Senin, 15 Juni 2009

Festival Puisi Weltklang, Berlin

Ketika Puisi Masih Dipercaya

Dorothea Rosa Herliany
http://www2.kompas.com/

PENGARANG Jerman, Wolfgang Borchert, pada Oktober 1947, pernah menulis manifesto antiperangnya yang terkenal, “Maka, hanya ada satu pilihan. Katakan Tidak!” (dann giht es nur eins! “sag nein!”). Kemudian hari-hari berlalu dan suatu hari aku datang di negeri itu. Aku habiskan waktu dengan menyusuri jalan-jalan di Berlin. Sampai Tembok Berlin itu juga: bilakah dulu jadi lambang kebebasan manusia? Betapa kini sudah tak tampak lagi jejak-jejak perjuangan manusia melawan tirani politik dan kekuasaan itu. Tapi, bisa jadi inilah wujud kebebasan itu, Berlin yang bebas, yang dipenuhi lalu-lalang para turis dan deretan toko-toko suvenir di sepanjang jalannya.


Aku menyusuri gang-gang dengan bangunan bertingkat di kiri-kanan. Ada bekas peluru di tembok. Masih terbaca semua kisah perang itu di sana. Ada kisah pembunuhan di tempat ini. Aku membayangkan orang-orang Yahudi yang teraniaya dan mati. Tapi aku kemudian ingat, ini adalah Berlin. Di sini, di tempat ini, sejarah mencatatkan kematian dari mereka yang begitu saja dipisahkan dari sanak-saudara oleh pembagian kekuasaan yang semena-mena. Mereka yang mati dalam usaha menghancurkan dinding pemisah, yang riil dan imajiner. Ah, Tembok Berlin… .

Di antara gang-gang yang seperti labirin di mitte (pusat) Berlin, tempat yang dulu untuk hunian murah orang Jerman itu, sekarang banyak didirikan galeri-galeri. Jerman setelah tak dipisah lagi menjadi timur dan barat, agaknya memang banyak berubah. Kota seperti lebih bersinar. Tapi tak begitu jelas, sinar itu redup atau cemerlang. Bangunan tembok-tembok Berlin yang umumnya berwarna sendu, kelabu, masih banyak yang tersisa. Orang-orang Jerman Timur sendiri entah ke mana. Satu dan yang lainnya sudah tak bisa dibedakan lagi. Sekarang semuanya tampak sama. Tapi, ada juga yang berkata bahwa mereka lebih banyak hidup di pinggiran kota.

Masih kukitari Berlin dan kulihat ada sebuah museum yang agak berbeda. Museum ini dikelilingi oleh sungai, seperti sebuah pulau tersendiri. Orang-orang kemudian menyebutnya island museum. Di tempat lainnya kulihat seorang tua menjajakan topi, seragam, tanda kepangkatan, dan lencana yang dulu biasa dipakai tentara Rusia. Juga jam tangan. Orang tua itu bahkan menjual keping-keping sisa tembok Berlin yang cukup diminati para wisatawan. Sebuah kenangan (betapa pun pahit), masih bisa kau jual jika itu untuk sebuah kesenangan.

Di sinilah, tak jauh dari the famous wall, di Berlin ini, di sebuah wilayah tengah kota, tepatnya di Postdamer Platz, di bawah pantulan redup rembulan, dibauri ribuan watt sinar lampu, sepuluh penyair dari berbagai negeri membacakan puisinya pada acara Weltklang Necht der Poesie (Malam Puisi Suara Dunia). Postdamer Platz, dulu semasa Jerman belum bersatu, lebih dikenal sebagai wilayah kosong, hampa, dan tak bertuan (nobody’s land). Kini Postdamer Platz mulai dikenal dengan festival puisi tahunannya. Ada banyak penyair terkenal dunia yang pernah membacakan puisinya dalam festival ini, seperti Derek Walcott, Adonis, Friederike Mayrocker, juga Rendra. Tahun ini pembacaan puisi dilangsungkan (puncaknya) pada 5 Juli 2003. Para penyair yang diundang berasal dari Chili (Gonzalo Rojas), Austria (Elfriede Gerstl), Lebanon (Abbas Beydoun), Perancis (Henri Chopin), Indonesia (penulis), Jerman (Wolfgang Hilbig dan Andreas Dresen), Albania (Ismail Kadare), Irlandia (Nuala Ni Dhomhnaill), Swedia (Lars Gustafsson), dan Australia (PiO). Gilanya, festival yang mendapat dukungan penuh dari produsen mobil mewah DaimlerChrysler ini (yang antara lain membuat mobil dengan merek serupa dan Mercedes- Benz) khusus mendatangkan penyair dari 10 negara tiap tahunnya hanya untuk diminta membacakan puisinya masing-masing selama… 15 menit!

Penataan panggungnya unik. Mimbar bagi penyair untuk membacakan puisinya sempit saja, hanya cukup untuk satu meja dan sedikit lagi ruang kosong lain jika si penyair ingin membacakan puisinya sambil berdiri. Selebihnya, lantai dan ketiga dinding yang dicat putih itu didesain dengan dibuat bersudut miring. Dari jauh panggung ini menyerupai pesawat televisi. Barangkali memang demikianlah maksudnya agar penonton yang duduk di bawah panggung dan disediakan kursi-kursi berderet memanjang ke belakang laksana sedang menonton sebuah pertunjukan di televisi besar.

Berbeda dengan festival puisi internasional lainnya, dalam festival yang tampak ingar-bingar ini (maklum, diselenggarakan di tengah kota dan di antara pusat pertokoan), panitia memandang puisi sebagai sesuatu yang bernilai yang berhubungan dengan dunia nyata dan punya makna yang tak terceraikan. Puisi tak hanya kata. Tak hanya struktur tertulis. Tapi, ia juga suara. Tak hanya isi, tapi ia juga rima, juga imaji. Semua itu adalah puisi. Demikian semboyan festival ini. Karena itu, para penyair yang diundang dalam festival ini memang diminta membacakan puisinya dalam bahasa mereka masing-masing.

“Inilah saatnya kita mendengarkan bahasa-bahasa lain, suara-suara mereka, dalam puisi, sebagaimana ini sebuah konser. Itulah sebabnya kami menyebut festival ini sebuah suara dunia (the sound of the world),” kata Direktur Festival Dr Thomas Wohlfahrt. “Kami percaya, puisi itu lebih dari kata-kata dan ada sisi lain di baliknya yang dapat dirasakan dan dimengerti,” katanya lagi.

Eropa sudah tak percaya bakal ada revolusi lagi. Namun, puisi dipercaya merupakan lingkungan untuk sebuah revolusi. Penyair adalah revolusioner dunia karena dialah yang menyetel radio dunia. Puisi menjadi roket di udara, dialah yang menggerakkan tubuh, dialah pemecah tembok, dialah napas, dan kadang dia adalah permadani yang mampu membawa kita terbang berkeliling melayang-layang di udara, demikian kata-kata bertebaran dalam pidato-pidato. Ini memang malam penuh keajaiban kata. Malam puisi.

Bagi para penonton yang hendak menyimak puisi-puisi yang dibaca, struktur teks itu sendiri, panitia menyediakan buku bagus berbahasa Jerman yang dijual dengan harga murah. Meski sebetulnya diakui oleh penyelenggara, menerjemahkan puisi itu hampir-hampir sesuatu yang mustahil. Tapi, itu harus dilakukan. Tinggal sekarang tergantung ke mana memutuskan arah puisi itu, apakah hendak menuju ke arah bunyi, suara, ataukah isi. Inilah juga sebagian topik yang menjadi pembicaraan para penyair maupun seniman lain yang terlibat dalam festival ini. Namun kemudian, penerjemahan puisi pun dilihat lebih pada kacamata positif, sebagai suatu bentuk kreasi puisi baru juga.

Puisi memang dijadikan sentral dalam ajang kali ini. Sebab, setidaknya ada lebih dari 100-an seniman dari 13 negara lain diundang untuk meramaikan perhelatan yang sudah berlangsung sejak 26 Juni 2003. Para seniman yang berlatar belakang seni musik dan tari ini diminta mempergelarkan karya-karya mereka yang mengambil inspirasi dari puisi. Puisi adalah inspirasi. “Hadirilah dan temukan, betapa menyenangkan puisi itu,” demikian sebagian promosi yang disebarkan panitia. Karena itu, kita misalnya bisa menyaksikan kejutan yang dipersembahkan Australia yang menampilkan sebuah nomor berjudul Homeland, gabungan antara tarian dan puisi di atas panggung yang dibuat 70 meter besarnya. Pertunjukan ini mengambil inspirasi dari puisi karya Stefan Kozuharov, campuran Bulgaria dan Australia, yang isinya menceritakan tentang emigrasi dan migrasi. Selain panggung, pencahayaan, artistik, penggunaan multimedia juga digarap dengan sungguh-sungguh. Ada lagi sebuah konser musik dalam ruang tertutup yang menampilkan nomor-nomor musik, mulai dari yang terdengar aneh di telinga hingga yang memang sungguh indah, yang diaransemen berdasarkan lirik dalam puisi. Kali ini puisi coba dihadirkan untuk “bekerja” dengan disiplin ilmu yang lain.

Jerman yang kita kenal sebagai negara teknologi rupanya sedang berupaya mencari jalan bagaimana menggabungkan puisi dengan hal-hal yang berbau teknologi. Dan jawaban untuk itu ditemukan pada pemanfaatan media. Mereka rupanya sudah merasa berhasil menemukan tugas ketidakmungkinan dalam membuat mata rantai antara puisi, sebagai bentuk sastra paling tua, dengan bentuk komunikasi paling modern: Internet. Lalu, misalnya saja, sebelum puncak acara berlangsung, para penyair diminta kesediaannya untuk direkam suaranya saat membacakan puisi dalam sebuah studio. Suara ini kemudian diolah dan bisa dinikmati dalam sebuah website agar puisi bisa didengar, baik dalam bahasanya masing-masing maupun dilihat terjemahannya dalam tulisan. Karenanya, sekarang hanya dengan memencet papan keyboard komputer saja, dimungkinkan masyarakat bisa mendengarkan suara para penyair dalam bahasa asli mereka, suara manusia dengan bunyi, melodi, ritme, juga emosi, kekuatan, kualitas suara dalam, sebagaimana ia adalah sebuah musik. Tahun depan diharapkan, mereka bakal mampu merampungkan proyek pembuatan perpustakaan berbentuk audio ini. Jadi, puisi yang tadinya hanya memiliki ruang pribadi, yang sendiri, yang khusyuk, hening, kini mulai diajak untuk tak menyendiri lagi, tapi tampil ke luar, dibaca, dan didengarkan.

Toh, ada juga suara sumbang untuk penyelenggaraan acara ini. Sebab, festival pembacaan puisi dalam ruang terbuka (open air) ini dipandang tak lebih sebagai seni pertunjukan belaka. Termasuk kolaborasi puisi dengan bidang seni lainnya itu. Mereka yang berpendapat begini melontarkan kritik, bagaimana bisa mendengarkan puisi dalam ruang publik yang begitu terbuka? Bagaimana mampu memahami hakikat puisi dengan cara itu? Puisi hanya lebih tepat dibaca dan didengarkan di dalam gedung dengan ruangan tertutup. Jadi, penyelenggaraan event seperti ini sekaligus dipandang sebagai hal yang ironis, yakni ketika puisi dipandang lebih hanya sebagai alat entertainment belaka.

Bagaimana pun, ada banyak sisi lain yang menarik dari festival ini. Sebagaimana sudah saya singgung di depan, sponsor utama festival ini adalah sebuah perusahaan mobil terkenal. Ini menarik, terutama saat seorang direktur eksekutif perusahaan ini, dalam pidatonya saat ramah-tamah dengan para penyair dan seniman lainnya, menyebutkan melalui festival ini, mereka berharap akan mampu lebih memahami negara-negara yang terlibat dalam acara ini, belajar dari puisi-puisi yang diciptakan para penyairnya, untuk selanjutnya… mampu menjual mobil mewah itu di negara yang bersangkutan lebih banyak lagi! Hebat, puisi sudah dianggap sebagai alat yang akan mampu membantu industri. Puisi dianggap punya peran di sana. Ia diharapkan secara tak langsung akan mampu mendongkrak produksi. Bagaimana kita mesti membaca hal ini? Ini sebuah “kemajuan” dari sepenggal puisi ataukah harapan (yang terlalu muluk) pada puisi?

Lepas dari itu, sang eksekutif ini juga menambahkan buru-buru bahwa meski mereka berdagang, mereka tak hanya bisnis semata. Sebab, mereka juga ingin melakukan sesuatu bagi masyarakat Jerman. Buktinya soal tempat penyelenggaraan festival ini. Dulu, tempat ini adalah wilayah antah-berantah yang kosong, nowhere, yang tak seorang pun datang dan menghuninya. Dengan dihadirkannya acara ini saban tahun, diharapkan masyarakat mulai berdatangan ke tempat ini. Wilayah ini juga diharapkan menjadi wilayah yang lebih “bergengsi”. Tak hanya area bisnis saja. Seperti diketahui, di Postdamer Platz ini memang bertebaran banyak bangunan, seperti misalnya ada kompleks sinema, restoran, hotel, cafe shop, shopping centre, dan semacamnya. Festival ini diharapkan juga mampu mengangkat tempat ini menjadi wilayah yang lebih “berbudaya”.

Betapa jauh bedanya kalau ini kita bandingkan dengan situasi di Indonesia, di mana puisi hanya dipandang dengan sebelah mata, apalagi oleh perusahaan besar. Adakah sebuah perusahaan yang kaya raya di Indonesia mau berpaling untuk “hanya” sebuah puisi? Atau untuk sebuah aktivitas budaya lainnya? Juga, adakah pemerintah kota yang mengaitkan puisi dengan gengsi sebuah tempat?

Apa pun, puisi tak pernah bisa mati. Cuma ia mungkin berbisik, dan jika memekik akan membentur banyak dinding dalam ruang gema. Ketika kita masih percaya pada puisi, suara tak akan kehilangan jejak, juga dalam nurani yang sering kali tinggal hampa. Benarkah?

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Alexander A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Dahana A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.C. Andre Tanama A.J. Susmana A.S. Laksana A’an Jindan AS Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Rauf Singkil Abdul Walid Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adek Alwi Adhi Pandoyo Adhitia Armitrianto Adhy Rical Adi Faridh Adian Husaini Adin Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrizas Adu Pesona Sang Wakil Presiden RI AF. Tuasikal Afri Meldam Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agit Yogi Subandi Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Rakasiwi Agus Sulton Agus Wibowo Agus Wirawan Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ah. Atok Illah Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Anshori Ahmad Damanik Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Hasan MS Ahmad Jauhari Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad S. Zahari Ahmad Syafii Maarif Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fiah Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Siddiq Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al-Fairish Al-Ma'ruf I Al-Ma'ruf II Alang Khoiruddin Albert Camus Ali Mahmudi Ch Alia Swastika Alvi Puspita Alvin Amien Wangsitalaja Aminah Aming Aminoedhin Ana Mustamin Anam Rahus Anas AG Andhi Setyo Wibowo Andi Gunawan Andry Deblenk Angela Anggie Melianna Anindita S. Thayf Anis Ceha Anitya Wahdini Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anugerah Ronggowarsito Anwar Nuris Aprillia Ika Arida Fadrus Aridus Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Ariel Heryanto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Arwan Aryo Wisanggeni Aryo Wisanggeni Gentong AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Ashadi Ik Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asro Kamal Rokan Astrid Reza Asvi Warman Adam Atafras Atok Witono Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azwar Nazir Baca Puisi Badrus Siroj Bahrul Ulum A. Malik Balada Bambang kempling Bambang Riyanto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berita Utama Bernando J. Sujibto Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Bre Redana Brunel University Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Jay Utomo Budi P. Hatees Budi Palopo Budi Setyarso Budi Sp. Indrajati Budiman S. Hartoyo Budiman Sudjatmiko Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Choirul Rikzqa Christian Heru Cahyo Saputro Cover Buku D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dadang Widjanarko Damiri Mahmud Dani Fuadhillah Daniel Paranamesa Darju Prasetya Dati Wahyuni Dawet Jabung Ponorogo Dedykalee Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Deshinta Arofah Dewi Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan Dewi Anggraeni Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Didik Kusbiantoro Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dorothea Rosa Herliany Dr Andi Irawan Dr Siti Muti’ah Setiawati Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Drs. Solihin Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddi Koben Edeng Syamsul Ma’arif Edy Apriyanto Sudiyono Edy Firmansyah Edy Susanto Efri Ritonga EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hartono Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elita Sitorini Elly Trisnawati Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Em. Syuhada' Emha Ainun Nadjib Encep Abdullah Eni Sulistiyawati Eny Rose Esai Ester Lince Napitupulu Etik Widya Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathan Mubarak Fathul Qodir Fathul Qorib Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Seni Surabaya 2011 Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fikri. MS Fiqih Arfani Firman Daeva Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Forum Santri Nasional (FSN) Free Hearty Galuh Tulus Utama Gandis Uka Ganug Nugroho Adi Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gendut Riyanto Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Pratama Glenn Fredly Goenawan Mohamad Golput Gombloh Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Hadi Napster Hafis Azhari Halim HD Halimi Zuhdy Hamid Dabashi Han Gagas Hardi Hamzah Hari Prasetyo Haris Del Hakim Haris Saputra Hary B Kori’un Hasan Basri Marwah Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Hendro Situmorang Henri Nurcahyo Henry H Loupias Hera Khaerani Heri CS Heri Kris Heri Latief Heri Listianto Herman RN Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Kuntoyo Heru Kurniawan Hikmat Darmawan Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humaidi Humam S Chudori I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I. B. Putera Manuaba IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ichwan Prasetyo Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Munadjat Imam Nawawi Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Herdiana Imron Arlado Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indigo Art Space Madiun Indra Tjahyadi Indrian Koto Ingki Rinaldi Iqmal Tahir Is Faridatul Arifah Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Isra’ Mi’raj Iswadi Pratama Iswara N Raditya Iva Titin Shovia Iwan Awaluddin Yusuf Iwan Gunadi J. Sumardianta Jamrin Abubakar Jansen Sinamo Janu Jolang Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jemie Simatupang Jenny Ang Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jl Simo Jo Batara Surya Jodhi Yudono Joko Budhiarto Joko Sadewo Joko Sandur Joko Widodo Jones Gultom Joni Ariadinata Joresan Mlarak Ponorogo Joseph E. Stiglitz Jual Buku Paket Hemat Junus Satrio Jurnalisme Sastra K. Hirzuddin Hasbullah K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.H. Masrikhan Asy'ari K.H. Mudzakir Ma'ruf Kadjie MM Kajian Kitab Nashoihul 'Ibad Kang Daniel Karanggeneng Kartika Foundation Kasanwikrama Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kekal Hamdani Kemah Budaya Panturan (KBP) Kesenian KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Anwar Khoirul Inayah Khoirul Naim Khoirul Rosyadi Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Koko Sudarsono Komaruddin Hidayat Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopuisi Korban Gempa di Lombok Kospela KPRI IKMAL Lamongan Kris Razianto Mada Kritik Sastra Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kusni Kasdut Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto Lagu Laili Rahmawati Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Latif Fianto Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Listiyono Santoso Liya Izzatul Iffah Liza Wahyuninto Lucky Aditya Ramadhan Ludruk Jawa Timur Lukisan Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lustantini Septiningsih Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Ismail M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Iqbal Dawami M. Irfan Hidayatullah M. Latief M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Mushthafa M. Riza Fahlevi M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Maghfur Munif Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahwi Air Tawar Majelis Ulama Indonesia Makalah Tinjauan Ilmiah Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mantan Pastur Hafidz Al-Qur'an Maqhia Nisima Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Marsel Robot Martin Aleida Martin Hatch Marwan Ja'far Marwita Oktaviana Marzuki Mustamar Mashuri Masjid Tegalsari di Pesantren Gerbang Tinatar Masuki M. Astro Matroni el-Moezany Matroni Muserang Max Arifin Maya Handhini Mbah Kalbakal Medco Media Jawa Timur Medri Osno Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Misbahul Huda Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh Samsul Arifin Moh. Ghufron Cholid Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ghannoe Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Rain Muhammad Taufik Muhammad Yasir Muhammad Zia Ulhaq Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukhsin Amar Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Mun'im Sirry Muntamah Cendani Museum Bikon Blewut Ledalero Musfarayani Musfi Efrizal Musyayana Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nabi Adam Nanang Fahrudin Nandang Darana Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Ni Luh Made Pertiwi F Nindya Herdianti Ninin Nurzalina Wati Nitis Sahpeni Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noorsam Noval Jubbek Novel Pekik Novianti Setuningsih Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Hamzah Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nuswantoro Nyimas Nyoman Tingkat Obrolan Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Opini Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Pameran Seni Rupa Panda MT Siallagan Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit SastraSewu Penerbitan dan Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Pengajian Pengetahuan Perang Peringatan Hari Pahlawan 10 November Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pesantren Kampung Inggris Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Petrik Matanasi Pilang Tejoasri Laren Lamongan Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pilkada Piramid Giza Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pradana Boy ZTF Pradaningrum Mijarto Pramoedya Ananta Toer Prih Prawesti Febriani Pringadi AS Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Hartanto Puji Santosa Puput Amiranti N Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Satria Kusuma Putu Setia Putu Wijaya R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.Ng. Ronggowarsito Rabdul Rohim Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sazaly Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Rengga AP Reni Lismawati Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Rieke Diah Pitaloka Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rizka Halida Rizky Putri Pratimi Robin Al Kautsar Rocky Gerung Rodli TL Rofiqi Hasan Rohmad Hadiwijoyo Rohmah Maulidia Rohman Abdullah Rojiful Mamduh Rosdiansyah Rosi Rosidi Roso Titi Sarkoro Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rumah Literasi Rx King Motor S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Saifur Rohman Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Sardono W Kusumo Sartika Sari Sarworo Sp Sastra Facebook Satmoko Budi Santoso Satrio Lintang Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Savidapius Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Sejarah Sekolah Literasi Gratis SelaSAstra Boenga Ketjil SelaSAstra Boenga Ketjil #23 SelaSAstra Boenga Ketjil #24 Seni Ambeng Ponorogo Senirupa Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Shofiyatuz Zahroh Shohebul Umam JR Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Silfia Hanani Sindu Putra Sita Planasari Aquadini Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Hadi Purnomo Soediro Satoto Soegiharto Soeprijadi Tomodihardjo Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Igustin Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Sriyanto Danoesiswoyo Stefanus P. Elu Stevani Elisabeth STKIP PGRI Ponorogo Student Center Kampus ISI Yogyakarta Subagio Sastrowardoyo Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Ariyadi Sukitman Sumenep Sumiati Anastasia Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungelebak Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Suyadi San Syafrizal Sahrun Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syamsul Rizal Syi'ir Syifa Amori Syifa Aulia T.A. Sakti Tajuddin Noor Ganie Tamrin Bey dan Robin Al Kautsar TanahmeraH ArtSpace Tarpin A. Nasri Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Roda UNISDA Lamongan Teater Sakalintang Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tawon Teater Tewol Teguh LR Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Teori Darwin Teori Fisika Hawking Tgk Abdullah Lam U Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute Theresia Purbandini Thomas Koten Tien Rostini Timur Arif Riyadi Tjahjono Widarmanto Tjut Zakiyah Anshari Toeti Adhitama Tosa Poetra Tri Andhi S Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Tutut Herlina Ucu Agustin Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Uniawati Unieq Awien Universitas Jember Usman Arrumy Ustadz Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vassilisa Agata Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Video Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vita Devi Ajeng Pratiwi W. Haryanto W.S. Rendra Wakos R. Gautama Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Suryandoko William Shakespeare Wisnu Kisawa Wiwik Widiyati Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yayat R. Cipasang Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yulianto Yuliawati Yunanto Sutyastomo Yunus Supriyanto Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf AN Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Yuyuk Sugarman Z. Mustopa Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zarra Martsella Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zen Hae Zii Zuhdi Swt