Judul: Rara Mendut (Sebuah Trilogi)
Penulis: YB mangunwijaya
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, 2008
Tebal: 799 halaman
Peresensi: Ganug Nugroho Adi
http://entertainmen.suaramerdeka.com/
NOVEL ini berangkat dari cerita rakyat Jawa pada abad ke-17. Sebuah kisah cinta yang pahit dengan latar belakang kekuasaan keraton, dengan ending yang klasik seperti halnya tragedi cinta sebelumnya; Ken Arok-Ken Dedes, Ki Ageng Mangir-Pambayun, atau Pangeran Pabelan-Sekar Kedaton pada masa Kasultanan Pajang.
Tapi kekuatan kisah Rara Mendut, trilogi ini memang bukan pada ending. Menumpukkan kisah pada tiga tokoh sentral; Mendut-Pranacitra-Wiraguna, novel ini menjadi semacam monitor raksasa yang memutar ulang tragedi cinta yang begitu melegenda pada awal berdirinya Kerajaan Mataram itu.
Rara Mendut bukan sekadar kisah hitam putih dengan akhir yang klasik; memberontaki kekuasaan, lalu mati. Bukan pula dongeng yang diceritakan berulang-ulang oleh ibu-ibu kita sebelum tidur. Di tangan Romo Mangun, Rara Mendut bisa jadi sebuah bentuk gugatan terhadap patriakat —sebuah upaya mengangkat eksistensialisme perempuan yang menegaskan bahwa perempuan sebagai pemegang nasib sendiri, di tengah kungkungan sejarah yang murni patriarkat.
Trilogi ini terdiri atas babak; Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri. Kisah berawal sesaat sebelum Tumenggung Wiraguna, panglima perang Mataram, meluluhlantakan Kadipaten Pati, karena sang adipati, Pragola, tak mengakui kekuasaan Hanyokrokusuma (Sultan Agung) di Mataram. Mendut, sebagai calon selir Pragola, yang ketika itu sedang ”disimpan” di Kaputren Kadipaten, menjadi perempuan rampasan, setelah Wiraguna meluluhlantakkan Pati.
Tak hanya mengupas latar belakang hidup si Mendut sebagai anak pantai yang berjiwa bebas —sebelum menjadi Den Rara, novel ini juga mengangkat perang batin yang dialami sang tokoh antagonis yaitu Tumenggung Wiraguna. Jangan dikira bahwa sang Tumenggung membunuh Mendut dan Pranacitra begitu saja dengan darah dingin.
Sebaliknya, Wiraguna mencoba memaklumi penolakan Mendut dan memberi kesempatan untuk berjualan puntung rokok demi membayar pajak, sebagai ganti penolakannya.
Erotisme Roro Mendut ketika berjualan puntung rokok bekas kulumannya, pun menjadi daya tarik tersendiri. Betapa pada masa lalu, perempuan telah menyadari kecantikannya sebagai potensi yang ”komersial”.
Kesabaran Wiraguna yang kedua, bahwa sebelum keris sang Tumenggung menembus dada Pranacitra, sang Tumenggung sempat memberi pilihan, memberi kesempatan Pranacitra untuk membela diri, bertempur layaknya laki-laki. Sebuah sikap ksatria dari seorang panglima perang. Sebab jika mau, Wiraguna bisa saja menghabisi Pranacitra, saingannya ini, dalam sekali tepuk. Wedana-Dalem datang membawa tiga ekor kuda, sepasang tombak, dan sebilah keris. Tombak dan keris diberikannya kepada Pranacitra dan diterimanya (halaman 275).
Pertarungan
Hingga akhirnya terjadilah pertarungan yang tak seimbang itu. Tak seimbang karena Wiraguna seorang panglima perang yang tentu sudah sangat terlatih, sementara Pranacitra hanyalah seorang laki-laki nelayan yang cenderung manja karena kekayaan ibunya, Singabarong.
Pahlawan dalam novel ini, tentu saja, juga bukan Pranacitra, melainkan Mendut sendiri. Dan tidak seperti dalam kisah yang sering kita dengar, Mendut tidak mati karena bunuh diri. Di tangan Romo Mangun, Mendut bukanlah seorang perempuan cengeng yang mati karena menghujamkan keris ke dadanya sendiri, sesaat setelah tahu kekasihnya, Pranacitra, mati. Wiraguna mengamuk untuk kedua kalinya dan penuh nafsu menikamkan kerisnya ke arah dada Pranacitra. Tetapi pada saat itu Mendut maju spontan bermaksud membela kekasihnya. Tanpa sengaja keris Wiraguna menusuk jantung Mendut yang rebah di atas kekasihnya. (halaman 278).
Lewat tokoh Mendut, mau tidak mau, Romo Mangun memang menyisipkan eksistensialisme perempuan, sekaligus mengritik daya represi militer dan hegemoni kekuasaan. Simak misalnya alasan penolakan tegas dari Mendut sebagai selir. Mendut bersembah, ”Rambut-rambut wanita panjang, Kanjeng Tumenggung. Daya rabanya pun panjang dan lembut. Wanita di dalamku merasa; Paduka mencintai gengsi kaum pria. Paduka mencintai kewibawaan panglima yang jaya. Bukan si Mendut yang si Mendut. Mendut bagi paduka hanya lambang peneguhan kejayaan senjata dan kewibawaan Mataram. (halaman 274)
Boleh jadi seperti itulah Roro Mendut dalam benak Romo Mangun.
Mendut yang gadis pantai merasa tidak memiliki apa-apa, maka dengan sekuat tenaga ia mempertahankan satu-satunya yang ia miliki kebebasan. Selain karena memang berasal dari keluarga miskin, tradisi sosial masyarakat Jawa memang tidak mengijinkan adanya kepemilikan berlebih bagi masyarakat nonistana. Apalagi Mendut yang “hanya” perempuan. Ia hanya mencoba menikmati kebebasan yang ia miliki karena semasa di desanya itulah anugerah yang paling ia syukuri.
Keperawanan
Mendut tersadarkan setelah diboyong Adipati Pati (Pragola) yang kemudian dijadikan boyongan perang oleh Mataram. Ia semakin tergila-gila akan kebebasan setelah dinyatakan akan dijadikan selir oleh Wiraguno. Meski sebelumnya di Pati ia sempat mengutarakan pandangan-pandangannya yang lain dari keumuman tradisi waktu itu bahkan kini.
Pandangan-pandangan ini patut dijadikan teladan kaum laki-laki juga dicetuskan Mendut. Seperti bagaimana ia memandang sebuah keperawanan. Mendut mengatakan bahwa keperawanan tidak mutlak ditentukan dari segi fisik, namun juga segi psikis. Ikhlas tidaknya perempuan ketika bersetubuh, itulah nilai utama sebuah keperawanan.
Ketegaran Roro Mendut untuk mati demi cinta, kian menegaskan bahwa ia bereksistensi melalui pilihannya itu. Selain ia merasa bebas memilih, ia pun bebas menentukan apa yang harus ia lakukan tanpa pengaruh nilai-nilai yang mencibirnya sebagai wanita Jawa yang “hanya” menjadi konco wingking, harus siap surga nunut, neraka katut terhadap laki-laki. Namun Mendut tidak memilih keduanya, ia tidak sudi dijadikan istri pemenang perang sebagaimana layaknya tradisi wanita timur diperlakukan. Ia juga tidak mau menjalani hidupnya dengan mengekor kejayaan laki-laki. Ia menciptakan alternatif sendiri yang berada di luar nilai-nilai yang berlaku di masyarakat Jawa kala itu. Dan ia memilih mati, bukan dengan bunuh diri.
Sebagai kisah yang telah melegenda, Rara Mendut memang mempunyai banyak ruang tafsir.
