Uniawati*
http://www.kendaripos.co.id/
Pernahkah anda mendengar tentang kewirausahaan di bidang kepenulisan sastra? Barangkali dalam bidang ekonomi hal semacam ini tidak begitu asing didengar, tetapi dalam bidang kepenulisan sastra mungkin hanya segelintir orang yang memahaminya (kalau tidak bisa dikatakan tidak ada). Yang lazim orang pahami dalam bidang sastra adalah menulis sebuah karya yang bernilai sastra. Syukur kalau kemudian karya itu ada pihak yang berniat mempublikasikannya, sehingga karya itu dapat dikenal oleh masyarakat. Kalau tidak? Mungkin hanya akan jadi penambah koleksi karya pribadi yang tentu saja hanya diketahui olehnya sendiri.
Sesungguhnya, wilayah sastra memberi banyak peluang untuk dapat mengembangkan diri dan tentu saja dapat pula “memperkaya diri”. Lihat saja, sederetan nama pengarang seperti Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, Dewi Lestari, dan beberapa nama lain penggelut sastra yang bisa menunjukkan eksistensinya di dunia kepengarangan. Jangan dilihat dari nama besar mereka saat ini, tetapi harus dipahami bagaimana proses yang mereka lalui untuk dapat sampai pada “kebesaran” nama mereka. Pramoedya Ananta Toer mengungkapkan bahwa segalanya bermula dari nol. Demikian pulalah kiranya keadaan yang dialami oleh mereka sebelum berada pada puncak ketenaran mereka sebagai seorang penulis. Mereka tentu saja memulai dari awal, dari keadaan di mana mereka belum lagi dikenal dan bukan siapa-siapa. Yang paling penting adalah niat dan tekad untuk berbuat.
Gambaran di atas paling tidak dapat menjadi suatu motivasi untuk berpikir bahwa kesuksesan itu diciptakan oleh kita sendiri. Bukan orang lain. Nah, kenapa kita kemudian tidak berpikir dan mencoba untuk percaya bahwa dunia sastra juga dapat menciptakan kemujaraban sehingga kita tidak memandang sastra itu sebagai momok menakutkan yang harus dihindari. Yang paling memprihatinkan adalah pendapat yang mengatakan bahwa menjadi seorang sastrawan itu sama saja dengan memasuki dunia orang gila. Bukankah dunia ini indah karena adanya sastra? Dari sini kita harus bernalar bahwa keindahan itu dinantikan oleh setiap orang. Untuk itu, kita harus bisa memanfaatkan keadaan ini untuk menyuguhkan keindahan pada setiap orang. Jangan berpikir bahwa tindakan ini ibarat seorang pelayan yang melayani majikannya. Sama sekali tidak. Yang harus dipikirkan adalah bagaimana kita berbuat untuk memperoleh “hasil usaha” di samping bisa mempertahankan ideologi. Inilah sesungguhnya kelebihan seorang sastrawan yang tentu saja tidak dimiliki oleh pihak lain. Oleh karena itu, harus ditanamkan pemikiran bahwa kewirausahaan di bidang sastra merupakan suatu prospek yang menjanjikan selama kita giat menjalaninya.
Selama ini, ada semacam anggapan bahwa kewirausahaan lebih cocok dikemukakan oleh orang-orang yang berkecimpung dalam bidang ekonomi saja. Pandangan ini cukup beralasan kiranya. Sewaktu masih duduk di bangku kuliah, beberapa teman yang sama-sama memilih pendidikan di bidang sastra, rata-rata berkeinginan untuk menjadi guru begitu selesai menamatkan pendidikan. Sama sekali tidak ada yang berpikir untuk memilih jalur kewirausahaan. Kemungkinan mereka tidak memiliki keyakinan yang cukup akan kemampuan mereka untuk menekuni dunia kewirausahaan karena merasa jalur pendidikan yang ditempuh tidak sejalan dengan dunia wirausaha. Ketidakyakinan tersebut kiranya cukup untuk menggambarkan minimnya pengetahuan masyarakat tentang kewirausahaan yang bisa dilakukan dalam bidang sastra. Dalam hal ini tidaklah terlalu disalahkan jika kemudian hanya segelintir orang yang ingin mengabdikan hidupnya untuk dunia sastra.
Patut dicatat bahwa dalam bidang ekonomi, kewirausahaan pada dasarnya bertujuan untuk memperoleh laba atau hasil yang diharapkan. Demikian pula jika istilah ini dibawa ke dalam bidang sastra. Artinya, ada produktivitas yang dilakukan untuk memperoleh hasil yang diinginkan yang bernilai ekonomi dan bisa dijual. Di sinilah sesungguhnya letak tujuan dari sebuah produksi. Setiap orang tentu saja selalu punya keinginan untuk berkarya dan karyanya mendapat pengakuan dan penghargaan dari masyarakat. Termasuk di bidang sastra tentu saja. Adalah suatu kemunafikan jika ada seorang sastrawan berkarya hanya semata-mata demi menuangkan ideologinya semata tanpa mengharapkan suatu “penghargaan” dari pihak lain. Jika ada yang berprinsip seperti itu, maka patut kiranya kita menghela nafas atau mengurut dada. Sepertinya jangan terburu-buru untuk memegang prinsip demikian, sebab tidak ada suatu karya besar yang dapat dibaca oleh masyarakat jika tidak melalui proses yang panjang termasuk menerima suatu “penghargaan”. Kalau setiap hati mau jujur, pasti semua mengharapkan mendapat “sesuatu” dari karya yang diciptakannya hanya saja belum adanya jalan untuk meraihnya.
Menulis sebuah karya sastra yang baik dan bermutu adalah salah satu upaya untuk memudahkan menembus jaringan pemasaran buku-buku sastra. Jika telah berhasil masuk ke dalam kancah pasar, maka tentu saja matahari akan bersinar untuk anda. Jadi, dunia kepenulisan sastra janganlah sekali-kali dianggap sebagai lahan yang tidak menjanjikan apa-apa. Justru, di dalam lahan inilah setiap orang yang berusaha dan bergelut di dalamnya akan mengalami panen sepanjang masa. Bukan hanya sekadar sebagai penyalur hasrat ideologi semata, akan tetapi penghargaan, pengakuan, dan kekuasaan akan dapat terengkuh. Kita bisa menjadi gemilang tanpa ke luar dari dunia sastra. Asal saja usaha untuk menulis, menulis, dan menulis terus dan giat dilakukan tentu saja akan membuahkan hasil. Semuanya harus dimulai dari diri sendiri. Bagaimana upaya yang dipilih untuk dapat menulis secara kreatif sehingga pembaca akan terkesan dan bersedia untuk “membeli” karya kita. Tidak sia-sia bukan?
*) Staf Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara
http://www.kendaripos.co.id/
Pernahkah anda mendengar tentang kewirausahaan di bidang kepenulisan sastra? Barangkali dalam bidang ekonomi hal semacam ini tidak begitu asing didengar, tetapi dalam bidang kepenulisan sastra mungkin hanya segelintir orang yang memahaminya (kalau tidak bisa dikatakan tidak ada). Yang lazim orang pahami dalam bidang sastra adalah menulis sebuah karya yang bernilai sastra. Syukur kalau kemudian karya itu ada pihak yang berniat mempublikasikannya, sehingga karya itu dapat dikenal oleh masyarakat. Kalau tidak? Mungkin hanya akan jadi penambah koleksi karya pribadi yang tentu saja hanya diketahui olehnya sendiri.
Sesungguhnya, wilayah sastra memberi banyak peluang untuk dapat mengembangkan diri dan tentu saja dapat pula “memperkaya diri”. Lihat saja, sederetan nama pengarang seperti Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, Dewi Lestari, dan beberapa nama lain penggelut sastra yang bisa menunjukkan eksistensinya di dunia kepengarangan. Jangan dilihat dari nama besar mereka saat ini, tetapi harus dipahami bagaimana proses yang mereka lalui untuk dapat sampai pada “kebesaran” nama mereka. Pramoedya Ananta Toer mengungkapkan bahwa segalanya bermula dari nol. Demikian pulalah kiranya keadaan yang dialami oleh mereka sebelum berada pada puncak ketenaran mereka sebagai seorang penulis. Mereka tentu saja memulai dari awal, dari keadaan di mana mereka belum lagi dikenal dan bukan siapa-siapa. Yang paling penting adalah niat dan tekad untuk berbuat.
Gambaran di atas paling tidak dapat menjadi suatu motivasi untuk berpikir bahwa kesuksesan itu diciptakan oleh kita sendiri. Bukan orang lain. Nah, kenapa kita kemudian tidak berpikir dan mencoba untuk percaya bahwa dunia sastra juga dapat menciptakan kemujaraban sehingga kita tidak memandang sastra itu sebagai momok menakutkan yang harus dihindari. Yang paling memprihatinkan adalah pendapat yang mengatakan bahwa menjadi seorang sastrawan itu sama saja dengan memasuki dunia orang gila. Bukankah dunia ini indah karena adanya sastra? Dari sini kita harus bernalar bahwa keindahan itu dinantikan oleh setiap orang. Untuk itu, kita harus bisa memanfaatkan keadaan ini untuk menyuguhkan keindahan pada setiap orang. Jangan berpikir bahwa tindakan ini ibarat seorang pelayan yang melayani majikannya. Sama sekali tidak. Yang harus dipikirkan adalah bagaimana kita berbuat untuk memperoleh “hasil usaha” di samping bisa mempertahankan ideologi. Inilah sesungguhnya kelebihan seorang sastrawan yang tentu saja tidak dimiliki oleh pihak lain. Oleh karena itu, harus ditanamkan pemikiran bahwa kewirausahaan di bidang sastra merupakan suatu prospek yang menjanjikan selama kita giat menjalaninya.
Selama ini, ada semacam anggapan bahwa kewirausahaan lebih cocok dikemukakan oleh orang-orang yang berkecimpung dalam bidang ekonomi saja. Pandangan ini cukup beralasan kiranya. Sewaktu masih duduk di bangku kuliah, beberapa teman yang sama-sama memilih pendidikan di bidang sastra, rata-rata berkeinginan untuk menjadi guru begitu selesai menamatkan pendidikan. Sama sekali tidak ada yang berpikir untuk memilih jalur kewirausahaan. Kemungkinan mereka tidak memiliki keyakinan yang cukup akan kemampuan mereka untuk menekuni dunia kewirausahaan karena merasa jalur pendidikan yang ditempuh tidak sejalan dengan dunia wirausaha. Ketidakyakinan tersebut kiranya cukup untuk menggambarkan minimnya pengetahuan masyarakat tentang kewirausahaan yang bisa dilakukan dalam bidang sastra. Dalam hal ini tidaklah terlalu disalahkan jika kemudian hanya segelintir orang yang ingin mengabdikan hidupnya untuk dunia sastra.
Patut dicatat bahwa dalam bidang ekonomi, kewirausahaan pada dasarnya bertujuan untuk memperoleh laba atau hasil yang diharapkan. Demikian pula jika istilah ini dibawa ke dalam bidang sastra. Artinya, ada produktivitas yang dilakukan untuk memperoleh hasil yang diinginkan yang bernilai ekonomi dan bisa dijual. Di sinilah sesungguhnya letak tujuan dari sebuah produksi. Setiap orang tentu saja selalu punya keinginan untuk berkarya dan karyanya mendapat pengakuan dan penghargaan dari masyarakat. Termasuk di bidang sastra tentu saja. Adalah suatu kemunafikan jika ada seorang sastrawan berkarya hanya semata-mata demi menuangkan ideologinya semata tanpa mengharapkan suatu “penghargaan” dari pihak lain. Jika ada yang berprinsip seperti itu, maka patut kiranya kita menghela nafas atau mengurut dada. Sepertinya jangan terburu-buru untuk memegang prinsip demikian, sebab tidak ada suatu karya besar yang dapat dibaca oleh masyarakat jika tidak melalui proses yang panjang termasuk menerima suatu “penghargaan”. Kalau setiap hati mau jujur, pasti semua mengharapkan mendapat “sesuatu” dari karya yang diciptakannya hanya saja belum adanya jalan untuk meraihnya.
Menulis sebuah karya sastra yang baik dan bermutu adalah salah satu upaya untuk memudahkan menembus jaringan pemasaran buku-buku sastra. Jika telah berhasil masuk ke dalam kancah pasar, maka tentu saja matahari akan bersinar untuk anda. Jadi, dunia kepenulisan sastra janganlah sekali-kali dianggap sebagai lahan yang tidak menjanjikan apa-apa. Justru, di dalam lahan inilah setiap orang yang berusaha dan bergelut di dalamnya akan mengalami panen sepanjang masa. Bukan hanya sekadar sebagai penyalur hasrat ideologi semata, akan tetapi penghargaan, pengakuan, dan kekuasaan akan dapat terengkuh. Kita bisa menjadi gemilang tanpa ke luar dari dunia sastra. Asal saja usaha untuk menulis, menulis, dan menulis terus dan giat dilakukan tentu saja akan membuahkan hasil. Semuanya harus dimulai dari diri sendiri. Bagaimana upaya yang dipilih untuk dapat menulis secara kreatif sehingga pembaca akan terkesan dan bersedia untuk “membeli” karya kita. Tidak sia-sia bukan?
*) Staf Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar