealisasikan, jalan memandangi perjalanan hayat. Semisal hidup itu anugrah, dan kebaikan menerimanya meski kepahitan. Dengan penerimaan seluruh, asing menjadi akrab, kecantikan agung tergapai harap.

Setelah mengenal tambatan hati, lantas tergerak memberi. Itu wujud realitas pecinta, tidak menolak meskipun menyakitkan. Sebab di balik titik terlihat lebih, seperti tebaran bintang di malam hari. Inilah perbiakan pandangan kasih sayang atas kepasrahan.

Dengan cinta berkenalan misteri diri yang tercinta, pulalah mengembangkan layar menuju pulau-pulaunya. Para pecinta adalah kembara ilmu, yang haus mencari kepribadian. Cinta membuatnya belajar darimana pengertian, dan berlalu ke mana. Sebab cinta adalah cakrawala tanpa batas, kalbu yang suci.

Di atas saya singgung idealitas atas kecondongan bertemunya cinta. Idealitas di sana bukan dogma, tapi kemampuan mengenal diri, atau seleksi alam bersesuaian. Mistis bukan profesi tapi kepribadian diri mengembangkan cinta. Mistis adalah kerjanya cinta, pada apapun profesinya.

Cinta memaknai tanaman berbunga, dan seluruh tangkainya menjelma tongkat emas, buah-buah apel bergelantungan, bersimpan air kehidupan. Lewat cinta mengenali kelembutan, gejala paling halus segetaran bathin. Yang menebarkan aura, dan orang lain menangkap sang mistis pada bentuk kecantikan.

Sedalam apakah mistis? Sedalam pengertian mengembangkannya. Maka rawatlah getaran itu hingga tidak runtuh, atau mengeras tak mau bangkit demi perjuangan sungguh.

Jalan di depan seolah buntu, tapi geserlah tempat dudukmu barang sedikit. Pandangmu menemukan kemudahan, sedang keegoisan tidak mau beranjak menemukan apa-apa sebab menganggap berakhir. Namun saat melayarkan kemungkinan, kasus yang tak bisa dipecahkan, lantas bernalar mencapai persolan. Ini tantangan berat-ringannya tergantung kesiapan. Seorang mistis benar terjaga, meski orang lain dalam istirah.

Dengan cinta orang sanggup melampaui, tanpa menanggalkan tanggung jawab. Tapi sekali saja meninggalkan, getarannya berkurang atau bisa tidak muncul kembali. Lewat getaran cinta, pandangan kaum mistis begitu tajam, menimbulkan intuisi pencerahan.

Mistis serupa laut selalu berombak mesti menemui karang. Dia tidak berhenti sebab jiwanya selalu baru. Orang lain melihatnya kecelik, sebab dia tidak hidup dari simbul atau dihidupi olehnya. Dia pasrahkan hayatnya pada Sang Mistis, yang membentangkan realitas pencerahan. Kaum mistis berangkat dari esensi. Dirinya tidak pernah sedih berlebih, apalagi berlarut dalam pilu.

Hasil kematangan jiwanya bukan dari penelitian yang tampak, dia pertimbangkan segala dengan kehatian-hatian, berat hitungan rasa di kedalaman. Andaipun keliru, dia menarik keberadaan, lalu pengertian menyeruah satu-satu dalam jiwa lapang.

Kaum mistis selalu pasrah perjalanan bathinnya, direalisasikan dengan langkah kerja. Sebab itu, pertimbangannya bukan dari perjalanan, tapi dia perhitungkan dirinya sebagai magnit menarik pengertian. Terkumpul bukan kemauannya, namun kehendak masa yang tergariskan.

Dari awal sampai didapat, kaum mistis berbeda kaum filsuf dan para bijak. Kaum bijak membaca tanda bagi pijakan, kaum filsuf melewati logika, sedang kaum mistis pada intuisi keyakinan. Yang mendekati daripadanya ialah pujangga, getarannya dikembangkan sayap lembut udara pengertian.

Kaum mistis ke bilik dunia lewat mahabbah. Bagaimana para mistis bercinta? Kiranya pengamatan mengenai keindahan, kecantikan, tiada pudar dari esensinya. Menyelidiki jiwa makna yang dikembangkan kaum mistis, hanya ukuran penelitian sering berbeda, ini daya jawab yang muncul di permukaan.

Kaum mistis selalu setia apa yang dipandang penilaian semula, yang berasal dari kumpulan permenungan. Boleh jadi yang dihadapi merubah pandangan. Semisal dia mencintai perempuan, lantas suatu masa meninggalkannya, seolah tidak bertanggung jawab.

Ini letak kerumitan mistis bagi kaum awam. Kenapa dia meninggalkan? Apakah habis cintanya buat dirinya semata, atau dia tidak berdaya memegang teguh yang dikembangkan dirinya? Pandangan sang mistis tidak memandangnya, sebab perempuan itu tidak sebobot dengan berat semula.

Atau esensi perempaun tersebut berubah sebab perjalanan masa-masa, bertemunya ruang-waktu mempengaruhi. Sedangkan pandangan sang mistis tidak sama sekali luntur, meski melewati ruang-ruang berbeda-beda.

Kenapa dia tidak menggunakan jiwa hipnotisnya, demi kembalikan yang dicintai balik kepada esensi semula? Ini jawabannya pada sang mistis. Dia berbuat sesuatu dengan naluriah, lelangkahnya selalu merawat tanggung jawab kepurnaan makna.

Syauq (Rindu)

Pada tahap dua, syauq (rindu). Dia anak turun cinta juga penjaga kesetiaan mahabbah. Kerinduan kaum mistis lebih misteri dari rindunya wanita. Kangennya melewati lapisan kabut melepas kulit-kulit diri, sehingga tidak melukai yang dirindukan.

Rindunya bukan menggoyak hadir paksaan tapi ketulusan. Sejenis kerinduan akan waktu yang tidak bisa diformulasikan lewat tahapan psikologi. Rindunya serupa waktu diimpikan tetapi bukan, kehadirannya lebih lembut dari impian.

Kalau kaum mistis mendamba kebendaan, sejatinya pada getaran esensinya. Dengan memunculkan ombak dirindu, dirinya bergetar oleh kesaksian padat yang meneguhkan pendiriannya menemukan waktu. Waktu adalah anggur, dan tempat sebagai gelasnya.

Kenapa tidak rindu esensi tapi getarnya? Sebab seringkali orang merindu, melukai juga yang dirindu. Jika mengambil getarannya, tidak kurang dari esensi, tanpa memaksa masuk dalam kalbu.

Tidakkah esensi cahaya itu cahaya? Ini pensifatan, tapi saya tak jauh mengoreksi dzat yang dirindukan, sebab batasan itu ada. Ini sekadar perangsang tahapan lebih, ketika bertemu getaran akan terpesona.

Mengkaji rindu sebenarnya mengaji waktu, sebab ruang tidak menjadi penentu dalam kalbu. Ini gelayutan kayungyung bergantung perindu, di sekitar rindu hawa merayu, demi menetapi rindu selalu.

Saat kerinduan menjelma kenikmatan menuju esensi kebertemuan. Apakah bukan nafsu? Maka kudu ditetapkan keseimbangan jiwa, keselarasan nalar perasaan. Agar tak terlukai beling-beling cermin, ketika bertepat waktu rindunya berjumpa.

Kerinduan mistis jauh lebih maju, sebab dengan pandangan seksama akan ke depan, sehingga jarang sekali kecelik. Mereka selalu sigap menerima, sebab mempelajari kasus sekitar juga yang dekat terjadi. Kelebihan ini kerapkali membingungkan orang awam, dikira ngelantur atau bualan.

Dia tahu sebelum pengertian berkumpul menjadi artian umum. Kerinduan murni tanpa berharap belas kasih adalah doa, keharusan sebab menjalani fitroh. Kerinduan menginggat kekasih sehingga lupa pengharapan, tetapi kekasih takkan lupa ketulusannya. Dirinya selalu dihibur waktu-waktu makbul ketentraman.

Rasa tentram, nafas lembut, kadang melalaikan kerinduan. Sebab itu fariasi merindu diperlukan, demi menghilangkan kejenuhan. Ada melewat puja-puji rasa syukur dendangan hening, atau bekerja mengaktualisasi kangen berupa karya pahatan nisan, untuk kebertemuan abadi.

Kerinduan seperti membaca ketepatan waktu yang disediakan ruang. Kerinduan itu tuntunan perindu pada ketepatan, efektivitas daya gerak, walau terlihat berlalu. Kerinduan penuntun gerak tanpa paksaan yang dirindukan atau merindukan. Ini tranformasi gelombang terdalam pada perindu. Bukankah kesamaan menentukan kebertemuan, kerinduan sepadan ombak lautan pada bentukan karang.

Itulah rindu menampilkan perindu dalam penampakan ruang-waktu, berketepatan ruapan berayun mesra. Rindunya kaum mistis bukan menghantui perindu, namun kelembutan budhi kecerdasan akal, menangkap rindu sebagai pengharapan. Sedangkan rindu menghantui perindu menyayat, menguras jiwa menarik paksa dirindukan, adalah bukan rindu berkeikhlasan.

Ketika rindu tersampaikan, tidaklah gelombangnya berkurang, malah menggebu dalam kepasrahan mengejawantahkan diri. Ini bukan tahap kemandekan menuju hilangnya rasa yang dirindukan getaran menjauh. Jika digambarkan sejatinya sampai, hanya perindu kadang tak merasakan, sebab getaran mendayu-satu di dalam jiwa.

Seakan rindu manisnya gula telah mengenyamnya, walau bijian gula tidak tersentuh bibir maupun lidah. Ini perasaan merasai, tanpa wujud terasai kesejatiannya. Kaum mistis mengulum buah manis perindu, tanpa diiringi keterlenaan pun menggebu, sebab bahagia bersentuhan saat lidah kalbu merasai. Merindu manisnya merasai, realitas penanda menjelma petanda.

Kerinduan filsuf hampir mendekati rindunya, karena akalnya mengajak ingatan kekinian dengan berpegang teguh kesadaran. Kaum mistis pun mengikuti dalil aqli juga naqli. Sehingga yang dirindu bukan hanya pelajaran masa silam terbacakan di depan, apa masuk akal, atau hanya merasuk iman.

Daya mistis menyeimbangkan keyakinan serta kelembutan nalar, hal mana tak dimungkinkan bagi filsuf, bisa menjadi kemungkinan lain kaum mistis. Pujangga mendekati mistis, sehingga dalam dirinya berkumpul kegaiban, bagi realitas hidupan tanpa menyebutnya ganjil.

Ketika telah melampaui kegilaan, hal ganjil bukan keanehan, perasaan sebagai timbangan akal, lebih lembut seperti kabut menggapai awan yang tidak goyahkan tangkapan. Alirannya mendekati frekwensi petapa, namun selalu disosialisasikan berkabar berita. Temuannya melembutkan kaki-kaki melangkahi kejadian, dalam pembentukan realitasnya.

Muwajjaha (Kebertemuan)

Ini bertatap muka kebetemuan padu, harmoni seimbang seruling merdu, atau angin bertiup menelusup dalam kalbu penyadaran. Kaum mistis itu musikus handal, mengimbangi laguan hidup demi persaudaraan, sehingga yang tercapai ketenangan bathiniah.

Suatu capaian drajad kemanusiaan, sebab tanpa nafas berontak pun sanggup mengubah. Selintas orang mistis tidak mengetahui persoalan musik, tapi saat diajak bicara, tiada berhenti kidungkan kesejatian, luapannya naik seringan kabut.

Pada dirinya alat-alat musik, dari yang ditabuh sampai dipetik kelembutan. Segala alam musik dalam dirinya, sedangkan jiwa sebagai aktornya. Inilah kebertemuan harmoni kehendak hayati. Dia bukan penggagas, namun seorang perenang yang mengikuti anak turun aliran. Suatu kerja tiada lebihkan keringat, keringatnya segera dijilati bayu pengharapan menerus.

Kabut berasal kepaduan atas kepadatan yang hidupi pandangannya. Kadang seolah gila, dia tak memainkan harmoninya. Tapi di alam sana, lebih lembut dari materi, membangun jembatan yang semua orang lewatinya, usaha tidak tersangkakan mata.

Orang awam berkata: aku seolah pernah mengalaminya di dalam mimpi. Jika kaum mistis mengetahui, tidak mengatakan. Dia lebih mementingkan di balik kejadian, sebab mimpi sekedar petanda. Dirinya mengharuskan menguliti itu sebagai hakikat tanda-tanda.

Dia cukupkan dirinya tidak menyampaikan selain kehendak kalbu, bagai seorang penemu telah peroleh yang dicari, namun dia bukan penemu. Kidung mistis tidak terpengaruh lelaguan luar. Pada dirinya berlimpah kepenuhan welas asih, kepada sesama hidup, menyayangi yang tiada.

Muwajjaha adalah kebertemuan hidup membahagiakan realita diri, semacam panggung diisi persandiwaraan sejati, rupa layang-layang ditarik benangnya. Orang tidak melihat tarikan benang sebab silau cahaya, sedang kaum mistis mempermainkan tarikan benang layang-layangnya. Mengetahui kesejatian goyangan, bukan berasal nafsu namun kehalusan bathiniah.

Seorang mistis telanjang di atas puncak ketinggian gunung, dia mempelajari angin bawah realitas menuju keabadian. Seperti pendaki yang tekun adalah awal bakat mistis. Angin menerpa dirinya itu fenomena lebih dari kehidupan bukit-bukit, juga kemanusiaan di lembah peradaban.

Kalimah seorang mistis seolah tak juntrun di dataran umum, padahal dirinya jalan berkelembutan bathin yang berangkat dari realitas mereka. Sisi lain, sang mistis seperti orang bijak tidak cepat ambil putusan, dari pertanyaan menghujami makna hidup. Tapi dia penampung segala bayu pengalaman, menikmati rintik gerimis, deras hujan malam, pun masa siang nerawang.

Kaum mistis seperti hujan di siang bolong, tanpa awan tebal menjanjikan musim berganti. Sejenis keberangkatan warna pelangi dari kondisi, begitu juga yang menarik dirinya menjadi kesempurnaan. Adakah pelangi di malam hari? Begitulah kaum mistis tergantung Cahaya dari pancuran air kehidupan.

Penguasaan lingkungannya berkelengkapan, sebab seimbangkan ornamen pada dirinya, sehingga tampak kesahajaan, tidak menuntut ruang-waktu diidam. Muwajjaha itu kebertemuan sejati bukan halusinasi. Dia berjalan di atas realitas kesejatian diri, yang jauh mempelajari tipu daya relalitas semu kehidupan. Hadir kemurnian pandang, tak terperangkap ruang-waktu hayati.

Bukan tidak maunusiawi, dia manusiawi di hadapan orang yang sama, atas gunung realitas. Tiap tarikan nafasnya pelajaran, penyeimbang diri dengan ketinggian, yang bukan asal pandangan peradaban. Dia berangkat sedari perabadaban agung penyadaran, bukan berasal mempelajari jalan hidup, bukan dari lingkungan lantas menyeimbangkan diri.

Kita bergetar menyaksikan sapuan bayu ketinggian, mengelupaskan kulit punggung. Dan seorang mistis merasakan, saat saksi kebertemuan angin gunung, juga terik mentari puncak realitas. Mistis tidak gusar perubahan jasad, dia menikmati panorama agung, namun tidak berarti lalai keadaan.

Dia berjalan tanpa rencana, mengikuti kehendak bathin tersembuhkan pengalaman. Pandangannya penuh pengampunan yang selalu digetarkan keajaiban, tetapi bukan lantas ambruk menyetujui. Bergetar oleh kesaksian takjub, saksi di ketinggian memandangi perjalanan awan, pernik kehidupan.

Kebergetaran muwajjaha kesaksian murni, bukan didatangkan dari gejolak penelitian hasrat selidik, tapi menggelinjak air menemui bebatuan. Dapat disebut elastis, pandangan tajam yang bukan sudut menyakitkan insaniah.

Melampaui ruang-waktu namun berada dalam penghayatan. Seperti cahaya tidak membutuhkan ruang-waktu, namun ruang-waktu takkan berarti kalau tiada cahaya. Maka pandangan tajam pada bayangan juga realitas pencerah.

Sang mistis ibarat pemancing tidak menghiraukan, sebab hakekatnya terpegang. Dia ikhtiar menuruti pandangan umum, agar tidak disangka keluar. Sang pemancing formula keunggulan kesaksian, menarik diri dari realitas kegaiban kolam, masa berjalan sebagai angin pencerah pertemuan.

Kaki menggantung di atas geladak sesekali menggoda air, dirinya bagai jembatan antara, dinginnya aliran kesaksian penjaga waktu kemanusian. Muwajjaha ialah kebertemuan merindu, dan realitas kesaksian sang jatuh cinta sebagai mistis.

Sebagai penutup saya kutip perkataan al-Hallaj, tiga belas tahun sedurung dirinya dihukum gantung: “Hari ketika aku akan dipancung di tiang gantungan, saat itu aku sangat dekat sekali (Iqtarub; 96:19) dengan Tuhan.

Lalu tiga belas tahun kemudian, hari ketika dia dipancung. Dia berkata: Aku telah menerimanya, aku dipenuhi keyakinan penglihatan hingga aku malu; aku tidak boleh menyerah kepada kebahagiaan.” (Louis Massignon, Hallaj Mystic and Martyr).

*) Pengelana asal desa Kenda-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Indonesia.
2006- juni 2009.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Alexander A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Dahana A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.C. Andre Tanama A.J. Susmana A.S. Laksana A’an Jindan AS Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Rauf Singkil Abdul Walid Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adek Alwi Adhi Pandoyo Adhitia Armitrianto Adhy Rical Adi Faridh Adian Husaini Adin Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrizas Adu Pesona Sang Wakil Presiden RI AF. Tuasikal Afri Meldam Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agit Yogi Subandi Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Rakasiwi Agus Sulton Agus Wibowo Agus Wirawan Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ah. Atok Illah Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Anshori Ahmad Damanik Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Hasan MS Ahmad Jauhari Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad S. Zahari Ahmad Syafii Maarif Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fiah Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Siddiq Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al-Fairish Al-Ma'ruf I Al-Ma'ruf II Alang Khoiruddin Albert Camus Ali Mahmudi Ch Alia Swastika Alvi Puspita Alvin Amien Wangsitalaja Aminah Aming Aminoedhin Ana Mustamin Anam Rahus Anas AG Andhi Setyo Wibowo Andi Gunawan Andry Deblenk Angela Anggie Melianna Anindita S. Thayf Anis Ceha Anitya Wahdini Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anugerah Ronggowarsito Anwar Nuris Aprillia Ika Arida Fadrus Aridus Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Ariel Heryanto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Arwan Aryo Wisanggeni Aryo Wisanggeni Gentong AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Ashadi Ik Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asro Kamal Rokan Astrid Reza Asvi Warman Adam Atafras Atok Witono Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azwar Nazir Baca Puisi Badrus Siroj Bahrul Ulum A. Malik Balada Bambang kempling Bambang Riyanto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berita Utama Bernando J. Sujibto Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Bre Redana Brunel University Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Jay Utomo Budi P. Hatees Budi Palopo Budi Setyarso Budi Sp. Indrajati Budiman S. Hartoyo Budiman Sudjatmiko Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Choirul Rikzqa Christian Heru Cahyo Saputro Cover Buku D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dadang Widjanarko Damiri Mahmud Dani Fuadhillah Daniel Paranamesa Darju Prasetya Dati Wahyuni Dawet Jabung Ponorogo Dedykalee Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Deshinta Arofah Dewi Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan Dewi Anggraeni Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Didik Kusbiantoro Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dorothea Rosa Herliany Dr Andi Irawan Dr Siti Muti’ah Setiawati Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Drs. Solihin Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddi Koben Edeng Syamsul Ma’arif Edy Apriyanto Sudiyono Edy Firmansyah Edy Susanto Efri Ritonga EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hartono Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elita Sitorini Elly Trisnawati Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Em. Syuhada' Emha Ainun Nadjib Encep Abdullah Eni Sulistiyawati Eny Rose Esai Ester Lince Napitupulu Etik Widya Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathan Mubarak Fathul Qodir Fathul Qorib Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Seni Surabaya 2011 Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fikri. MS Fiqih Arfani Firman Daeva Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Forum Santri Nasional (FSN) Free Hearty Galuh Tulus Utama Gandis Uka Ganug Nugroho Adi Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gendut Riyanto Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Pratama Glenn Fredly Goenawan Mohamad Golput Gombloh Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Hadi Napster Hafis Azhari Halim HD Halimi Zuhdy Hamid Dabashi Han Gagas Hardi Hamzah Hari Prasetyo Haris Del Hakim Haris Saputra Hary B Kori’un Hasan Basri Marwah Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Hendro Situmorang Henri Nurcahyo Henry H Loupias Hera Khaerani Heri CS Heri Kris Heri Latief Heri Listianto Herman RN Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Kuntoyo Heru Kurniawan Hikmat Darmawan Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humaidi Humam S Chudori I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I. B. Putera Manuaba IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ichwan Prasetyo Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Munadjat Imam Nawawi Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Herdiana Imron Arlado Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indigo Art Space Madiun Indra Tjahyadi Indrian Koto Ingki Rinaldi Iqmal Tahir Is Faridatul Arifah Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Isra’ Mi’raj Iswadi Pratama Iswara N Raditya Iva Titin Shovia Iwan Awaluddin Yusuf Iwan Gunadi J. Sumardianta Jamrin Abubakar Jansen Sinamo Janu Jolang Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jemie Simatupang Jenny Ang Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jl Simo Jo Batara Surya Jodhi Yudono Joko Budhiarto Joko Sadewo Joko Sandur Joko Widodo Jones Gultom Joni Ariadinata Joresan Mlarak Ponorogo Joseph E. Stiglitz Jual Buku Paket Hemat Junus Satrio Jurnalisme Sastra K. Hirzuddin Hasbullah K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.H. Masrikhan Asy'ari K.H. Mudzakir Ma'ruf Kadjie MM Kajian Kitab Nashoihul 'Ibad Kang Daniel Karanggeneng Kartika Foundation Kasanwikrama Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kekal Hamdani Kemah Budaya Panturan (KBP) Kesenian KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Anwar Khoirul Inayah Khoirul Naim Khoirul Rosyadi Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Koko Sudarsono Komaruddin Hidayat Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopuisi Korban Gempa di Lombok Kospela KPRI IKMAL Lamongan Kris Razianto Mada Kritik Sastra Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kusni Kasdut Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto Lagu Laili Rahmawati Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Latif Fianto Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Listiyono Santoso Liya Izzatul Iffah Liza Wahyuninto Lucky Aditya Ramadhan Ludruk Jawa Timur Lukisan Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lustantini Septiningsih Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Ismail M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Iqbal Dawami M. Irfan Hidayatullah M. Latief M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Mushthafa M. Riza Fahlevi M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Maghfur Munif Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahwi Air Tawar Majelis Ulama Indonesia Makalah Tinjauan Ilmiah Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mantan Pastur Hafidz Al-Qur'an Maqhia Nisima Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Marsel Robot Martin Aleida Martin Hatch Marwan Ja'far Marwita Oktaviana Marzuki Mustamar Mashuri Masjid Tegalsari di Pesantren Gerbang Tinatar Masuki M. Astro Matroni el-Moezany Matroni Muserang Max Arifin Maya Handhini Mbah Kalbakal Medco Media Jawa Timur Medri Osno Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Misbahul Huda Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh Samsul Arifin Moh. Ghufron Cholid Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ghannoe Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Rain Muhammad Taufik Muhammad Yasir Muhammad Zia Ulhaq Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukhsin Amar Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Mun'im Sirry Muntamah Cendani Museum Bikon Blewut Ledalero Musfarayani Musfi Efrizal Musyayana Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nabi Adam Nanang Fahrudin Nandang Darana Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Ni Luh Made Pertiwi F Nindya Herdianti Ninin Nurzalina Wati Nitis Sahpeni Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noorsam Noval Jubbek Novel Pekik Novianti Setuningsih Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Hamzah Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nuswantoro Nyimas Nyoman Tingkat Obrolan Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Opini Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Pameran Seni Rupa Panda MT Siallagan Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit SastraSewu Penerbitan dan Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Pengajian Pengetahuan Perang Peringatan Hari Pahlawan 10 November Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pesantren Kampung Inggris Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Petrik Matanasi Pilang Tejoasri Laren Lamongan Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pilkada Piramid Giza Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pradana Boy ZTF Pradaningrum Mijarto Pramoedya Ananta Toer Prih Prawesti Febriani Pringadi AS Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Hartanto Puji Santosa Puput Amiranti N Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Satria Kusuma Putu Setia Putu Wijaya R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.Ng. Ronggowarsito Rabdul Rohim Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sazaly Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Rengga AP Reni Lismawati Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Rieke Diah Pitaloka Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rizka Halida Rizky Putri Pratimi Robin Al Kautsar Rocky Gerung Rodli TL Rofiqi Hasan Rohmad Hadiwijoyo Rohmah Maulidia Rohman Abdullah Rojiful Mamduh Rosdiansyah Rosi Rosidi Roso Titi Sarkoro Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rumah Literasi Rx King Motor S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Saifur Rohman Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Sardono W Kusumo Sartika Sari Sarworo Sp Sastra Facebook Satmoko Budi Santoso Satrio Lintang Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Savidapius Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Sejarah Sekolah Literasi Gratis SelaSAstra Boenga Ketjil SelaSAstra Boenga Ketjil #23 SelaSAstra Boenga Ketjil #24 Seni Ambeng Ponorogo Senirupa Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Shofiyatuz Zahroh Shohebul Umam JR Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Silfia Hanani Sindu Putra Sita Planasari Aquadini Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Hadi Purnomo Soediro Satoto Soegiharto Soeprijadi Tomodihardjo Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Igustin Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Sriyanto Danoesiswoyo Stefanus P. Elu Stevani Elisabeth STKIP PGRI Ponorogo Student Center Kampus ISI Yogyakarta Subagio Sastrowardoyo Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Ariyadi Sukitman Sumenep Sumiati Anastasia Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungelebak Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Suyadi San Syafrizal Sahrun Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syamsul Rizal Syi'ir Syifa Amori Syifa Aulia T.A. Sakti Tajuddin Noor Ganie Tamrin Bey dan Robin Al Kautsar TanahmeraH ArtSpace Tarpin A. Nasri Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Roda UNISDA Lamongan Teater Sakalintang Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tawon Teater Tewol Teguh LR Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Teori Darwin Teori Fisika Hawking Tgk Abdullah Lam U Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute Theresia Purbandini Thomas Koten Tien Rostini Timur Arif Riyadi Tjahjono Widarmanto Tjut Zakiyah Anshari Toeti Adhitama Tosa Poetra Tri Andhi S Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Tutut Herlina Ucu Agustin Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Uniawati Unieq Awien Universitas Jember Usman Arrumy Ustadz Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vassilisa Agata Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Video Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vita Devi Ajeng Pratiwi W. Haryanto W.S. Rendra Wakos R. Gautama Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Suryandoko William Shakespeare Wisnu Kisawa Wiwik Widiyati Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yayat R. Cipasang Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yulianto Yuliawati Yunanto Sutyastomo Yunus Supriyanto Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf AN Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Yuyuk Sugarman Z. Mustopa Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zarra Martsella Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zen Hae Zii Zuhdi Swt