Penulis: YB mangunwijaya
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, 2008
Tebal: 799 halaman
Peresensi: Ganug Nugroho Adi
http://entertainmen.suaramerdeka.com/
NOVEL ini berangkat dari cerita rakyat Jawa pada abad ke-17. Sebuah kisah cinta yang pahit dengan latar belakang kekuasaan keraton, dengan ending yang klasik seperti halnya tragedi cinta sebelumnya; Ken Arok-Ken Dedes, Ki Ageng Mangir-Pambayun, atau Pangeran Pabelan-Sekar Kedaton pada masa Kasultanan Pajang.
Tapi kekuatan kisah Rara Mendut, trilogi ini memang bukan pada ending. Menumpukkan kisah pada tiga tokoh sentral; Mendut-Pranacitra-Wiraguna, novel ini menjadi semacam monitor raksasa yang memutar ulang tragedi cinta yang begitu melegenda pada awal berdirinya Kerajaan Mataram itu.
Rara Mendut bukan sekadar kisah hitam putih dengan akhir yang klasik; memberontaki kekuasaan, lalu mati. Bukan pula dongeng yang diceritakan berulang-ulang oleh ibu-ibu kita sebelum tidur. Di tangan Romo Mangun, Rara Mendut bisa jadi sebuah bentuk gugatan terhadap patriakat —sebuah upaya mengangkat eksistensialisme perempuan yang menegaskan bahwa perempuan sebagai pemegang nasib sendiri, di tengah kungkungan sejarah yang murni patriarkat.
Trilogi ini terdiri atas babak; Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri. Kisah berawal sesaat sebelum Tumenggung Wiraguna, panglima perang Mataram, meluluhlantakan Kadipaten Pati, karena sang adipati, Pragola, tak mengakui kekuasaan Hanyokrokusuma (Sultan Agung) di Mataram. Mendut, sebagai calon selir Pragola, yang ketika itu sedang ”disimpan” di Kaputren Kadipaten, menjadi perempuan rampasan, setelah Wiraguna meluluhlantakkan Pati.
Tak hanya mengupas latar belakang hidup si Mendut sebagai anak pantai yang berjiwa bebas —sebelum menjadi Den Rara, novel ini juga mengangkat perang batin yang dialami sang tokoh antagonis yaitu Tumenggung Wiraguna. Jangan dikira bahwa sang Tumenggung membunuh Mendut dan Pranacitra begitu saja dengan darah dingin.
Sebaliknya, Wiraguna mencoba memaklumi penolakan Mendut dan memberi kesempatan untuk berjualan puntung rokok demi membayar pajak, sebagai ganti penolakannya.
Erotisme Roro Mendut ketika berjualan puntung rokok bekas kulumannya, pun menjadi daya tarik tersendiri. Betapa pada masa lalu, perempuan telah menyadari kecantikannya sebagai potensi yang ”komersial”.
Kesabaran Wiraguna yang kedua, bahwa sebelum keris sang Tumenggung menembus dada Pranacitra, sang Tumenggung sempat memberi pilihan, memberi kesempatan Pranacitra untuk membela diri, bertempur layaknya laki-laki. Sebuah sikap ksatria dari seorang panglima perang. Sebab jika mau, Wiraguna bisa saja menghabisi Pranacitra, saingannya ini, dalam sekali tepuk. Wedana-Dalem datang membawa tiga ekor kuda, sepasang tombak, dan sebilah keris. Tombak dan keris diberikannya kepada Pranacitra dan diterimanya (halaman 275).
Pertarungan
Hingga akhirnya terjadilah pertarungan yang tak seimbang itu. Tak seimbang karena Wiraguna seorang panglima perang yang tentu sudah sangat terlatih, sementara Pranacitra hanyalah seorang laki-laki nelayan yang cenderung manja karena kekayaan ibunya, Singabarong.
Pahlawan dalam novel ini, tentu saja, juga bukan Pranacitra, melainkan Mendut sendiri. Dan tidak seperti dalam kisah yang sering kita dengar, Mendut tidak mati karena bunuh diri. Di tangan Romo Mangun, Mendut bukanlah seorang perempuan cengeng yang mati karena menghujamkan keris ke dadanya sendiri, sesaat setelah tahu kekasihnya, Pranacitra, mati. Wiraguna mengamuk untuk kedua kalinya dan penuh nafsu menikamkan kerisnya ke arah dada Pranacitra. Tetapi pada saat itu Mendut maju spontan bermaksud membela kekasihnya. Tanpa sengaja keris Wiraguna menusuk jantung Mendut yang rebah di atas kekasihnya. (halaman 278).
Lewat tokoh Mendut, mau tidak mau, Romo Mangun memang menyisipkan eksistensialisme perempuan, sekaligus mengritik daya represi militer dan hegemoni kekuasaan. Simak misalnya alasan penolakan tegas dari Mendut sebagai selir. Mendut bersembah, ”Rambut-rambut wanita panjang, Kanjeng Tumenggung. Daya rabanya pun panjang dan lembut. Wanita di dalamku merasa; Paduka mencintai gengsi kaum pria. Paduka mencintai kewibawaan panglima yang jaya. Bukan si Mendut yang si Mendut. Mendut bagi paduka hanya lambang peneguhan kejayaan senjata dan kewibawaan Mataram. (halaman 274)
Boleh jadi seperti itulah Roro Mendut dalam benak Romo Mangun.
Mendut yang gadis pantai merasa tidak memiliki apa-apa, maka dengan sekuat tenaga ia mempertahankan satu-satunya yang ia miliki kebebasan. Selain karena memang berasal dari keluarga miskin, tradisi sosial masyarakat Jawa memang tidak mengijinkan adanya kepemilikan berlebih bagi masyarakat nonistana. Apalagi Mendut yang “hanya” perempuan. Ia hanya mencoba menikmati kebebasan yang ia miliki karena semasa di desanya itulah anugerah yang paling ia syukuri.
Keperawanan
Mendut tersadarkan setelah diboyong Adipati Pati (Pragola) yang kemudian dijadikan boyongan perang oleh Mataram. Ia semakin tergila-gila akan kebebasan setelah dinyatakan akan dijadikan selir oleh Wiraguno. Meski sebelumnya di Pati ia sempat mengutarakan pandangan-pandangannya yang lain dari keumuman tradisi waktu itu bahkan kini.
Pandangan-pandangan ini patut dijadikan teladan kaum laki-laki juga dicetuskan Mendut. Seperti bagaimana ia memandang sebuah keperawanan. Mendut mengatakan bahwa keperawanan tidak mutlak ditentukan dari segi fisik, namun juga segi psikis. Ikhlas tidaknya perempuan ketika bersetubuh, itulah nilai utama sebuah keperawanan.
Ketegaran Roro Mendut untuk mati demi cinta, kian menegaskan bahwa ia bereksistensi melalui pilihannya itu. Selain ia merasa bebas memilih, ia pun bebas menentukan apa yang harus ia lakukan tanpa pengaruh nilai-nilai yang mencibirnya sebagai wanita Jawa yang “hanya” menjadi konco wingking, harus siap surga nunut, neraka katut terhadap laki-laki. Namun Mendut tidak memilih keduanya, ia tidak sudi dijadikan istri pemenang perang sebagaimana layaknya tradisi wanita timur diperlakukan. Ia juga tidak mau menjalani hidupnya dengan mengekor kejayaan laki-laki. Ia menciptakan alternatif sendiri yang berada di luar nilai-nilai yang berlaku di masyarakat Jawa kala itu. Dan ia memilih mati, bukan dengan bunuh diri.
Sebagai kisah yang telah melegenda, Rara Mendut memang mempunyai banyak ruang tafsir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar