; ’Pusaka Budaya’ Peninggalan Zaman Majapahit
Sarworo Sp, Joko Budhiarto
http://www.kr.co.id/
WAYANG beber merupakan seni pertunjukan tradisional yang dapat dikategorikan kurang populer dan publiknya sangat terbatas. Secara umum, wayang beber termasuk jenis seni pertunjukan tradisional yang fenomenal. Pertama, jenis wayang tersebut termasuk peninggalan budaya yang telah berusia tua, karena pusaka budaya ini merupakan peninggalan zaman Majapahit. Kedua, jenis wayang ini hanya ditemukan di daerah pegunungan Jawa bagian tengah dan selatan, khususnya di Gunungkidul (DIY) dan Pacitan (Jawa Timur).
Nasib serupa juga dialami kesenian Dhalang Jemblung (Banyumas Jawa Tengah) dan Kentrung (Blora Jawa Tengah). Seni pertunjukan langka ini jarang dipentaskan dan kurang populer. Praktisi seni yang mampu memainkan atau mementaskannya sangat terbatas, publik yang bisa mengapresiasinya juga relatif terbatas.
Kondisi wayang beber, kentrung dan dhalang jemblung, memang sangat kontras bila dibandingkan kesenian tradisional lainnya, seperti wayang kulit purwa, ketoprak, dan ludruk. Selama ini, wayang beber hanya diulas sepintas dalam literatur pewayangan. Salah satunya adalah, karya budayawan Jawa RM Sayid dari Surakarta, berupa buku tipis terbitan tahun 1980-an dan hanya dicetak stensil.
Di Karangmojo Gunungkidul dan di Pacitan Jawa Timur, keberadaan wayang beber masih dianggap benda keramat. Bila hendak dipentaskan, serangkaian upacara harus diadakan, dengan segenap sesaji dan ubarampe. Demi menjaga kelestariannya, setiap saat jenis wayang tadi harus ‘dibersihkan’ dan dirawat dengan disertai upacara tradisi. Saat ini juga sangat jarang orang yang nanggap wayang beber. Padahal jenis wayang ini termasuk pusaka budaya yang ‘dikeramatkan’.
Berbeda dengan wayang kulit purwa yang ceritanya bersumber dari epos Mahabharata dan Ramayana, dengan segenap cerita carangan-nya, wayang beber hanya membeber cerita Panji. Oleh karena itu kadang-kadang jenis wayang ini juga dinamakan wayang beber gedhog. Yakni jenis wayang yang ceritanya bersumber dari cerita Panji, bisa berupa wayang golek, wayang dari kulit maupun wayang dari kayu.
Dalam khazanah sastra Jawa, cerita Panji termasuk jenis cerita yang lahir dan berkembang di era sastra Jawa Pertengahan, yakni karya sastra Jawa yang diciptakan pada zaman Majapahit. Jenis cerita ini tidak hanya tersebar di Jawa, Madura, Bali dan Lombok, melainkan juga sampai di wilayah Melayu (Palembang, Jambi dan Riau), bahkan sampai ke Semenanjung Melayu (Malaysia).
***
SEJARAH kelahiran wayang beber memang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kerajaan Majapahit. Wayang jenis ini dikenal pertama kali pada masa Majapahit, tepatnya saat kerajaan di Bumi Trowulan itu dipimpin Raden Jaka Susuruh. Raja ini bergelar Prabu Bratana. Hal itu ditunjukkan dengan candrasengkala pembuatan wayang beber pada masa itu, yakni gunaning bhujangga sembahing dewa, yang menunjukkan tahun Saka 1283 (1361 M).
Saat itu wayang beber masih mengambil cerita wayang purwa. Bentuk wayang beber purwa sudah seperti yang ditemukan sekarang, yakni dilukis di atas kertas. Ketika dipergelarkan, kertas berlukiskan wayang tersebut digelar (Jawa: dibeber), dan bila sudah selesai digulung kembali untuk disimpan.
Pada zaman Majapahit, pergelaran wayang beber purwa di lingkungan istana sudah menggunakan iringan gamelan. Sementara pertunjukan wayang beber di luar istana, tepatnya di lingkungan masyarakat biasa, hanya diiringi rebab (alat musik gesek khas Jawa). Di lingkungan kraton, pertunjukan wayang beber diadakan dalam rangka acara-acara khusus, seperti ulang tahun raja, perkawinan putra-putri raja dan sebagainya. Sementara di tengah-tengah rakyat kebanyakan, pergelaran wayang beber di masa itu diadakan untuk kepentingan ritual, seperti ruwatan.
Saat Majapahit diperintah Prabu Brawijaya, tepatnya tahun 1378, bentuk wayang beber mengalami penyempurnaan. Brawijaya termasuk raja yang memiliki perhatian besar terhadap wayang beber. Ia memerintahkan kepada salah satu anaknya yang memiliki kepandaian melukis, yakni Raden Sungging Prabangkara, untuk menyempurnakan penampilan wayang beber. Lukisan wayang yang semula hanya hitam putih, oleh Sungging Prabangkara dibuat menjadi berwarna, sehingga penampilan wayang beber menjadi lebih hidup dan menarik. Proses penyempurnaan wayang beber ini terjadi tahun 1378 Masehi.
Wayang beber yang mengambil cerita Panji diperkirakan baru muncul pada zaman Mataram (Islam), tepatnya pada masa pemerintahan Kasunanan Kartasura. Kala itu raja yang memerintah adalah Amangkurat II (1677-1703). Hal itu juga disebutkan dalam salah satu tembang Kinanthi yang ada di Serat Centhini (lihat ilustrasi).
Wayang beber di zaman Mataram Kartasura dibuat dari kertas lokal, yakni kertas Jawa dari Ponorogo. Cerita yang ditampilkan antara lain Jaka Kembang Kuning, salah satu episode cerita Panji. Kemudian pada masa pemerintahan Amangkurat III atau Sunan Mas, dilakukan penyempurnaan lagi terhadap lukisan wayang beber. Wajah dan pakaian yang dikenakan tokoh-tokoh utama, seperti Panji Asmarabangun dan Dewi Candrakirana, disesuaikan dengan penampilan Arjuna dan tokoh perempuan yang cantik sebagaimana tokoh-tokoh wayang purwa.
Selanjutnya para era pemerintahan Sunan Paku Buwono II lukisan wayang beber diubah lagi, terutama pada ilustrasi yang melatarbelakangi penampilan tokoh. Ilustrasi yang ada dikurangi dan disederhanakan, sehingga penampilan wayang beber menjadi lebih klasik dan tidak rumit. Sosok tokoh menjadi kelihatan menonjol. Kisah cinta Panji Asmarabangun, oleh Paku Buwono II dibuat menjadi lakon Remeng Mangunjaya.
Sarworo Sp, Joko Budhiarto
http://www.kr.co.id/
WAYANG beber merupakan seni pertunjukan tradisional yang dapat dikategorikan kurang populer dan publiknya sangat terbatas. Secara umum, wayang beber termasuk jenis seni pertunjukan tradisional yang fenomenal. Pertama, jenis wayang tersebut termasuk peninggalan budaya yang telah berusia tua, karena pusaka budaya ini merupakan peninggalan zaman Majapahit. Kedua, jenis wayang ini hanya ditemukan di daerah pegunungan Jawa bagian tengah dan selatan, khususnya di Gunungkidul (DIY) dan Pacitan (Jawa Timur).
Nasib serupa juga dialami kesenian Dhalang Jemblung (Banyumas Jawa Tengah) dan Kentrung (Blora Jawa Tengah). Seni pertunjukan langka ini jarang dipentaskan dan kurang populer. Praktisi seni yang mampu memainkan atau mementaskannya sangat terbatas, publik yang bisa mengapresiasinya juga relatif terbatas.
Kondisi wayang beber, kentrung dan dhalang jemblung, memang sangat kontras bila dibandingkan kesenian tradisional lainnya, seperti wayang kulit purwa, ketoprak, dan ludruk. Selama ini, wayang beber hanya diulas sepintas dalam literatur pewayangan. Salah satunya adalah, karya budayawan Jawa RM Sayid dari Surakarta, berupa buku tipis terbitan tahun 1980-an dan hanya dicetak stensil.
Di Karangmojo Gunungkidul dan di Pacitan Jawa Timur, keberadaan wayang beber masih dianggap benda keramat. Bila hendak dipentaskan, serangkaian upacara harus diadakan, dengan segenap sesaji dan ubarampe. Demi menjaga kelestariannya, setiap saat jenis wayang tadi harus ‘dibersihkan’ dan dirawat dengan disertai upacara tradisi. Saat ini juga sangat jarang orang yang nanggap wayang beber. Padahal jenis wayang ini termasuk pusaka budaya yang ‘dikeramatkan’.
Berbeda dengan wayang kulit purwa yang ceritanya bersumber dari epos Mahabharata dan Ramayana, dengan segenap cerita carangan-nya, wayang beber hanya membeber cerita Panji. Oleh karena itu kadang-kadang jenis wayang ini juga dinamakan wayang beber gedhog. Yakni jenis wayang yang ceritanya bersumber dari cerita Panji, bisa berupa wayang golek, wayang dari kulit maupun wayang dari kayu.
Dalam khazanah sastra Jawa, cerita Panji termasuk jenis cerita yang lahir dan berkembang di era sastra Jawa Pertengahan, yakni karya sastra Jawa yang diciptakan pada zaman Majapahit. Jenis cerita ini tidak hanya tersebar di Jawa, Madura, Bali dan Lombok, melainkan juga sampai di wilayah Melayu (Palembang, Jambi dan Riau), bahkan sampai ke Semenanjung Melayu (Malaysia).
***
SEJARAH kelahiran wayang beber memang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kerajaan Majapahit. Wayang jenis ini dikenal pertama kali pada masa Majapahit, tepatnya saat kerajaan di Bumi Trowulan itu dipimpin Raden Jaka Susuruh. Raja ini bergelar Prabu Bratana. Hal itu ditunjukkan dengan candrasengkala pembuatan wayang beber pada masa itu, yakni gunaning bhujangga sembahing dewa, yang menunjukkan tahun Saka 1283 (1361 M).
Saat itu wayang beber masih mengambil cerita wayang purwa. Bentuk wayang beber purwa sudah seperti yang ditemukan sekarang, yakni dilukis di atas kertas. Ketika dipergelarkan, kertas berlukiskan wayang tersebut digelar (Jawa: dibeber), dan bila sudah selesai digulung kembali untuk disimpan.
Pada zaman Majapahit, pergelaran wayang beber purwa di lingkungan istana sudah menggunakan iringan gamelan. Sementara pertunjukan wayang beber di luar istana, tepatnya di lingkungan masyarakat biasa, hanya diiringi rebab (alat musik gesek khas Jawa). Di lingkungan kraton, pertunjukan wayang beber diadakan dalam rangka acara-acara khusus, seperti ulang tahun raja, perkawinan putra-putri raja dan sebagainya. Sementara di tengah-tengah rakyat kebanyakan, pergelaran wayang beber di masa itu diadakan untuk kepentingan ritual, seperti ruwatan.
Saat Majapahit diperintah Prabu Brawijaya, tepatnya tahun 1378, bentuk wayang beber mengalami penyempurnaan. Brawijaya termasuk raja yang memiliki perhatian besar terhadap wayang beber. Ia memerintahkan kepada salah satu anaknya yang memiliki kepandaian melukis, yakni Raden Sungging Prabangkara, untuk menyempurnakan penampilan wayang beber. Lukisan wayang yang semula hanya hitam putih, oleh Sungging Prabangkara dibuat menjadi berwarna, sehingga penampilan wayang beber menjadi lebih hidup dan menarik. Proses penyempurnaan wayang beber ini terjadi tahun 1378 Masehi.
Wayang beber yang mengambil cerita Panji diperkirakan baru muncul pada zaman Mataram (Islam), tepatnya pada masa pemerintahan Kasunanan Kartasura. Kala itu raja yang memerintah adalah Amangkurat II (1677-1703). Hal itu juga disebutkan dalam salah satu tembang Kinanthi yang ada di Serat Centhini (lihat ilustrasi).
Wayang beber di zaman Mataram Kartasura dibuat dari kertas lokal, yakni kertas Jawa dari Ponorogo. Cerita yang ditampilkan antara lain Jaka Kembang Kuning, salah satu episode cerita Panji. Kemudian pada masa pemerintahan Amangkurat III atau Sunan Mas, dilakukan penyempurnaan lagi terhadap lukisan wayang beber. Wajah dan pakaian yang dikenakan tokoh-tokoh utama, seperti Panji Asmarabangun dan Dewi Candrakirana, disesuaikan dengan penampilan Arjuna dan tokoh perempuan yang cantik sebagaimana tokoh-tokoh wayang purwa.
Selanjutnya para era pemerintahan Sunan Paku Buwono II lukisan wayang beber diubah lagi, terutama pada ilustrasi yang melatarbelakangi penampilan tokoh. Ilustrasi yang ada dikurangi dan disederhanakan, sehingga penampilan wayang beber menjadi lebih klasik dan tidak rumit. Sosok tokoh menjadi kelihatan menonjol. Kisah cinta Panji Asmarabangun, oleh Paku Buwono II dibuat menjadi lakon Remeng Mangunjaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar