A. Mustofa Bisri
http://www.jawapos.co.id/
Ulama atau ‘istilah sosio-kultural’-nya Kiai yang sering disebut -- termasuk oleh mereka yang menganggap diri kiai termasuk ulama -- sebagai pewaris Nabi, entah mengapa, akhir-akhir ini banyak dibicarakan dan dipertanyakan orang. Boleh jadi karena gelar ulama atau kiai tidak ‘akademis’, sehingga setiap orang bisa dengan leluasa menyandangnya tanpa diganggu-gugat, lalu di mana-mana pun masyarakat bisa menjumpai orang yang berpredikat ulama atau kiai. Maka bermunculanlah istilah-istilah seperti: Ulama Plus; Kiai Intelek; Kiai mBeling; Kiai Artis; Ulama Masa Kini; dsb. Dan orang pun bingung.
Istilah ulama itu sendiri, di kita, sudah mengalami pemekaran sedemikian rupa, sehingga bagi mereka yang kurang memahaminya memang mudah terkecoh dan bingung. Sampai kini, paling tidak ada tiga ‘macam’ istilah ulama dengan pengertian yang berbeda satu sama lain: 1. Ulama ‘Quran’ (atau katakanlah: istilah yang asli); 2. Ulama istilah Arab; dan 2. Ulama istilah Indonesia.
Ulama, istilah Arab, merupakan bentuk jamak dari ‘alim; maknanya: ilmuwan atau umumnya orang pinter. Dengan istilah ini, tokoh macam Isaac Newton; Galileo Galilei, Charles Darwin, bahkan BJ Habibie, Kwik Kian Gie atau Arief Budiman, termasuk ulama.
Ulama istilah Indonesia yang dalam penggunaanya tidak selalu berbentuk jamak, mempunyai pengertian yang lebih longgar lagi. Sebab di sini definisi tidak penting. Yang penting pengakuan dan pengiklanan, terutama dari pihak-pihak yang mempunyai pengaruh semisal pemerintah, masyarakat, atau pers. Misalnya Anda terpilih menjadi pengurus MUI, Anda bisa otomatis disebut Ulama.
Untuk ulama istilah ‘Quran - satu-satunya kelompok hamba Allah yang benar-benar takut kepada Allah - yang sering disebut-sebut sebagai para pewaris nabi, saya hanya ingin memberi contoh seorang tokoh yang paling - atau setidaknya termasuk yang paling - pas menyandang sebutan mulia itu, Hasan Basri.
Di kalangan ulama sendiri, Hasan Basri dikenal sebagai tokoh panutan. Tempat bertanya yang senantiasa memiliki jawaban yang memuasakan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kepribadiannya - yang ditunjang oleh keluasan ilmu dan ketulusan amal - sangat luar biasa. Kesetiaannya kepada kebenaran tak tertandingi. Apabila membela atau menyatakan kebenaran tokoh yang satu ini laa yakhaafu laumata laaimin, tidak takut dikecam; tidak menghitung resiko. Pernah kepada para ‘kiai’ yang dijumpainya suka antri di depan pintu rumah-rumah para penguasa, tokoh karismatik ini menegur dengan kata-kata antara lain : "Kalian tinggalkan apa yang ada pada kalian, trompah-trompah kalian sampai menjadi longgar kalian bawa hilir mudik sowan mereka dengan memikul ilmu yang mereka bebankan ke pundak-pundak kalian sampai pintu-pintu mereka, sedangkan mereka sebenarnya tidak begitu memerlukan kalian. Seandainya kalian duduk-duduk saja di tempat kalian, sampai mereka yang datang kepada kalian, tentulah kalian akan lebih berharga di mata mereka ……" Yang beliau maksud dengan "mereka" dalam teguran itu, tentu, adalah para penguasa, atau - dalam bahasa kita sekarang - umara.
Ketika Mu’awiyah mangkat pada tahun 60 H (618 M), putranya yang bernama Yazid menduduki kursi yang ditinggalkannya melalui suatu pengangkatan, bukan pemilihan (umum). Para ulama, sebetulnya, kurang ‘sreg’ dengan langkah Mu’awiyah itu. Sebab dengan demikian, dimulailah tradisi ‘suksesi’ baru di dalam Islam yang berlawanan dengan tradisi al khulafaur rasyidun sebelumnya: suksesi dengan musyawarah dan pemilihan, bukan melalui sistem "putra mahkota".
Sepanjang kekuasaaan dinasti Amawiyah, tak ada ulama yang berani melontarkan kritik atas sistem ‘kekuasaan turun-temurun’ itu, sistem yang oleh Abdurrahman putra sahabat mulia Abu Bakar Siddiq disindir sebagai "heraklisme" (merujuk kepada Hirakl, raja Persia, yang menganut sistem suksesi "turun temurun"). Bahkan seorang tabi’in agung dan alim seperti Ibnu Sirin dan Sya’by ketika diminta pendapat perihal "heraklisme" itu, diam saja, no comment.
Hanya dialah, tokoh yang sedang kita bicarakan ini, yang berani melancarkan kritik secara "terbuka" (bukan "tertutup", face to face, seperti umumnya disarankan para pejabat). Dia kerapkali menulis surat kepada Abdul Malik bin Marwan, khalifah keempat dalam dinasti Amawiyah, dan gubernurnya di Irak, Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafy.
Tokoh ini juga dikenal sebagai seorang ‘abid (ahli ibadah), zahid (seorang asketis yang menjauhi kesenangan duniawi) dan salik (penempuh jalan untuk mendekati Allah swt). Ditengah-tengah gaya hidup para pejabat dinasti Amawiyah yang penuh foya-foya, rakus, hedonistis dan pamer kekayaan, dia menunjukan protesnya dengan sikap kesederhanaan dan asketisme. Karena itu, beliau juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai sikap wara’, menjauhi kesenangan dan hedonisme. Tak heran, jika NU mendaulat tokoh ini bersama Imam Ghazali sebagai peletak dasar tasawwuf sunni.
Siapakah nama tokoh itu?
Dia, tak lain, adalah Hasan Basri dari Negeri Basrah yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al Hasan ibn Abil Hasan Al Bashry, seorang tabi’in (generasi setelah sahabat) agung yang lahir dua tahun menjelang berakhirnya kekuasaan Umar bin Khattab dan wafat pada bulan Rajab, 110 H (Oktober 728 M).
Banyak orang-orang tua yang hendak memperoleh berkah dari keagungan tokoh ini dengan memberi putera-putera mereka nama "Hasan Basri". Tafa’ul, istilah orang-orang pesantren. Dalam bahasa kita, artinya: mengharap "hoki" . Tentu tidak semua orang tua beruntung dapat "berkah" itu, dan menyaksikan putera mereka mewarisi sifat-sifat yang dimiliki tokoh tersebut. Bahkan, entah kenapa, ada yang malah sial beroleh hal yang sebaliknya. Na’udzu billah.***
http://www.jawapos.co.id/
Ulama atau ‘istilah sosio-kultural’-nya Kiai yang sering disebut -- termasuk oleh mereka yang menganggap diri kiai termasuk ulama -- sebagai pewaris Nabi, entah mengapa, akhir-akhir ini banyak dibicarakan dan dipertanyakan orang. Boleh jadi karena gelar ulama atau kiai tidak ‘akademis’, sehingga setiap orang bisa dengan leluasa menyandangnya tanpa diganggu-gugat, lalu di mana-mana pun masyarakat bisa menjumpai orang yang berpredikat ulama atau kiai. Maka bermunculanlah istilah-istilah seperti: Ulama Plus; Kiai Intelek; Kiai mBeling; Kiai Artis; Ulama Masa Kini; dsb. Dan orang pun bingung.
Istilah ulama itu sendiri, di kita, sudah mengalami pemekaran sedemikian rupa, sehingga bagi mereka yang kurang memahaminya memang mudah terkecoh dan bingung. Sampai kini, paling tidak ada tiga ‘macam’ istilah ulama dengan pengertian yang berbeda satu sama lain: 1. Ulama ‘Quran’ (atau katakanlah: istilah yang asli); 2. Ulama istilah Arab; dan 2. Ulama istilah Indonesia.
Ulama, istilah Arab, merupakan bentuk jamak dari ‘alim; maknanya: ilmuwan atau umumnya orang pinter. Dengan istilah ini, tokoh macam Isaac Newton; Galileo Galilei, Charles Darwin, bahkan BJ Habibie, Kwik Kian Gie atau Arief Budiman, termasuk ulama.
Ulama istilah Indonesia yang dalam penggunaanya tidak selalu berbentuk jamak, mempunyai pengertian yang lebih longgar lagi. Sebab di sini definisi tidak penting. Yang penting pengakuan dan pengiklanan, terutama dari pihak-pihak yang mempunyai pengaruh semisal pemerintah, masyarakat, atau pers. Misalnya Anda terpilih menjadi pengurus MUI, Anda bisa otomatis disebut Ulama.
Untuk ulama istilah ‘Quran - satu-satunya kelompok hamba Allah yang benar-benar takut kepada Allah - yang sering disebut-sebut sebagai para pewaris nabi, saya hanya ingin memberi contoh seorang tokoh yang paling - atau setidaknya termasuk yang paling - pas menyandang sebutan mulia itu, Hasan Basri.
Di kalangan ulama sendiri, Hasan Basri dikenal sebagai tokoh panutan. Tempat bertanya yang senantiasa memiliki jawaban yang memuasakan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kepribadiannya - yang ditunjang oleh keluasan ilmu dan ketulusan amal - sangat luar biasa. Kesetiaannya kepada kebenaran tak tertandingi. Apabila membela atau menyatakan kebenaran tokoh yang satu ini laa yakhaafu laumata laaimin, tidak takut dikecam; tidak menghitung resiko. Pernah kepada para ‘kiai’ yang dijumpainya suka antri di depan pintu rumah-rumah para penguasa, tokoh karismatik ini menegur dengan kata-kata antara lain : "Kalian tinggalkan apa yang ada pada kalian, trompah-trompah kalian sampai menjadi longgar kalian bawa hilir mudik sowan mereka dengan memikul ilmu yang mereka bebankan ke pundak-pundak kalian sampai pintu-pintu mereka, sedangkan mereka sebenarnya tidak begitu memerlukan kalian. Seandainya kalian duduk-duduk saja di tempat kalian, sampai mereka yang datang kepada kalian, tentulah kalian akan lebih berharga di mata mereka ……" Yang beliau maksud dengan "mereka" dalam teguran itu, tentu, adalah para penguasa, atau - dalam bahasa kita sekarang - umara.
Ketika Mu’awiyah mangkat pada tahun 60 H (618 M), putranya yang bernama Yazid menduduki kursi yang ditinggalkannya melalui suatu pengangkatan, bukan pemilihan (umum). Para ulama, sebetulnya, kurang ‘sreg’ dengan langkah Mu’awiyah itu. Sebab dengan demikian, dimulailah tradisi ‘suksesi’ baru di dalam Islam yang berlawanan dengan tradisi al khulafaur rasyidun sebelumnya: suksesi dengan musyawarah dan pemilihan, bukan melalui sistem "putra mahkota".
Sepanjang kekuasaaan dinasti Amawiyah, tak ada ulama yang berani melontarkan kritik atas sistem ‘kekuasaan turun-temurun’ itu, sistem yang oleh Abdurrahman putra sahabat mulia Abu Bakar Siddiq disindir sebagai "heraklisme" (merujuk kepada Hirakl, raja Persia, yang menganut sistem suksesi "turun temurun"). Bahkan seorang tabi’in agung dan alim seperti Ibnu Sirin dan Sya’by ketika diminta pendapat perihal "heraklisme" itu, diam saja, no comment.
Hanya dialah, tokoh yang sedang kita bicarakan ini, yang berani melancarkan kritik secara "terbuka" (bukan "tertutup", face to face, seperti umumnya disarankan para pejabat). Dia kerapkali menulis surat kepada Abdul Malik bin Marwan, khalifah keempat dalam dinasti Amawiyah, dan gubernurnya di Irak, Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafy.
Tokoh ini juga dikenal sebagai seorang ‘abid (ahli ibadah), zahid (seorang asketis yang menjauhi kesenangan duniawi) dan salik (penempuh jalan untuk mendekati Allah swt). Ditengah-tengah gaya hidup para pejabat dinasti Amawiyah yang penuh foya-foya, rakus, hedonistis dan pamer kekayaan, dia menunjukan protesnya dengan sikap kesederhanaan dan asketisme. Karena itu, beliau juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai sikap wara’, menjauhi kesenangan dan hedonisme. Tak heran, jika NU mendaulat tokoh ini bersama Imam Ghazali sebagai peletak dasar tasawwuf sunni.
Siapakah nama tokoh itu?
Dia, tak lain, adalah Hasan Basri dari Negeri Basrah yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al Hasan ibn Abil Hasan Al Bashry, seorang tabi’in (generasi setelah sahabat) agung yang lahir dua tahun menjelang berakhirnya kekuasaan Umar bin Khattab dan wafat pada bulan Rajab, 110 H (Oktober 728 M).
Banyak orang-orang tua yang hendak memperoleh berkah dari keagungan tokoh ini dengan memberi putera-putera mereka nama "Hasan Basri". Tafa’ul, istilah orang-orang pesantren. Dalam bahasa kita, artinya: mengharap "hoki" . Tentu tidak semua orang tua beruntung dapat "berkah" itu, dan menyaksikan putera mereka mewarisi sifat-sifat yang dimiliki tokoh tersebut. Bahkan, entah kenapa, ada yang malah sial beroleh hal yang sebaliknya. Na’udzu billah.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar